Januari 2022


 

SANCAnews.id – Dibanding melapor ke Pusat Polisi Militer Angkatan Darat (Puspomad), para Koalisi Ulama, Habaib, dan Pengacara Antipenodaan Agama (KUHAP APA) lebih baik memberikan nasihat yang baik untuk Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Jenderal Dudung Abdurachman.

 

Begitu saran yang disampaikan oleh Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi, menanggapi upaya pelaporan KUHAP APA terkait pernyataan Dudung tentang "Tuhan Bukan Orang Arab".

 

"Menurut saya tidak perlu dilaporkan. Tapi Jenderal Dudung itu perlu didakwahi supaya beliau dapat pemahaman yang baik tentang perkataan 'Tuhan Bukan Orang Arab'," ujar Muslim kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (31/1).

 

Karena, menurut Muslim, tugas ulama dan Habib selain berdakwah, juga memberi contoh yang baik. Karena, bisa jadi Dudung yang merupakan mantan Pangkostrad tersebut kurang paham atas ucapannya tersebut.

 

"Maafkan beliau dan beri dia tausiah yang mencerahkan. Bila perlu para Ulama dan Habaib yang mau melaporkan itu bersilaturahmi dengan KSAD itu. Saya kira Jenderal Dudung akan mau menerima," ucapnya.

 

"Para Ulama dan Habaib itu perlu berikan Mauidah Hasanah (nasihat yang baik) soal ucapan Jendral Dudung itu," pungkas Muslim. *



 

SANCAnews.id – Pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Dudung Abdurrcahman yang menyebut "Tuhan bukan orang Arab" berujung laporan ke Pusat Polisi Militer TNI AD (Puspomad).

 

Laporan itu dilayangkan oleh elemen masyarakat yang menamakan Koalisi Ulama, Habaib dan Pengacra Anti Penodaan Agama (KUHAP APA).

 

Koordinator KUHAP APA, Damai Hari Lubis menyatakan, apa yang dilontarkan Dudung telah menyinggung umat Islam. Selain itu, ucapan mantan Pangkostrad itu tidak mencerminkan sebagai seorang Perwira Tinggi TNI AD.

 

"Jenderal Dudung melakukan tindakan yang sebaliknya daripada kewajiban Tupoksinya sebagai aparatur abdi pilar pertahanan negara," demikian pernyataan Damai, Minguy (30/1).

 

Meski seorang Jenderal, Damai berpendapat, seharusnya Dudung tetap bisa dijerat hukum. Apalagi, seorang Jenderal sepatutnya kepribadiannya bisa menjadi tauladan bagi masyarakat.

 

Atas tindakan Dudung yang diduga melanggar hukum, Damai mengatakan seharusnya aparat penegak hukum bisa menindak mantan Pangdam Jaya itu.

 

"Pernyataan ini (Tuhan bukan orang Arab) menurut pendapat saya adalah bagian dari tindak pidana formil, dan merupakan delik umum," tandas Damai.

 

Damai berharap, Puspomad segera menindaklanjuti laporan KUHAP APA terhadap Dudung Abdurrachman.

 

Laporn terkait dugaan penodaan agama yang dilakukan Jenderal Dudung telah diterima oleh pihak Puspomad bernama Agus Prasetyo pada Jumat (28/1). (rmol)



 

SANCAnews.id – Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri resmi menetapkan tersangka Edy Mulyadi dalam kasus dugaan ujaran kebencian yang menimbulkan rasa permusuhan atas pernyataan “jin buang anak”.

 

Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menyampaikan, penetapan tersangka Edy Mulyadi ini dilakukan usai penyidik melakukan pemeriksaan terhadap 55 orang saksi diantaranya 37 saksi dan 18 orang saksi ahli yang terdiri dari ahli bahasa, sosiologi, hukum, pidana, ITE, analis media sosial dan ahli digital forensik serta memperhatikan beberapa barang bukti.

 

“Penyidik gelar perkara, penyiidk menetapkan status dari saksi menjadi tersangka,” kata Ahmad Ramadhan kepada wartawan di Bareskrim Polri beberapa saat lalu, Senin (31/1).

 

Untuk itu, Edy Mulyadi disangkakan dengan pasal Pasal 45 ayat 1 dan 2 juncto pasal 28 Ayat 2 UU ITE. Dan juga Pasal Pasal 14 dan 15 Peraturan Hukum Pidana UU 1/1946. Ancaman hukuman secara keseluruhan adalah 10 tahun.

 

Penyidik, kata Ramadhan menyatakan langsung melakukan penahanan terhadap Edy Mulyadi selama 20 hari ke depan. Penahanan didasari dengan alasan subjektif dan objektif penyidik.

