Articles by "Opini"

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah 


OLEH: AHMADIE THAHA

DI DUNIA yang makin digital saat ini, tak ada yang lebih efektif dari kekuatan media sosial, termasuk dalam menegakkan keadilan. Kasus Miftah Maulana Habiburrahman dan Ivan Sugianto menjadi contoh baru tentang betapa dahsyat perlawanan medsos, membuat mereka "takluk."

 

Miftah, hanya karena berucap satu kata "goblok" kepada pedagang keliling di acara pengajian dan shalawatan, diguyur hujan hujatan dari seantero negeri. Presiden Prabowo Subianto dan PM Malaysia bahkan ikut berkomentar. Miftah akhirnya mundur dari jabatannya di Istana.

 

Hal serupa terjadi pada Ivan Sugianto. Kisah pengusaha hiburan yang memaksa seorang siswa bersujud dan menggonggong, ini menjadi bukti nyata betapa besarnya pengaruh media sosial dalam menggiring opini publik dan mendorong aparat hukum bertindak cepat.

 

Ironis memang, tetapi faktual: tanpa video viral, kasus Miftah dan Ivan ini mungkin hanya jadi bisik-bisik tetangga. Atau, kasus penggoblokan terhadap pedagang keliling dan keributan kecil di depan sekolah, yang menyangkut dugaan perundungan, itu cuma akan menjadi liputan kecil di media lokal mengingat magnitude-nya yang kurang untuk masuk kategori berita layak.

 

Kejadian-kejadian itu untungnya terekam kamera, dan menyebar di berbagai platform media sosial seperti api di padang kering. Publik marah, netizen mengecam, tagar menggema.

 

Dalam sehari, Miftah harus mundur. Dalam hitungan jam, polisi bertindak menangkap Ivan di bandara, menjebloskannya ke penjara, dan bersama itu publik memviralkan borok-borok lainnya dari mereka.

 

Hebatnya, reaksi ini muncul bukan karena berita di media arus utama, tetapi karena tekanan langsung dari publik yang terpicu oleh video viral. Ini memperlihatkan fenomena "tanpa viral, tiada keadilan" yang semakin mengakar. Maka, bagi anda, jangan ragu memanfaatkan kamera handphone anda.

 

Kekuatan media sosial tak hanya memaksa tindakan cepat aparat hukum, tetapi juga membuka borok-borok lain. Setelah kasus ini mencuat, terungkap sikap kasar Miftah lainnya, serta dugaan Ivan terlibat tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan memiliki belasan rekening yang diblokir PPATK. Mungkin juga, banyak lagi kasus lainnya.

 

Fakta ini memperlihatkan bahwa viralitas bukan sekadar alat untuk mengungkap kasus, tetapi juga medium untuk memperbesar eksposur masalah lain yang selama ini mungkin terkubur. Juga, mengungkap realitas watak otentik seseorang berdasarkan rekaman seketika, yang mungkin selama ini telah banyak membawa korban yang bungkam.

 

Dalam dunia nyata, dampak media sosial begitu nyata hingga sulit diabaikan. Miftah dan Ivan tak hanya dicaci-maki, tetapi juga mendapat hukuman sosial. Ketika masuk ke ruang tahanan, Ivan disambut dengan sorakan "Sujud! Gonggong!" oleh para tahanan lainnya. Inilah bentuk ironi keadilan sosial —sebuah "karma instan" yang muncul akibat penghakiman publik di dunia maya.

 

Namun, di sisi lain, ada pertanyaan yang perlu kita renungkan: apakah keadilan kini hanya bisa ditegakkan jika ada viralitas? Apakah aparat hukum membutuhkan dorongan dari publik untuk bertindak?

 

Dalam kasus ini, tindakan polisi baru terasa setelah muncul gelombang kemarahan di media sosial. Padahal, bukti dan saksi kasus tersebut sebenarnya sudah cukup kuat sejak awal.

 

Kasus ini menyoroti ketergantungan penegakan hukum pada media sosial. Di satu sisi, media sosial menjadi alat penting untuk membongkar kasus yang mungkin tidak tersentuh hukum.

 

Di sisi lain, ini juga memperlihatkan kelemahan sistem hukum kita, yang cenderung reaktif terhadap opini publik ketimbang bertindak secara proaktif berdasarkan fakta dan data.

 

Media sosial memang kuat, tetapi bukan tanpa risiko. Viralnya kasus seringkali membawa dampak negatif, seperti pengadilan massa yang bisa saja melampaui batas. Seseorang bisa dihukum secara sosial bahkan sebelum mendapatkan proses hukum yang adil. Namun, jika sistem hukum berjalan efektif, keadilan seharusnya tidak memerlukan tagar atau video viral untuk dijalankan.

 

Kasus Miftah dan Ivan menjadi pengingat pahit tentang betapa pentingnya media sosial dalam menyoroti keadilan dan rasa keadilan. Namun, ini juga menegaskan perlunya sistem hukum yang lebih kuat dan independen, yang tidak hanya bertindak ketika ada tekanan publik.

 

Media sosial mungkin pedang bermata dua: ia bisa menjadi pendorong keadilan, tetapi juga bisa menjadi alat penghakiman tanpa batas. Kini, tantangannya, bagaimana kita memanfaatkan kekuatan ini tanpa kehilangan esensi keadilan dan rasa keadilan yang sejati —adil bukan karena viral, tapi karena sistem hukum yang benar-benar bekerja. (*)


Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an


Ilustrasi (Foto: Getty Images/iStockphoto/seechung) 

 

Oleh : Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih 

Info dari Pengadilan Negeri  Jakarta Pusat menyidangkan gugatan Rizieq Shihab Cs terhadap mantan Presiden Joko Widodo pada siang ini, Selasa, 19 November 2024., majelis hakim membuka sidang dengan merekomendasikan sebuah mediasi, sesuai  (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2016.

 

Ikhtiar membawa dugaan kasus Jokowi ke pengadilan tentu disambut gembira sebagian besar rakyat Indonesia, apapun hasilnya.

 

Dalam sidangnya yang singkat PN Jakarta Pusat menunjuk seorang hakim menjadi mediator antara kubu Rizieq Shihab dengan Jokowi. Selanjutnya Suparman mempersilakan penasihat hukum Rizieq dan kawan-kawan serta pihak Jokowi untuk menandatangi persetujuan agenda mediasi.

