Ketua Umum Persatuan Putra-Putri Angkatan Darat (PPPAD) Isfan
Fajar Satryo. (Dokumentasi Pribadi)
OLEH: ISFAN FAJAR SATRYO*
BAYANGKAN tahun 1945. Di tengah dentum meriam dan kabut
ketidakpastian, para pemuda berlari membawa secarik naskah yang akan mengubah
nasib bangsa.
Jalan-jalan Jakarta saat itu bukan dipenuhi baliho politik
atau gawai bercahaya, melainkan bisikan kemerdekaan yang berpindah dari mulut
ke mulut, menyalakan api di dada rakyat.
Tidak ada algoritma, tidak ada linimasa, hanya tekad bersama
yang membara: merebut kebebasan, membangun negara, dan menghadirkan
ketenteraman bagi seluruh rakyat.
Nasionalisme kala itu bukan teori akademik. Ia adalah denyut
nadi yang dirasakan setiap pejuang, sebuah kesadaran yang lahir dari pengalaman
kolektif -- terjajah, terhina, lalu bangkit.
Sebelum negara ini berdiri, nasionalisme telah tumbuh di hati
rakyat: di dalam nyanyian perjuangan, dalam sumpah pemuda, dalam darah yang
tertumpah di tanah sendiri.
Dari kesadaran inilah, rumah bernama negara dibangun --
sebuah wadah yang diproyeksikan untuk menjaga ruh itu tetap hidup.
Para pendiri bangsa memahami bahwa kemerdekaan bukan hanya
soal mengibarkan bendera atau menduduki kursi kekuasaan. Mereka tahu,
kemerdekaan adalah sarana untuk mewujudkan tujuan yang lebih luhur:
ketenteraman.
Dalam pikiran mereka, ketenteraman bukan sekadar kondisi
tanpa konflik, melainkan keadaan batin kolektif di mana rakyat merasa aman,
dihormati, dan memiliki masa depan. Ketenteraman adalah fondasi bagi persatuan,
dan persatuan adalah pintu menuju kedaulatan.
Namun hari ini, delapan dekade setelah proklamasi, ancaman
terhadap ruh itu tak lagi datang dari kapal perang atau tentara asing. Ia hadir
dalam sunyi, menyusup lewat layar di genggaman kita. Ia tidak menembakkan
peluru, tetapi menembakkan informasi.
Ia tidak merobek bendera, tetapi mengaburkan makna persatuan.
Seperti racun yang larut dalam air, ia mengalir tanpa kita sadari -- digerakkan
oleh kekuatan yang mungkin bahkan tidak kita kenal namanya.
Filtrasi Teknologi:
Mata yang Melihat dalam Bingkai
Dulu, informasi adalah arus liar yang harus dicari dan
dikejar. Sekarang, ia mengalir deras tanpa diminta -- namun tidak lagi murni.
Ada tangan-tangan tak terlihat yang memfilter, menyusun, bahkan menata dunia
sesuai logika algoritma. Kita merasa bebas memilih, padahal pilihan kita sudah
disiapkan. Kita merasa melihat dunia, padahal kita hanya melihat bingkai yang
dipilihkan.
Inilah paradoks abad ke-21: teknologi yang seharusnya
membebaskan, justru menciptakan penjara yang halus. Algoritma media sosial, mesin
pencari, dan platform hiburan tidak hanya menampilkan informasi, tetapi
membentuk persepsi. Mereka memutuskan berita mana yang harus Anda baca, topik
apa yang menjadi penting, bahkan nilai apa yang pantas dipegang.
Lebih berbahaya lagi, filtrasi teknologi tidak hanya
mengontrol apa yang kita tahu, tetapi juga menghapus apa yang seharusnya kita
tahu. Narasi tertentu diperbesar, yang lain diperkecil atau dihapus sama
sekali. Secara tak kasatmata, algoritma membentuk sejarah baru—versi digital
dari kenyataan -- yang bisa berbeda jauh dari realitas di lapangan.
Konspirasi terbesar mungkin adalah yang tidak pernah
diumumkan: bahwa di balik layar, data kita menjadi komoditas, opini kita
menjadi eksperimen, dan emosi kita menjadi bahan bakar ekonomi atensi. Dengan
kata lain, pikiran kita tidak lagi sepenuhnya milik kita. Di sinilah
nasionalisme mulai terkikis, bukan oleh invasi militer, tetapi oleh invasi
makna.
Social Engineering:
Politik Pikiran di Abad 21
Social engineering dulu adalah teknik spionase. Hari ini, ia
adalah industri. Korporasi, negara, bahkan kelompok anonim dapat menggerakkan
massa tanpa harus menyentuh mereka secara fisik.
Cukup dengan manipulasi informasi, framing isu, dan
pengulangan pesan, opini publik bisa diubah seperti aliran air yang diarahkan
ke kanal-kanal tertentu. Kita pernah mengenal propaganda di masa perang, tetapi
propaganda digital jauh lebih halus dan canggih.