 

“Alasan subjektifnya takut mengulangi perbuatan, dikhawatirkan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Sementara alasan objektifnya ancaman di atas lima tahun,” pungkas Ramadhan. (rmol)




SANCAnews.id – Edy Mulyadi ditetapkan sebagai tersangka kasus ujaran kebencian soal Kalimantan tempat jin buang anak. Edy Mulyadi langsung ditahan.

 

“Setelah dilakukan gelar perkara, penyidik telah menaikan status dari saksi menjadi tersangka.  Jadi sekali lagi yang bersangkutan telah dilakukan penangkapan dan penahanan," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Senin, 31 Januari.

 

Edy Mulyadi memenuhi panggilan pemeriksaan kasus ujaran kebencian atas pernyataannya Kalimantan tempat jin buang anak. Karena menduga bakal ditahan polisi usai pemeriksaan, Edy Mulyadi sudah menyiapkan bekal baju dalam tas kantong warna kuning.

 

“Gue bawa ginian nih,” kata Edy Mulyadi menunjukkan tote bag warna kuning kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin, 31 Januari.

 

Edy Mulyadi kemudian berbicara soal pernyataan minta maaf kepada warga Kalimantan, penolakannya terhadap pemindahan Ibu Kota Negara baru ke Kaltim hingga sumber daya Kalimantan yang dieksploitasi tanpa memberikan keuntungan bagi masyarakat Kalimantan.

 

Edy Mulyadi secara tegas menolak perpindahan Ibu Kota Negara karena dinilai banyak duit yang bakal terbuang.

 

“Tetap menolak IKN kerena IKN banyak kajian, yang penting soal tidak tepat waktunya duit yang segitu banyaknya harusnya buat menyejahterakan rakyat, buat pembangunan ekonomi nasional, buat  memompa ekonomi dalam negeri,” kata Edy Mulyadi.

 

IKN menurut Edy Mulyadi bakal memperparah ekologi di Kalimantan yang sudah rusak. Disiunggung banyaknya lokasi bekas galian tambang tanpa rehabilitasi lahan.

 

“Mohon maaf banget selama puluhan tahun Kalimantan itu dieksploitasi habis-habisan, sudah berapa miliar ton batu bara diangkut, sudah berapa hektare itu hutan-hutan ditebas, diangkut, sudah berapa ribu atau juta hektare lahan lahan milik adat dirampas?” kata dia.

 

“Mohon maaf lagi ya seharusnya saudara-saudara saya warga masyarkat penduduk Kalimantan jauh lebih sejahtera daripada kita di pulau Jawa, kerena harusnya mereka dapat bagian tapi kita tahu dengan segala hormat dan mohon maaf, teman-teman saya, teman kita semua di Kalimantan masih jauh dari kehidupan yang seharusnya dengan potensi sumber daya alam yang dikeruk luar biasa itu,” paparnya. (voi)



 

SANCAnews.id – Wartawan senior Edy Mulyadi akhirnya memenuhi panggilan pemeriksaan dari penyidik Bareskrim Polri, hari ini. Edy yang didampingi oleh sejumlah kuasa hukum ini turut membawa perlengkapan mandi.

 

Dalam kesempatan ini, Edy kembali menyampaikan permohonan maaf terkait ucapannya yang akhirnya menjadi polemik.

 

“Saya kembali minta maaf, saya enggak mau bilang itu ungkapan atau bukan. Saya kembali minta maaf sedalam-dalamnya, sebesar-besarnya," ujar Edy di Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (31/1).

 

Di sisi lain, Edy tetap bersikeras menolak rencana pemerintah untuk memindahkan Ibukota Negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

 

“Kedua tetap menolak IKN, karena IKN banyak kajian yang penting soal tidak tepat waktunya duit yang segitu banyaknya harusnya buat menyejahterakan rakyat, buat pembangunan ekonomi nasional, buat memompa ekonomi dalam negeri. Bukan untuk membangun (IKN)," terang Edy.

 

Edy juga menegaskan bahwa warga Kalimantan bukanlah musuhnya.

 

Sebaliknya, dia justru memperjuangkan masyarakat Kalimantan yang masih belum sejahtera.