 

Dalam waktu 30 hari PN Jakarta Pusat menunggu laporan dari mediator, mudah - mudahan bisa berdamailah,” kata Suparman seraya mengetok palu menutup persidangan. Sidang itu berlangsung singkat, dengan durasi kurang dari 10 menit.

 

Selanjutnya tersiar luas bahwa dari Pihak Penggugat Rizieq Shihab Bersama penggugat lainnya, melalui gugatan itu, di samping meminta Jokowi minta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas didugaan melakukaan rangkaian kebohongan selama periode 2012-2024, yaitu sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta dan dua periode sebagai presiden.

 

Juga menuntut agar Jokowi  membayar ganti rugi materiil sebesar nilai utang luar negeri Indonesia sejak 2014-2024 yakni Rp 5.246 triliun, hingga tidak memberikan rumah maupun uang pensiun kepada Jokowi.

 

Apabila gugatan ganti rugi apabila di kabulkan, dalam rincian  terbaca dengan jelas :

 

- 40% dari Rp 5.246 triliun ganti rugi akan disumbangkan untuk makan siang gratis Prabowo, dengan nilai  Rp2.098 triliun


- 30% sejumlah Rp1.574 triliun akan diberikan kepada 73 juta rakyat miskin dan menengah bawah (masing² warga akan memperoleh Rp21,5 ).


- Sedangkan 30% sisanya diserahkan ke kas negara.

 

Menyimak tulisan "Eggi Sudjana dan Damai Hari Lubis" dalam artikelnya

"Pragmatisme Golongan  Rezim Baru Wacanakan  Faktor Pemaaf - Berdasarkan Voting Adalah Kejahatan yang Berkelanjutan"_, tersirat dan tersurat antara lain :

 

- Upaya rekonsiliasi Jokowi minta maaf dan ganti rugi apapun alasannya akan melupakan korban yang sudah merasakan teraniaya dan tercabik-cabik jiwa dan raganya

 

- Imbalan ganti rugi dengan sejumlah materi dari hasil kejahatan akan melegalkan kejahatan terus berjalan  dan tidak akan bisa memberi efek jera, sebagai salah satu manfaat dari fungsi hukum.

 

- Sekadar ganti rugi, hukum akan rongsokan tak berharga dan behavior/ penguasa sudah menzalimi para pemilik hak.

 

- Hukum akan selalu dapat dibeli, dan transaksi (jual - beli). Maaf pun niscaya juga dari hasil kejahatan, setidaknya obscur (tidak jelas) alias tak berkepastian.

 

- Memberikan maaf kepada penguasa yang diduga sudah menjadi penghianat negara adalah sama saja melawan keadilan.

 

- Akan melahirkan  kecemburuan terhadap unsur maaf dari banyak orang yang tidak harus ditampilkan bahkan kesulitan untuk menampung membuat daftar siapa dan apa bentuk korban dari kejahatan rezim Jokowi

 

- Meminta maaf dan ganti rugi kepada Jokowi yang dampak kejahatannya masih berlangsung seperti Program PNS, penjarahan tanah ( PIK ) dan ambil paksa kedaulatan negara, itu "Nalar Nungging' yang salah.

 

Sampai di sini agar disadari bahwa sebagian rakyat sudah pada kesimpulan bahwa kesalahan Jokowi diseret ke pengadilan agar sampai pada status _"Jokowi Sebagai Pengkhianat Negara"_ . Kalau itu sudah terpenuhi maka hukuman yang setimpal untuk Jokowi adalah "Hukuman Mati". (*)



 

Oleh : Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih

 

BATALKAN Perpres No. 54 thn. 2022 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, kembali ke UU. No. 34 tahun 2004 tentang Tugas TNI.

 

Kerusakan Institusi POLRI akibat kebijakan Presiden yang salah. Sadar atau tidak berawal dari  positioning  POLRI langsung di bawah Presiden, Polisi dipersenjatai melebihi kekuatan senjata TNI oleh Presiden, dengan imbalan loyalitas buta Polisi pada Presiden, petaka awal  terjadi kerusakan di tubuh POLRI.

 

Perselingkuhan Presiden dengan POLRI penyebab kewenangan dan kekuasaan POLRI bukan terkendali justru menjadi liar bahkan menjadi kepentingan politik Presiden.

 

Terjadi “Abuse of Power” oleh Polisi, menjadi kekuatan super body, menabrak siapapun yang berseberangan dengan kekuasaan , akibat Presiden telah memanjakan polri melampaui peran , fungsi dan tupoksinya.

 

Dalam UU nomor 2 thn 2002 tentang Kepolisian, tugas polisi itu hanya tiga : penegak hukum, menjaga kamtibmas, dan melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat.

 

Telah masuk keranah politik sebagai pengaman presiden mengatasi / menindak siapapun yang berseberangan dan melawan kebijakan dan kekuasaan Presiden.

 

Konon peran politis ini sudah dirancang jarak jauh sejak Tito Karnavian sebagai Kapolri, bukan hanya sebagai kekuatan mengamankan suara hasil Pilpres tetapi memenangkan suara untuk kemenangan Presiden. Imbalan politisnya Presiden menempatkan Polisi hampir di semua urusan  negara.

 

Terus berkembang ke ranah di luar tupoksinya memenangkan kepala daerah kandidat Presiden bahkan lebih jauh munculnya oknum kepolisian menjadi herder menganankan proyek Taipan Oligarki

 

"Lebih liar lagi  tugas TNI seperti penanganan terorisme, saparatisme, pengamanan objek vital, pengamanan wilayah perbatasan juga di ambil alih Polisi. Padahal itu jelas dan tegas tugas TNI sesuai UU no 34 Tahun 2004."

 

Presiden tidak tanggung tanggung mengeluarkan Perpres No. 54 tahun 22 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia. Untuk menambah kekuasaan Polri agar lebih luas karena tidak ada dalam UU Polisi. Padahal secara hirarki perundangan, Perpres itu di bawah Undang/Undang.

 

Yang muncul di kemudian hari kekuasan Polisi merambah kemana mana : Polisi bertindak cepat mengkriminalisasi tokoh tokoh siapapun yang menentang dan berbeda pandangan dengan sang penguasa. Kriminalisasi ulama,  begitu sadis cara menangani demo dengan kekerasan diluar perikemanusiaan. Bahkan dimana mana  berperan sebagai body guard Oligarki, sebagai penjaga   rampasan tanah  jarahannya dari gangguan.

 

Diduga kuat ikut mengamankan TKA asing khususnya dari China masuk berbondong bondong ke Indonesia.

