Articles by "Opini"

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Demo buruh 28 Agustus di jakarta. (pram/fajar) 

 

Oleh: Heru Subagia

(Pengamat Politik dan Ekonomi)

 

Patologi politik Indonesia sudah akut dan seram banget. Diagnosis penyakitnya sangat jelas dan fundamental, kerusakan bangsa dan negara ini sudah kronis di segala bidang dan jajarannya hingga memicu terjadinya krisis kepercayaan menyeluruh baik vertikal atau horisontal.

 

Puncak tercabik-cabiknya krisis kepercayaan berawal dari kelalaian pemerintah melaksanakan janji politik dan juga amanat konstitusi. Mereka lalai dengan jabatan dan wewenangnya hingga dengan sengaja melukai, hidup hedonis, tidak ada rasa empati dan bahkan sudah merugikan kepentingan masyarakat.

 

Tidak hanya pemerintah jadi sasaran ketidakpercayaan masyarakat, Secara umum semua anggota DPR saat ini dianggap sebagai musuh bersama, bukan lagi mitra atau bahkan disebutkan sebagai pelayanan atau wakil rakyat. Mereka justru yang mencederai tugas dan fungsinya dan bahkan ketiadaan empati, simpati hingga melukai hati hingga menghancurkan harapan hidup masyarakat.

 

Paradoks Demokrasi Hingga Demo Melanda

 

DPR menjadi institusi negara paling dihormati, tetapi justru sebaliknya menjadi institusi yang fenomenal. Awalnya dari dipilih tidak langsung memilih gambar partai hingga mencoblos foto caleg dan keterpihannya langsung sebagai mandat suara rakyat.

 

Namun pada akhirnya hanya menjadi simbol yang dimanfaatkan maksimal oleh DPR mencari keberuntungan. Ini adalah Paradoks dalam demokrasi Indonesia. Bangunan demokrasi berbayar mahal dan lumpuh total secara fungsi dan esensinya. Fondasi demokrasi yang dibangun paska Reformasi akhirnya harus tenggelam dan dibangunkan kembali oleh suara rakyat.

 

Demo bergerak, bergejolak awal sebuah kemarahan yang dibarengi ketidakpercayaan pada wakil mereka. DPR dianggapnya sudah berkhianat, bukan hanya itu justru melawan rakyatnya sendiri yang telah memberikan mandat kekuasaannya.

 

Pergeseran harapan masyarakat atas kerja-kerja DPR terus berlangsung dan akumulasi frustasi kian menjadi. Ledakan dekonstruksi kepercayaan kian lebat dan merata

 

Titik persoalan sudah jelas dan sudah bulat satu suara dalam demo besar di berbagai daerah. Gerakan demi kian masih digelar tanggal 25-31 Desember 2025 adalah bukti autentik marahnya rakyat secara kolosal.

 

Demo besar tersebut semakin kencang ketika Massa juga menuntut pembubaran DPR diperparah dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI periode 2019-2024, Ahmad Sahroni, yang menyebut bahwa pendemo sebagai 'orang paling bodoh di dunia'.

 

Aktor Pembuat Tuntutan Rakyat

 

Perlu dicermati dan dianalisis kemunculan tuntutan 17+8. Diketahui jika Ungguhan bertuliskan '17+8 Tuntutan Rakyat' ramai diserukan warganet melalui media sosial (medsos).

 

Para peserta demo dan para aktor-aktor pembuatan tuntutan rakyat berbeda. Muncul para aktor utama pembuat tuntutan adalah para penggiat media, diaspora bukan aktivis gerakan mahasiswa atau tokoh masyarakat.

 

Konon, Tuntutan itu muncul dan berseliweran setelah diskusi online yang dilakukan beberapa pemengaruh seperti Jerome Polin, Cheryl Marcella, Salsa Erwina Hutagalung, Andovi Dalopez, Abigail Limuria, Fathia Izzati Malaka, dan Andhyta F Utami. 

 

Mereka mengklaim telah merangkum tuntutan dari berbagai organisasi masyarakat dan suara rakyat yang kemudian menghasilkan "17+8 Tuntutan Rakyat".

 

Bagi Mereka, Tuntutan tersebut diadopsi dari berbagai organisasi seperti YLBHI yang menghimpun aspirasi dari 211 organisasi masyarakat sipil, siaran pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pernyataan sikap Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI, dan Center for Environmental Law & Climate Justice Universitas Indonesia.

 

Kemudian mereka juga memasukkan tuntutan demo buruh pada 28 Agustus 2025 dan 12 tuntutan rakyat menuju reformasi Transparansi & Keadilan oleh Reformasi Indonesia .

 

Tuntutan Rakyat 17+8

 

Mencermati Tuntutan 17+8 yang banyak diklaim sebagai rangkuman berbagai aksi dan isi tuntutan masyarakat diambil dari big data media sosial. Sepertinya adanya rekayasa terstruktur yang didanai dan diarahkan untuk maksimalkan kegagahan isu utama bubarkan DPR.

 

Awalnya terdapat 17 Tuntutan Rakyat Dalam 1 Minggu'-'8 Tuntutan Rakyat dalam 1 Tahun. Adapun 17 tuntutan pertama merupakan tuntutan jangka pendek yang harus diselesaikan dalam 1 minggu. Tuntutan ini ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR, Ketum parpol, kepolisian, TNI, dan kementerian sektor ekonomi dengan batas waktu penyelesaian hingga 5 September 2025.

 

Penulis fokus menyoal isu bubarkan DPR hingga tersisa tuntutan yang sifatnya administratif. Mereka hanya menyoal Tugas Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan tindakan bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).

 

Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR). Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).

 

Kemudian Mereka Menyoal Tugas Ketua Umum Partai Politik dengan merekomendasikan pemecatan atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik. Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis. Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat.

 

Awas Penumpang Gelap

 

Secara pribadi Saya tidak mengenal mereka, namanya unik dan kekinian. Tidak kenal baik secara personal atau kelembagaan.

 

Mereka berhasil mendompleng dan bahkan mendominasi ruang media sosial hingga viral dan isi serta isu menumpang aksi demo hingga menjadi manusia-manusia terkenal dadakan. Mungkin saya yang salah persepsi karena kurang gaul atau koneksi.

 

Tapi, rasa penasaran dan kecurigaan justru kian membara, fenomena unik yang melibatkan banyak aktor-aktor diaspora Indonesia, memberikan kisah dan kiprahnya hingga tersohor seantero Indonesia.

