Articles by "Opini"

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Ketua Umum Persatuan Putra-Putri Angkatan Darat (PPPAD) Isfan Fajar Satryo. (Dokumentasi Pribadi) 


OLEH: ISFAN FAJAR SATRYO*


BAYANGKAN tahun 1945. Di tengah dentum meriam dan kabut ketidakpastian, para pemuda berlari membawa secarik naskah yang akan mengubah nasib bangsa.

 

Jalan-jalan Jakarta saat itu bukan dipenuhi baliho politik atau gawai bercahaya, melainkan bisikan kemerdekaan yang berpindah dari mulut ke mulut, menyalakan api di dada rakyat.

 

Tidak ada algoritma, tidak ada linimasa, hanya tekad bersama yang membara: merebut kebebasan, membangun negara, dan menghadirkan ketenteraman bagi seluruh rakyat.

 

Nasionalisme kala itu bukan teori akademik. Ia adalah denyut nadi yang dirasakan setiap pejuang, sebuah kesadaran yang lahir dari pengalaman kolektif -- terjajah, terhina, lalu bangkit.

 

Sebelum negara ini berdiri, nasionalisme telah tumbuh di hati rakyat: di dalam nyanyian perjuangan, dalam sumpah pemuda, dalam darah yang tertumpah di tanah sendiri.

 

Dari kesadaran inilah, rumah bernama negara dibangun -- sebuah wadah yang diproyeksikan untuk menjaga ruh itu tetap hidup.

 

Para pendiri bangsa memahami bahwa kemerdekaan bukan hanya soal mengibarkan bendera atau menduduki kursi kekuasaan. Mereka tahu, kemerdekaan adalah sarana untuk mewujudkan tujuan yang lebih luhur: ketenteraman.

 

Dalam pikiran mereka, ketenteraman bukan sekadar kondisi tanpa konflik, melainkan keadaan batin kolektif di mana rakyat merasa aman, dihormati, dan memiliki masa depan. Ketenteraman adalah fondasi bagi persatuan, dan persatuan adalah pintu menuju kedaulatan.

 

Namun hari ini, delapan dekade setelah proklamasi, ancaman terhadap ruh itu tak lagi datang dari kapal perang atau tentara asing. Ia hadir dalam sunyi, menyusup lewat layar di genggaman kita. Ia tidak menembakkan peluru, tetapi menembakkan informasi.

 

Ia tidak merobek bendera, tetapi mengaburkan makna persatuan. Seperti racun yang larut dalam air, ia mengalir tanpa kita sadari -- digerakkan oleh kekuatan yang mungkin bahkan tidak kita kenal namanya.

 

Filtrasi Teknologi: Mata yang Melihat dalam Bingkai

 

Dulu, informasi adalah arus liar yang harus dicari dan dikejar. Sekarang, ia mengalir deras tanpa diminta -- namun tidak lagi murni. Ada tangan-tangan tak terlihat yang memfilter, menyusun, bahkan menata dunia sesuai logika algoritma. Kita merasa bebas memilih, padahal pilihan kita sudah disiapkan. Kita merasa melihat dunia, padahal kita hanya melihat bingkai yang dipilihkan.

 

Inilah paradoks abad ke-21: teknologi yang seharusnya membebaskan, justru menciptakan penjara yang halus. Algoritma media sosial, mesin pencari, dan platform hiburan tidak hanya menampilkan informasi, tetapi membentuk persepsi. Mereka memutuskan berita mana yang harus Anda baca, topik apa yang menjadi penting, bahkan nilai apa yang pantas dipegang.

 

Lebih berbahaya lagi, filtrasi teknologi tidak hanya mengontrol apa yang kita tahu, tetapi juga menghapus apa yang seharusnya kita tahu. Narasi tertentu diperbesar, yang lain diperkecil atau dihapus sama sekali. Secara tak kasatmata, algoritma membentuk sejarah baru—versi digital dari kenyataan -- yang bisa berbeda jauh dari realitas di lapangan.

 

Konspirasi terbesar mungkin adalah yang tidak pernah diumumkan: bahwa di balik layar, data kita menjadi komoditas, opini kita menjadi eksperimen, dan emosi kita menjadi bahan bakar ekonomi atensi. Dengan kata lain, pikiran kita tidak lagi sepenuhnya milik kita. Di sinilah nasionalisme mulai terkikis, bukan oleh invasi militer, tetapi oleh invasi makna.

 

Social Engineering: Politik Pikiran di Abad 21

 

Social engineering dulu adalah teknik spionase. Hari ini, ia adalah industri. Korporasi, negara, bahkan kelompok anonim dapat menggerakkan massa tanpa harus menyentuh mereka secara fisik.

 

Cukup dengan manipulasi informasi, framing isu, dan pengulangan pesan, opini publik bisa diubah seperti aliran air yang diarahkan ke kanal-kanal tertentu. Kita pernah mengenal propaganda di masa perang, tetapi propaganda digital jauh lebih halus dan canggih.

 

Ia tidak memerintah, ia membujuk. Ia tidak memaksa, ia membentuk keinginan. Targetnya bukan lagi perilaku langsung, melainkan kerangka berpikir yang menentukan perilaku itu.

 

Dengan metode ini, sebuah bangsa dapat diarahkan untuk memusuhi dirinya sendiri, tanpa pernah menyadari sedang dimanipulasi.

 

Dari sinilah muncul fenomena polarisasi ekstrem. Bukan karena rakyat tiba-tiba menjadi lebih benci satu sama lain, melainkan karena narasi yang mereka terima telah disusun sedemikian rupa sehingga musuh terbesar tampak selalu ada di dalam negeri. Persatuan terkikis, rasa percaya luntur, dan nasionalisme berubah menjadi sekadar jargon yang diperdebatkan, bukan lagi kesadaran yang mengikat.

 

Buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari telah mengingatkan bahwa manusia kini bergerak menuju era di mana data dan algoritma menjadi penguasa baru. Dalam dunia seperti ini, identitas kolektif bisa direkayasa sedemikian rupa sehingga rakyat tidak lagi memiliki kontrol atas apa yang mereka perjuangkan. Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi "apakah kita merdeka?", tetapi "apakah kita sadar bahwa kita tidak merdeka?"

 

Kedaulatan di Era Data

 

Dulu, kedaulatan diukur dari kemampuan menjaga perbatasan, kekuatan militer, dan kendali atas sumber daya alam. Hari ini, kedaulatan harus diukur pula dari siapa yang menguasai data warganya. Data adalah minyak baru, mata uang baru, bahkan senjata baru. Ia dapat digunakan untuk membangun peradaban, atau menghancurkannya.

 

Negara yang tidak menguasai data warganya akan tergantung pada infrastruktur digital asing, membuka pintu bagi intervensi yang tak terlihat.