 

TNI dianaktirikan bahkan terkesan dilemahkan. TNI melalui binternya di amputasi, TNI masuk desa sebagaian kemanunggalan TNI dan rakyat tidak terdengar lagi. Kewenangannya juga banyak di cabut atas nama kekuasaan Presiden untuk mengamankan kekuasaan Presiden menempatkan POLRI sebagai body guard nya.

 

Kesombongan POLRI membesar ketika merasa bahwa  Polri langsung di bawah Presiden dan TNI di bawah kordinasi Kementrian Pertahanan.

 

Presiden berdalih menambah kekuasaan POLRI adalah  untuk memerankan POLRI perang melawan perang asymetris. Perang yg tidak tampak seperti ; perang ideologi, perang ekonomi, perang dagang, perang pemikiran, sosial-budaya. Melebar mengamankan perjudian dan perdagangan narkoba dan perdagangan terlarang lainnya.

 

Dampak ikutan akibatnya bukan keamanan yang tercipta justru kegaduhan , perpecahan dan kekacauan di masyarakat makin parah. Apa yang terjadi saat ini  oknum kekuatan polisi yang menyalah gunakan kekuasaanya.

 

Muncullah partai cokelat bahkan mulai terdengar seperti era pra kebangkitan G 30 S - PKI ada indikasi lahirnya angkatan ke 5 (lima).

 

Awal kejadian jelas akibat salah kelola kepolisian oleh presiden sendiri menempatkan polisi sebagai alat kekuasaan politik. Menempatkan dan memfungsikan Polisi dengan kekuasan yang sangat besar sebagai alat kekuasaan politik.

 

Kebijakan Presiden memakan tuan Presiden sendiri. Perintah untuk secepatnya mengatasi kasus judi online berlarut larut karena ternyata kasusnya memah sangat berat , karena penyakitnya sudah acut melebar kemana mana.

 

Republik ini adalah negara hukum dilihat dari kinerja POLRI sebagai penegak hukum, menjaga kamtibmas, dan melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat, yang setia pada janjinya sebagai Bhayangkara Negara terasa telah dikhianati.

 

Back to zero. Tata ulang institusi POLRi, saatnya POLRI direformasi total. Tiba saatnya negara harus secepatnya melakukan Reformasi Polisi sekarang . (Police Reform Now). (*)

 


 

Oleh: Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih


KAJIAN Politik Merah Putih pada malam Jumat, 29 November 2024, berdiskusi tentang kondisi umat Islam di Indonesia, terekam beberapa catatan:


Salah satu pernyataan KH Ahmad Dahlan yang terkenal adalah bahwasanya Islam tidak akan hilang dari muka bumi, tetapi Islam mungkin saja sirna dari Indonesia.

 

Partai yang mengaku bernafas Islam (yang digambarkan sebagai alat perjuangan umat Islam) terasa sudah mendahului sirna lebih awal. Tersisa seperti partai yang sudah mati sebelum mati.

 

Ada aroma mayoritas penduduk negara-negara ini sudah menyatakan, bahwa agama sudah tidak penting lagi peranannya dalam kehidupan. Mereka tidak lagi menggunakan agama sebagai solusi atau jalan hidupnya.

 

Meskipun begitu, kita perlu terus berpikir dan mencermati kondisi masyarakat kita, khususnya umat Islam, sebagai penduduk mayoritas negeri ini.

 

Bersamaan dengan lenyapnya Pancasila dan UUD 45, sejumlah pengamat dan ilmuwan mengkhawatirkan Indonesia akan bubar sebelum tahun 2030. Kita tentu sangat berharap, Indonesia tetap utuh, bahkan terus berkembang menjadi negara yang unggul.

 

Tengok sejarah Muslim Andalusia. Umat Islam pernah memimpin Andalusia selama hampir 800 tahun (711-1492), umat Islam kemudian dihabisi.  Mereka dipaksa meninggalkan seluruh identitas Islam dan Arab. Tragedi peradaban Islam kedua terjadi tahun 1258 ketika Baghdad dihancurkan Mongol.

 

Tiga faktor utama kehancuran kaum Muslim adalah:  penyakit  _*WAHN*_ cinta dunia dan takut mati. Begitu mudahnya umat Islam dibeli diadu domba, dipecah belah, bahkan saling membenci dan saling menyerang.

 

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, menulis bab khusus tentang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Disebutkan, bahwa jatuh bangun dan hidup-matinya umat Islam tergantung pada dilaksanakan atau tidaknya aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar itu.

 

Saat bersamaan "Christiaan Snouck Hurgronje gaya baru di Indonesia mejalalela makin canggih lahir dari kalangan umat Islam sendiri".

 

Cara mengekploitasi ayat Al Quran / hadits untuk melemahkan bahkan membunuh perjuangan umat Islam melawan medzaliman makin lemah dan beragam.

 

Mereka mengira akan masuk surga sesuai angan angan iblis yang yang telah menancap masuk dalam dirinya.

 

1. Wilayah agama yang bersifat unspeakable  dicangkul seenaknya, agar religiusitas manusia tak terjatuh dalam suasana ziarah dan penyaliban

2. Kitab suci agama apapun mengandung ajaran kebijaksanaan mendalam yang tak mungkin ditafsirkan dengan pengetahuan cekak

3. Demontrasi logika dalam mengurai kitab suci tanpa wawasan teologis memadai hanya melahirkan manusia yang merasa paling tahu jalan pikiran Tuhan.

 

Suasana makin mengerikan ketika umat Islam tidak berdosa dan memohon tetapi sudah perintah Tuhan. Partai Islam sudah sirna, Islam tinggal nama, umat Islam sudah tak berdaya. (*)



 

Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan


DAHULU teriakan ganyang PKI menjadi bentuk dari kekesalan bahkan kemarahan rakyat atas perilaku politik Partai Komunis Indonesia yang sering membuat ulah, menebar fitnah, adu domba, menipu rakyat, menjauhi agama serta merasa dilindungi penguasa. Puncak ulah PKI adalah percobaan kudeta dengan memainkan isu tentara dan dukungan kuat China.

 

Kini PIK 2 atau Pantai Indah Kapuk 2 atau awalnya Pantai Indah Kesambi tengah bermasalah, khususnya setelah Pemerintahan Jokowi melalui Menko Perekonomian Airlangga memberi status Proyek Strategis Nasional (PSN) kepada PIK 2 yang dikelola oleh perusahaan milik Sugianto Kusuma alias Aguan (ASG) dan Antoni Salim (SG).