 

Siapakah Mereka? Apakah mereka dalam para pejuang demokrasi organik atau hanya influencer online yang tiba -tiba mengambil manfaat sesaat dari panggung demonstrasi yang betul-betul murni gerakan Masyarakat sipil. Keraguan hingga dugaan keterlibatan mereka sebagai agen spionase atau bahkan aktor lapangan memungkinkan terjadi pula. Hanya dugaan semoga salah.

 

Tuntutan yang Tertukar

 

Penulis fokus menyoal isu bubarkan DPR hingga tersisa tuntutan yang sifatnya administratif. Mereka hanya menyoal Tugas Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakuan tindakan bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).

 

Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR). Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).

 

Kemudian Mereka Menyoal Tugas Ketua Umum Partai Politik dengan merekomendasikan pemecatan atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik. Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis. Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat.

 

DPR Gagal Dibubarkan

 

Justru hal yang mendasar tuntutan masyarakat DPR dibubarkan diletakkan dalam rangkuman tuntutan 8 dan diberlakukan sebagai pasal tuntutan jangan panjang, bukan diletakkan skala prioritas utama yang harusnya menjadi sasaran utama dalam waktu sesingkat-singkatnya. Lebih khuauat, tuntutan DPR dibubarkan hilang dan hanya sifatnya upaya revitalisasi DPR dan Parpol beserta Sistem Pemilunya.

 

Akhirnya DPR gagal dibubarkan, tidak ada klausul pembubaran DPR lagi. Ketika Pimpinan DPR ( 5/09/2025) telah memberikan jawaban apa yang dituntut dalam beberapa pasal 17, sejatinya adalah keputusan receh dan tidak subtansi.

 

Kita bukannya disuguhi oleh keputusan fenomenal tetapi justru hanya hadir kesepakatan administrasi, urusan gaji dan fasilitas dpr yang dikurangi, kunjungan luar negeri ditiadakan dan penghentian sementara DPR yang jadi pelawak saat gelaran resmi MPR.

 

Tetapi, ketika demo mulai landai, adanya upaya Damai kedua pihak baik rakyat dan pemerintah justru terjadi kudeta bergeser subtansi tuntutan rakyat. Manipulasi dan rekayasa yang sangat cerdas dan penuh strategis.

 

Pembauran cipta kondisi yang rapi hingga rakyat tidak paham sesungguhnya apa yang sedang terjadi hingga pada akhir drama tuntutan demo bubarkan DPR dibayarkan oleh secuil keputusan Pimpinan DPR, itu pun masih bisa dan tidak jelas ketepatan dan realisasikan. Lagi-lagi terkesan manipulatif dan tensius melemparkan isi dan isu krusial.

 

Ini adalah mungkin kegagalan parah yang disengaja dan sistematis. Apakah teman -teman yang ngotot untuk pembubaran DPR harus puas dengan jalan Damai sementara yang ditawarkan oleh DPR?

 

Tuntutan bubarkan DPR yang kandas bisa jadi merupakan konspirasi dan elaborasi sebuah kecerdasan politik yang amat dahsyat dan sangat sesat.

 

Penulis curiga ada pihak yang sengaja menjadi aktor dibalik gagalnya tuntutan bubarkan DPR. Bukannya hanya menuduh , Penulis semakin yakin jika ada dalang, aktor perantara dan juga pihak sebagai pion. (*)

 


OLEH: SUGIYANTO*


KEKUATAN rakyat apabila lahir secara alamiah dan murni dari aspirasi kolektif, biasanya membawa dampak positif bagi bangsa. Namun, jika kekuatan ini dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok tertentu, maka bisa berubah menjadi ancaman yang merugikan banyak pihak, termasuk rakyat itu sendiri.

 

Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan yang arogan di hadapan gelombang rakyat. Aksi Tritura tahun 1966 -- yang menuntut pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan penurunan Harga -- menjadi momentum besar yang mengubah arah perjalanan bangsa.

 

Dari gerakan mahasiswa saat itu lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang membuka jalan bagi lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.

 

Namun, kekuasaan yang tampak kuat sekalipun tidak pernah sepi dari koreksi rakyat. Pada 1974, peristiwa Malari pecah sebagai simbol perlawanan terhadap kesenjangan sosial, praktik korupsi, serta ketidakadilan yang mulai mengakar di tubuh Orde Baru.

 

Reformasi 1998 kemudian menjadi puncak ledakan koreksi rakyat, melengserkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Sejarah itu membuktikan bahwa kekuasaan sebesar apa pun tidak kebal terhadap amarah rakyat.

 

Era Reformasi membawa perubahan signifikan, termasuk amandemen UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode alias 10 tahun, serta lahirnya sistem Pemilihan Presiden langsung.

 

Namun, reformasi juga tidak menutup jalan bagi rakyat untuk melakukan demonstrasi besar. Pasca Pemilu 2019, aksi massa kembali menunjukkan bahwa jalanan tetap menjadi arena koreksi ketika institusi formal kehilangan kepercayaan publik.

 

Kini, peristiwa serupa kembali terulang. Pada 25-29 Agustus 2025, bangsa ini diguncang demonstrasi nasional yang dipicu oleh isu tunjangan DPR sebesar Rp50 juta per bulan, ditambah berbagai fasilitas lainnya, sehingga total penghasilan anggota DPR menjadi sangat besar. Jumlah tersebut jelas jauh melampaui upah minimum yang diterima rakyat kecil.

 

Atas masalah tersebut, tuntutan publik berkembang mencakup transparansi gaji pejabat, percepatan pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset, serta pembatalan sejumlah rancangan undang-undang yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

 

Aksi ini meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kemarahan publik bukan semata persoalan materi, melainkan menyangkut rasa keadilan yang dianggap telah dikhianati.

 

Tragedi kemudian terjadi. Pada 28 Agustus 2025, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas akibat terlindas kendaraan lapis baja polisi.

 

Affan bukan pejabat, bukan elite politik, melainkan rakyat biasa -- simbol nyata “pemilik daulat”: hak untuk hidup, hak atas keadilan, dan hak untuk bersuara. Peristiwa ini seketika mengubah demonstrasi menjadi gelombang solidaritas nasional.