 

"Musuh saya bukan penduduk Kalimantan, bukan suku ini, suku itu segala macam, tidak. Saya sekali lagi minta maaf kepada sultan-sultan. Sultan Kutai, Sultan Paser, Sultan Banjar, Sultan Pontianak, Sultan Melayu, atau apa sebagainya. Termasuk suku-sukunya. Suku Paser, Suku Kutai segala macam. Termasuk suku Dayak tadi, semuanya saya minta maaf," pungkas dia. (rmol)



 

SANCAnews.id – Wartawan senior, Edy Mulyadi, memenuhi panggilan penyidik Bareskrim Polri untuk diperiksa terkait pernyataan "Jin Buang Anak". Edy didampingi sejumlah orang yang menjadi kuasa hukumnya.

 

Salah satu tim kuasa hukum Edy, Damai Hari Lubis mengatakan, hari Senin (31/1) tepat pukul 10.00 WIB, ia bersama tim pengacara mendampingi Edy tiba di Gedung Bareskrim Mabes Polri.

 

"Kami semua anggota tim sama-sama sempat shalat Dhuha bersama Edy di masjid di pekarangan Mabes Polri, Tampak wajah Edy cukup segar, dia nyatakan sudah siap baik fisik maupun mental dengan segala apapun risikonya," ujar Damai kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin siang (31/1).

 

Bahkan, lanjut Damai, Edy sempat memperlihatkan tas kepada wartawan yang berisi pakaian dan celana di dalam tas warna kuning yang dibawanya.

 

"Sebagai persiapan jika ternyata dirinya ditahan oleh sebab hasil penyidikan dan dirinya menduga bahwa dirinya sudah menjadi target oleh kekuatan oligarki," ucap Damai.

 

"Oleh sebab ia selalu bersuara menolak beberapa program pemerintah, di antaranya dia banyak menyoroti atau menentang tentang UU Minerba, UU yang kebijakannya ia anggap banyak merugikan rakyat, dan juga ia keras protes UU Omnibuslaw atau UU Ciptaker dan termasuk terkait perpindahan IKN Baru di Kalimantan," jelas Damai.

 

Bahkan di hadapan wartawan, tambahnya. Edy juga kembali menyampaikan permohonan maaf untuk semua warga Kalimantan.

 

"Tidak ada maksud dirinya menghina sesama saudaranya sebangsa dan setanah air, lalu ia tegaskan menyatakan tetap menolak akan adanya proyek terkait IKN dengan alasan lebih layak dan bermanfaat uangnya digunakan untuk mensejahterakan rakyat seluruh bangsa Indonesia, terlebih dan mengingat sudah ada peringatan dari IMF masalah warning terkait pinjaman BI kepada ABPN negara Indonesia," pungkas Damai. **



Oleh: Tjetjep Mohammad Yasien

PEMASANGAN baliho atau spanduk atas pembunuhan di KM 50 oleh warga Madura adalah bentuk aspirasi rakyat.

 

Seharusnya sikap rakyat ini didukung karena menunjukkan kepedulian atas penegakan hukum dan mengecam kejahatan keji khususnya yang dilakukan oleh oknum polisi berhubungan dengan KM 50.

 

Maka, kalau pemasangan spanduk yang meminta keadilan tragedi berdarah di KM 50 oleh warga Madura sampai dilarang dan sepertinya hendak diturunkan, rasanya aneh.

 

Mereka warga Madura mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi termasuk melalui spanduk. Kenapa sepertinya dilarang dan hendak diturunkan spanduknya? Apakah yang melarang dan hendak menurunkan itu mendukung atas pembunuhan keji di KM 50?

 

Bukankah pembunuhan keji di KM 50 itu adalah kejahatan keji yang luar biasa yang dilakukan oleh oknum polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi? Kenapa ada yang gerah?

 

Ini yang menjadi pertanyaan saya, apakah atas tragedi pembunuhan keji di KM 50 itu tersistem dan terencana sehingga kalau ada yang memasang baliho atau spanduknya ada yang gerah?

 

Kalau ada yang mempersoalkan karena sebab ada foto IB HRS itu pikiran konyol karena memang dalam tragedi pembunuhan keji  KM 50 ada hubungannya dengan IB HRS.

 

Yang jelas tragedi di KM 50 sudah seharusnya dikawal dan semua yang terlibat harus dihukum termasuk pernyataan Kapolda Metro Fadhil Imran yang seingat saya berubah-ubah. Hukum harus dibuka lebar-lebar.

 

Jangan hanya ke Habib Bahar Smith yang dianggap berbohong atas tragedi di KM 50 hukum diterapkan namun seingat saya dugaan kebohongan oleh Kapolda Metro Fadhil Imran juga harus dilakukan tindakan hukum. Sebab kita semua termasuk Kapolda Metro Fadhil Imran kedudukannya sama di depan hukum.

