Articles by "Opini"

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Ustaz Dr. H. Muhammad Yahya Yopie Waloni/Ist  


OLEH : AHMADIE THAHA 

DI Masjid Darul Falah, Makassar Sulawesi Selatan, Jumat siang, 6 Juni 2025, udara masih harum oleh jejak pagi. Minyak wangi masih merebak dari baju gamis jamaah yang baru saja menunaikan salat Iduladha. Ketupat dan opor masih hangat dalam ingatan.

 

Belum lama mereka pulang sebentar ke rumah, mengganti baju koko, lalu kembali lagi ke masjid untuk salat Jumat -- karena hari raya tetap tidak membatalkan kewajiban mingguan.

 

Dan di atas mimbar, berdiri sosok yang suaranya dikenal lebih lantang dari toa masjid: Ustaz Dr. H. Muhammad Yahya Yopie Waloni, M.Th. Usianya menjelang 55 tahun.

 

Beliau berkhutbah tentang pengorbanan. Ayat demi ayat, hadits demi hadist, meluncur dari bibirnya seperti biasanya. Suaranya membakar, mengguncang, kadang-kadang juga menyulut kontroversi. 

 

Tapi siang itu, ada ketenangan aneh dalam suaranya. Ia bicara tentang Nabi Ibrahim dan Ismail, tentang ketundukan total pada kehendak Ilahi. Mungkin, tanpa disadari, ia sedang mengisyaratkan sebuah perpisahan.

 

Lalu -- seperti potongan film yang terlalu dramatis untuk kenyataan -- suara itu mengecil. Bibirnya seperti masih hendak bicara, tapi suaranya terhisap. Tubuhnya lunglai, kemudian jatuh menggebrak ke lantai mimbar.

 

Tak ada efek suara. Hanya kesunyian yang mendadak menggigit. Jemaah panik. Sujud pun tertunda. Shalat Jumat diinterupsi oleh kenyataan: sang khatib tak bergerak. Innalillahi wa inna ilayhi rajiun.

 

Meninggal di atas mimbar seperti itu adalah cita-cita sebagian pendakwah. Mungkin juga kita. Tapi sedikit yang betul-betul “dijemput” Allah saat masih menggenggam tugasnya.

 

Yahya Waloni, mantan pendeta yang menjadi pendakwah Islam, tampaknya telah menyelesaikan naskah hidupnya di titik paling dramatis. Di atas mimbar. Dalam khutbah tentang pengorbanan.

 

Namun, jangan buru-buru menjadikannya bak malaikat. Sosok ini adalah tokoh yang penuh warna  -- dan terkadang over --saturasi. Yahya Waloni bukan pendakwah kalem ala Ustaz Abdul Somad atau dai televisi yang sopan dan rapi seperti Aa Gym.

 

Ia dikenal sebagai juru bicara Islam “garis keras”, bersuara lantang, dan… yah, cukup senang menabrak tembok toleransi. Dalam daftar kontroversinya: menyebut kitab suci agama lain sebagai palsu, sehingga dijatuhi vonis lima bulan penjara karena ujaran kebencian.

 

Dalam dunia medsos, ia dijuluki “Ustaz Pansos” -- alias Panjat Sosial, label sinis yang, ironisnya, malah menambah popularitasnya. Tapi, apakah semua itu membatalkan nilai perjuangannya? Belum tentu. Tentu tidak.

 

Fakta tak bisa dibantah: ia adalah seorang mualaf yang memilih jalan Islam dengan total. Islam kaffah, bahkan bersama istrinya yang juga muallafah.

 

Ustaz yang lahir di kota Manado pada 30 November 1970 dari keluarga Kristen Minahasa yang taat ini pernah memimpin sekolah teologi Kristen. Lalu ia meninggalkan semuanya untuk menyatakan syahadat.

 

Tidak mudah menjadi mualaf di usia matang, apalagi setelah menjadi tokoh dalam agama sebelumnya. Ia kehilangan teman, posisi, dan -- mungkin juga -- rasa aman. Tapi ia tetap maju. Dalam gaya yang kadang bikin jemaah mengangguk, kadang menggeleng, tapi tak pernah membuat mereka diam.

 

Dan di sinilah kita perlu jujur: tak semua yang keras itu jahat, tak semua yang lembut itu benar. Yahya Waloni adalah potret Islam yang bergulat dengan realitas pluralisme di Indonesia, tapi punya batasan akidah yang tak bisa ditawar.

 

Sebagian melihatnya sebagai pembela akidah. Sebagian lagi melihatnya sebagai pembelah harmoni. Ia adalah semacam refleksi keras kepala dari kita semua yang tak selesai berdamai dengan sejarah konversi, trauma kolonial, dan luka-luka teologis.

 

Tapi apa pun penilaian kita, kematiannya di mimbar adalah simbol yang tidak bisa diremehkan. Bayangkan: ia menghembuskan napas terakhir di hadapan jemaah. Di atas mimbar. Di Hari Raya, persis saat jutaan haji bersatu di padang Arafah. Di sela khutbah tentang pengorbanan. Dan di hari Jumat!

 

Apakah itu kebetulan? Atau skenario ilahi dengan naskah paling puitis sekaligus suci?

 

Tubuhnya memang dilarikan ke RS Bahagia -- nama rumah sakit yang sangat ironis dalam konteks duka. Tapi bagi sebagian orang, terutama mereka yang percaya bahwa hidup adalah medan jihad ideologis, ia tidak wafat biasa. Ia syahid di jalan dakwah.

 

Dan seperti biasa, setelah jenazah dikafani, media sosial pun mulai mengkafani narasi. Ada yang mengenangnya sebagai pahlawan iman. Ada yang mengecamnya sebagai provokator.

 

Tapi mungkin, Yahya Waloni akan tersenyum dari alam sana, sebab seperti yang biasa ia ucapkan: “Biar saya yang maki, yang penting kamu mikir.” Kini, setelah ia tak bisa bicara lagi, kita yang mesti berpikir.

 

Tentang cara menyampaikan dakwah tanpa melukai. Tentang bagaimana menjaga akidah tanpa membakar jembatan kemanusiaan. Dan tentang bagaimana, kadang, satu nyawa yang padam bisa lebih nyaring dari seribu ceramah.