 

Penolakan atas proyek semakin marak baik oleh penduduk dan aktivis setempat maupun penggiat sosial nasional. Dasar penolakan pada pokoknya adalah pemberian status PSN yang tidak tepat dan manipulatif, pemaksaan pembelian tanah dengan harga murah, kawasan perumahan ekslusif, kekhawatiran dominasi etnis China seperti PIK 1, serta penyimpangan rencana tata ruang.

 

Pemerintahan Prabowo yang memberi angin dengan semangat "tidak boleh ada kawasan eksklusif" dan "negara dalam negara" yang kini menjadi tuntutan dalam hal pembuktian. Kebijakan bukti awal seharusnya adalah mencabut status PSN untuk PIK 2 (dan juga BSD) kemudian atas berbagai penyimpangan ASG maka izin-izin yang telah dikeluarkan ditarik kembali. Mengingat bahaya model kawasan PIK-1 dan PIK-2, maka rencana proyek PIK-2 harus dibatalkan.

 

Menteri Perumahan Maruarar Sirait sepertinya justru menunjukkan sikap membela proyek PIK-2. Kecurigaan publik mulai muncul atas kolusi penguasa-pengusaha, apalagi Maruarar memiliki rekam jejak pernah bekerja pada Aguan, artinya ada relasi kuasa. Kini terlihat akrab antara keduanya. Program Menteri Perumahan pembangunan 3 juta rumah jauh-jauh telah "ditunjuk" developernya yaitu  perusahaan milik Aguan.

 

Publik berharap pada sikap lebih tegas pada Menteri ATR/BPN Nusron Wahid. Menurutnya Prabowo akan mengkaji ulang proyek PIK-2. Memang Prabowo yang menjadi pelanjut Jokowi atas kebijakan PIK-2 sedang  ditunggu sikap konkritnya. Bukan semata omon-omon.

 

Sementara itu reaksi publik terus menguat. Beberapa warga dan aktivis mulai mengajukan gugatan pembatalan PIK-2 melalui Pengadilan atas dasar perbuatan melawan hukum. Advokat Ahmad Khozinudin, Djudju Purwantoro, Kurnia Tri Royani, Meidy Juniarto dan lainnya telah siap untuk berperang di jalur hukum. Suara agar tangkap Aguan juga mulai terdengar. Jangan-jangan ke depan ada gerakan penghancuran patung Naga di PIK-2.

 

Jika kekesalan atau kemarahan rakyat memuncak maka pelesetan PIK menjadi PKI tidak terhindarkan. Sebelum semakin menggumpal sebaiknya Prabowo segera mengambil tindakan tegas yakni cabut PSN dan batalkan PIK-2. Tidak elok jika sampai menggema teriakan "Ganyang PKI, ganyang PIK". (*)



 

Oleh: Faisal S Sallatalohy | Kandidat Doktor Hukum Trisakti 

KENAIKAN PPN dari 11% jadi 12%. Ada yg bilang, naiknya hanya 1%. Rendah sekali. Kenapa harus diributkan, dikiritisi ?

 

Toh kenaikan PPN yang serendah itu juga dilakukan pemerintah untuk kepentingan masyarakat Indonesia. Kenaikan PPN akan menambah kemampuan APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, menciptakan perkembangan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

 

Kalimat pembelaan yang naif, irasional, melanggar batas moral, ilmu, keadilan,  kenyataan dan inkonstitusional!

 

Prosentasi kenaikan PPN memang hanya 1%. Tapi implikasi kenaikan PPN terhadap kenaikan inflasi atau harga barang mencapai 9,09 %. Tinggi sekali.

 

Kok bisa? 

Rumus kenaikan PPN: (harga baru - harga lama) / harga lama) x 100.

 

Harga baru 12 - harga lama 11 = 1 / harga lama 11 = 0,090 x 100 = 9,09.

 

Simulasi Susenas menunjukkan, kenaikan inflasi 1% mendorong peningkatan rata-rata garis kemiskinan 1,8%, maka menambah jumlah kemiskinan baru 1,4 juta.

 

Maka kenaikan inflasi 9,09% x 1,4 juta = 12,7 juta kemiskinan baru berpotensi bertambah.

 

Pemerintah sebut, kenaikan PPN 12% akan mendorong kesehatan APBN dalam mendukung pertumbuhan ekonomi hingga 8%.

 

Kalimat ini, tidak bisa dibenarkan. Konsumsi masyarakat mengambil porsi terbesar 58% terhadap pertumbuham ekonomi.

 

Kenaikan pajak yang mendorong naiknya inflasi dan meningkatnya kemiskinan justru menjadi gambaran jatuhnya daya beli masyarakat.

 

Jika daya belinya jatuh, maka kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi akan melemah yang selanjutnya mempengaruhi pelemahan pertumbuhan ekonomi.

 

Belajar dari kasus kenaikan PPN dari 10% ke 11%. Ternyata memukul daya beli rakyat yang ditandai dengan deflasi beruntun selama 5 bulan sejak April 2024. Dengannya pertumbuhan ekonomi 2024, diprediksi lebih rendah dari 5%. Di bawah target asumsi dasar makro APBN 2025 sebesar 5,02%.

 

Selain itu, contoh kasus kenaikan PPN dari 10 ke 11% juga hanya mampu menaikkan rasio Value at Risk menjadi 57,1%. Artinya, 42,9% dari potensi penerimaan PPN belum terkumpul.

 

Artinya kenaikan PPN bukannya menaikkan penerimaan pajak, malah menjatuhkan. Menunjukkan bahwa kenaikan PPN yang mendorong kenaikan inflasi memang menekan daya beli masyarakat, penerimaan PPN pun melemah.

 

Konsep pemerintahan kalap. Pengen cara praktis bayar defisit APBN dengan cara meningkatkan perilaku premanisme "palak rakyat" lewat kenaikan pajak yang "ga ngotak". Pertimbangannya tidak matang.

 

Secara teori, kenaikan pajak adalah pendekatan lain selain cetak utang baru dalam rangka memperoleh dana segar untuk membayar defisit APBN.

 

Peningkatan pajak dan cetak utang baru adalah pendekatan utama yang biasanya digunakan oleh negara penganut sistem dan politik ekonomi neoliberal seperti Indonesia.

 

Defisit APBN 2025 bukan main besarnya. capai Rp 616,2 triliun. Kementrian keuangan menyebut, kenaikan PPN 12% sepanjang 2025 akan menambah pemasukan negara Rp 78,76 triliun. Sangat jauh dari kebutuhan bayar defisit APBN 2025.