 

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E UUD 1945. Jaminan tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 yang memberikan dasar hukum bagi penyampaian pendapat di muka umum, termasuk demonstrasi damai. Lebih jauh, Indonesia juga terikat pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

 

Khusus untuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, peraturan ini merupakan Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Melalui instrumen ini, Indonesia secara resmi mengesahkan sekaligus mengakui isi kovenan tersebut sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

 

Dalam undang-undang tersebut, Pasal 1 ayat (1) menyatakan:

 

“Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1.”

 

Sementara itu, Pasal 1 ayat (2) menegaskan:

 

“Salinan naskah asli International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”

 

Beberapa ketentuan penting dalam ICCPR antara lain:

 

Pasal 6 ICCPR-Hak untuk Hidup

Article 6

1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.

 

(Pasal 6 (1). Setiap manusia memiliki hak asasi untuk hidup. Hak ini dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang).

 

Pasal 21 ICCPR-Hak Berkumpul Damai

Article 21

The right of peaceful assembly shall be recognized. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those imposed in conformity with the law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others.

 

(Pasal 21: Hak berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang boleh dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang diberlakukan sesuai hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau moralitas publik, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain).

 

Dengan demikian, kematian Affan tidak hanya dapat dipandang sebagai persoalan domestik, tetapi juga berpotensi dinilai sebagai pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang telah disepakati Indonesia

 

Kematian Affan menjadi percikan yang menyulut amarah kolektif. Gelombang protes meluas menjadi aksi besar-besaran: ratusan ribu rakyat turun ke jalan, ada gedung DPRD dibakar, rumah pejabat diserang, ratusan orang terluka, dan banyak yang ditangkap.

 

Pemerintah merespons dengan langkah ganda. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemangkasan tunjangan, menangguhkan perjalanan dinas luar negeri pejabat, serta menjanjikan investigasi transparan.

 

Namun di sisi lain, Prabowo juga menegaskan perlunya ketegasan aparat terhadap mereka yang dianggap perusuh atau provokator. Aparat keamanan dikerahkan secara masif demi menjaga ketertiban umum.

 

Meski demikian, penting dicatat bahwa setiap langkah pengamanan tidak boleh mengorbankan hak asasi rakyat.

 

Tindakan represif justru berisiko menuai kritik keras dari lembaga internasional seperti PBB maupun Human Rights Watch, serta berpotensi membuka tuduhan pelanggaran HAM berat.

 

Bila hal ini terjadi, maka kontradiksi antara janji reformasi dan praktik di lapangan akan semakin nyata di mata publik.

 

Fenomena ini sejatinya bukan anomali, melainkan bagian dari pola global. Arab Spring pada 2011 menggulingkan rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan Libya akibat korupsi, kesenjangan, dan arogansi kekuasaan.

 

Thailand pada 2020 menyaksikan protes mahasiswa melawan militerisme dan privilese monarki. Hong Kong pada 2019 menjadi saksi jutaan rakyat yang turun ke jalan melawan kebijakan otoritarian Beijing.

 

Semua contoh ini mengajarkan satu hal: ketika suara rakyat diabaikan dan jarak antara elite dan rakyat melebar, jalanan menjadi instrumen koreksi terakhir.

 

Bagi Indonesia, peringatan ini jelas. Demokrasi Pancasila menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika kemarahan rakyat Agustus 2025 diabaikan, Indonesia berisiko mengalami krisis legitimasi sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang gagal merespons aspirasi warganya.

 

Sejarah telah cukup memberi pelajaran: represi mungkin menunda, tetapi tidak pernah memadamkan tuntutan keadilan.

 

Dalam konteks ini, kebijaksanaan pemerintah menjadi kunci. Aspirasi rakyat harus didengar, bukan ditekan. Rakyat juga harus waspada agar tidak terprovokasi kepentingan asing yang ingin menunggangi protes, karena sejatinya tuntutan yang muncul adalah suara murni dari rakyat Indonesia.

 

Etika kepemimpinan menuntut kerendahan hati. Aristoteles menegaskan bahwa tujuan politik adalah kebaikan bersama (bonum commune). Negara hadir untuk memungkinkan warga negaranya hidup dalam kebaikan.

 

Dalam tradisi Nusantara, pepatah “manunggaling kawula lan gusti” dalam konteks kepemimpinan menekankan kesatuan antara pemimpin dengan Tuhannya, yang pada akhirnya terwujud dalam persatuan dengan rakyat guna melahirkan keadilan.

 

Dalam demokrasi modern, prinsip ini sejalan dengan konsep servant leadership, yakni pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa mereka. Prinsip rule of law dan good governance menegaskan bahwa kekuasaan hanya sah bila dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan.

 

Ketika pemilik daulat marah, itu bukan sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan alarm keras bagi pemimpin dan pejabat arogan untuk bercermin. Peristiwa Agustus 2025 bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga cermin batas kesabaran rakyat terhadap kesewenang-wenangan.

 

Bila pesan ini diabaikan, sejarah Indonesia dan dunia telah berulang kali membuktikan: kekuasaan yang arogan hanya tinggal menunggu giliran runtuh.

 

Dalam kerangka itulah, saya meyakini bahwa Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bersama para kepala daerah di seluruh Indonesia akan mendengar dan memperhatikan tuntutan rakyat dengan seksama.

 

Tujuan utamanya adalah agar Indonesia maju, rakyat hidup sejahtera, dan negeri ini terbebas dari dominasi segelintir elite yang hidup mewah di atas penderitaan mayoritas rakyat kecil. **


*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik


Demonstrasi di sekitar Gedung DPR, Jakarta pada Kamis petang, 28 Agustus 2025. (Foto: RMOL/Bonfilio Mahendra) 

Oleh: Bobby Ciputra


MENGAPA rakyat marah hanya karena Rp50 juta tunjangan rumah anggota DPR? Pertanyaan ini mungkin terdengar sederhana. Toh, jumlah itu bagi sebagian kalangan elit bukan sesuatu yang mengejutkan. Tapi bagi jutaan warga Jakarta yang harus berhitung ketat antara gaji bulanan dengan biaya kontrakan, listrik, dan harga beras, Rp50 juta adalah angka yang mencolok mata.

 

Bayangkan: tunjangan satu orang anggota DPR setara dengan sepuluh kali lipat upah minimum Jakarta 2025. Sementara, rakyat kecil justru diminta untuk “mengencangkan ikat pinggang” demi stabilitas ekonomi.

                                             

Di sinilah letak masalahnya. Rakyat tidak hanya melihat angka Rp50 juta itu sebagai sekadar tunjangan. Mereka melihatnya sebagai simbol ketidakadilan, simbol jarak yang semakin jauh antara perwakilannya dan tuannya.