 

Selamat jalan, Ustaz Yahya Waloni. Akhir hidupmu mungkin bukan akhir damai. Tapi siapa tahu, itu awal dari percakapan baru -- yang lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih manusiawi, tentu tanpa pernah harus mengorbankan akidah. (*)

 

(Penulis adalah Wartawan Senior dan Pengasuh Ma’had Tadabbur Quran)

 

Mendiang Munir Said Thalib/Istimewa 


OLEH : KHAIRUL A. EL MALIKY

DI NEGERI yang katanya demokrasi ini, kadang kita merasa hidup seperti di film noir: penuh kabut, penuh misteri, dan selalu ada aktor gelap yang tak pernah tertangkap kamera. Salah satu episode tergelap dari serial panjang demokrasi pura-pura kita adalah hilangnya Munir Said Thalib, seorang aktivis HAM yang suaranya lebih tajam dari peluru dan lebih keras dari toa masjid di subuh hari.

 

BERITA TERKAIT:

Munir bukan aktivis sembarangan. Ia adalah mimpi buruk para algojo berseragam rapi, mimpi buruk mereka yang senang menyiksa dalam diam, dan trauma masa lalu bagi institusi yang alergi terhadap kritik. Tapi dalam perjalanan menuju Belanda, suara itu dibungkam. Permanen.

 

 

Mari kita ingat lagi kisah ini, sebelum sejarah menulisnya dengan tinta yang telah dipesan oleh para pelupa. Atau lebih buruk, oleh mereka yang justru ingin kisah Munir hilang selamanya dari buku pelajaran anak cucu kita.

 

Episode Pembunuhan yang Sangat Rapi 

 

Pada 7 September 2004, Munir tewas dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam. Bukan karena serangan jantung, bukan karena mabuk udara, apalagi karena doa para koruptor yang mujarab. Ia tewas karena arsenik—racun yang lebih sering dipakai di film ketimbang di dunia nyata. Tapi nyatanya, ada yang masih cukup kejam dan cukup pengecut untuk membunuh dengan cara itu.

 

Awalnya, banyak yang menyangkal bahwa itu pembunuhan. Tapi autopsi independen di Belanda membuktikan: arsenik dalam tubuh Munir cukup untuk membunuh dua ekor gajah dewasa. Lalu siapa yang punya akses? Siapa yang bisa menyelundupkan racun ke dalam sistem penerbangan internasional tanpa dicurigai?

 

Kita tidak perlu jadi Sherlock Holmes untuk tahu: hanya orang dengan kuasa, wewenang, dan jejaring yang bisa melakukannya. Tapi anehnya, hingga dua dekade lebih berlalu, mereka yang betul-betul di puncak kuasa masih duduk nyaman. Bahkan mungkin masih menyusun skenario kematian versi mereka sendiri.

 

Garuda Indonesia, Pilot, dan Skenario yang Timpang

 

Polisi waktu itu menangkap Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda Indonesia. Ia dijerat dan dijadikan aktor utama dalam drama pembunuhan ini. Katanya, Polly ini tiba-tiba jadi extra crew dalam penerbangan yang sama dengan Munir. Bayangkan, seorang pilot yang mestinya di balik kokpit, malah jadi penumpang yang duduk berdekatan dengan target. Seperti penjahat yang tiba-tiba jadi penonton di bioskop, tapi bawa racun di tas.

 

Polly akhirnya divonis bersalah dan dipenjara. Tapi pertanyaan dasarnya belum dijawab: siapa yang menyuruhnya?

 

Nama BIN (Badan Intelijen Negara) sempat disebut. Bahkan ada dugaan keterlibatan pejabat tinggi saat itu. Tapi setiap kali benang merah hampir terlihat jelas, entah kenapa ada tangan tak terlihat yang memutusnya.

 

Saksi kunci mendadak lupa. Dokumen menghilang. Bukti melempem. Bahkan Pollycarpus sendiri sempat bebas sebelum akhirnya dipenjara kembali. Dan akhirnya meninggal tahun 2020 karena Covid-19. Ironi atau keadilan ilahi? Entahlah.

 

Negara yang Lupa, atau Sengaja Melupakan?

 

Setelah Munir wafat, apa yang dilakukan negara? Banyak. Banyak berpura-pura. Komnas HAM bersuara, LSM bergerak, dan Presiden SBY saat itu membentuk TPF (Tim Pencari Fakta). Tapi ketika TPF memberikan laporan, laporan itu… hilang. HILANG. Seperti disedot blackhole birokrasi. Ketika ditanya, pejabat negara mengangkat bahu. Tidak tahu. Tidak ingat. Tidak mau tahu. Apakah kita sedang menghadapi negara dengan Alzheimer stadium akhir?

 

Padahal, laporan itu adalah kunci. Kunci menuju siapa dalang pembunuhan Munir. Tapi seperti biasa, kunci itu disembunyikan, dilempar ke laut, atau dikubur bersama ingatan kolektif bangsa ini yang pendeknya seperti status WhatsApp.

 

Lucunya, Mahkamah Agung akhirnya memerintahkan agar laporan TPF dipublikasikan. Tapi pemerintah, dengan alasan yang entah dapat dari mimpi siapa, tetap tidak mau. Bahkan Menkopolhukam kala itu mengatakan, “Laporan itu tidak ada.” Padahal, jejak digitalnya bertebaran. Saksi hidupnya masih ada. Tapi negara menutup mata seperti balita yang tidak mau makan brokoli.

 

Srikandi yang Tak Mau Diam

 

Di tengah gelapnya birokrasi, Suciwati—istri Munir—muncul sebagai lilin kecil yang tak kunjung padam. Ia tidak menyerah. Ia menuntut keadilan, bersuara ke mana-mana, dari pengadilan hingga media internasional. Ia adalah simbol bahwa kebenaran tidak akan pernah benar-benar mati, selama masih ada orang yang percaya padanya.

 

Suciwati membentuk Omah Munir, sebuah museum HAM di Batu, Malang. Di tempat itu, anak-anak bisa belajar bahwa ada seseorang yang dibunuh karena membela hak orang lain. Bahwa keadilan tidak selalu menang, tapi harus selalu diperjuangkan. Omah Munir bukan sekadar rumah, tapi tugu ingatan di tengah bangsa yang suka amnesia.

 

Pemerintah Berganti, Tapi Keadilan Masih Jauh

 

Dari SBY ke Jokowi, dari Jokowi ke siapa nanti, pertanyaannya tetap sama: di mana keadilan untuk Munir? Jokowi pernah berjanji saat kampanye akan menuntaskan kasus HAM, termasuk Munir. Tapi seperti janji-janji lain yang ditiup angin, janji itu tinggal kenangan. Tidak ada gebrakan. Tidak ada keseriusan. Hanya peringatan tahunan yang kian sepi, ditemani lilin dan spanduk yang sama dari tahun ke tahun.

 

Bahkan kita sampai pada titik di mana kasus Munir hanya menjadi bahan upacara peringatan. Setiap 7 September, orang akan menulis “Menolak Lupa” di media sosial, lalu lupa keesokan harinya. Negara ikut-ikutan pura-pura prihatin, padahal kalau serius, bisa kok mengusut. Tapi ya itu tadi, siapa yang mau menggali jika galiannya akan menelanjangi elite sendiri?