 

Bayangkan sebuah bangsa yang seluruh sistem komunikasinya bergantung pada server di luar negeri, atau yang kebijakan publiknya disusun berdasarkan data yang diproses oleh algoritma perusahaan global. Dalam kondisi itu, apakah keputusan politik dan ekonomi benar-benar bebas dari pengaruh luar?

 

Kedaulatan di era ini bukan hanya soal menjaga server dan jaringan, tetapi memastikan bahwa infrastruktur digital melayani kepentingan nasional, bukan kepentingan korporasi transnasional atau agenda geopolitik asing.

 

Jika data adalah darah baru bangsa, maka kehilangan kendali atasnya sama dengan kehilangan kendali atas tubuh sendiri.

 

Menjaga Ruh, Menjaga Negara

 

Ruh sebuah bangsa adalah nasionalismenya. Bukan nasionalisme sempit yang memusuhi dunia luar, tetapi nasionalisme yang sadar akan jati diri, menghargai perbedaan internal, dan memahami posisi di kancah global. Ruh ini hanya bisa bertahan jika ia terus dirawat, dilindungi dari erosi teknologi dan manipulasi sosial.

 

Menjaga ruh berarti menjaga memori kolektif bangsa: sejarah yang benar, narasi yang membangkitkan, dan nilai yang menyatukan. Menjaga ruh berarti membangun literasi digital yang kritis, agar rakyat tidak mudah terjerat ilusi algoritma. Menjaga ruh berarti memastikan teknologi menjadi alat pembebasan, bukan alat penaklukan.

 

Pada akhirnya, pertahanan terbesar bukanlah tembok, senjata, atau undang-undang, tetapi kesadaran bersama bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri. Kesadaran bahwa kedaulatan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari penjajahan pikiran.

 

Manifesto Terakhir

 

Jika para pendiri bangsa kita dulu percaya bahwa kemerdekaan adalah pintu menuju ketenteraman, maka generasi kita harus sadar bahwa ketenteraman itu kini terancam bukan oleh meriam, tetapi oleh piksel.

 

Kita hidup di zaman di mana penjajahan bisa datang dalam bentuk notifikasi, dan pertempuran terbesar terjadi di dalam pikiran. Pertanyaan paling mendasar kini bukan lagi “siapa yang memerintah kita?” tetapi “siapa yang membentuk cara kita berpikir?” Jika jawabannya bukan diri kita sendiri, maka kita telah kehilangan kemerdekaan, bahkan sebelum bendera diturunkan.

 

Kita tidak sedang melawan musuh di luar sana. Kita sedang melawan kemungkinan bahwa suatu hari nanti, kita akan bangun di pagi yang cerah, memandang bendera Merah Putih berkibar, tetapi tidak lagi merasakan apa-apa. **


*Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Putra-Putri Angkatan Darat (PPPAD)

 

Kabinet Merah Putih/Ist 


Oleh: Muhammad Sutisna 

PASCA-pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto telah mencuri perhatian publik bahkan menimbulkan respon beragam dari berbagai kalangan. Dimana menurut penulis langkah ini merupakan sebagai manuver cerdas Presiden dalam meredam polarisasi politik dan memperkuat stabilitas politik.

 

Sederhananya kasus ini membentuk persepsi publik tentang rasa pesimisme terhadap pemerintah ketika bagi siapa saja yang tak dekat dengan penguasa tentu akan mudah terjerat kasus hukum. Namun berkat sensitivitas Presiden terhadap dinamika politik yang terjadi, rasa pesimisme itu perlahan hilang. Ada secercah harapan di masyarakat, kini Pemerintah tak akan menggunakan hukum untuk membungkam lawan politiknya. 

 

Namun perlu menjadi catatan adalah setelah berhasil membuat stabilitas politik menjadi tak keruh. Penting untuk melakukan stabilitas ekonomi. Meskipun dalam konteks teori ekonomi politik, keputusan ini selaras dengan pendekatan neoklasik yang menekankan pentingnya stabilitas institusional sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi.

 

Apalagi Dalam teori ekonomi politik, stabilitas politik dan ekonomi saling terkait erat. Menurut Douglass North, institusi yang kuat dan stabil menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang karena mengurangi ketidakpastian. 

 

Langkah Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada tokoh-tokoh politik seperti Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto mencerminkan upaya membangun kohesi sosial dan politik, yang merupakan prasyarat bagi iklim investasi yang kondusif. Namun, stabilitas politik tanpa diimbangi stabilitas ekonomi hanya akan menjadi kemenangan sementara.

 

Seperti apa yang dikatakan oleh Joseph Schumpeter dalam teori "creative destruction" menegaskan bahwa inovasi kebijakan dan kepemimpinan yang adaptif diperlukan untuk menghadapi disrupsi ekonomi. Saat ini, kinerja sejumlah menteri, khususnya Menteri Perdagangan Budi Santoso, menjadi titik lemah yang menghambat kemampuan pemerintah merespons tantangan ekonomi.

 

Apalagi kalau kita melihat neraca perdagangan Indonesia yang terus merosot menjadi indikator krisis yang nyata. Seperti yang kita lihat dalam Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa pada 2024, neraca perdagangan mengalami defisit akibat kebijakan impor yang kurang terkontrol, seperti yang diatur dalam Permendag Nomor 3 dan 7 Tahun 2024.

 

Dimana kebijakan ini memicu banjir barang impor ilegal, yang tidak hanya melemahkan industri lokal, tetapi juga memperburuk posisi UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

 

Selain itu, kegagalan menjaga stabilitas harga komoditas strategis seperti MinyaKita dan gas 3 kg telah memicu keresahan sosial, yang dalam teori ekonomi politik ala Karl Polanyi disebut sebagai "double movement"--reaksi masyarakat terhadap ketidakadilan pasar yang tidak diimbangi perlindungan sosial. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat memicu deflasi, menekan investasi, dan meningkatkan pengangguran, yang pada akhirnya mengancam legitimasi pemerintahan.

 

Sehingga penting bagi pemerintah untuk segera melakukan Reshuffle kabinet. Karena reshuffle bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi juga imperatif strategis dalam kerangka ekonomi politik.

 

Dalam teori principal-agent, Presiden sebagai principal harus memastikan bahwa agen (menteri) yang ditunjuk memiliki kompetensi dan visi yang selaras dengan tujuan nasional. Kegagalan Menteri Perdagangan saat ini dalam merumuskan kebijakan yang mendukung daya saing ekonomi nasional menunjukkan adanya misalignment antara tujuan pemerintahan dan kinerja kabinet.