 

Untuk apa pemerintah ngotot naikan PPN jadi 12% kalau hanya mampu mendatangkan pemasukan yg sangat jauh dari kebutuhan defisit APBN dengan cara mengorbankan kesejahteraan masyarakat, menaikan kemiskinan sampai yg berpotensi capai 12,7 juta orang?

 

Kebijakan naif seperti apa ini? 

Kenaikan PPN hanya mendatang tambahan pemasukan Rp 78,76 triliun. Digunakan untuk menambah kekurangan APBN. Lalu bagimana dengan nasib masyarakat miskin baru 12,7 juta jiwa itu?

 

Ini tanggung jawab siapa? Bagimana cara pemerintah bertanggung jawab memulihkan kemiskinan baru itu? Mau dipulihkan pakai uang dari mana?

 

Aturan macam apa ini? 

Catatan pentingnya, PPN dinaikan sebagai cara lain selain mencetak utang baru yg dilakukan pemerintah untuk bayar defisit APBN.

 

Artinya, masyarakat disuruh berkorban dan menanggung beban pembayaran defisit APBN.

 

Defisit APBN menunjukan APBN kekurangan uang Rp 616,2 triliun sepanjang 2025. APBN 2025 bolong-mines sebesar itu.

 

Siapa yg bikin APBN bolong sebesar itu? Rakyat yg buat? Tentu saja bukan. Lalu siapa pemerintah sendiri yg bikin APBN bolong.

 

Pemerintah yang mana pelakunya? 

Pemerimtahan Jokowi selama 10 tahun dengan model politik kebijakan anggaran yang melanggar UU 17 Tahun 2023 tentang manajemen akuntansi negara.

 

Contohnya, pendanaan proyek infrastruktur dan IKN yang gila-gilaan di luar batas kemampuan keuangan negara. Mengakibatkan belanja meningkat, melampui jumlah pemasukan.

 

Ada yang bilang, kenapa disalahkan, itu kan untuk rakyat.

 

Rakyat yang mana? 

Buka lebar "biji matamu" lalu lihat jatuhnya kinerja industri manufaktur, jatuhnya jumlah kelas menengah hampir 10 juta, pengangguran terbuka paling tinggi di ASEAN, UMP paling rendah no. 5 dunia, orang cari kerja susah, giliran bangun usaha sendiri dan ada penghasiman dipalakin negara lewat kenaikan pajak, jumlab kemiskinan dan paling parah adalah kesenjangan distribusi pendapatan yang tercermin lewat tingginya gini rasio (yang kaya makin kaya, yang miskin makin mampus).

 

Rakyat mana juga yang ingin habiskan APBN puluhan triliun untuk bangun IKN dan gelar upacara kemerdekaan di IKN?

 

Belum lagi ditambah persoalan bocornya APBN akibat diselewengkan perilaku korup pejabat negara.

 

Semua peroslan itu merusak APBN, menjebol APBN. Mengakibatkan lemahnya sisa saldo lebih atau SAL untuk pemerintahan baru ini menyusun anggaran belanja sehingga defisit APBN terus berlanjut dengan jumlah yg meningkat. Itulah salah satu sebab yg bikin prabowo safari ke negara-negara dunia mengemis-ngemis utang dan investasi.

 

Lalu sekarang rakyat disuruh berkorban untuk membayar perilaku konyol pemerintah lewat kenaikan pajak?

 

Enak sekali, enak bener jadi pemerintah? 

Enjoy the power, power and glory. Malas, tidak kreatif, menjajah rakyat. (*)



 

Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan 

Di hari-hari pencoblosan Pilkada beredar video Jokowi dengan berbagai kandidat jagoannya masing-masing mendapat "titipan" publikasi Jokowi "saya titip" Tegal, Kediri, Pemalang, Badung dan lain-lainnya. Netizen nakal menyebut Jokowi kini membuka perusahaan PT Titipan. Ya, dalam waktu pendek beredarlah video itu. Ini bisnis Jokowi's titipan kilat.

 

Jadi pengiklan biasanya tidak gratisan, bisa bayar di muka atau di belakang. Lumayan bisnis jasa namanya. Baru kali ini politik menjadi lapangan kerja untuk jasa titipan. Rupanya Jokowi ikut menjadi  pelopor ekonomi kreatif. Merenung, benar juga ucapan Rocky Gerung bahwa Jokowi itu bajingan. Bajingan titip menitip.

 

Cawe-cawe mantan Presiden diikuti oleh iklan Presiden baru Prabowo yang juga  "menitipkan" beberapa kandidat untuk dipilih. Maklum Prabowo juga produk dari cawe-cawe Jokowi. Indonesia nampaknya sedang memperkenalkan model demokrasi baru kepada dunia yaitu "demokrasi cawe-cawe". Demokrasi dimana kedaulatan rakyat hanya sebagai tipu-tipu.

 

Sejak memperpanjang jabatan pada Pilpres 2019 Jokowi telah menjalankan demokrasi cawe-cawe dengan tidak berhentinya Presiden. Berbeda pada Gubernur dan Walikota/ Bupati. Ia tetap bisa mengerahkan semua aparat birokrasi untuk memenangkan dirinya. Prabowo akhirnya babak belur dihajar oleh status quo. Ini namya demokrasi cawe-cawe dewek.

 

Pilpres 2024 demokrasi cawe-cawe Jokowi lebih kampungan dan semakin tidak intelek. Demi sukses menjadikan anaknya Wapres maka MK, KPU, Kementrian dan aparat negara menjadi tim sukses kepentingan Jokowi. Setelah sukses bermain dengan menghalalkan segala cara, maka Presiden baru dijadikan boneka atau wayang. Gemoy bergeboy-geboy sambil digantung dan diikat lehernya.

 

Setelah tidak menjabat Presiden demokrasi cawe-cawe masih diteruskan melalui bisnis titipan kilat. Tentu bukan begitu saja titipan itu dikirim tetapi dikawal oleh partai politik baru  yang bernama "Chocolate Party". Partai yang memiliki  jaringan luas dan dana tak terbatas. Sejalan dengan konsep gila Mendagri sekarang Tito Karnavian yang seolah ingin menjadikan Indonesia sebagai Negara Polisi (Police State).