 

Menolak Lupa adalah Tindakan Revolusioner

 

Di negeri ini, menolak lupa bukan sekadar kenangan. Itu tindakan politis. Karena lupa adalah strategi kekuasaan. Mereka yang ingin bertahan di atas, akan selalu menghapus sejarah yang membahayakan. Kasus Munir terlalu sensitif, terlalu telanjang, terlalu menggambarkan betapa kotornya dapur kekuasaan.

 

Tapi kita sebagai warga negara tidak boleh tunduk. Karena sekali kita lupa, maka kejahatan itu akan dianggap biasa. Kita akan menciptakan budaya impunitas. Bahwa membunuh orang baik itu sah, asal punya kekuasaan. Bahwa aktivisme bisa dibunuh, asal pakai racun yang tak terlihat. Bahwa keadilan hanya mainan anak kecil di taman kanak-kanak.

 

Menolak lupa adalah bentuk perlawanan. Mengingat Munir adalah deklarasi bahwa kita tidak takut. Bahwa meski negara pura-pura tuli, kita akan tetap berteriak.

 

Dunia Internasional Menyaksikan, Tapi Diam

 

Banyak organisasi internasional yang tahu pembunuhan Munir adalah pelanggaran hak asasi berat. Amnesty International, Human Rights Watch, bahkan PBB—semua pernah berkomentar. Tapi tekanan mereka seolah menabrak tembok baja diplomasi Indonesia. Tak ada sanksi, tak ada desakan serius. Dunia memilih diam, karena ya… Indonesia pasar besar. Siapa yang mau ganggu?

 

Dunia lebih peduli pada minyak, tambang, dan pasar. Bukan pada satu nyawa aktivis yang dibungkam. Ini ironi global. Aktivis dipuja setelah mati, tapi diabaikan saat hidup. Dan negara-negara yang mengaku demokratis pun memilih bersikap seperti turis: datang, selfie, lalu pergi tanpa tanggung jawab.

 

Munir Sebagai Simbol yang Tidak Boleh Mati

 

Munir bukan hanya seorang manusia. Ia adalah simbol. Simbol keberanian dalam melawan sistem. Simbol bahwa kebenaran bisa disuarakan, bahkan ketika semua orang memilih diam. Dan karena itulah ia dibunuh. Karena suara seperti itu mengganggu. Tapi simbol tidak bisa dibunuh semudah itu.

 

Selama kita terus menyebut namanya, mengenang perjuangannya, dan menuntut keadilan atas kematiannya, maka Munir hidup. Ia hidup dalam setiap mahasiswa yang turun ke jalan. Dalam setiap jurnalis yang menulis tanpa takut. Dalam setiap warga yang berani mengkritik penguasa meski ancamannya nyata. Munir hidup di dada orang-orang yang tidak pernah diam meski ditekan.

 

Negara yang Sakit dan Demokrasi yang Sakit Jiwa

 

Kalau negara ini sehat, pembunuh Munir sudah dihukum. Kalau demokrasi ini waras, dalang kasus Munir sudah dilucuti jabatannya. Tapi kenyataannya, kita hidup dalam sistem yang menganggap pelanggar HAM sebagai calon pemimpin. Yang lebih sibuk membangun IKN ketimbang membangun keadilan.

 

Setiap pemilu, para kandidat bicara HAM, tapi itu cuma brosur. Setelah berkuasa, mereka jadi bagian dari masalah. Yang dulu berjanji membongkar, kini duduk satu meja dengan pembongkar harapan.

 

Jadi, kalau kau merasa marah, kecewa, atau jijik—itu wajar. Itu sehat. Karena negara ini memang sedang tidak sehat. Demokrasi kita sudah seperti zombie: masih berjalan, tapi tanpa jiwa.

 

Keadilan Itu Tidak Mati, Tapi Ditinggalkan

 

Munir telah tiada. Tapi perjuangannya adalah alarm keras bahwa demokrasi tanpa keadilan hanyalah ilusi. Kita tidak boleh berhenti bertanya. Tidak boleh berhenti menulis. Tidak boleh berhenti menuntut. Karena satu-satunya hal yang membuat kejahatan menang adalah ketika orang baik diam.

 

Hari ini kita menolak lupa. Besok kita suarakan lagi. Sampai para pembunuh itu tidak bisa tidur nyenyak. Sampai sejarah tidak ditulis oleh mereka yang membunuhnya.

 

Munir mungkin sudah dibungkam. Tapi kita tidak. (*)

 

*Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis


Ilustrasi mata uang Dolar AS dan Rupiah/Ist


OLEH : DR. IR. SUGIYONO, MSI

MENTERI Keuangan Amerika Serikat (AS) Scott Bessent mengingatkan bahwa pemerintah AS berpotensi kembali mengalami gagal bayar utang pada Agustus 2025, jika kongres tidak segera menaikkan ambang batas utang negara.

 

Dewasa ini estimasi utang pemerintah AS netto sebesar 29,910 triliun Dolar AS tahun 2025 (IMF, WEO April 2025), atau sebesar 98,04 persen dari PDB AS. Pemerintah AS menjalankan politik APBN jenis defisit. Estimasi jumlah penerimaan APBN AS sebesar 9,58 triliun Dolar AS, sedangkan jumlah pengeluaran APBN AS sebesar 11,55 triliun Dolar AS, sehingga APBN AS mengalami defisit anggaran sebesar minus 797,56 triliun Dolar AS tahun 2025.

 

Pada sisi yang lain, terjadi defisit neraca pembayaran pada pemerintah AS sebesar minus 1,14 triliun Dolar AS, maupun terjadi defisit neraca pertumbuhan volume ekspor netto barang dan jasa  AS, yaitu impor barang dan jasa tumbuh 2,64 persen sedangkan ekspor barang dan jasa tumbuh sebesar 1,89 persen.

 

Pemerintahan Donald Trump dalam menghadapi persoalan defisit APBN, defisit pertumbuhan neraca volume perdagangan barang dan jasa, defisit neraca pembayaran, maupun tekanan gagal bayar utang, yaitu dengan memberlakukan liberalization day. Tarif impor dengan banyak negara dinaikkan untuk menaikkan penerimaan APBN secara signifikan. 

 

Untuk mencari solusi dari potensi gagal bayar utang, namun sekalipun pemberlakuan kebijakan tarif impor ditunda selama tiga bulan, tetapi Menteri Keuangan Bessent terkesan kurang yakin kepada efektivitas dari kebijakan menaikkan tarif impor akan membuat pemerintah AS mampu mencegah dari ancaman gagal bayar utang per Agustus 2025.