 

Aksi Massa: Refleksi Ketidakpuasan Kolektif

 

Protes di depan Gedung DPR RI pada 25 dan 28 Agustus 2025 bukanlah insiden yang berdiri sendiri. Aksi ini adalah manifestasi dari akumulasi kekecewaan yang sudah lama terpendam. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana isu-isu kebijakan, sekecil apa pun, dapat menjadi pemicu kerusuhan sosial jika dirasakan tidak adil.

 

Media asing seperti Bloomberg melihatnya sebagai "ketidakpastian atas kesehatan ekonomi Indonesia." Mereka melihat angka-angka: inflasi yang moderat di level 3 persen. Bloomberg, dalam laporannya dengan judul "Thousands clash with police in Jakarta as protests intensify," menangkap esensi masalah ini dengan baik.

 

Meskipun inflasi nasional secara umum terbilang moderat, laporan itu menyoroti bahwa harga-harga spesifik seperti beras dan biaya pendidikan telah "memicu ketidakpuasan atas biaya hidup." Ini adalah analogi yang kuat: bayangkan sebuah bejana besar. Inflasi moderat adalah seperti air yang mengalir perlahan, tapi kenaikan harga beras dan pendidikan adalah batu-batu besar yang dilemparkan ke dalamnya. Meskipun volume air tidak bertambah drastis, bejana itu akan terasa semakin berat, dan pada titik tertentu, ia akan retak.

 

Demikian pula dengan isu PBB. Kenaikan pajak yang mencapai 250 persen di Pati, Bone, dan Cirebon adalah contoh nyata dari bagaimana kebijakan pemerintah yang seharusnya pro-rakyat justru menjadi beban. Reaksi publik yang kuat, hingga memicu demonstrasi besar dan pencabutan kebijakan, menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi pasif. Mereka memiliki kesadaran kolektif bahwa kebijakan yang tidak adil harus dilawan.

 

Media Sosial dan Dinamika Protes

 

Pemerintah menyalahkan media sosial. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Angga Raka Prabowo, menuding ByteDance (TikTok) dan Meta sebagai biang keladi penyebaran disinformasi dan kebencian. Memang, dari interogasi 120 pelajar yang dicegah polisi, mayoritas mengaku terprovokasi ajakan di medsos, kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi. Tapi, apakah itu alasan utama? Atau justru medsos menjadi cermin yang memantulkan kemarahan nyata? Seperti api yang sudah menyala, angin dari postingan online hanya membuatnya lebih besar, bukan menciptakannya dari nol.

 

Fenomena ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial memfasilitasi komunikasi dan mobilisasi massa secara cepat, efisien, dan tanpa hierarki formal. Namun, menyalahkan platform media sosial saja adalah pandangan yang terlalu dangkal. Media sosial hanya berfungsi sebagai cermin yang memantulkan kondisi sosial yang ada. Jika masyarakat tidak merasa tertekan oleh kondisi ekonomi dan politik, ajakan di media sosial tidak akan seefektif itu. Ini bukan tentang platform, melainkan tentang pesan yang disampaikan dan resonansi pesan itu dengan realitas hidup masyarakat.

 

Dari DPR Api Menyebar

 

Ketika ribuan massa datang ke depan gedung DPR pada 25 Agustus 2025, mereka tidak hanya membawa spanduk. Mereka membawa amarah yang sudah lama dipendam. Bentrokan dengan aparat pun pecah, gas air mata berhamburan, ban-ban dibakar.

 

Dua hari berselang, 28 Agustus, amarah itu belum reda. Mahasiswa dan pelajar turun lagi, menolak tunjangan rumah DPR dan menuntut keadilan bagi guru honorer. Di situlah tragedi terjadi: kendaraan taktis Brimob melindas seorang pengemudi ojek online hingga tewas. Bagi banyak orang, itu bukan sekadar kecelakaan. Itu simbol betapa murahnya nyawa rakyat dibanding kenyamanan kursi kekuasaan.

 

Esoknya, ribuan pengemudi ojol mendatangi Mako Brimob Kwitang. Mereka tidak hanya marah karena satu nyawa hilang. Mereka marah karena nyawa itu seolah dianggap sepele.

 

Peristiwa tragis dilindasnya seorang pengemudi ojek online oleh kendaraan taktis Brimob adalah titik balik yang memicu gelombang kemarahan baru. Insiden ini berkembang menambah narasi protes dari isu tunjangan DPR dan pajak menyebar menjadi isu yang lebih memanas: tindakan represif aparat terhadap masyarakat sipil.

 

Solidaritas yang muncul dari tragedi ini adalah hal yang patut diperhatikan. Aksi para pengemudi ojol dan warga di Kwitang, yang menuntut keadilan bagi rekan dan saudara mereka, adalah contoh bagaimana penderitaan bersama bisa menjadi perekat yang kuat. Ini adalah bentuk perlawanan akar rumput yang murni, lahir dari rasa senasib dan sepenanggungan.

 

Sosialisme Kerakyatan: Jalan Keluar dari Luka Kolektif

 

Mengapa Sosialisme Kerakyatan relevan? Karena Sosialisme Kerakyatan berangkat dari satu gagasan sederhana: menguatkan keadilan sosial dan meningkatkan ekonomi kerakyatan. Keadilan sosial bukan berarti semua orang punya jumlah uang yang sama. Tapi keadilan berarti mereka yang punya kuasa dan privilese tidak hidup jauh di atas penderitaan rakyatnya.

 

Sosialisme Kerakyatan juga juga bicara bahwa ekonomi itu jangan menguntungkan segelintir konglomerat atau pejabat, melainkan ekonomi yang tumbuh dari rakyat: petani, nelayan, buruh, ojol, guru, pedagang kecil, dan pelaku UMKM. Negara harus hadir untuk memastikan bahwa hasil pembangunan tidak hanya menetes ke bawah kosong, tetapi benar-benar mengalir deras ke tangan rakyat.

 

Sosialisme kerakyatan bukanlah mimpi utopis atau ide asing yang dipaksakan dari luar. Ia lahir dari kenyataan sehari-hari rakyat Indonesia yang sejak lama mendambakan hidup lebih adil dan sejahtera.

