Tom Lembong. (FB Anies Baswedan)
JAKARTA — Pemberian abolisi kepada mantan
Menteri Perdagangan RI periode 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong, atau yang
lebih akrab disapa Tom Lembong, dinilai tidak tepat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan, Sumatera Utara,
Irvan Saputra menyatakan keputusan Presiden RI Prabowo Subianto berpotensi mencederai
prinsip penegakan hukum di Indonesia.
"Secara regulasi, abolisi itu hanya diberikan kepada
orang terbukti bersalah melalui putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Sementara terhadap Tom, belum ada putusan inkrah," kata Irvan di Medan,
Ahad.
Pihaknya menyebutkan, Presiden RI Prabowo Subianto
menerbitkan Surat Presiden Nomor R.43/PRES/07/2025 tanggal 30 Juli 2025 tentang
permintaan pertimbangan DPR RI atas pemberian abolisi kepada Tom Lembong.
Tom Lembong sebelumnya divonis bersalah dan dihukum 4,5 tahun
penjara serta denda sebesar Rp750 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar,
maka diganti pidana kurungan selama enam bulan atas kasus impor gula di
Kementerian Perdagangan RI pada 2015–2016.
"Pemberian abolisi ini justru menimbulkan kesan seolah-olah
Tom Lembong telah melakukan tindak pidana," jelas Irvan.
Padahal proses peradilan Tom Lembong masih berjalan dan belum
ada pembuktian bahwa mantan Menteri Perdagangan itu menerima keuntungan atas
perkara yang dituduhkan.
Menurutnya, Tom Lembong seharusnya diputus bebas karena fakta
persidangan menunjukkan tidak ada niat jahat maupun penerimaan keuntungan
pribadi atas kasus importasi gula.
"Upaya hukum banding yang saat ini ditempuh oleh Tom
Lembong adalah langkah yang tepat untuk memulihkan nama baiknya," tutur
Irvan.
Pihaknya juga menilai kasus hukum yang menjerat Tom Lembong
atas kebijakan impor gula semasa menjabat Menteri Perdagangan merupakan bentuk
dugaan kriminalisasi dan politisasi hukum.
"Kebijakan impor gula adalah kewenangan seorang menteri
menjaga ketersediaan dan stabilitas harga gula nasional. Menjerat kebijakan
tersebut dengan pasal korupsi adalah bentuk dugaan kriminalisasi," papar
dia.
Irvan juga menegaskan, aparat penegak hukum seharusnya dapat
memisahkan antara kebijakan publik dan tindak pidana korupsi, sehingga tidak
terjadi penggunaan hukum sebagai alat politik.
LBH Medan juga meminta Presiden RI Prabowo Subianto agar
mengevaluasi kinerja Kejaksaan Agung RI maupun Mahkamah Agung RI.
Sebab, kasus importasi gula ini telah menimbulkan kegaduhan
publik dan melanggar prinsip hak asasi manusia, termasuk hak mendapatkan
perlakuan adil di hadapan hukum.
"Kasus itu menjadi sorotan luas dari masyarakat,
akademisi, politisi, dan pakar hukum, sehingga dibutuhkan langkah korektif
proses penegakan hukum agar tidak terulang di masa depan," ungkap Irvan. (era)