 

Bessent lebih yakin jika kongres bersedia secara lebih awal untuk menaikkan ambang batas utang pemerintah, yang mencapai posisi 98,04 dari PDB AS.

 

Jika kongres tidak kunjung bersedia menaikkan ambang batas utang, maka bukan hanya pemerintah AS akan mengalami gagal bayar, melainkan juga akan melakukan kembali kebijakan government shutdown.

 

Sebelumnya pemerintah AS tercatat telah melakukan kebijakan government shutdown sebanyak 14 kali sejak tahun 1981.

 

Jadi, masalah ambang batas ini merupakan masalah yang serius bukan hanya untuk pemerintah, rakyat AS, maupun dampak potensi gagal bayar utang yang segera ditransmisikan ke sektor moneter, maupun sektor riil, serta mekanisme transmisi merambah negara-negara sahabat melalui kegiatan ekspor dan impor dalam perdagangan barang dan jasa, investasi, modal, obligasi, komoditas sektor riil, perdagangan  berjangka komoditas, dan tenaga kerja, maupun efektivitas peran pemerintah dalam menjaga perdamaian dunia.

 

Masalah tekanan potensi gagal bayar utang ini relatif tidak dihadapi oleh pemerintah China. Sekalipun estimasi defisit APBN China sebesar minus 11,99 triliun Renminbi tahun 2025, namun estimasi neraca pembayaran China mengalami sebesar surplus 362,63 triliun Dolar AS tahun 2025.

 

Implikasinya adalah masalah tekanan keuangan pemerintah Zhi Jin Ping tidaklah seberat masalah tekanan keuangan yang dialami oleh pemerintahan Trump.

 

Akan tetapi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka juga sesungguhnya mengalami tekanan keuangan, yang relatif mengkhawatirkan soal potensi fenomena keberlanjutan fiskal. Estimasi utang pemerintah netto APBN Indonesia sebesar Rp612,68 triliun tahun 2025.

 

Persoalan yang dihadapi pemerintah Indonesia tidaklah ringan, karena estimasi pertumbuhan volume impor barang dan jasa sebesar 6,22 persen jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan laju volume ekspor barang dan jasa yang sebesar 0,79 persen tahun 2025.

 

Defisit neraca perdagangan pertumbuhan volume ekspor netto barang dan jasa ini lebih disebabkan oleh tekanan sektor jasa ekspor dan impor yang luar biasa besar dibandingkan neraca ekspor netto barang yang surplus.

 

Persoalan tersebut bertambah akibat tekanan defisit neraca pembayaran yang sebesar minus 21,24 triliun Dolar AS tahun 2025. Tekanan utang pemerintah yang sebesar 38,63 persen PDB diyakini relatif aman, hanya karena sikap Kementerian Keuangan yang senantiasa optimis mampu membayar tagihan utang sekalipun neraca pertumbuhan ekspor netto sektor jasa mengalami defisit, maupun neraca pembayaran juga tertekan oleh masalah defisit.

 

Disamping selain tertekan oleh defisit APBN, bersikap sebagai pembayar utang pemerintah yang baik, rajin senantiasa menambah utang pemerintah untuk mencegah gagal bayar, sekalipun neraca ekspor netto sektor jasa mengalami defisit maupun kondisi neraca pembayaran yang juga sangat besar.

 

Akan tetapi pemerintah Indonesia tidak memberlakukan kebijakan government shutdown, melainkan terkesan senantiasa menunda pembayaran biaya pengeluaran APBN sampai diperoleh utang-utang baru untuk membuat pemerintah Indonesia mampu mendanai pembiayaan APBN.

 

Akan tetapi persoalannya adalah pemerintahan Prabowo dan Gibran sungguh amat sulit untuk bertindak sebagaimana Bessent dan Trump, maupun Xi Jin Ping guna memperbaiki tekanan utang, menyelesaikan defisit APBN, defisit neraca ekspor netto barang dan jasa, maupun terhadap tekanan defisit neraca pembayaran secara fundamental, spektakuler, progressif, dan revolusioner.

 

Yang terjadi adalah pemerintah Indonesia justru memilih untuk memperbesar kebijakan yang bersifat lebih populer dan sosialisme, yang diyakini lebih bermanfaat untuk masyarakat banyak. Misalnya antara lain adalah kebijakan makan siang gratis.

 

Pembangunan asrama untuk penduduk pra sejahtera guna memutus rantai kemiskinan menggunakan pendekatan perbaikan pendidikan. Membangun koperasi merah putih. Menghapus utang UMKM.

 

Menjadikan Danantara sebagai lembaga yang mendanai investasi dengan bersumber dari keuangan BUMN, yang dikumpulkan setelah Perusahaan Pengelola Aset tidak kunjung sepenuhnya berhasil menyehatkan BUMN yang bermasalah dengan keuangan.

 

Kementerian Investasi/BKPM yang tidak mudah untuk memasukkan investasi ke dalam negeri dengan nilai yang sangat besar sebagai faktor pengungkit pertumbuhan perekonomian tinggi, maupun bursa efek Indonesia yang tidak mudah dalam menggalang capital inflows yang lebih besar.

 

Implikasinya adalah sekalipun pengeluaran APBN mempunyai proporsi yang relatif kecil dibandingkan PDB, namun kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran besar-besaran, namun lebih tepat adalah melakukan relokasi anggaran, itu telah berdampak terhadap lebih rendahnya peran APBN dalam menumbuhkan laju perekonomian.

 

Akibat dari kebijakan APBN antara pemerintah dengan DPR yang seperti itu, maka harapan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen per tahun sungguh amat sangat terasa terkesan sebagai kegiatan omon-omon pada waktu kampanye Pilpres tahun 2024.

 

Target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen selain tidak didukung oleh kebijakan APBN sebagaimana sasaran asumsi pertumbuhan yang rendah, juga terkesan tidak didukung oleh kebijakan moneter Bank Indonesia.

 

Lemahnya dukungan terhadap target pertumbuhan ekonomi 8 persen, kelak berpotensi besar menjadi isu yang senantiasa akan rajin digoreng-goreng oleh para oposisi non parlemen, sebagaimana apa yang dihadapi oleh Joko Widodo tentang isu ijazah palsu selama beberapa tahun terakhir ini, sekalipun persidangan ijazah palsu berpotensi sangat besar akan dimenangkan oleh Joko Widodo. (*)


Demonstrasi mahasiswa/Ist 

 OLEH : AHMADIE THAHA

DI tengah suasana politik yang makin mirip sinetron tanpa jeda iklan --dan tanpa penulis skenario profesional -- muncul lagi satu episode menggelitik. Kali ini dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Bukan hanya sekadar acara reuni akbar sambil karaoke lagu perjuangan, mereka datang dengan delapan tuntutan.