 

Ketika jalan-jalan dipenuhi asap gas air mata dan kekacauan, pertanyaan paling mendasar yang harus kita jawab adalah: Apakah kita akan terus hidup dalam sistem yang menghasilkan ketidaksetaraan, atau kita akan bergerak maju untuk membangun tatanan masyarakat yang lebih adil? Ini adalah pilihan yang akan menentukan masa depan kita. **

 

*Penulis adalah Ketua Angkatan Muda Sosialis Indonesia (AMSI)


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: RMOL/Jamaludin) 

 

OLEH: KENNY WINSTON*


OPERASI Tangkap Tangan (OTT/sting operation) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan, berbeda dengan Tertangkap Tangan (caught red handed) oleh aparat penegak hukum dalam  konteks KUHAP.

 

Apa syarat yang harus ada untuk melakukan OTT oleh KPK dan Kejaksaan? Apakah KPK dan Kejaksaan memiliki yurisdiksi terhadap pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan OTT mengingat hilangnya status penyelenggara negara?

 

Apa pelajaran dan nasihat hukum bagi pejabat BUMN dan penyelenggara negara agar terhindar dari OTT. Seluruh pembahasan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

Perbedaan OTT dalam UU KPK dan Tertangkap Tangan dalam KUHAP

 

Dalam KUHAP, tertangkap tangan diatur sebagai dasar sah penangkapan tanpa surat perintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 dan Pasal 18 ayat (2) KUHAP. Penangkapan dapat dilakukan oleh siapa saja, dengan kewajiban menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik terdekat.

 

Caught red-handed: Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tertangkap basah melakukan tindak pidana atau kesalahan. Arrested on the spot: Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang ditangkap secara langsung di tempat kejadian.

 

Apprehended in flagrante delicto: Istilah ini digunakan dalam konteks hukum dan berarti seseorang yang tertangkap basah melakukan tindak pidana.

 

OTT dalam konteks UU KPK merupakan istilah populer yang merujuk pada penangkapan oleh KPK terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang atau baru saja melakukan tindak pidana korupsi.

 

Meskipun istilah OTT tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU KPK, praktiknya merujuk pada mekanisme penangkapan tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK.

 

Perbedaan Utama:

. KUHAP mengatur tertangkap tangan sebagai dasar umum penangkapan tanpa surat perintah untuk semua tindak pidana.

. OTT dalam UU KPK adalah praktik khusus penangkapan tertangkap tangan oleh KPK terhadap tindak pidana korupsi dengan adanya bukti permulaan.

. OTT identik dengan tindakan proaktif KPK, sering melibatkan penyadapan dan pengawasan intensif, sedangkan tertangkap tangan dalam KUHAP tidak mensyaratkan penyadapan.

. Penanganan OTT oleh KPK diatur secara khusus dalam UU KPK, sedangkan tertangkap tangan dalam KUHAP berlaku umum untuk seluruh aparat penegak hukum.


Syarat Sah OTT dan Dasar Hukumnya

 

Syarat sah OTT merujuk pada ketentuan tertangkap tangan dalam Pasal 1 angka 19 dan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, yakni seseorang dianggap tertangkap tangan apabila sedang melakukan tindak pidana, sesaat setelah melakukan tindak pidana, sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai pelaku, sesaat kemudian ditemukan benda yang diduga keras digunakan untuk melakukan tindak pidana.

 

Syarat lain, penangkapan dalam keadaan tertangkap tangan dapat dilakukan oleh siapa saja, dengan kewajiban menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik.

 

Dalam konteks KPK, dasar hukum pelaksanaan OTT terdapat pada Pasal 12 ayat (1) huruf a UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU 30/2002, yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan terhadap pelaku korupsi yang tertangkap tangan.

 

Dengan demikian, syarat sah OTT adalah terpenuhinya unsur tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam KUHAP, dan dasar hukumnya adalah ketentuan KUHAP serta UU KPK.

 

Yurisdiksi KPK dan Kejaksaan terhadap Pejabat BUMN dalam OTT

 

Berdasarkan UU 30/2002 tentang KPK, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan/atau pihak lain yang terkait, termasuk pejabat BUMN, selama tindak pidana tersebut memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana korupsi menurut UU 31/1999 jo. UU 20/2001.

 

Pasal 50 UU KPK menegaskan bahwa apabila KPK telah mulai melakukan penyidikan, maka kepolisian atau kejaksaan tidak lagi berwenang melakukan penyidikan perkara yang sama. Namun, sebelum itu, kejaksaan tetap memiliki yurisdiksi untuk melakukan OTT terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat BUMN.

 

Perubahan status pejabat BUMN dalam UU 1/2025 yang menyatakan pejabat BUMN bukan lagi sebagai penyelenggara negara tidak serta-merta menghilangkan yurisdiksi KPK dan Kejaksaan, selama perbuatan yang dilakukan memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

 

Prinsip lex posterior derogat legi priori dapat diterapkan jika terdapat perubahan mendasar dalam UU terbaru yang membatasi yurisdiksi, namun hingga saat ini yurisdiksi KPK dan Kejaksaan tetap berlaku.

 

Penanganan Kerugian BUMN yang Murni Risiko Bisnis

 

Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999, suatu perbuatan hanya dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila terdapat unsur memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi secara melawan hukum dan/atau menyalahgunakan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

 

Jika kerugian BUMN terjadi semata-mata karena risiko bisnis (misal: kegagalan investasi, fluktuasi pasar, atau keputusan bisnis yang diambil secara profesional tanpa pelanggaran hukum), maka tidak terdapat unsur melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan.

 

Penyelesaian kerugian BUMN akibat risiko bisnis lebih tepat dilakukan melalui mekanisme tata kelola perusahaan, pertanggungjawaban manajemen, atau sanksi administratif sesuai ketentuan internal BUMN dan peraturan terkait, seperti Pasal 40 dan Pasal 41 Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-2/MBU/03/2023 Tahun 2023.

 

Pasal 64 ayat (1) UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara juga menegaskan bahwa sanksi pidana hanya berlaku jika terdapat unsur pidana.

 

Dengan demikian, kerugian BUMN akibat risiko bisnis tidak dapat dijadikan dasar OTT atau penegakan hukum pidana oleh KPK maupun Kejaksaan.

 

Persyaratan Bukti Permulaan dan Pengaduan Masyarakat dalam OTT oleh KPK

 

Tidak terdapat kewajiban bahwa OTT oleh KPK harus selalu didahului oleh pengaduan masyarakat atau whistle blowing.