 

Skandal seperti BBM oplosan dan kebijakan impor yang kontraproduktif telah merusak kepercayaan publik dan pelaku pasar, yang dalam teori ekonomi politik Robert Gilpin disebut sebagai "krisis kepercayaan" yang dapat melemahkan kapasitas negara dalam mengelola ekonomi global.

 

Untuk mengatasi krisis ini, Presiden Prabowo perlu mengambil langkah berani dengan mereshuffle kabinet, khususnya posisi Menteri Perdagangan. Nama Harvick Hasnul Qolbi muncul sebagai kandidat yang layak. Dengan pengalaman sebagai Wakil Menteri Pertanian pada era Jokowi-Ma’ruf Amin, Harvick telah menunjukkan kemampuan dalam merumuskan kebijakan yang berpihak pada rakyat.

 

Mengingat kiprahnya di Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ketua Lembaga Perekonomian dan salah satu Bendahara PBNU mencerminkan pemahaman mendalam terhadap pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, yang sangat relevan untuk memperkuat UMKM dan sektor perdagangan.

 

Sosok Harvick Hasnul Qolbi sendiri memiliki rekam jejak yang kuat untuk membawa perubahan signifikan di Kementerian Perdagangan. Pengalamannya dalam mengelola kebijakan pangan di Kementerian Pertanian menunjukkan kapasitasnya dalam menangani isu-isu strategis yang berdampak langsung pada rakyat. Ia juga dikenal sebagai intelektual muda yang mampu menjembatani kepentingan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.

 

Dalam konteks perdagangan, Harvick berpotensi memperbaiki kebijakan impor dengan pendekatan yang lebih protektif terhadap industri lokal, sekaligus mendorong ekspor produk bernilai tambah tinggi. Ini sejalan dengan teori ekonomi politik merkantilisme modern, yang menekankan pentingnya surplus perdagangan untuk memperkuat posisi ekonomi nasional.

 

Mengingat tantangan ke depan tidaklah ringan. Mulai dari Krisis ekonomi global, disrupsi rantai pasok, dan meningkatnya proteksionisme di pasar internasional menuntut Menteri Perdagangan yang mampu berpikir strategis dan bertindak cepat. Jika Presiden Prabowo gagal mengambil langkah tegas, kepercayaan publik dan pelaku pasar akan terus terkikis, yang dalam teori ekonomi politik dapat memicu "legitimacy crisis" bagi pemerintahan.

 

Sebaliknya, dengan menempatkan figur seperti Harvick, pemerintahan dapat menunjukkan komitmen pada perubahan progresif, yang tidak hanya menjawab tantangan ekonomi, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di panggung global.

 

Oleh karena itu dalam melihat Langkah Presiden Prabowo yang memberikan abolisi dan amnesti telah menunjukkan keberanian dalam menjaga stabilitas politik. Namun, tantangan yang lebih besar kini terletak pada stabilitas ekonomi, yang menuntut reshuffle kabinet sebagai langkah strategis.

 

Sehingga saatnya Presiden Prabowo bertindak tegas, menjadikan reshuffle sebagai titik balik menuju pemerintahan yang lebih kuat, inklusif, dan berorientasi pada kemajuan bangsa. ***

 

*Penulis adalah Co Founder Forum Intelektual Muda

 

Ilustrasi 


OLEH: AHMADIE THAHA

KETIKA hukum dan politik bersalaman di ruang rapat, Yusril duduk di kepala meja. Amnesti dan abolisi bukan sekadar soal pengampunan, tapi soal tafsir, simbol, dan manuver kekuasaan.

 

Ada sebuah adagium lama di kampus-kampus hukum: Fiqh itu untuk ulama, hukum positif untuk pengacara, dan politik hukum untuk Yusril Ihza Mahendra. Entah siapa yang pertama kali mengucapkannya -mungkin mahasiswa yang gagal skripsi karena ngutip Yusril tanpa footnote. 

 

Kini, nama sang profesor kembali mencuat. Bukan karena buku barunya, bukan pula karena argumen brilian dalam perdebatan akademik. Melainkan karena dia menjelaskan, bahwa amnesti untuk Hasto dan abolisi untuk Tom Lembong adalah tindakan presiden yang sah, wajar, dan sesuai aturan.

 

Apakah ini pertama kalinya Yusril, kini menjabat Menko Hukum HAM Imigrasi Pemasyarakatan, bicara soal amnesti dan abolisi? Tidak, saudara-saudara. Ia sudah beberapa kali menyinggung hal ini, selalu dengan gaya tegas dan penuh kepastian khas beliau. 

 

Yusril memang bukan pendatang baru dalam urusan Pasal 14 UUD 1945. Ia adalah arsitek hukum dalam berbagai momentum besar -dari pemberian grasi atas nama rekonsiliasi, sampai pembelaan terhadap pemimpin partai berbasis massa yang dituding makar.

 

Tercatat, pada tahun 2005, saat menjabat Menkumham era SBY, Yusril memfasilitasi wacana abolisi untuk para mantan kombatan GAM demi perdamaian Aceh. Semua pihak mengamininya, sebab konteksnya saat itu adalah rekonsiliasi nasional pascakonflik.

 

Tahun 2015, sebagai tokoh publik, Yusril merespons rencana amnesti Presiden Jokowi untuk Din Minimi dengan pernyataan khas: "Amnesti itu wewenang Presiden, tetapi harus dengan pertimbangan DPR." Konsisten? Ya. Kritis? Juga iya.

 

Kemudian, pada 2019, Yusril membela kebijakan pemberian remisi terhadap narapidana korupsi dengan alasan konstitusionalitas. "Hukum tidak mengenal emosi," katanya waktu itu. Agak getir memang, tapi begitulah Yusril —tajam pada teks, tegas pada tafsir.

 

Dengan kata lain, amnesti dan abolisi bukan hal baru dalam khazanah politik-hukum Yusril. Bedanya: dulu dalam konteks konflik horizontal, kini dianggap publik sebagai bagian dalam arena tarik-menarik elite politik yang bersiap konsolidasi kekuasaan.

 

Lantas, dalam pemberian abolisi dan amnesti kali ini, siapa dapat apa? Mari hitung angka dan teka-teki. Menurut keterangan resmi, total penerima amnesti tahun ini adalah 1.178 orang. Dua nama yang menonjol: Hasto Kristiyanto (amnesti) dan Tom Lembong (abolisi).

 

Yang menarik, usulan awal yang diterima DPR hanya 1.116 orang. Sisanya? 62 nama tambahan yang datang entah dari mana. Barangkali ini seperti acara perpisahan: selalu ada “tamu tambahan” yang tidak masuk undangan awal, tapi duduk di barisan depan atau tengah.

 

Lebih unik lagi, hanya dua dari 1.178 itu yang tersangkut perkara korupsi, dan justru keduanya yang ramai disorot publik dan media. Padahal sisanya kemungkinan besar termasuk pengedar kebijakan, bukan pengedar uang.