 

Salah satu tuntutan mereka cukup bombastis: mengganti Wakil Presiden dengan memakzulkan Gibran Rakabuming Raka.

 

Ya, Gibran. Anak sulung mantan Presiden Jokowi, mantan Wali Kota Solo yang naik kelas ke panggung nasional lebih cepat dari kecepatan promosi karyawan startup. Kalau Gibran ini karakter fiksi, mungkin sudah menyabet penghargaan “Tokoh Paling Instan” di dunia politik Indonesia. Tapi karena dia nyata, kita semua kena plot twist nasional.

 

Yang bikin heboh, tuntutan penggantian ini tidak datang dari ormas pinggiran atau netizen gabut yang lagi nungguin diskon belanja online. Ini dari 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Kalau mereka berbaris rapi di Senayan sambil teriak yel-yel, mungkin warga bakal mengira ada parade kemerdekaan edisi “Alternate Universe”.

 

Tentu saja, ini bukan pertama kalinya Gibran disuruh “undur diri” -- baik dengan sopan santun ala keraton maupun dengan gaya kasar ala netizen 4G. Sudah ada demo mahasiswa, ormas, aktivis, hingga pameran tanda pagar: #BukanWaktunyaGibran, #CaweCaweGate, #NepotismeNaikKelas.

 

Tapi, tuntunan kali ini lebih berbobot dan nendang begitu kerasnya: ditandatangani para mantan KSAD, KSAL, dan KSAU. Ini diperkuat oleh banyak dukungan dari sejumlah mantan petinggi negeri. Kalau zaman Orba, mungkin ini sudah jadi tayangan wajib di TVRI, dengan backsound “Bagimu Negeri” versi dramatis.

 

Namun, mari kita turunkan volume ketawa sebentar dan bertanya: Apakah mereka salah?

 

Tidak sepenuhnya. Para purnawirawan ini menyoroti akar masalah yang sudah lama jadi bisik-bisik tetangga: kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan Gibran menjadi cawapres. Putusan ini, kalau diibaratkan makanan, kayak mi instan yang dimasak pakai air comberan: cepat, tapi bikin mules.

 

Anda ingat, Ketua MK waktu itu -- yang, kebetulan, paman Gibran sendiri --dinyatakan melanggar etika berat, sampai-sampai meja sidang hampir perlu diganti karena terlalu banyak menahan malu. Logika hukum publik langsung jalan: jika tindakan Ketua MK diputus melanggar, mestinya hasil keputusannya juga salah.

 

Namun, apakah ini cukup alasan mengganti Wapres?

 

Secara konstitusional, jawabannya tak semudah membalik lembaran naskah pidato. Gibran sudah terpilih lewat pemilu yang (minimal secara administrasi) sah. Konstitusi cuma bisa memberhentikan Presiden/Wapres kalau ada pelanggaran berat: pengkhianatan negara, korupsi, suap, tindakan tercela, dan tentu saja, tindakan-tindakan selevel “menerbangkan alien untuk curi kotak suara”.

 

Satu-satunya jalur yang sah? Mahkamah Konstitusi. Dan meskipun kita semua ingin mengedit naskah ceritanya, kita tidak bisa sekadar bilang, “Prosesnya aneh, yuk ganti.” Itu seperti mau ganti pemain bola hanya karena rambutnya mirip mantan pacar yang nyakitin.

 

Lalu, apa sebenarnya motivasi di balik usulan ini?

 

Bisa jadi ini suara kekecewaan terhadap nepotisme politik. Bisa jadi ini alarm bahwa reformasi kita ternyata masih nginep di pos satpam kekuasaan. Bisa juga karena Gibran dinilai tidak qualified. Atau alasan lainnya, silahkan sebut. Tapi sekali lagi: niat baik tanpa prosedur yang sah itu kayak proposal cinta yang disampaikan lewat penggeledahan KTP -- bisa dianggap kriminal.

 

Ironisnya, dalam delapan tuntutan para purnawirawan itu, mereka tetap mendukung Presiden Prabowo. Jadi logikanya kira-kira: “Pak Prabowo kami dukung penuh, asal tolong usir bocah itu.” Ini seperti memesan sate kambing, lalu ngamuk karena ada tusukannya.

 

Tentu, kita menghormati hak bersuara. Bahkan kritik keras seperti ini adalah tanda vitalitas demokrasi. Tapi, solusi harus realistis. Konstitusi kita bukan warung kopi yang bisa mengubah menu sesuka hati pelanggan.

 

Dan kini, masuklah pendapat menarik dari ranah akademisi. Dalam dialog di Kompas TV, Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM, membeberkan tiga opsi pintu hukum untuk impeachment Gibran. Tidak gampang, tapi bukan mustahil—tentu dengan syarat berat:

 

1. Ijazah Gibran: Kalau memang ada bukti kuat terkait keabsahan ijazahnya, ini bisa jadi batu sandungan. Tapi perlu bukti konkret, bukan sekadar rumor WhatsApp grup keluarga.

 

2. Perbuatan Tercela: Seperti dugaan kepemilikan akun fufufafa -- akun misterius yang isinya diduga menghina Prabowo dan keluarganya. Kalau terbukti, bisa masuk kategori moral hazard, bukan sekadar iseng.

 

3. Dugaan Korupsi: Kalau laporan pidana lama, misalnya dari Mas Ubaidilah ke KPK, bisa dibuktikan, ini jalur hukum keras untuk membuka pintu pemakzulan.

 

Namun, seperti ditekankan Zainal -- yang akrab disapa Uceng -- semua harus lewat jalur konstitusional. Tidak boleh mengulangi dosa konstitusi hanya karena ingin memperbaiki dosa politik. Atau, dalam istilah kampung saya: jangan memperbaiki genteng bocor dengan menendang seluruh atap rumah.

 

Muncul juga ide ekstrem: bisakah MK membatalkan putusannya sendiri? Secara teori hukum, ada mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Tapi syaratnya berat: harus ada novum -- fakta baru -- seperti bukti pelanggaran etika berat yang belum dipertimbangkan. Dan… dengan Ketua MK waktu itu sudah terbukti melanggar etika berat plus konflik kepentingan, sebagian ahli hukum menilai PK layak diajukan.

 

Apakah Mahkamah Konstitusi mau membongkar rumah yang sudah separuh dibangun? Nah, itu persoalan keberanian sejarah -- dan mungkin juga soal siapa yang keburu kehabisan kursi duluan.