 

Pelaksanaan OTT tetap mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup sebagai dasar tindakan penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK dan Pasal 26 UU 31/1999 jo. UU 20/2001.

 

Bukti permulaan yang cukup dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk hasil penyadapan, pengawasan, laporan masyarakat, whistle blowing, atau temuan KPK sendiri.

 

Pasal 26a UU 31/1999 jo. UU 20/2001 menegaskan bahwa alat bukti yang sah dapat berupa informasi elektronik, dokumen, atau rekaman data.

 

Dengan demikian, syarat utama inisiasi OTT oleh KPK adalah adanya bukti permulaan yang cukup, sedangkan pengaduan masyarakat atau whistle blowing hanya merupakan salah satu sumber informasi.

 

Pelajaran dan Nasihat Hukum bagi Pejabat BUMN dan Penyelenggara Negara agar Tidak Terjaring OTT

 

Patuhi prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UU 28/1999.

 

Hindari penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999.

 

Terapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan, dan integritas dalam setiap pengambilan keputusan bisnis, serta dokumentasikan seluruh tindakan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diinstruksikan dalam Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-2/MBU/07/2019.

 

Segera menolak dan melaporkan setiap bentuk gratifikasi, suap, atau pemberian yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, sesuai Peraturan Kepala BP Batam Nomor 11/2020 dan Peraturan Ketua KPK Nomor 02/2014.

 

Aktif mengikuti pelatihan dan sosialisasi pencegahan korupsi, serta membangun budaya integritas di lingkungan kerja.

 

Waspadai dan tindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat atau whistleblowing secara profesional dan transparan, serta pastikan sistem pengaduan internal berjalan efektif, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BKPM Nomor 7 Tahun 2015 dan Peraturan Kepala BP Batam Nomor 12/2016.

 

Selalu melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan secara jujur, lengkap, dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan LHKPN, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPK Nomor 07/2016.

 

Kesimpulan

 

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa OTT oleh KPK dan Kejaksaan terhadap pejabat BUMN tetap sah sepanjang memenuhi unsur tindak pidana korupsi sesuai peraturan perundang-undangan. Kerugian BUMN akibat risiko bisnis murni tidak dapat dijadikan dasar OTT.

 

Setiap tindakan OTT harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, tanpa keharusan adanya pengaduan masyarakat. Pejabat BUMN dan penyelenggara negara wajib menerapkan tata kelola yang baik, integritas, dan kepatuhan hukum untuk menghindari risiko OTT.

 

Pastikan seluruh tindakan dan keputusan bisnis sesuai prinsip tata kelola dan peraturan perundang-undangan. Hindari penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, dan perbuatan melawan hukum. Lakukan pelaporan harta kekayaan dan tindaklanjuti pengaduan secara transparan. **

 

*Advokat Kenny Winston Law Office

Presiden Prabowo Subiant. (Foto: Artificial Inteligence) 

 

OLEH: AHMADIE THAHAADA

ADA mazhab kapitalisme, sosialisme, liberalisme, neoliberalisme. Semua sudah kita dengar dalam buku teks. Tapi tiba-tiba, di bulan Juli 2025, dari mulut Presiden Prabowo Subianto lahir istilah baru: “serakahnomics.”

 

Sebuah mazhab ekonomi yang tak pernah ada di buku Samuelson atau di kurikulum Fakultas Ekonomi. Bahkan Maslow pun, dengan piramidanya, tak pernah membayangkan bahwa di puncak kebutuhan manusia ternyata bukan “aktualisasi diri,” melainkan “aktualisasi keserakahan.”

 

Saya mencatat, Prabowo menyebut kata itu berkali-kali: 20 Juli di Kongres PSI di Solo, 21 Juli di Klaten saat meresmikan Koperasi Desa Merah Putih, 23 Juli di Harlah PKB di Jakarta. Lalu puncaknya 15 Agustus di Sidang Kenegaraan di Senayan.

 

Luar biasa konsisten Prabowo dengan istilah yang diperkenalkannya. Hingga, seakan-akan “serakahnomics” sedang dipromosikan seperti sebuah merek baru, meski konotasinya negatif dan penuh ancaman. Saking seringnya diucapkan, istilah itu nyaris layak masuk KBBI.

 

Bersama promosi itu, ancaman demi ancaman pun meluncur: dari “akan saya sita penggiling padi nakal” hingga “tidak ada ruang bagi pelaku serakahnomics.”

 

Masalahnya, rakyat sudah kenyang dengan ancaman yang tak pernah jadi kenyataan. Seperti parang yang terlalu sering dihunus tapi tak pernah menebas, ujungnya jadi tumpul.

 

Rakyat pun bertanya: apakah ancaman itu juga berlaku bagi para oligarki tanah yang menguasai lebih dari 7 juta hektare lahan sawit, di mana 1 persen perusahaan mengendalikan hampir 50 persej konsesi?

 

Apakah juga berlaku bagi segelintir konglomerat yang menguasai 70 persen aset perbankan nasional? Atau bagi gurita bisnis tambang dan energi yang dikuasai beberapa keluarga politik-ekonomi? Bukankah semua itu masuk kategori keserakahan?

 

Jika “serakahnomics” benar-benar musuh negara, maka logikanya para oligarkilah yang paling layak diancam. Namun publik khawatir: jangan-jangan yang disita nanti hanya penggilingan padi milik rakyat kelas menengah.

 

Itu pun baru ancaman omon-omon belaka. Sementara itu, para raksasa pemilik jutaan hektare lahan tetap duduk nyaman di kursi direksi, sambil tersenyum melihat ancaman presiden berakhir seperti guntur tanpa hujan.

 

Selain itu, pertanyaan lain pun menggelitik: apakah ini sekadar pencitraan politik, sebuah “branding” untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Ataukah sungguh ini langkah pembongkaran keserakahan ekonomi yang telah berakar puluhan tahun?

 

Mari pakai logika angka. Menurut Presiden, praktik nakal di penggilingan padi menyebabkan kerugian Rp100 triliun per tahun. Angka itu setara dengan bisa memperbaiki 100 ribu sekolah. Mengapa hanya itu yang disebut?

 

Masalahnya lagi bahwa sudah bertahun-tahun kita mendengar angka kerugian triliunan akibat korupsi, mafia, dan kartel. Bukankah negeri ini piawai mengubah angka triliun menjadi sekadar alasan tap in di sidang DPR, tanpa hasil konkret?