 

Mengapa hanya dua nama tadi yang digoreng? Sebab simbol lebih penting dari statistik. Anda paham, nama besar selalu punya daya resonansi yang mengguncang. Dan dalam politik Indonesia, dua nama cukup untuk membentuk opini berjilid-jilid.

 

Yusril menyebut semuanya “sesuai aturan.” Betul. Konstitusi memang memberi presiden hak prerogatif memberi abolisi dan amnesti —dengan catatan harus minta pertimbangan DPR. Dan DPR sudah setuju, bahkan dengan jumlah lebih dari yang diusulkan.

 

Maka, urusan dianggap selesai? Eits, jangan buru-buru menutup pasal. Kita mesti bertanya ulang: apakah hukum itu semata prosedur, atau juga tentang etika dan keadilan? Kalau prosedur bisa dipesan seperti nasi kotak, maka keadilan kadang seperti lauknya -tak selalu cukup, bahkan bisa zonk.

 

Publik lalu bertanya-tanya: apa di balik semua ini? Kenapa hanya Hasto dan Tom yang disorot? Apa karena mereka elite? Atau karena mereka simbol? Dan apakah ini keputusan universal atau selektif strategis?

 

Beberapa tafsir liar pun beredar, sebagaimana bermunculan di arena wacana. Ada yang bilang, Presiden Prabowo ingin membangun koalisi nasional permanen. Maka, batu sandungan hukum terhadap elite partai mesti dibersihkan lebih dulu.

 

Yang lain berkomentar, pemberian abolisi dan amnesti tiap 17 Agustus memang biasa. Tapi, mengapa dua nama besar itu dipromosikan ke headline media?

 

Atau, tanya yang lain lagi, barangkali Yusril sedang menjaga reputasinya sebagai ahli hukum negara? Di tengah wacana ini, ia pun tampil menjelaskan, bukan semata demi rezim, tapi demi logika hukum yang (masih) bernapas.

 

Ia tampil dengan selalu konsisten dalam satu hal: membela konstitusi dari sudut paling strategis. Saat dulu berada di oposisi, ia bicara soal bahaya kekuasaan absolut. Kini saat ia berada di lingkar dalam pemerintahan, ia bicara soal kemuliaan hukum sebagai pagar peradaban.

 

Apakah Yusril berubah-ubah? Tidak juga. Ia hanya berpindah peran dan menafsir hukum sesuai konteks peran itu. Dalam bahasa Pegon: "Yusril iku ora owah, mung ganti sandhangan."

 

Yusril Ihza Mahendra, dengan segala kecerdasan dan kelenturannya, tetap menjadi tokoh hukum yang “terjemahan”-nya penuh makna. Hari ini ia menjelaskan konstitusi demi kekuasaan, besok bisa mengkritiknya demi demokrasi.

 

Namun satu hal tak berubah: ia selalu tampil di tengah panggung hukum, dengan suara bulat dan argumen padat. Kalau dia sudah bicara, hukum jadi seperti teks khutbah Jumat: singkat, padat, dan (sering kali) tidak terbantahkan.

 

Walhasil, abolisi dan amnesti itu hak presiden. Tapi rakyat juga merasa punya hak: hak untuk curiga, bertanya, dan... hak untuk tertawa. Karena dalam republik ini, humor adalah pertahanan terakhir akal sehat. Dan ketika Yusril angkat bicara, kita tahu: tafsir pun menjadi bersinar. ***


Ilustrasi permukiman di bantaran kali/Net 

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-ir-sugiyono-msi-5'>DR. IR. SUGIYONO, MSI</a>


OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI


JUMLAH penduduk Indonesia berdasarkan proyeksi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 282,45 juta jiwa pada tahun 2025. Data hasil proyeksi tersebut merupakan hasil dari SUPAS tahun 2015.

 

Garis kemiskinan yang dihitung sebesar Rp609.160 per kapita per bulan Maret tahun 2025 setara pengukuran 1,24 Dolar AS per hari dan Rp595.242 per kapita per bulan Maret tahun 2024 setara dengan 1,21 Dolar AS per hari.

 

Lebih lanjut, pada pendekatan perhitungan garis kemiskinan per rumah tangga miskin diperoleh angka Rp2,88 juta per bulan Maret tahun 2025 dan sebesar Rp2,80 juta per bulan September tahun 2024.

 

Sumber data utama garis kemiskinan tersebut berasal dari pendataan Susenas bulan Maret 2025, yang dilakukan pada Februari 2025. Perhitungan kemiskinan dilakukan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, yaitu dari sisi ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

 

Kebutuhan dasar makanan dilakukan survei terhadap 52 jenis komoditas, seperti dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain. Kebutuhan dasar bukan makanan dilakukan pengukuran terhadap perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

 

Berdasarkan pengukuran garis kemiskinan tersebut di atas, yang diukur secara dinamis, diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 24,05 juta jiwa (8,57 persen) per bulan September tahun 2024 dan sebesar 23,85 juta jiwa (8,47 persen) per Maret 2025.

 

Meskipun pengukuran jumlah penduduk miskin tidak dilakukan pada bulan yang sama, namun diperoleh tafsir bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan pada tahun yang berbeda. Hasil pengukuran kemiskinan ini terkesan menggembirakan pemerintah, karena pemerintah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin, baik secara absolut dan relatif.

 

Persoalannya kemudian adalah terdapat informasi yang berbeda, yang menjelaskan tentang jumlah penduduk miskin. Data Bank Dunia dengan menggunakan garis kemiskinan sebesar 3 Dolar AS per hari (Rp49.182 rupiah per hari) pada kurs sebesar Rp16.394 per Dolar AS, maka terukur sebanyak 5,4 persen (15,25 juta jiwa) yang merupakan rata-rata proyeksi penduduk miskin di Indonesia selama periode tahun 1992-2024.

 

Berdasarkan data Bank Dunia tersebut, terbantahkan informasi yang mempunyai persepsi bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih besar dibandingkan hasil survei BPS. Yang terjadi adalah justru jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih kecil dibandingkan proyeksi Bank Dunia.

 

Perbedaan proyeksi pertama bukan hanya disebabkan oleh persentase penduduk miskin. Bank Dunia menggunakan angka sebesar 5,4 persen selama periode tahun 1992-2024, sedangkan BPS menggunakan angka pengukuran sebesar 8,57 persen pada tahun 2024.

 

Kedua, sekalipun Bank Dunia menggunakan pengukuran garis kemiskinan sebesar 3 Dolar AS per hari, yang jauh lebih tinggi dibandingkan data BPS yang sebesar 1,24 Dolar AS per hari tahun 2025.