 

Kesimpulannya? Kursi Gibran memang masih punya pegangan hukum, tapi goyah secara moral. Ia menang suara, tapi kehilangan kepercayaan sebagian rakyat. Dalam politik, itu ibarat menang duel tapi pulang dengan reputasi berdarah-darah.

 

Jika Gibran ingin kursinya tidak hanya bertahan, tapi benar-benar berwibawa, ia perlu lebih dari sekadar senyum-senyum menyong dan jargon “menghormati proses hukum.” Ia perlu kerja nyata, integritas kuat, dan kemauan keras untuk membuktikan dirinya layak --bukan karena garis keturunan, tapi karena kualitas kepemimpinan.

 

Karena sejarah bangsa ini terlalu mahal untuk diserahkan kepada mereka yang hanya menang lomba genetik. (*)


*Penulis adalah Wartawan Senior


Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Presiden ke-44 AS Barack Obama/Ist 

 

TULISAN ini mungkin menjadi penutup dari beberapa artikel yang telah saya buat mengenai polemik dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi.

 

Sebelumnya, saya telah menulis tiga artikel terkait isu ini sebagai bentuk kepedulian dan refleksi terhadap pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem demokrasi.

 

Hari ini, Senin 5 Mei 2025, saya menyampaikan penutup reflektif melalui tulisan ini. Tujuannya adalah memberikan gambaran utuh kepada masyarakat tentang akar persoalan, dinamika polemik, aktor-aktor yang terlibat, serta solusi konkret.

 

Seharusnya penyelesaian masalah ini bisa ditempuh sejak awal. Tidak berlarut-larut tanpa menimbukan polemik  berkepanjangan atas dugaan ijazah palsu Jokowi.

 

Akar masalah dari polemik ini kemungkinan besar berawal dari sikap Jokowi sendiri yang ketika itu tampaknya meremehkan isu dugaan ijazah palsu.

 

Tuduhan yang datang dari masyarakat mungkin dianggap sebagai suara-suara pinggiran, tidak kredibel, dan boleh jadi dianggap berasal dari orang-orang yang hanya mencari panggung popularitas.

 

Mungkin Jokowi menilai, sebagai Presiden tidak perlu merespons tuduhan yang menurutnya tidak berdasar dan berasal dari orang-orang yang tidak selevel dengannya.

 

Sayangnya, mungkin dengan sikap ini justru menjadi pemicu utama kenapa polemik ini tidak pernah reda.

 

Isu dugaan ijazah palsu Jokowi pertama kali muncul pada 2019, melalui unggahan Umar Kholid Harahap di media sosial.

 

Umar menuding bahwa ijazah SMA Negeri 6 Solo milik Jokowi adalah palsu. Pihak kepolisian menyatakan bahwa unggahan tersebut adalah hoaks, dan menangkap Umar. Namun isu terkait masalah ini tidak berhenti.

 

Pada tahun 2022, Bambang Tri Mulyono menggugat Jokowi ke pengadilan dengan tuduhan serupa. Tetapi gugatan itu dicabut setelah Bambang menjadi tersangka ujaran kebencian.

 

Pada tahun 2024, advokat Eggi Sudjana mencoba langkah hukum serupa, namun ditolak pengadilan karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat atau dengan alasan lainnya.

 

Atas hal ini, Ketua Tim Kuasa Hukum Jokowi, Otto Hasibuan meminta narasi negatif terkait kliennya agar dihentikan oleh semua pihak.

 

Belum lama ini, muncul pengacara Muhammad Taufiq dari Solo kembali menggugat objek serupa.

 

Taufiq mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Solo terhadap empat pihak, yakni Jokowi (tergugat 1), KPU Surakarta (tergugat 2), SMAN 6 Surakarta (tergugat 3), dan Universitas Gadjah Mada (tergugat 4).

 

Gugatan itu dilayangkan karena Taufiq menilai ijazah Jokowi belum pernah ditunjukkan ke publik secara meyakinkan.

 

Ia menuding KPU lalai dalam memverifikasi ijazah saat Pilkada Solo pertama. SMAN 6 Surakarta baru berdiri tahun 1986 sehingga seharusnya Jokowi tidak bisa bersekolah di sana. Terakhir UGM dinilai keliru dalam mengeluarkan ijazah.

 

Dalam hal ini, tampaknya perkiraan saya terbukti benar. Boleh jadi, prediksi Jokowi bahwa polemik ini akan mereda dengan sendirinya ternyata keliru. Justru setelah masa jabatannya berakhir pada Oktober 2024, eskalasi isu ini meningkat secara signifikan.

 

Publik kemudian dikejutkan oleh langkah ahli digital forensic Rismon Hasiholan Sianipar, yang secara detail membedah berbagai kejanggalan dokumen terkait Jokowi.

 

Rismon mengangkat sejumlah isu teknis, seperti ketidaksesuaian tanda tangan dosen penguji skripsi, penggunaan huruf font Times New Roman yang dinilai tidak lazim pada era 1980-an, serta berbagai aspek administratif lainnya.

 

UGM sebagai institusi tempat Jokowi menempuh pendidikan tinggi, membantah seluruh tuduhan tersebut.

 

Pihak kampus menyatakan bahwa semua proses akademik Jokowi terdokumentasi dengan baik, dan penggunaan font serta format ijazah sesuai kebijakan fakultas pada masa itu.

 

Namun, meskipun UGM telah beberapa kali memberikan klarifikasi, polemik tidak juga mereda.

 

Beberapa tokoh, termasuk Roy Suryo, ikut meragukan keaslian foto pada ijazah Jokowi.

 

Semua ini memperkuat persepsi publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

 

Padahal bisa saja masalah ini selesai secara cepat dan elegan jika saja Jokowi bersedia menunjukkan secara terbuka dokumen akademiknya.

 

Kecurigaan publik lebih banyak tumbuh bukan karena bukti pemalsuan yang kuat, tetapi karena minimnya transparansi dari pihak yang bersangkutan.

 

Jokowi seharusnya bisa mengambil langkah sederhana namun strategis dengan menunjukkan langsung ijazah asli yang dipermasalahkan.

 

Jokowi juga bisa mengajak pihak sekolah, dari SD hingga perguruan tinggi, untuk secara terbuka menyampaikan dan memverifikasi dokumen akademiknya kepada publik.

 

Jika langkah itu ditempuh, maka polemik ini akan selesai jauh sebelum Jokowi mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden.

 

Sebaliknya, Jokowi justru membiarkan isu ini bergulir terus-menerus, yang sepertinya hanya memperkeruh suasana dan membuka celah bagi berkembangnya ketidakpercayaan publik.