 

Maka, jika benar Rp100 triliun atau sebutkan angka lebih besar lainnya bisa dipulihkan, rakyat tidak lagi menunggu renovasi sekolah bocor sambil berdoa agar anak-anak tidak belajar di ruang kelas becek. Tapi, itu terjadi kalau ancaman Prabowo bukan sekadar omon-omon.

 

Dalam teori ekonomi, keserakahan biasanya dibungkus eufemisme “rational self-interest.” Adam Smith bilang, kalau tiap individu mengejar kepentingannya, tangan gaib akan menyeimbangkan pasar.

 

Tapi Prabowo tampaknya ingin membuka tabir bahwa tangan gaib itu sering berubah menjadi “tangan jahil” yang menimbun beras di gudang lalu menjualnya sebagai beras premium.

 

Maslow hanya bicara soal kebutuhan sandang, pangan, papan, hingga aktualisasi diri. Tapi Nabi Muhammad SAW bersabda jauh lebih relevan: “Bukanlah kaya itu dengan banyaknya harta, tetapi kaya adalah hati yang merasa cukup.” (HR. Bukhari-Muslim).

 

Hadits ini seolah menampar wajah serakahnomics, sebab dalam mazhab itu, yang dianggap mulia bukan hati yang cukup, melainkan gudang yang penuh.

 

Sarkasme memang mudah, tapi solusi jauh lebih sulit. Jika Presiden serius, maka jargon “serakahnomics” perlu ditopang tiga hal.

 

Pertama, tindakan hukum nyata. Kartel pangan, penimbun, dan spekulan jangan hanya diancam, tapi benar-benar diseret ke meja hijau. Bila perlu, beri tontonan nasional, bukan sekadar konferensi pers.

 

Kedua, reformasi sistem distribusi. Koperasi jangan hanya jadi kata sakti di pidato. Harus diberi insentif, perlindungan, dan kapasitas manajemen agar mampu melawan raksasa-raksasa penggilingan.

 

Ketiga, pendidikan anti-serakah. Jika tiap tahun ada Rp100 triliun bocor karena rakus, lebih penting lagi mendidik generasi muda agar tidak mengulang pola yang sama.

 

Bayangkan, jika pendidikan karakter digabung dengan program makan bergizi gratis, anak-anak tidak hanya kenyang gizinya, tapi juga kenyang nilai keadilan.

 

Akhirul kalam, di panggung politik istilah baru sering lahir demi citra. Tapi rakyat tidak makan istilah, rakyat makan nasi. Jika benar “serakahnomics” ingin dibasmi, maka buktinya harus sampai ke meja makan, bukan berhenti di mimbar DPR.

 

Humor pahitnya begini: mungkin kelak Prabowo bisa menulis buku teks baru, “Serakahnomics 101: Dari Kartel ke Koperasi.” Namun rakyat akan bertanya lebih serius: apakah ini hanya retorika, atau benar-benar revolusi?

 

Kalau jawabannya sungguh-sungguh, mungkin untuk pertama kalinya mazhab baru ini akan mati sebelum berkembang. Dan itu justru kabar baik bagi republik yang sudah terlalu kenyang dengan keserakahan. ** 


Penulis adalah Wartawan Senior dan Kolumnis

 

Ketua Umum Persatuan Putra-Putri Angkatan Darat (PPPAD) Isfan Fajar Satryo. (Dokumentasi Pribadi) 


OLEH: ISFAN FAJAR SATRYO*


BAYANGKAN tahun 1945. Di tengah dentum meriam dan kabut ketidakpastian, para pemuda berlari membawa secarik naskah yang akan mengubah nasib bangsa.

 

Jalan-jalan Jakarta saat itu bukan dipenuhi baliho politik atau gawai bercahaya, melainkan bisikan kemerdekaan yang berpindah dari mulut ke mulut, menyalakan api di dada rakyat.

 

Tidak ada algoritma, tidak ada linimasa, hanya tekad bersama yang membara: merebut kebebasan, membangun negara, dan menghadirkan ketenteraman bagi seluruh rakyat.

 

Nasionalisme kala itu bukan teori akademik. Ia adalah denyut nadi yang dirasakan setiap pejuang, sebuah kesadaran yang lahir dari pengalaman kolektif -- terjajah, terhina, lalu bangkit.

 

Sebelum negara ini berdiri, nasionalisme telah tumbuh di hati rakyat: di dalam nyanyian perjuangan, dalam sumpah pemuda, dalam darah yang tertumpah di tanah sendiri.

 

Dari kesadaran inilah, rumah bernama negara dibangun -- sebuah wadah yang diproyeksikan untuk menjaga ruh itu tetap hidup.

 

Para pendiri bangsa memahami bahwa kemerdekaan bukan hanya soal mengibarkan bendera atau menduduki kursi kekuasaan. Mereka tahu, kemerdekaan adalah sarana untuk mewujudkan tujuan yang lebih luhur: ketenteraman.

 

Dalam pikiran mereka, ketenteraman bukan sekadar kondisi tanpa konflik, melainkan keadaan batin kolektif di mana rakyat merasa aman, dihormati, dan memiliki masa depan. Ketenteraman adalah fondasi bagi persatuan, dan persatuan adalah pintu menuju kedaulatan.

 

Namun hari ini, delapan dekade setelah proklamasi, ancaman terhadap ruh itu tak lagi datang dari kapal perang atau tentara asing. Ia hadir dalam sunyi, menyusup lewat layar di genggaman kita. Ia tidak menembakkan peluru, tetapi menembakkan informasi.

 

Ia tidak merobek bendera, tetapi mengaburkan makna persatuan. Seperti racun yang larut dalam air, ia mengalir tanpa kita sadari -- digerakkan oleh kekuatan yang mungkin bahkan tidak kita kenal namanya.

 

Filtrasi Teknologi: Mata yang Melihat dalam Bingkai

 

Dulu, informasi adalah arus liar yang harus dicari dan dikejar. Sekarang, ia mengalir deras tanpa diminta -- namun tidak lagi murni. Ada tangan-tangan tak terlihat yang memfilter, menyusun, bahkan menata dunia sesuai logika algoritma. Kita merasa bebas memilih, padahal pilihan kita sudah disiapkan. Kita merasa melihat dunia, padahal kita hanya melihat bingkai yang dipilihkan.