 

Pengukuran garis kemiskinan dengan menggunakan nilai mata uang, tetapi mempunyai konsekuensi perhitungan jumlah penduduk miskin di Indonesia ternyata kalah banyak dibandingkan pengukuran menggunakan angka relatif dalam persentase.

 

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 24,05 juta jiwa berdasarkan perhitungan BPS pada tahun 2024, sedangkan sebanyak 15,25 juta jiwa (5,4 persen dari jumlah penduduk) berdasarkan perhitungan Bank Dunia pada tahun yang sama, yaitu tahun 2024.

 

Sementara itu, tafsir yang terjadi pada media sosial justru menyampaikan informasi yang sebaliknya, yakni dengan menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin berdasarkan proyeksi oleh Bank Dunia jauh lebih banyak dibandingkan perhitungan hasil survei BPS.

 

Dengan tafsir yang berbeda seperti ini, maka terbentuk Kesan bahwa pemerintah kurang berhasil mengentaskan masalah kemiskinan di Indonesia. Tafsir yang sungguh berbeda dibandingkan informasi di atas.

 

Bukan hanya persoalan perhitungan dan tafsir yang berbeda, serta mempunyai implikasi yang jauh berbeda, namun tantangan yang sesungguhnya tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sebanyak 23,85 juta jiwa pada bulan Maret tahun 2025.

 

Persoalan kemiskinan tersebut perlu segera dientaskan. Bukan hanya kemiskinan biasa, melainkan terutama kemiskinan ekstrem.

 

Juga terutama terhadap apa yang menjadi penyebab dari sesungguh terjadinya keberadaan kemiskinan. Berdasarkan pengukuran garis kemiskinan di atas, sungguh tidak mudah untuk mengatakan bahwa penduduk menjadi miskin, dikarenakan mengonsumsi nasi, rokok, kopi, dan ataukah kecanduan judi online. **

 

Peneliti Institute of Development for Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana

 


Kwik Kian Gie/Net 


OLEH: EEP SAEPULLOH FATAH


LAMA sekali komunikasi saya terputus dengan Pak Kwik Kian Gie. Tiba-tiba saja, pada 1 November 2023, melalui pesan WA, Pak Kwik meneruskan video berisi percakapan saya dengan Abraham Samad dalam program YouTube Speak Up.

 

Menyertai video itu Pak Kwik mengirim emoji jempol berlatar merah putih, dengan lambang Garuda dan tulisan NKRI di dalamnya. 

 

Kamipun bertukar sapa singkat. “Baik, karena usia tidak begitu mobile lagi,” tulis Pak Kwik, menjawab pertanyaan saya soal kabarnya.

 

Selepas itu, kami jadi lanjut berkomunikasi. Tidak terlalu intens. Hanya sesekali.

 

Pada 13 Desember 2023 misalnya, Pak Kwik mempertanyakan posisi saya dalam Pilpres 2024. Terlihat benar bahwa ia khawatir saya salah posisi dengan mendukung Prabowo Subianto. Pak Kwik menunjukkan kelegaannya setelah saya pastikan saya tidak dalam posisi itu.

 

Sejak awal November 2023 itu Pak Kwik lumayan rajin mengirimi saya video yang ia teruskan dari beberapa kanal YouTube.

 

Tema-tema yang dipilihnya adalah: gugatan terhadap kualitas Pemilu, perlawanan terhadap Jokowi dan dinasti yang dibangunnya, kekhawatirannya soal re-militerisasi, dan kegalauannya akan masa depan demokrasi Indonesia.

 

Kesan yang saya tangkap dari obrolan-obrolan sangat terbatas lewat WA itu: Kwik Kian Gie adalah seorang nasionalis yang tak lelah berjuang untuk bangsa yang dicintainya hingga usia lanjut sudah membatasi mobilitasnya.

 

Juli 2006, saya dan (Almarhum) Arifin Panigoro berikhtiar membangun Sekolah Demokrasi Indonesia. Niatnya, kami ingin menyelenggarakan pendidikan politik yang luas untuk menyiapkan setiap orang menjadi Warga Negara.

 

Yang melatari niat itu adalah kekhawatiran kami bahwa demokrasi Indonesia terus berjalan maju tapi sambil terancam oleh satu bahaya serius: Defisit para demokrat. Demokrasi pun kelak akan keropos tanpa ketersediaan para demokrat.

 

Pak Kwik adalah satu penyokong serius niat itu. Dalam sejumlah perbincangan pribadi, Pak Kwik menegaskan sikapnya soal pendidikan politik atau pendidikan kewarganegaraan.

 

“Celakalah kita jika tak ada yang peduli pada urusan mendidik rakyat untuk siap berdemokrasi,” begitu kurang lebih katanya.

 

Seperti halnya Mohammad Hatta, Pak Kwik bukan hanya peduli dan mumpuni dalam hal ihwal ekonomi, tetapi sangat yakin akan pentingnya sokongan rakyat terdidik bagi kemajuan bangsa.

 

Mungkin dipengaruhi oleh tokoh semacam Hatta pula, ia cenderung “berorientasi ke dalam” dalam arah kebijakan ekonomi yang diperjuangkannya ?" baik saat menduduki jabatan publik maupun ketika berada di luar jabatan publik.

 

Tapi tak cukup di situ, Pak Kwik mencemaskan demokrasi Indonesia bernasib sama dengan banyak demokrasi di Amerika Latin pada dekade 1960-an dan 1970-an.

 

Sebab musabab kemunduran demokrasi di Amerika Latin beragam. Namun ada satu hal yang menjadi sebab pokok yang umum: Gagalnya demokrasi mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang kemudian menurunkan daya terima warga terhadap demokrasi. Pak Kwik mengkhawatirkan skenario serupa ini bisa menimpa demokrasi Indonesia.

 

Pak Kwik juga mengaku galau pada tak terkelola dengan layak dan efektifnya pemberantasan korupsi. Di luar banyak faktor lain, menurut Pak Kwik, korupsi dalam berbagai bentuknya termasuk kebocoran anggaran negara adalah kontributor besar bagi kegagalan ekonomi dan pengeroposan demokrasi Indonesia.

 

Berbasis disiplin ilmu ekonomi yang dikuasainya, Pak Kwik menghubungkan kegagalan-kegagalan kebijakan ekonomi dengan turunnya daya terima warga terhadap demokrasi serta percepatan degradasi demokrasi yang disebabkan oleh maraknya korupsi.

 

Berbasis perbincangan-perbincangan pribadi kala itu, seperti itulah konstruksi pikiran Pak Kwik yang saya tangkap. Tentu saja, ini tak mewakili seluruh spektrum isu yang dijangkau Pak Kwik dalam penjelajahan intelektualnya yang luas dan panjang.