 

Dalam konteks ini, mungkin bukan hanya Jokowi yang patut dikritik. Lembaga-lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi penjaga integritas dan kebenaran akademik mungkin juga turut terlibat dalam masalah ini.

 

Demikian pula lembaga peradilan yang cenderung menolak gugatan tanpa mendorong pembuktian langsung dengan meminta Jokowi menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka.

 

Di sisi lain, sebagian pengkritik dan penyebar konten di media sosial turut memperkeruh situasi dengan narasi bombastis yang tidak sepenuhnya didasarkan pada verifikasi terhadap dokumen asli.

 

Tindakan semacam ini memang berpotensi menyulut emosi publik, memperbesar polemik, dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat tanpa menawarkan penyelesaian yang konstruktif.

 

Namun demikian, mereka juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena pada dasarnya mereka hanya mengisi ruang publik yang kosong akibat absennya klarifikasi resmi yang transparan.

 

Selain itu, banyak di antara mereka hanya menyusun argumen berdasarkan data dan fakta yang beredar di media sosial, yang telah mereka analisis dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.

 

Maka, meski pendekatannya bisa diperdebatkan, sikap kritis mereka tetap patut dipahami dalam konteks keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam demokrasi.

 

Namun, jika harus menunjuk siapa yang paling bertanggung jawab atas polemik dan pro kontra ini, maka jawabannya mungkin adalah Jokowi sendiri.

 

Sebagai tokoh publik --terlebih lagi sebagai presiden dua periode -- Jokowi memikul tanggung jawab moral untuk menjernihkan fitnah atau kecurigaan yang muncul terhadap dirinya dengan cara yang elegan dan terbuka.

 

Meneladani Langkah Obama

 

Dalam menghadapi masalah tuduhan dugaan ijazah palsu, seharusnya Jokowi menunjukkan ijazah aslinya sejak awal tuduhan mencuat. Bukan malah membiarkan isu berkembang liar di ruang publik. Apalagi jika respons yang ditunjukkan cenderung membungkam, menghindar, atau menunda klarifikasi.

 

Sikap Jokowi semacam itu justru memicu polemik dan pro kontra yang berkepanjangan serta melemahkan kepercayaan publik.

 

Bahkan saat ini, sepertinya masyarakat telah terbelah menjadi dua kubu: yang mendukung dan yang menentang terkait isu ijazah ini.

 

Kondisi ini jelas merugikan, karena berpotensi menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu stabilitas dan konsentrasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan agenda-agenda nasional.

 

Memang benar bahwa Jokowi secara hukum tidak wajib menunjukkan ijazah yang dimilikinya, kecuali atas perintah pengadilan.

 

Namun sebagai pejabat publik tertinggi saat itu, akan jauh lebih bijak jika ia memilih bersikap proaktif demi menyelesaikan polemik ini. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga demi menjaga martabat institusi kepresidenan serta ketenangan publik.

 

Bahkan, saya meyakini sepenuhnya bahwa jika sejak awal Jokowi berinisiatif menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka, langkah tersebut akan menjadi solusi jitu yang menyelesaikan persoalan ini dengan cepat dan elegan.

 

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi bergeming dan sama sekali tidak mengambil langkah untuk meredakan atau menyelesaikan persoalan ini secara tuntas.

 

Saat ini, Jokowi telah melaporkan sejumlah pihak yang dianggap menyebarkan tuduhan tanpa dasar ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut disampaikan Jokowi pada Rabu 30 April 2025, dengan menumpangi mobil Toyota Kijang Innova bernomor polisi B 2329 SXL.

 

Langkah Jokowi itu menandai babak baru dalam polemik dugaan ijazah palsu. Cara ini menandai perubahan strategi: dari menghindar, kini Jokowi memilih jalur hukum untuk melawan balik.

 

Tetapi publik tentu bertanya, mengapa tidak sejak awal memilih jalur transparansi terlebih dahulu?

 

Dalam konteks ini, langkah Presiden AS ke-44 Barack Obama layak dijadikan teladan. Saat menghadapi tuduhan bahwa ia bukan warga negara Amerika Serikat, Obama tak memilih bungkam.

 

Ketika kasus tersebut mencuat, Obama segera merilis salinan lengkap akta kelahirannya dari Hawaii pada 27 April 2011. Ia membuktikan bahwa ia lahir di Honolulu pada 4 Agustus 1961.

 

Dengan langkah terbuka itu, Obama menutup ruang spekulasi kelompok “birther” yang menyebar disinformasi bahwa ia lahir di Kenya.

 

Obama menganggap tuduhan itu sebagai gangguan politik, tetapi tetap memilih jalur transparansi untuk meredam keraguan.

 

Seharusnya Jokowi bisa meniru Obama. Menunjukkan ijazah asli secara terbuka bukan hanya merupakan pilihan yang tepat secara moral, tetapi juga langkah strategis untuk menjaga legitimasi di mata rakyat dan catatan sejarah.

 

Tindakan semacam itu akan mencerminkan sikap kenegarawanan serta memberikan teladan berharga bagi generasi penerus tentang arti penting transparansi dan akuntabilitas dalam kepemimpinan.

 

Pada akhirnya, kasus ini menunjukkan bahwa sebuah dugaan yang awalnya tampak sepele dapat berubah menjadi bola liar yang sulit dikendalikan. Terutama ketika tidak direspons secara bijak dan terbuka sejak awal.

 

Semua ini terjadi karena sejak awal persoalan tidak ditangani secara bijak dan transparan, khususnya dengan tidak ditunjukkannya ijazah asli kepada publik.

 

Padahal, isu ini bukan sekadar soal selembar ijazah, melainkan menyangkut kepercayaan publik terhadap integritas seorang pejabat negara.

 

Ketika kepercayaan itu retak, yang tercoreng bukan hanya nama seorang mantan presiden, tetapi juga wibawa institusi pendidikan, kredibilitas lembaga hukum, dan bahkan martabat republik ini sendiri. (*)

  

*Penulis adalah Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)


Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Polda Metro Jaya, (Rabu, 30 April 2025) 


ABRAHAM Samad meminta agar Joko Widodo mencabut pelaporan pengaduan ijazah palsu. Abraham Samad adalah mantan Ketua KPK periode tahun 2011-2015.

 

Betapa sungguh amat sangat mengherankan, jika Abraham Samad justru meminta Joko Widodo bersedia mencabut delik aduan berupa tidak mempraktikkan penegakan hukum KUHP dan UU ITE.

 

Di samping itu Abraham Samad meyakini bahwa aparat penegak hukum tidak mempunyai dasar untuk menindaklanjuti pelaporan Joko Widodo.