 

(Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah)



 

SANCAnews.id – Ramainya baliho bertuliskan "Usut Tuntas Tragedi KM 50, Pembantaian Syuhada 6 Laskar FPI" di Madura, Jawa Timur merupakan inisiatif umat Islam di Madura.

 

Hal itu dipastikan langsung oleh Ketua Umum (Ketum) Persaudaraan Alumni (PA) 212, Ustaz Slamet Marif.

 

Ia memastikan, tidak ada perintah dari PA 212 terkait baliho tersebut di daerah Madura.

 

"Itu inisiatif umat Islam Madura sendiri," ujar Slamet kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (31/1).

 

Dalam video yang beredar di media sosial, baliho dengan ukuran besar itu dipasang hingga belasan titik di Madura.

 

Baliho yang juga turut menampilkan gambar Habib Rizieq Shihab (HRS) dan enam laskar FPI yang menjadi korban peristiwa KM 50 itu dipasang dengan tujuan untuk meminta keadilan dengan penungkapan pembantaian atau pembunuhan terhadap enam laskar FPI tersebut. (**)



 

SANCAnews.id – Praktik kotor buzzer yang mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilkada Jakarta pada 2017 silam terungkap. Praktik tak sehat Buzzer Ahok itu diungkap oleh harian berpengaruh di Inggris, The Guardian.

 

Dikutip Tribunpekanbaru.com pada Sabtu (29/1/2021) dikisahkan tentang cerita Alex. Seorang buzzer yang dikerahkan untuk mendukung Ahok selama Pilkada DKI. Dalam kisahnya Alex mengatakan, ia merupakan bagian dari puluhan buzzer yang dibayar oleh Ahok.

 

Mereka ditempatkan di sebuah rumah mewah di Menteng, disiapkan puluhan perangkat komunikasi berupa hape dan laptop. Lewat perangkat-perangkat itu mereka mengendalikan ratusan akun media sosial palsu.

 

Tujuannya dua. Satu untuk menyerang lawan-lawan Ahok. Dan satu lagi, menaikkan pamor Basuki Tjahaja Purnama agar moncer di mata publik.

 

Akun-akun palsu yang mereka kelola, kata Alex, dibuat seolah-olah akun asli. Diberi foto profil yang seolah-olah riil.

 

Kebanyakan foto profil itu adalah wanita cantik. Agar terlihat seperti akun asli, ratusan akun palsu itu juga memosting berbagai aktivitas normal. Seperti status jatuh cinta, foto kuliner , foto tempat liburan dan lain-lain.

 

“Lantas di saat berperang, kita menggunakan apa pun yang tersedia untuk menyerang lawan,” kata Alex dari sebuah kafe di Jakarta Pusat.

 

"Tetapi terkadang saya merasa jijik dengan diri saya sendiri.” tambahnya.

 

Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai buzzer, Alex mengelolal lima akun Facebook, lima akun Twitter, dan satu Instagram.

 

“Mereka menyuruh kami untuk merahasiakannya. Mereka mengatakan itu adalah 'waktu perang' dan kami harus menjaga medan pertempuran dan tidak memberi tahu siapa pun tentang tempat kami bekerja.” sebutnya.

 

Pilkada Jakarta sendiri waktu itu diikuti oleh Ahok, seorang beretnis keturunan Tionghoa, lalu Agus Yudhoyono, putra mantan Presiden RI dan mantan menteri pendidikan, Anies Baswedan.

 

Alex mengatakan timnya dipekerjakan untuk melawan banjir sentimen anti-Ahok, termasuk menaikan tagar yang mengkritik kandidat lawan.

 

Tim Alex, terdiri dari beberapa mahasiswa yang dibayar sekitar sekitar 280 dolar AS atau Rp 4,5 juta per bulan.

 

Mereka bekerja di sebuah rumah mewah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Setiap hari, mereka diminta untuk memposting 60 hingga 120 konten dalam sehari di akun Twitter palsu mereka, lalu belasan di Facebook.

 

Alex mengatakan, timnya yang terdiri dari 20 orang, masing-masing dengan 11 akun media sosial, akan menghasilkan hingga 2.400 postingan di Twitter sehari.

 

Untuk mengkordinasikan aktivitas buzzer tersebut, Alex dan kawan-kawannya menghimpun diri dalam grup WhatsApp yang disebut Pasukan Khusus.

 

Di dalam grup itu tergabung sebanyak 80 anggota. Grup itu setiap saat membahas tema yang mereka garap dan tagar harian untuk dipromosikan.

 

Di Facebook, mereka bahkan membuat beberapa akun dengan menggunakan foto profil aktris asing terkenal, yang entah kenapa tampaknya adalah penggemar fanatik Ahok.