 

Yang jelas, berbasis pikiran itulah Pak Kwik menyatakan dukungannya pada ikhtiar-ikhtiar pendidikan politik dan kewarganegaraan. Menurutnya, demokrasi Indonesia hanya akan matang manakala disokong oleh ketersediaan warga, publik atau rakyat yang memahami dan mendukung demokrasi.

 

Pak Kwik di atas segalanya adalah pendidik. Maka beruntunglah kita karena tiga tahun lalu sekitar 870 tulisannya berhasil dihimpun ke dalam trilogi “Kwik Kian Gie: Bunga Rampai Pemikiran” (Gramedia Pustaka Utama, 2022).

 

Berisi sekitar 2.500 halaman trilogi yang penting ini adalah artefak penting yang menegaskan sejumlah karakter Kwik Kian Gie.

 

Pertama, ia adalah manusia langka karena penjelajahannya yang relatif lengkap. Pak Kwik adalah pengusaha yang sempat aktif menjadi politisi dengan menjadi Wakil Rakyat.

 

Ia juga sempat menjadi pejabat publik dan bergumul di tengah birokrasi. Tapi Pak Kwik tak pernah menanggalkan identitasnya sebagai “pendidik publik”, terutama melalui tulisan-tulisannya. Sungguh tak banyak orang yang melakukan penjelajahan selengkap Pak Kwik.

 

Kedua, ia sungguh serius menjaga sikapnya. Kita tak menemukan jalan zig zag dalam pikiran Pak Kwik selagi menjalani peran sebagai penulis-pengusaha, wakil rakyat dan pejabat tinggi negara. Padahal di Indonesia ada semacam anggapan umum bahwa sikap jernih seseorang bakal berakhir ketika memegang kekuasaan.

 

Tapi pada Pak Kwik, kekuasaan ternyata tak membuntukan pikiran atau membelokkan sikapnya. Dalam konteks inilah orang akan mengenang perdebatan serius antara Kwik Kian Gie versus Sri Mulyani soal arah dan model pengelolaan kebijakan ekonomi Indonesia.

 

Ketiga, analisisnya tajam, masuk ke detail persoalan tanpa kehilangan desain besar. Tulisan-tulisan dalam trilogi “Bunga Rampai Pemikiran” ini membuktikan dengan telak kualitas itu.

 

Biasanya kita bersua dengan pola umum “mumpuni soal detail tapi miskin desain besar” atau “lancar bicara desain besar tapi luput pada soal-soal detail yang elementer”.

 

Almarhum WS Rendra pernah mengingatkan, “Jangan pernah silau oleh pikiran-pikiran besar sambil lupa pada remeh-temeh”. Pak Kwik termasuk sedikit orang yang memamah biak pikiran-pikiran besar sambil secara sungguh-sungguh mendalami soal-soal rincian.

 

Di atas segalanya, saya menemukan sosok Pak Kwik sebagai pendidik. Lewat trilogi “Bunga Rampai Pemikiran” Pak Kwik membuka mata kita pada soal-soal mendasar, bukan cuma pada isu-isu permukaan yang artifisial.

 

Sudah selayaknya namanya kemudian dipakai untuk menggantikan nama Institut Bisnis Indonesia (IBI) menjadi Kwik Kian Gie School of Business atau Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie.

 

Selasa, 29 Juli 2025 pagi ini, saya  membuka Instagram (IG). Lewat akun Sandiaga Uno, bersualah saya dengan berita duka itu. Pak Kwik berpulang.

 

“Indonesia berduka,” tulis Sandi antara lain. Ya, Indonesia berduka, kehilangan seorang Pejuang Nasionalis yang terus memperjuangkan sikapnya hingga akhir. (*)


Ilustrasi/Ist 

 

PERANG adalah perdamaian, merupakan sebuah paradoks yang terkenal dari novel 1984 karya George Orwell. Slogan ini menggambarkan bagaimana rezim totaliter seperti Oceania menggunakan perang sebagai alat untuk mengendalikan rakyatnya.

 

Dengan terus-menerus berada dalam keadaan perang, pemerintah dapat membenarkan penindasan, pembatasan kebebasan, dan manipulasi informasi, yang pada akhirnya menciptakan bentuk "perdamaian" yang dipaksakan.

 

Dunia dan Perang Dagang

 

Tanggal 02 April 2025,  disebut sebagai Hari Pembebasan bagi Amerika, bagi dunia global adalah Perang Dagang. Dunia telah menipu Amerika Serikat selama 40 tahun terakhir dan lebih," kata Trump. "Yang kami lakukan hanyalah bersikap adil". Amerika Serikat melihat Tiongkok sebagai pesaing utama dalam bidang ekonomi. 

 

Impor barang AS dari Tiongkok pada tahun 2024 mencapai total 438,9 miliar Dolar AS, naik 2,8 persen (12,1 miliar Dolar AS) dibandingkan tahun 2023. Defisit perdagangan barang AS dengan Tiongkok mencapai 295,4 miliar Dolar AS pada tahun 2024, meningkat 5,8 persen (16,3 miliar Dolar AS) dibandingkan tahun 2023.

 

Selama lebih dari 70 tahun, Tiongkok membangun kemajuan melalui kemandirian dan kerja keras, bukan karena belas kasihan negara lain. "Kami tidak takut terhadap tekanan yang tidak adil," ujar Xi seperti dikutip dari Global Times.

 

Presiden Tiongkok Xi Jinping telah memperingatkan bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok tidak akan menghasilkan "pemenang". Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, yang dimulai pada tahun 2018, telah menjadi salah satu konflik ekonomi utama di dunia. Konflik ini ditandai dengan penerapan tarif timbal balik pada barang-barang impor kedua negara.

 

Meskipun sempat mereda dengan adanya kesepakatan "Phase One" pada 2020, ketegangan tetap berlanjut dan bahkan meningkat di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2025, perang dagang ini kembali memanas setelah adanya pergantian kepemimpinan di AS.

 

Perang dagang tentu saja bukan hal yang baru dalam dunia perekonomian negara. Dalam sejarahnya, Amerika Serikat bahkan sudah beberapa kali melakukan perang dagang dengan berbagai negara ataupun kawasan regional ekonomi seperti Uni Eropa. AS bukanlah satu-satunya negara yang pernah menyulut perang dagang dan mempengaruhi ekonomi global. Belanda, Inggris, termasuk Dinasti Qing, Tiongkok pernah mencatatkan perang dagang paling berpengaruh dalam sejarah.

 

Perang Inggris dan Belanda terdiri dari empat pertempuran yang terjadi pada kurun waktu abad 17 sampai 18. Meski berakhir menjadi pertempuran senjata, Perang Inggris-Belanda sebenarnya bermula dari persaingan dagang antar kedua negara.

