IAW Desak KPK Usut Gubernur DKI, Sumbar, Banten, dan Jateng
Sekretaris Indonesian Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus
SANCAnews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
didesak segera mengusut lima gubernur periode 2018-2022 yang diduga menerima
dana dari PT Asuransi Bangun Askrida (ABA). Kelima gubernur tersebut adalah
Gubernur Sumatera Barat, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah.
Pasalnya, PT ABA diduga membagikan komisi sebesar Rp4,405
triliun selama 2018-2022. Permintaan tersebut disampaikan Sekretaris Indonesia
Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus usai menyampaikan Pengaduan Masyarakat
(Dumas) di Gedung KPK, Jakarta, baru-baru ini, Senin (20/5).
“Pihak KPK segeralah periksa 5 Gubernur itu periodisasi
2018-2022 yaitu Gubernur Sumbar, Jabar, Banten, DKI Jakarta, dan Jateng. Karena
itulah yang diduga menerima kickback atau aliran uang yang selama ini yang
keluar sekitar Rp4,4T dari PT Asuransi Bangun Askrida (ABA),” kata Iskandar.
Iskandar mengungkapkan, sebetulnya pengaduannya ke KPK telah
diajukan melalui surat Nomor 27/Pendiri lAW/I/23 pada 17 Maret 2023. Laporan
sempat tidak disikapi KPK dengan alasan suasana politik Pilpres 2024.
“Nah tadi kami ke Dumas KPK itu kami sampaikan kenapa sudah
satu tahun, seperti apa,” tuturnya.
Iskandar menjelaskan, saham Askrida diketahui dimiliki
sejumlah Pemda/BUMD. Akibat manipulasi laporan keuangan oleh direksi selama 5
tahun dari 2018-2022, dua gubernur pemilik saham terbesar Askrida mendapat
pembagian uang cash ratusan miliar dengan tidak patut dan sah.
"Menggunakan dalih pembayaran biaya komisi padahal
perusahaan memiliki hutang atau tunggakan klaim Rp2,3 triliun kepada Bank
Mandiri dan Bank Mandiri Taspen yang tidak dicatatkan dibayar sejak 2018,"
kata Iskandar.
IAW, lanjut Iskandar, akhirnya melengkapi laporannya dengan
menyerahkan ke KPK berkas laporan audit keuangan dan laporan triwulan Askrida
31 Desember 2020, 31 Desember 2021, 1-14 April 2022, 31 Juli 2022, 31 Agustus
2022, dokumen korespondensi bank Mandiri, serta bukti-bukti lainnya.
"Perilaku manajemen PT ABA yang mengelola total saham
31.253 lembar dengan nilai Rp312.530.000.000 patut disidik KPK karena diduga menyimpangkan
uang negara yang dikelolanya," bebernya.
"Salah satu ukuran penyimpangannya yakni menghilangkan
pencatatan utang/tunggakan klaim terhadap bank Mandiri Rp 1,5 triliun dan Bank
Mandiri Taspen Rp 800 miliar," terang Iskandar.
Tidak mencatatkan tunggakan selama bertahun-tahun di dalam
laporan keuangan maka berarti Askrida menyalahi aturan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK). Tidak bisa dimaklumi dari perspektif perundangan, tambah Iskandar, jika
klaim tersebut sengaja disembunyikan.
"Menyembunyikan sama dengan merekayasa. Bahkan lebih
memprihatinkan lagi bahwa dalam lima tahun itu Askrida rajin mengeluarkan biaya
komisi yang jumlahnya super besar ketimbang laba," jelas Iskandar.
Adapun, komisi yang dibagi-bagi ke pemilik saham pada 2018
sebesar Rp849.726.000.000 padahal laba yang didapat perusahaan hanya
Rp162.185.000.000.
Tahun 2019 komisi yang dibagikan Rp819.751.000.000 sementara
total laba Rp79.913.000.000.
Kemudian 2020, komisi yang dibagikan ke pemilik saham
Rp718.281.000.000 adapun laba yang dikumpulkan Rp75.949.000.000. Tahun
berikutnya total komisi Rp941.590.000.000 padahal laba Rp74.899.000.000.
Terakhir, tahun 2022, laba yang didapat perusahaan
Rp93.846.000.000 sementara komisi yang dibagi ke pemilik saham Rp1.075.714.000.000.
Pemilik saham terbesar Askrida sendiri adalah Pemprov Sumbar
15,6 persen, Dana Pensiun PT BPD Sumbar 7,9 persen, Dana Pensiun PT BPD Jabar
13 persen, PT BPD Jabar-Banten 9,6 persen, serta Pemprov DKI 4,1 persen dan
saham Bank DKI 5,5 persen.
Direksi terlihat senang menggenjot pengeluaran untuk biaya
komisi ketimbang membesarkan laba. Saat yang sama klaim dari bank BUMN/BUMD
malah dihindari.
Terlebih lagi, beber Iskandar, pembayaran komisi dilakukan
oleh oknum berinisial MH dan EY dengan cara pemberian secara cash kepada
Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur Sumatera Barat. Uang bersumber dari cabang
Askrida di Jakarta.
"Tentu mudah bagi KPK untuk menelisik hal tersebut sebab
jumlah triliunan itu akan terlihat nyata pada arus kas. Tidak mudah bagi
manajemen untuk memanipulasi kertas-kertas transaksinya," pungkasnya. (rmol)