 

Argumentasi Abraham Samad adalah pasal-pasal yang digunakan oleh pengacara yang menjadi kuasa hukum Joko Widodo diyakini tidak tepat, yaitu tentang dugaan pencemaran nama baik terhadap dugaan ijazah palsu.

 

Mereka yang dilaporkan adalah Rizal Fadilah, Tifauzia Tyassuma, Rismon Sianipar, Roy Suryo dan nama berinisial K. Bukti yang dijadikan sebagai dasar hukum delik aduan pencemaran nama baik berupa video sebanyak 24 unit.

 

Berdasarkan jejak digital YouTube diketahui hubungan dekat dan kebersamaan Abraham Samad secara langsung atau tidak langsung dengan terlapor dalam beberapa event kegiatan politik praktis dan atau podcast-podcast.

 

Artinya, tercium motif Abraham Samad berargumentasi secara tersirat untuk bermaksud melindungi para terlapor atas dasar pernah bersama-sama melakukan kegiatan beroposisi non parlemen.

 

Kebersamaan dalam berbagai agenda bersama, itu terkesan membuat Abraham Samad bertindak membantu para terlapor dengan usul pencabutan pelaporan delik aduan di atas.

 

Permintaan untuk mencabut praktek penegakan hukum tersebut, terkesan Abraham Samad menggunakan dasar pemikiran tentang hak kebebasan berpendapat, yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 hasil amandemen satu naskah.

 

Bunyi Pasal 27 berupa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. Pasal 28 E ayat (3) berbunyi bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

 

Pasal 28 F berbunyi bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

 

Sebaliknya, Joko Widodo sebagai pihak yang melaporkan delik aduan juga dilindungi oleh Pasal 28 G.

 

Bunyi pasal tersebut pada ayat (1) adalah setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

 

Pada ayat (2) berbunyi setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

 

Juga pada Pasal 28 J ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Para terlapor dituntut oleh kuasa hukum Joko Widodo telah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP 1/2023. Juga terhadap tuntutan pelanggaran Pasal 27A, 32, dan 35 UU ITE 1/2024.

 

Persoalannya adalah Pasal 310 berbunyi bahwa setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk menahan air atau bangunan untuk menyalurkan air yang mengakibatkan bahaya banjir, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

 

Pasal 311 berbunyi bahwa setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan terjadinya kebakaran, ledakan, atau banjir yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi nyawa orang lain, atau mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Implikasinya adalah jika dan hanya jika wartawan tidak keliru mengutip informasi dari kuasa hukum, maka benarlah argumentasi dari Abraham Samad. Akan tetapi informasi tentang penulisan nomor pasal yang dikutip terkesan sungguh tidak masuk akal jika menggunakan nomor UU tersebut di atas.

 

Akan tetapi jika kutipan penulisan nomor pasal itu adalah benar adanya, maka tafsir yang kiranya cocok adalah momentum tuntutan delik aduan lebih bermaksud sebagai drama pembentukan citra dalam menggertak para terlapor.

 

Meskipun demikian kutipan nomor kedua pasal kiranya lebih masuk akal, jika pengutipan kurang tepat. Keliru dalam mengutip nomor-nomor pasal KUHP di atas.

 

Pasal 27A berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik. Pasal 32 dan Pasal 35 tidak tersaji dalam UU ITE 1/2024.

 

Implikasinya adalah pengutipan nomor-nomor pasal yang dijadikan penuntutan delik aduan terkesan bukan bersumber dari UU terbaru, melainkan berasal dari periode UU yang sama sebelum versi perubahan terbaru. Jadi, informasi Abraham Samad dalam konteks ini terkesan kurang tepat.

 

Akan tetapi jika yang digunakan dasar hukum adalah UU ITE 11/2008 itu tidak tercantum nomor pasal 27 A, melainkan nomor 27. Pada Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

 

Jadi, penggunaan UU ITE 11/2008 cocok dengan pelaporan delik aduan ijazah palsu.

 

Pasal 32 pada ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

 

Ayat (2) berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem orang lain yang tidak berhak.

 

Ayat (3) berbunyi terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

 

Pasal 35 berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, perusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

 

Jadi, penggunaan UU ITE 11/2008 lebih cocok dibandingkan mengacu menggunakan UU ITE 1/2024.

 

Selanjutnya penggunaan ijazah atau gelar akademik palsu diatur menggunakan UU KUHP 1/2023 Pasal 272 dan menjadi persoalan hukum yang serius.

 

Pada ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang yang memalsukan atau membuat palsu ijazah atau sertifikat kompetensi dan dokumen yang menyertainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (2) berbunyi bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi palsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (3) berbunyi bahwa setiap orang yang menerbitkan dan/atau memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI.

 

Implikasinya adalah usul Abraham Samad, agar Joko Widodo mencabut delik aduan adalah perbuatan yang bersifat tidak adil atau berat sebelah kepada koleganya, karena tercantumnya Pasal 272 dengan sanksi pidana penjara dan pidana denda tersebut di atas.

 

Sebenarnya yang lebih tepat adalah penggunaan Pasal 263 dan Pasal 264 pada UU KUHP 1/2023.

 

Pasal 263 ayat (1) berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (2) berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

 

Pasal 264 berbunyi bahwa setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

 

Jadi, dalam hal ini kuasa hukum masih dimungkinkan untuk melakukan perbaikan penggunaan dasar hukum dalam mengajukan delik aduan dan/atau wartawan memperjelas kutipan tentang penggunaan nomor-nomor pasal dan nomor UU yang digunakan sebagai kutipannya.

 

Implikasinya adalah para terlapor berpotensi sangat besar segera menjadi narapidana dan wajib membayar denda.

 

Sementara itu alibi penggunaan dasar hukum UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terkendala oleh Pasal 6. Pada ayat (2) berbunyi Badan Publik berhak menolak memberikan informasi publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Ayat (3) point c berbunyi bahwa informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi. Sebagaimana diketahui bahwa hak-hak pribadi dilindungi menggunakan UUD 1945 hasil amandemen satu naskah tersebut di atas maupun UU 27/2022 tentang pelindungan data pribadi.

 

Singkat kata, pengaduan delik aduan pelaporan ijazah palsu mempunyai dasar hukum yang jelas dan mempunyai prospek yang sangat besar berpotensi mampu memenjarakan dan mendenda para terlapor, sedangkan maksud untuk menolak penegakan hukum justru berdampak dengan maksud melanggar penegakan hukum UU di atas.

 

Demikian pula dengan tafsir bahwa Joko Widodo ingin senantiasa mempunyai panggung di media massa terkesan kurang sesuai dengan keberadaan UU tersebut di atas. (*)

 

Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Pengajar Universitas Mercu Buana

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.