 

Memasuki tahun 1600an, para pedagang Belanda mulai mendominasi jalur perdagangan dunia. Untuk merespon kekuatan dagang Belanda, Inggris mengeluarkan Navigation Act di tahun 1651 yang berisi sekumpulan aturan dagang bagi para koloninya. Dikutip dari Britannica, inti dari Navigation Act adalah pelarangan bagi wilayah koloni Inggris untuk mengekspor barang ke negara lain selain Inggris. Selain itu, kapal dagang yang bukan berasal dari Inggris dilarang untuk melakukan perdagangan dengan Inggris maupun koloninya.

 

Situasi tersebut membuat para pedagang Belanda tidak bisa berdagang di kawasan yang dikuasai Inggris. Dimulai dari tahun 1652, empat kali perang senjata di perairan pun tak terhindarkan. Walaupun Belanda memenangkan perang pertama, Inggris tetap menguasai keseluruhan perang karena kemajuannya di bidang militer angkatan laut. Kekalahan Belanda di perang keempat pada 1784 menjadi salah satu penyebab dari kebangkrutan.

 

Perang Opium merupakan perang dagang yang berlangsung dalam dua babak yaitu Perang Opium I (1839-1842) dan Perang Opium II (1856-1860). Kedua perang tersebut melibatkan Inggris dan Dinasti Qing, Tiongkok. Memasuki abad 18, para pedagang Inggris mulai memasuki wilayah Asia untuk memperluas jalur perdagangan. Dari sisi komoditas perdagangan, Tiongkok lebih unggul dibandingkan Inggris karena mereka merupakan penghasil porselen, kain sutera dan teh. Ketiga barang tersebut memiliki nilai jual tinggi di kalangan masyarakat Eropa.

 

Sementara itu, Tiongkok tidak terlalu banyak mengimpor barang hasil manufaktur dari Inggris. Akan tetapi, Tiingkok tetap membuka pintu kerjasama dagang dengan syarat Inggris membayar barang dagangannya dengan logam perak. Inggris tidak memiliki cadangan perak alami sehingga mereka harus membelinya dari negara lain. Dikutip dari Thoughtco, neraca perdagangan Inggris mengalami defisit karena hanya mampu menjual 9 juta Poundsterling dibandingkan dengan Tiingkok yang meraup 27 juta Poundsterling.

 

Di tengah situasi yang tak menguntungkan, Inggris menemukan cara baru yaitu dengan menawarkan opium sebagai alat pembayaran alternatif. Opium tersebut berasal dari Bengal yang saat itu sudah dikuasai oleh Inggris. Perlahan, kasus kecanduan opium mulai menjadi masalah di kalangan pemuda Tiongkok,  Kaisar Daoguang mulai mengambil langkah untuk menghentikan penyelundupan opium dan melarang pedagang asing manapun yang tidak bersedia mengikuti peraturan pemerintah Tiongkok.

 

Peperangan pun akhirnya terjadi pada 1839 hingga 1842 dan berbuah kemenangan telak bagi Inggris. Perjanjian Nanking di tahun 1842 menjadi akhir dari Perang Opium I dan membuat kerugian besar bagi Dinasti Qing. Selain membayar kerugian perang, Dinasti Qing juga harus menggadaikan wilayah Hong Kong kepada Inggris.

 

Pada 17 Juni 1930, Herbert Hoover selaku Presiden Amerika Serikat, menandatangani undang-undang United States Tariff Act of 1930 atau yang lebih dikenal sebagai Smoot-Hawley Tariff Act. Penamaan Smoot-Hawley berasal dari dua nama senator yang mengusulkan undang-undang tersebut yaitu Reed Smoot dan Willis Hawley.

 

Pasca kemenangan Amerika Serikat di Perang Dunia II, industri peternakan ayam mulai mengalami peningkatan jumlah produksi. Karena tingginya angka produksi ayam, pada tahun 1960 Amerika Serikat lalu mengekspor pasokan ayam ke Eropa. Kondisi Eropa saat itu masih dalam tahap recovery pasca Perang Dunia II dan banyak peternak lokal yang merasa khawatir dengan banyaknya jumlah ayam impor dari Amerika Serikat. Merespon hal tersebut, beberapa negara Eropa seperti Prancis dan Jerman pun menerapkan tarif dan pengaturan harga untuk produk unggas impor asal Amerika Serikat.

 

Memasuki tahun 1962, Amerika Serikat memprotes kebijakan Eropa terkait pengaturan tarif dan harga yang membuat angka penjualan ayam turun hingga 25 persen. Beberapa kali perwakilan Amerika Serikat dan Eropa mengadakan pertemuan tetapi tak pernah mencapai kesepakatan terkait perdagangan ayam.

 

Merasa buntu dengan kesepakatan yang tak pernah tercapai, Amerika Serikat lantas mengesahkan peraturan dagang baru pada 7 Januari 1964. Barang-barang seperti brandy, light trucks, dextrin dan tepung kentang, dikenakan tarif impor sebesar 25 persen.

 

Keputusan untuk menaikkan tarif impor untuk produk light trucks dipicu oleh tingginya impor mobil Volkswagen asal Jerman di tahun 1960an. Hal ini lantas menuai protes dari para pemilik industri otomotif di Amerika Serikat. Saat ini hanya tersisa kebijakan tarif impor 25 persen untuk produk light truck. Atas alasan inilah light truck produksi Amerika Serikat sangat mendominasi pasar lokal selama lebih dari empat dekade, dikutip dari Thoughtco.

 

Selain kenaikan tarif, penerapan kuota impor juga biasa dilakukan dalam rangka membatasi masuknya barang impor dari negara lain. Sejarah membuktikan besarnya dampak dari perang dagang terhadap perekonomian suatu negara maupun secara global.

 

Kisah Pengawas Pajak dan Perang Tarif

 

Samuel Wilson (13 September 1766 ?" 31 Juli 1854) adalah seorang pengepak daging dari Troy, New York. Namanya konon merupakan sumber personifikasi Amerika Serikat yang dikenal sebagai "Paman Sam". Uncle Sam atau Paman Sam dikenal sebagai simbol patriotisme Amerika Serikat dan menjadi julukan.

 

Paman Sam, dalam bahasa gaul adalah personifikasi pemerintah federal Amerika Serikat, yang berasal dari abad ke-19. Ia biasanya digambarkan sebagai seorang pria tua yang mengenakan topi tinggi berhias bintang dan dasi kupu-kupu merah. Paman Sam sering digunakan sehari-hari untuk IRS (Badan Pengawas Pajak) yang memungut pajak penghasilan dari warga negara dan perusahaan Amerika.