 

Konsep ilmiahnya adalah Democratic Policing yakni polisi yang berperan dalam proses demokrasi atau proses politik. Konsep itu secara tak langsung adalah "balas dendam" dari kebijakan "Dwi Fungsi ABRI" dahulu. Polisi yang menjadi pengaman demokrasi berubah menjadi pemain, bahkan pengendali dari demokrasi. Berbeda dengan "Green Party" yang bermisi menjaga lingkungan maka "Chocolate Party" justru merusak.

 

Demokrasi cawe-cawe Jokowi yang secara  demonstratif mempertunjukkan sisa-sisa kekuasaannya tentu bukan tidak berisiko. Risiko terberat adalah Jokowi dipastikan akan  menjadi musuh rakyat, penghianat negara, dan penjahat politik. Tidak ada kata maaf bagi kesalahan politik yang telah dilakukannya. Jokowi menjadi "most wanted person" yang diburu publik sampai ke lubang semut.

 

Setelah selesai Pilkada yang menjadi ajang bisnis Jokowi melalui titipan kilatnya, maka Prabowo harus segera melepas tali di lehernya yang menjadikan dirinya sebagai wayang atau boneka. Ganti Kapolri dan Jagung dengan orang pilihan Prabowo sendiri. Tegaskan bahwa kedaulatan hukum dihormati dan Presiden tidak akan ikut campur dalam urusan hukum. Hukum berjalan mandiri.

 

Ketika rakyat mendesak Jokowi dan dinastinya agar diproses hukum, maka Prabowo tidak berhak untuk memproteksi melainkan menyerahkan kepada obyektivitas dari hukum itu sendiri. Bila Jokowi tak bersalah (not guilty) hukum akan membebaskan, sebaliknya jika bersalah (guilty) maka hukum memberi sanksi baik bui ataupun mati.

 

Bisnis Jokowi's titipan kilat sangat memprihatinkan dan menginjak-injak rasa keadilan, karenanya harus dihentikan. Caranya adalah dengan segera menangkap, menahan, dan menyeret Jokowi ke dalam proses peradilan. Sangat urgen keberadaan Kapolri dan Jagung baru. Prabowo harus berani. (*).



 

Oleh: Sutoyo Abadi | Koordinator Kajian Politik Merah Putih

 

Prof. Hafid Abbas dalam artikelnya "Bajingan politik dan Idealisme Akademik", dari Daoed Joesoef, dalam artikelnya di kolom Opini Kompas, “Politikus di Zaman Edan” yang terbit pada 2 Juli 2011.

 

Memuat semua cerita situasi pasca pasukan Italia menaklukkan pasukan Etiopia. Angkatan perang Italia berhasil menduduki Etiopia pada 1935, tokoh- tokoh negeri Afrika Timur itu— yang telah membantu kemenangan—diundang Benito Mussolini naik ke pesawat terbang (joy flight).

 

Mereka menerima undangan itu karena menganggapnya sebagai bukti penghargaan atas jasa mereka bagi kemenangan dan kejayaan Italia.

 

Setelah terbang di atas Laut Merah, Mussolini memerintahkan supaya semua tokoh Etiopia itu dibuang keluar pesawat tanpa parasut. Atas pertanyaan para jenderalnya, mengapa tuan Benito Mussolini  berbuat demikian, sang diktator fasis menjawab : "Kepada negerinya sendiri mereka berkhianat, apalagi kelak kepada Italia. Sekali orang berjiwa pengkhianat, dia akan terus menjadi pengkhianat seumur hidupnya".

 

Pengkhianat seperti itu disebut “Bajingan” seperti pengkhianat Etiopia yang layak dibuang satu per satu ke laut seperti yang dilakukan oleh Benito Mussolini  pada 1935.

 

Penghianat memiliki watak dan profesi pencitraan,  berbohong, menipu untuk membungkus / menutup prilakunya sebagai penghianat.

 

Sebagai penguasa, politisi bahkan ilmuwan penghianat akan selalu lolos sensor melenggang dalam pengkhianatan  karena selalu melekat dengan kekuasaan gemar mengumbar kejahatan tanpa rasa malu.

 

Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis, mengatakan bahwa ketika seseorang menyerahkan kebebasan dan nilai-nilainya demi kekuasaan, ia sebenarnya mengalami kejatuhan eksistensial. Ini  momen di mana pejuang kebenaran justru  menjadi bagian dari sistem yang mereka lawan dan berubah menjadi penghianat.

 

Penghianat  seperti ini berprilaku barbar (barbarian). Tidak ada  standar moral dan etika dalam sistem orang barbar, siapa yang kuat itulah hukum.

 

Selalu  menggunakan  instrumen kekuasan untuk melakukannya, termasuk agar aman dari kejahatannya. Mereka akan menggunakan segala cara untuk menang. Tidak ada standar hukum, moralitas dan etika yang bisa membatasi sifat barbarian itu.

 

Seorang penghianat selalu  larut dalam budaya konformitas (culture of conformity), bahkan siap menjual dirinya sebagai budak dan boneka Taipan Oligarki dan asing, menindas, menyiksa bahkan membunuh bangsanya sendiri.

 

Menarik contoh Benito Mussolini, penghianat akan tetap sebagai penghianat dan harus di buang ke laut.

 

Penghianat yang merajalela saat ini yang dipertontonkan dengan telanjang terjadi dari contoh pemimpin atau para penguasa  sebagai penghianat -  ikan busuk dari kepalanya (rotten fish from its head). (*)



 

Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

JOKOWI, dan kini, Gibran adalah pemimpin yang sarat dengan skandal. Skandal adalah insiden yang dipublikasikan dan melibatkan dugaan pelanggaran, aib atau pencabulan moral. Skandal bisa didasarkan pada kenyataan, produk dugaan salah, atau campuran keduanya (KBBI). Jika skandal terjadi pada warga biasa mungkin masih wajar, tetapi jika dilakukan oleh seorang pemimpin maka hal itu tidak boleh dibiarkan bahkan harus dikenakan sanksi.

 

Konstitusi negara Republik Indonesia UUD 1945 memberi ruang untuk memberhentikan seorang Presiden atau Wakil Presiden yang terlibat skandal dengan sebutan "perbuatan tercela". Demikian juga Ketetapan MPR No VI tahun 2000 mengatur hal itu sebagai pelanggaran "etika kehidupan berbangsa" serta ideologi Pancasila telah menarasikan dengan "kemanusiaan yang adil dan beradab".

 

Di antara skandal Jokowi yang terus berkembang dari awal hingga akhir masa jabatan adalah ijazah palsu. Bagaimana bangsa besar dan konon beradab dapat mentolerir dan membiarkan Presidennya berijazah palsu ? Tanpa merasa salah ia telah menjalankan jabatannya hingga dua periode.