Ia tidak memerintah, ia membujuk. Ia tidak memaksa, ia
membentuk keinginan. Targetnya bukan lagi perilaku langsung, melainkan kerangka
berpikir yang menentukan perilaku itu.
Dengan metode ini, sebuah bangsa dapat diarahkan untuk
memusuhi dirinya sendiri, tanpa pernah menyadari sedang dimanipulasi.
Dari sinilah muncul fenomena polarisasi ekstrem. Bukan karena
rakyat tiba-tiba menjadi lebih benci satu sama lain, melainkan karena narasi
yang mereka terima telah disusun sedemikian rupa sehingga musuh terbesar tampak
selalu ada di dalam negeri. Persatuan terkikis, rasa percaya luntur, dan
nasionalisme berubah menjadi sekadar jargon yang diperdebatkan, bukan lagi
kesadaran yang mengikat.
Buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari telah mengingatkan
bahwa manusia kini bergerak menuju era di mana data dan algoritma menjadi
penguasa baru. Dalam dunia seperti ini, identitas kolektif bisa direkayasa
sedemikian rupa sehingga rakyat tidak lagi memiliki kontrol atas apa yang
mereka perjuangkan. Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi "apakah kita
merdeka?", tetapi "apakah kita sadar bahwa kita tidak merdeka?"
Kedaulatan di Era Data
Dulu, kedaulatan diukur dari kemampuan menjaga perbatasan,
kekuatan militer, dan kendali atas sumber daya alam. Hari ini, kedaulatan harus
diukur pula dari siapa yang menguasai data warganya. Data adalah minyak baru,
mata uang baru, bahkan senjata baru. Ia dapat digunakan untuk membangun
peradaban, atau menghancurkannya.
Negara yang tidak menguasai data warganya akan tergantung
pada infrastruktur digital asing, membuka pintu bagi intervensi yang tak
terlihat.
Bayangkan sebuah bangsa yang seluruh sistem komunikasinya
bergantung pada server di luar negeri, atau yang kebijakan publiknya disusun
berdasarkan data yang diproses oleh algoritma perusahaan global. Dalam kondisi
itu, apakah keputusan politik dan ekonomi benar-benar bebas dari pengaruh luar?
Kedaulatan di era ini bukan hanya soal menjaga server dan
jaringan, tetapi memastikan bahwa infrastruktur digital melayani kepentingan
nasional, bukan kepentingan korporasi transnasional atau agenda geopolitik
asing.
Jika data adalah darah baru bangsa, maka kehilangan kendali
atasnya sama dengan kehilangan kendali atas tubuh sendiri.
Menjaga Ruh, Menjaga
Negara
Ruh sebuah bangsa adalah nasionalismenya. Bukan nasionalisme
sempit yang memusuhi dunia luar, tetapi nasionalisme yang sadar akan jati diri,
menghargai perbedaan internal, dan memahami posisi di kancah global. Ruh ini
hanya bisa bertahan jika ia terus dirawat, dilindungi dari erosi teknologi dan
manipulasi sosial.
Menjaga ruh berarti menjaga memori kolektif bangsa: sejarah
yang benar, narasi yang membangkitkan, dan nilai yang menyatukan. Menjaga ruh
berarti membangun literasi digital yang kritis, agar rakyat tidak mudah
terjerat ilusi algoritma. Menjaga ruh berarti memastikan teknologi menjadi alat
pembebasan, bukan alat penaklukan.
Pada akhirnya, pertahanan terbesar bukanlah tembok, senjata,
atau undang-undang, tetapi kesadaran bersama bahwa kita adalah bagian dari
sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri. Kesadaran bahwa kedaulatan
tidak hanya berarti bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari
penjajahan pikiran.
Manifesto Terakhir
Jika para pendiri bangsa kita dulu percaya bahwa kemerdekaan
adalah pintu menuju ketenteraman, maka generasi kita harus sadar bahwa
ketenteraman itu kini terancam bukan oleh meriam, tetapi oleh piksel.
Kita hidup di zaman di mana penjajahan bisa datang dalam
bentuk notifikasi, dan pertempuran terbesar terjadi di dalam pikiran.
Pertanyaan paling mendasar kini bukan lagi “siapa yang memerintah kita?” tetapi
“siapa yang membentuk cara kita berpikir?” Jika jawabannya bukan diri kita
sendiri, maka kita telah kehilangan kemerdekaan, bahkan sebelum bendera
diturunkan.
Kita tidak sedang melawan musuh di luar sana. Kita sedang melawan kemungkinan bahwa suatu hari nanti, kita akan bangun di pagi yang cerah, memandang bendera Merah Putih berkibar, tetapi tidak lagi merasakan apa-apa. **
*Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Putra-Putri Angkatan Darat (PPPAD)