 

Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte memanggil Presiden Donald Trump ‘Daddy’ atau ‘Ayah’ pada Rabu 25 Juni 2025. Rutter menanggapi penggunaan kata-kata umpatan oleh presiden baru-baru ini ketika ia menuduh Iran dan Israel melanggar perjanjian gencatan senjata.

 

Selama pertemuan bilateral antara Trump dan Rutte selama KTT NATO di Den Haag, Belanda, Trump menyamakan negara Israel dan Iran dengan "dua anak di halaman sekolah" yang terlibat "pertengkaran hebat." Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini mengajukan nominasi Donald Trump untuk Hadiah Nobel Perdamaian. Netanyahu menyatakan bahwa Trump berperan penting dalam menciptakan perdamaian di berbagai kawasan, termasuk upaya penyelesaian ketegangan nuklir Korea Utara dan perundingan damai antara Kosovo dan Serbia.

 

Nominasi ini bukan kali pertama Trump diajukan untuk penghargaan bergengsi tersebut. Sejumlah anggota parlemen dari negara-negara seperti Norwegia, Swedia, dan Estonia sebelumnya juga telah mengajukan nama Trump karena kontribusinya dalam mempromosikan perdamaian.

 

Beberapa alasan yang mendasari nominasi Trump adalah: (1) Perjanjian Abraham: Upaya Trump dalam menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab. (2) Penyelesaian Ketegangan Nuklir Korea Utara: Perundingan yang dilakukan Trump untuk mengurangi ketegangan nuklir di Korea Utara. Dan (3) Perundingan Damai Kosovo dan Serbia: Peran Trump dalam memfasilitasi perundingan damai antara Kosovo dan Serbia.

 

Trump sendiri telah beberapa kali mengungkapkan kekecewaannya karena belum menerima Nobel Perdamaian, meskipun ia telah berperan dalam beberapa konflik, seperti konflik India-Pakistan dan Serbia-Kosovo.

 

Baru-baru ini, Trump juga menawarkan keahlian negosiasinya untuk mengakhiri perang di Ukraina dan Gaza. Presiden AS Donald Trump memberikan ancaman serius kepada Rusia bila tak segera menyetop perang di Ukraina. Ancaman tersebut berupa tarif 100 persen.

 

Ancaman itu, seperti dilansir kantor berita Anadolu Agency, Selasa, 15 Juli 2025, dilontarkan Trump saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte di Ruang Oval Gedung Putih pada Senin, 14 Juli 2025 waktu setempat. Saat berbicara kepada wartawan dengan didampingi Rutte, Trump mengatakan dirinya "sangat, sangat tidak puas" dengan Rusia dan merasa kecewa dengan Presiden Vladimir Putin.

 

Amerika Terguncang

 

Hans Morgenthau, Amerika punya "tujuan transeden" membangun perdamaian dan kebebasan dinegeri sendiri juga tentu disetiap tempat karena  "gelanggang tempat Amerika harus mempertahankan dan menpromosikan tujuan itu meliputi seluruh dunia." Namun bahwa tujuan sejarah sama sekali tidak konsisten dengaan "tujuan transeden".

 

Amerika Serikat "hanyalah salah satu negara besar di antara negara lainnya yang tidak sempurna." Mari menyimak, Foreign Affair, terbitan Nov / Des 2011 "IS AMERICA OVER?." Peringatan lebih dari satu dasawarsa, membuat kekuasaan kini bergeser ke Timur. Tidak lagi ke Barat. Cahaya Asia bersinar melihat kemajuan besar ekonomi Tiongkok dan India. Amerika kini tergoncang. Memang langit tidak akan runtuh. Diatas langit ada langit. ***

 

*Penulis adalah eksponen Gema 77/78

 

 

 

 

Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara, Ferry Irwandi ungkap kejanggalannya. (Sumber: Instagram)

Pakar Telematika Roy Suryo bersama Tim Pembela Ulama dan Aktivis seusai mengikuti gelar perkara khusus dugaan ijazah palsu Joko Widodo di Bareskrim Mabes Polri. (Foto: Sindo/Arif Julianto) 

 

OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI

 

RABU, 9 Juli 2025, Gelar Perkara Khusus terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo resmi digelar. Tapi alih-alih menghadirkan transparansi, negara justru memperagakan kebungkaman terstruktur. Tanpa dokumen asli, tanpa pengujian terbuka, tanpa pihak independen -publik hanya disuguhi kesimpulan sementara internal yang menggantung di udara. Ini bukan proses hukum. Ini penyesatan yang dilembagakan.

 

Dalam perkara pidana, hukum tidak memberikan ruang untuk pembuktian yang kabur. In criminalibus probationes debent esse luce clariores -dalam pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya. Namun dalam perkara ini, bukti malah diselubungi oleh prosedur dan diam administratif. Negara meminta rakyat percaya, tanpa membuka apa yang seharusnya bisa diuji: dokumen asli ijazah.

 

Bila yang dipakai sebagai dasar hanya fotokopi, pernyataan lembaga, atau dokumen digital, maka dalil tegas berlaku: Probatio ficta, probatio nulla est -pembuktian fiktif adalah pembuktian yang batal demi hukum.

 

Jika negara gagal menunjukkan bukti otentik, maka seluruh klaim tentang keaslian ijazah kehilangan nilai legitimasi. Ini bukan hanya cacat administratif.

 

Ini adalah luka dalam pada sistem kenegaraan yang seharusnya bertumpu pada transparansi dan kepercayaan publik.

 

Gelar perkara tanpa bukti adalah ironi. Ia disebut “khusus”, tapi yang ditampilkan justru penghindaran terhadap pertanyaan paling mendasar: Mana bukti aslinya? Siapa yang memverifikasinya? Mengapa tidak diuji terbuka?

 

Ketika sistem penyidikan tidak mampu lagi menjawab pertanyaan dasar, maka konstitusi memberi ruang bagi mekanisme yang lebih tinggi: Hak Subpoena DPR RI. DPR, sebagai lembaga representatif, memiliki kewenangan memanggil pihak-pihak terkait secara paksa dan menuntut dokumen otentik, termasuk menguji ijazah asli yang menjadi sumber polemik. Jika negara eksekutif menutup ruang terang, maka legislatif wajib membuka paksa jendela hukum.

 

Apakah kita akan terus membiarkan republik ini berdiri di atas dokumen yang tidak bisa dibuktikan? Apakah kekuasaan publik masih bisa dianggap sah jika prasyarat pencalonan presiden pun tidak dapat diverifikasi secara ilmiah?

 

Kebenaran bukan milik negara. Ia milik publik. Dan jika negara menolak membuktikannya, rakyat berhak memaksanya. **

                                                                                                                            

*Advokat, aktivis Prodem.

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.