 

Rakyat mengusik status ijazah ini. Diawali tuduhan Bambang Tri, namun alih-alih Jokowi membantah kebenaran tuduhan itu justru mengkriminalisasi Bambang Tri dan Gus Nur. Keduanya dipenjara akibat "ujaran  kebencian" bukan akibat Jokowi telah mampu membuktikan keaslian ijazah Sekolah Menengah atau Perguruan Tingginya.

 

Saat digugat perdata ulang melalui PN Jakarta Pusat Jokowi pun berbelit-belit lewat debat  status sebagai Presiden atau pribadi untuk membuktikan kepemilikan dan keaslian ijazah Perguruan Tinggi. Hingga tahap ini baik saat mediasi maupun proses perkara, ijazah asli yang ditunggu rakyat untuk ditunjukkan itu tidak muncul juga. Jokowi tidak memiliki itikad baik dan hal ini menimbulkan konklusi bahwa Jokowi memang tidak memiliki ijazah atau ijazahnya tidak asli alias palsu.

 

Pemalsuan dokumen baik pemalsu, penyuruh, pembujuk atau penyerta dari pembuatan suatu dokumen terancam pidana penjara. Begitu juga dengan yang membantu dan pengguna. Pasal 263 KUHP mengancam maksimal 6 tahun sedangkan Pasal 266 KUHP 7 tahun penjara.

 

Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga berskandal baik soal ijazah MDIS Singapura dan ijazah UTS Insearch Australia dengan Keterangan Dirjen PAUD tentang kesetaraan, juga skandal Fufufafa yang menghebohkan. Cermin kerendahan moral dan ketidakpatutan seorang Wakil Presiden.

 

Sebagaimana ayahnya Gibran juga perlu diusut dan disidik status ijazah baik yang digunakan untuk pemenuhan persyaratan Cawalkot maupun Cawapres nya. Skandal ijazah ini menjadi ironi karena bangsa Indonesia sedang berjuang untuk memiliki pejabat atau pemimpin yang cerdas, jujur, berakhlak serta kompeten.

 

Skandal lain Gibran yang meruntuhkan kecerdasan dan moralitas dirinya adalah Fufufafa. Keyakinan publik bahwa pemilik akun itu adalah Gibran sulit untuk dibantah. Ada penodaan agama, ujaran kebencian dan pornografi pada konten Fufufafa tersebut. Seluruh perilaku kriminal itu diancam dengan hukuman penjara.

 

Atas perbuatan penodaan agama melanggar Pasal 156a KUHP Gibran terancam penjara maksimal 5 tahun, atas ujaran kebencian Pasal 27 dan 28 UU ITE ancaman 6 tahun dan atas pidana pornografi UU No 44 tahun 2008 Gibran terancam maksimal 12 tahun. Dengan ancaman tersebut Gibran Rakabuming Raka bisa ditangkap dan ditahan sambil menjalani proses peradilan.

 

Skandal ijazah palsu Jokowi dan Gibran harus dibongkar tuntas. Demikian juga dengan politik dinasti yang dijalankannya. Hal ini menjadi konsekuensi dari pengakuan bahwa Indonesia adalah negara hukum bukan negara kekuasaan. Jokowi sebagai mantan Presiden dan Gibran sebagai Wakil Presiden berkedudukan sama di depan hukum.

 

Jika hukum obyektif diberlakukan, maka bukan mimpi bahwa bapak dan anak itu Jokowi dan Gibran akan berlama-lama berada dalam sel penjara sambil merenung, menyesal, dan bertobat.

Itupun jika keduanya memang beriman atau beragama. (*)

 

Bandung, 26 November 2024



 

Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

 

JOKOWI adalah penyandera, penjajah dan penjahat. Hampir semua menteri dan aparat berada di bawah kendali dirinya. Ia bukan sekedar seorang Presiden tetapi boss mafia. Cara kerja mafia digunakan untuk menundukkan lawan dan kawan politiknya. Jokowi bukan profil negarawan tetapi penipu, pembohong dan dajjal munafikun.

 

Sekelas Prabowo mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad mati kutu seperti kerbau dicocok hidungnya. Setelah jadi Presiden kabinetnya diatur-atur, dipanggil ke Solo untuk menghadap, menutup mata atas cacian dan hinaan anaknya. Pura-pura tak peduli Fufufafa. Bahlil menjadi bahlul mewanti-wanti agar tidak berurusan dengan Raja Jawa. Bahlil seperti menggambarkan Jokowi itu dedemit atau genderuwo yang menakutkan.

 

Ketum Partai bertekuk lutut tidak berani mengangkat muka. Setelah Nasdem terakhir PKS yang bersujud ikut memuji keberhasilan Jokowi. Jangan tanya PAN, PKB atau PPP. Golkar jauh lebih dulu. PDIP yang menciptakan monster Jokowi, setelah dikhianati juga tidak berdaya untuk melawan. Mengecam sebentar kemudian berbasa-basi, menghindar untuk berurusan serius. Ketua DPR Puan Maharani  dalam cengkeraman, sekurangnya tersandera.

 

Pasca lengser dari jabatan Presiden 20 Oktober 2024 jaringan laba-labanya tetap dibuat dan dipasang. Masih  berusaha untuk menguasai semua. Lucu, menteri menteri Prabowo masih sowan dan minta nasehat ke Solo. Jokowi permanen sebagai boss mafia. Memilih mana yang harus dihabisi dan dipertahankan. Ada tiga nama yang sedang dicoba untuk  ditundukkan yaitu Tom Lembong, Said Didu, dan Hasto Kristiyanto.

 

Tom Lembong ditersangkakan dalam kasus kebijakan  impor gula, kebijakan yang sebenarnya sama dengan yang dilakukan oleh menteri-menteri perdagangan lainnya bahkan dengan tonase yang jauh lebih besar. Tom dikriminalisasi untuk memukul Anies Baswedan. Tom melawan meski ditahan. Ia nyatakan kebijakan impor gula itu atas sepengetahuan atau menjalankan perintah Jokowi.

 

Said Didu dilaporkan oleh Kades Belimbing yang membela Aguan dalam pembangunan PIK 2. Tuduhan melanggar UU ITE dinilai mengada-ada, yang jelas itu adalah upaya untuk meredam sikap kritis Didu yang lantang membela rakyat dari penggusuran dan pembelian tanah rakyat dengan harga murah. Said Didu "manusia merdeka" melawan Aguan pengusaha peliharaan Jokowi. Mediasi yang ditawarkan ditolak Didu mentah-mentah.