 

Inilah paradoks abad ke-21: teknologi yang seharusnya membebaskan, justru menciptakan penjara yang halus. Algoritma media sosial, mesin pencari, dan platform hiburan tidak hanya menampilkan informasi, tetapi membentuk persepsi. Mereka memutuskan berita mana yang harus Anda baca, topik apa yang menjadi penting, bahkan nilai apa yang pantas dipegang.

 

Lebih berbahaya lagi, filtrasi teknologi tidak hanya mengontrol apa yang kita tahu, tetapi juga menghapus apa yang seharusnya kita tahu. Narasi tertentu diperbesar, yang lain diperkecil atau dihapus sama sekali. Secara tak kasatmata, algoritma membentuk sejarah baru—versi digital dari kenyataan -- yang bisa berbeda jauh dari realitas di lapangan.

 

Konspirasi terbesar mungkin adalah yang tidak pernah diumumkan: bahwa di balik layar, data kita menjadi komoditas, opini kita menjadi eksperimen, dan emosi kita menjadi bahan bakar ekonomi atensi. Dengan kata lain, pikiran kita tidak lagi sepenuhnya milik kita. Di sinilah nasionalisme mulai terkikis, bukan oleh invasi militer, tetapi oleh invasi makna.

 

Social Engineering: Politik Pikiran di Abad 21

 

Social engineering dulu adalah teknik spionase. Hari ini, ia adalah industri. Korporasi, negara, bahkan kelompok anonim dapat menggerakkan massa tanpa harus menyentuh mereka secara fisik.

 

Cukup dengan manipulasi informasi, framing isu, dan pengulangan pesan, opini publik bisa diubah seperti aliran air yang diarahkan ke kanal-kanal tertentu. Kita pernah mengenal propaganda di masa perang, tetapi propaganda digital jauh lebih halus dan canggih.

 

Ia tidak memerintah, ia membujuk. Ia tidak memaksa, ia membentuk keinginan. Targetnya bukan lagi perilaku langsung, melainkan kerangka berpikir yang menentukan perilaku itu.

 

Dengan metode ini, sebuah bangsa dapat diarahkan untuk memusuhi dirinya sendiri, tanpa pernah menyadari sedang dimanipulasi.

 

Dari sinilah muncul fenomena polarisasi ekstrem. Bukan karena rakyat tiba-tiba menjadi lebih benci satu sama lain, melainkan karena narasi yang mereka terima telah disusun sedemikian rupa sehingga musuh terbesar tampak selalu ada di dalam negeri. Persatuan terkikis, rasa percaya luntur, dan nasionalisme berubah menjadi sekadar jargon yang diperdebatkan, bukan lagi kesadaran yang mengikat.

 

Buku Homo Deus karya Yuval Noah Harari telah mengingatkan bahwa manusia kini bergerak menuju era di mana data dan algoritma menjadi penguasa baru. Dalam dunia seperti ini, identitas kolektif bisa direkayasa sedemikian rupa sehingga rakyat tidak lagi memiliki kontrol atas apa yang mereka perjuangkan. Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi "apakah kita merdeka?", tetapi "apakah kita sadar bahwa kita tidak merdeka?"

 

Kedaulatan di Era Data

 

Dulu, kedaulatan diukur dari kemampuan menjaga perbatasan, kekuatan militer, dan kendali atas sumber daya alam. Hari ini, kedaulatan harus diukur pula dari siapa yang menguasai data warganya. Data adalah minyak baru, mata uang baru, bahkan senjata baru. Ia dapat digunakan untuk membangun peradaban, atau menghancurkannya.

 

Negara yang tidak menguasai data warganya akan tergantung pada infrastruktur digital asing, membuka pintu bagi intervensi yang tak terlihat.

 

Bayangkan sebuah bangsa yang seluruh sistem komunikasinya bergantung pada server di luar negeri, atau yang kebijakan publiknya disusun berdasarkan data yang diproses oleh algoritma perusahaan global. Dalam kondisi itu, apakah keputusan politik dan ekonomi benar-benar bebas dari pengaruh luar?

 

Kedaulatan di era ini bukan hanya soal menjaga server dan jaringan, tetapi memastikan bahwa infrastruktur digital melayani kepentingan nasional, bukan kepentingan korporasi transnasional atau agenda geopolitik asing.

 

Jika data adalah darah baru bangsa, maka kehilangan kendali atasnya sama dengan kehilangan kendali atas tubuh sendiri.

 

Menjaga Ruh, Menjaga Negara

 

Ruh sebuah bangsa adalah nasionalismenya. Bukan nasionalisme sempit yang memusuhi dunia luar, tetapi nasionalisme yang sadar akan jati diri, menghargai perbedaan internal, dan memahami posisi di kancah global. Ruh ini hanya bisa bertahan jika ia terus dirawat, dilindungi dari erosi teknologi dan manipulasi sosial.

 

Menjaga ruh berarti menjaga memori kolektif bangsa: sejarah yang benar, narasi yang membangkitkan, dan nilai yang menyatukan. Menjaga ruh berarti membangun literasi digital yang kritis, agar rakyat tidak mudah terjerat ilusi algoritma. Menjaga ruh berarti memastikan teknologi menjadi alat pembebasan, bukan alat penaklukan.

 

Pada akhirnya, pertahanan terbesar bukanlah tembok, senjata, atau undang-undang, tetapi kesadaran bersama bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada diri sendiri. Kesadaran bahwa kedaulatan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari penjajahan pikiran.

 

Manifesto Terakhir

 

Jika para pendiri bangsa kita dulu percaya bahwa kemerdekaan adalah pintu menuju ketenteraman, maka generasi kita harus sadar bahwa ketenteraman itu kini terancam bukan oleh meriam, tetapi oleh piksel.

 

Kita hidup di zaman di mana penjajahan bisa datang dalam bentuk notifikasi, dan pertempuran terbesar terjadi di dalam pikiran. Pertanyaan paling mendasar kini bukan lagi “siapa yang memerintah kita?” tetapi “siapa yang membentuk cara kita berpikir?” Jika jawabannya bukan diri kita sendiri, maka kita telah kehilangan kemerdekaan, bahkan sebelum bendera diturunkan.

 

Kita tidak sedang melawan musuh di luar sana. Kita sedang melawan kemungkinan bahwa suatu hari nanti, kita akan bangun di pagi yang cerah, memandang bendera Merah Putih berkibar, tetapi tidak lagi merasakan apa-apa. **


*Penulis adalah Ketua Umum Persatuan Putra-Putri Angkatan Darat (PPPAD)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.