 

Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP diperiksa kasus Harun Masiku ceritra hukum lama sebagai tabungan politik baru. Wawancara terakhir dengan Connie Rakahundini menyulut semangat Hasto untuk siap melawan Jokowi dan pasukan "partai coklat" nya Listyo Sigit. Hasto siap membongkar peran Jokowi dalam menghalangi Anies Baswedan pada Pilgub Jakarta.

 

Jika ketiga tokoh tersebut serius melawan kejahatan rezim dengan terus membongkar konspirasi Jokowi dalam menipu dan membodohi rakyat, maka benih pemberontakan telah ditaburkan. Akan tumbuh membesar bersama semangat rakyat yang sudah lama  jengkel dan muak pada perilaku politik Jokowi dan kroninya.

 

Jokowi tidak cukup turun dari jabatan, karena faktanya meski tidak menjabat sebagai Presiden ia masih mampu menguasai semua. Jokowi harus dibuat tidak berdaya, ditumbangkan, dan diadili agar dapat mempertanggungjawabkan kejahatannya.

 

Jokowi adalah sumber masalah, selama Jokowi leluasa bertindak maka masalah bangsa ini akan terus membelit. 

 

Pemberontakan tokoh telah dimulai. Dari orang dekat hingga oposisi. Tom, Didu, dan Hasto menggebrak. Anies dengan aksi dukung Pram-Doel melakukan perlawanan pula. Gumpalan oposisi akan semakin berani untuk  menggergaji Jokowi.

 

Selama Jokowi masih merajalela jangan harap negara akan berjalan normal. Sikap yang paling bijak adalah dengan segera menghentikan langkahnya. Penghentian itu secara revolusioner. (*)



 

Oleh: M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan

DALAM sejarah terjadi pertempuran antara bangsa Amaliqah dipimpin Raja dan Panglima Jalut (Goliath) yang menguasai dan menjajah Palestina dengan Bani Israel dipimpin Raja Thalut bersama rekrutan prajurit bernama Daud. Pasukan Thalut berjumlah sedikit dibanding Jalut. Demikian juga secara fisik antara keduanya timpang. Dalam perang tanding Jalut melawan Daud, Jalut secara mengejutkan kalah dan tewas. Daud menjadi pahlawan dan kelak menjadi Raja.

 

Dalam kasus PIK 2 bukan bermaksud menjadikan Said Didu sebagai Raja akan tetapi pertarungan antara Said "Daud" dan Aguan "Jalut" menjadi menarik. Sulit mengabaikan ada kepentingan Aguan dari pelaporan Said Didu oleh Kades Belimbing. Ia harus repot memenuhi panggilan Kepolisian untuk pemeriksaan. Said Didu menyalak dengan membongkar penyelundupan hukum Aguan dalam PIK 2.

 

Menurut Didu, Aguan harus diproses hukum karena memanipulasi dan menyerobot program PSN. Status PSN  yang hanya untuk kawasan wisata diklaim termasuk perumahan dan lainnya. Fasilitas PSN PIK 2 pun dimanfaatkan untuk PIK 1 hingga PlK 11 dengan pola penggabungan. Akal-akalan Aguan mendapatkan tanah kurang lebih 100 ribu  hektar dengan harga yang sangat murah. Ini namanya zalim dan kejahatan berfasilitas PSN.

 

Pasukan Said Didu adalah rakyat tertindas dan para aktivis yang bergerak tanpa fasilitas. Bermodal katapel teriakan suara keadilan dan kebenaran. Dengan semangat tinggi, mengerahkan tenaga, serta dibarengi do'a mengarahkan sasaran pada kepala Jalut yang arogan.

 

Aguan Jalut atau "Goliath" dipastikan dapat membiayai apa dan siapapun. Pasukan besarnya terdiri dari pejabat, aparat, pemuda bayaran, atau kepala desa yang diperalat. Semua mampu dikerahkan untuk berperan sebagai perampok tanah-tanah rakyat. Bercitra kawasan untuk menyuburkan investasi demi kesejahteraan rakyat. Bagus sekali meme "Jokowi sukses menyejahterakan rakyat serta  membuka lapangan kerja bagi rakyat..China !".

 

Kriminalisasi Said Didu adalah tampilan dari kejahatan penguasa dengan bersenjata hukum untuk membela pengusaha China. Nekad membungkam kritik demi uang dan uang. Disinilah kongkalikong penguasa dengan penguasa dalam mengatur bangsa. Penguasa dapat duit, pengusaha dapat fasilitas. PSN hanya satu contoh kecil. Hukum yang dimiliki penguasa membantu pengusaha.

 

Indonesia telah terjebak dalam jaringan kerja mafia. Tanpa perubahan Indonesia semakin miskin dan memilukan. Prabowo di KTT G 20 Brazil mempermalukan bangsa dengan laporan 25 % rakyat Indonesia yang kelaparan. Pendekatan tambal sulam atau evolusi untuk perubahan sangat belepotan. Hanya dengan revolusi maka koalisi pengusaha dan penguasa dapat dieliminasi. Kolusi Naga dan imitasi Garuda harus dibasmi.

 

Pertarungan Said "Daud" dengan Aguan "Goliath" hanya permulaan saja. Membaca ibrah sejarah maka pasukan kecil, lemah tetapi bersemangat dan beriman dapat mengalahkan pasukan besar, kuat tetapi abai terhadap nilai moral dan agama. Dikalahkan, dihancurkan dan digantikan.

 

Dimana Prabowo berada ? Terserah pada pilihannya sendiri. Mau bersama Daud atau Jalut (Goliath), bersama rakyat atau konglomerat, menang gemilang atau kalah sebagai pecundang ?

 

Sebaiknya ia sering membaca kisah-kisah dalam Kitab Suci, agar faham tentang makna dari kebahagiaan abadi. Bukan hidup untuk sekedar memenuhi ambisi. Rugi dan menyesal di alam nanti.

 

"Yaa laitahaa kaanatil qoodiyah, maa aghnaa  anni maaliyah, halaka anni sulthooniyah, hudzuuhu wa ghuluuhu, tsummal jahiima sholuuhu"

 

(Aduh celaka kematian ini, tidak berguna kekayaanku, telah hilang kekuasaanku, tangkap dan belenggulah tangan di lehernya, kemudian masuklah ke dalam neraka yang menyala nyala)--QS Al Haqqoh 27-31. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.