 

Dari rumah mewah tempat mereka beroperasi, kata Alex, mereka bekerja dari beberapa kamar.

 

“Ruang pertama untuk konten positif, di mana mereka menyebarkan konten positif tentang Ahok. Ruang kedua untuk konten negatif, penyebaran konten negatif dan ujaran kebencian tentang oposisi,” kata Alex.

 

Ia sendiri mengaku memilih ruang positif. Banyak dari akun tersebut hanya memiliki beberapa ratus pengikut.

 

Tetapi dengan membuat tagar tren, seringkali setiap hari, mereka secara artifisial meningkatkan visibilitas di berbagai platform sosial media itu.

 

Dengan memanipulasi Twitter, mereka memengaruhi pengguna nyata dan media massa Indonesia.

 

Hal ini dikarenakan, trending di berbagai plaform media sosial itu acapkali dijadikan acuan sebagai barometer mood nasional.

 

Pradipa Rasidi, pekerja Transparency International di Indonesia yang meneliti media sosial selama Pilkada Jakarta pernah melakukan wawancara dua buzzer Ahok yang berbeda.

 

Dalam penjelasannya kepada Guardian, Pradipa mengatakan, apa yang dilakukan dua buzzer yang diwawancarainya, sama seperti yang dijelaskan Alex.

 

Namun, ketika Guardian mencoba untuk mewawancarai kedua buzzer itu, mereka menolak untuk memberi keterangan. **

 

 

 



 

SANCAnews.id – Sosok Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi salah satu calon yang diusulkan untuk bakal menjadi Kepala Otorita Ibu Kota Negara (IKN) baru.

 

Pengusulan tersebut mengundang pro dan kontra. Ada yang mendukung, namun ada pula yang menolaknya. Di antara yang tak setuju ialah Wasekjend Persaudaraan Alumni atau PA 212, Novel Bamukmin.

 

Menurut Novel Bamukmin, Ahok dinilai sebagai produk gagal. Novel Bamukmin berpendapat, Ahok kerap membuat gaduh di Indonesia. Sehingga, dia tak selayaknya ditunjuk sebagai pemimpin.

 

“Kenapa harus Ahok? Padahal Ahok produk gagal dan hanya bisa membuat gaduh negeri ini,” kata dia dikutip dari Hops.id--jaringan Suara.com pada Sabtu (29/1/2022).

 

Lebih lanjut, Novel menduga bahwa melihat latar belakang Ahok yang demikian, keutuhan bangsa bisa saja terancam. Lagipula, ujarnya, masih banyak nama-nama lain yang jauh lebih kompeten.

 

“Keutuhan bangsa sangat terancam kalau dipaksakan juga karena berarti agenda IKN ini sangat diduga syarat kepentingan politik oligarki,” terang Novel.

 

Novel jujur mengaku tak setuju dengan rencana pemindahan Ibu Kota. Sebab, hanya membuang-buang anggaran.

 

“Banyaknya penolakan dari berbagai unsur tentunya menjadi pertimbangan untuk rezim saat ini agar menghentikan berdirinya IKN karena sangat merugikan rakyat,” tuturnya.

 

Sementara itu, Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera juga mengusulkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak memilih Ahok sebagai pemimpin IKN baru.

 

Mardani berharap Jokowi memilih pemimpin IKN yang tidak menimbulkan kegaduhan politik, lantaran energi bangsa akan terbuang.

 

“Karena kepala otorita adalah wewenang presiden maka harapannya presiden memilih yang punya kapasitas integritas,” sebut Mardani.

 

“Usahakan jangan yang menimbulkan kegaduhan politik karena sayang energi bangsa terbuang untuk energi yang tidak perlu,” imbuhnya.

 

“Jaga uang negara sepeserpun itu hal yang mahal semoga kita bisa terus menjaga Indonesia adil makmur dan sejahtera,” tegas Mardani. (suara)




SANCAnews.id – Kuasa hukum Edy Mulyadi, Juju Purwanto menyoroti Bareskrim Polri yang begitu cepat melakukan proses terhadap laporan yang dialamatkan kepada kliennya.

 

Dia menilai Polri telah tebang pilih, padahal laporan terhadap pelaku ujaran kebencian lainnya juga banyak, tetapi lambat diproses.

 

 “Kami berharap kepada para pihak yang dekat dengan rezim, yang selama ini sudah sering dilaporkan oleh masyarakat kepada Polri juga dapat diproses hukum,” ujar Juju kepada wartawan, Sabtu (29/1).

 

PR Dia lantas menyinggung sejumlah nama yang pernah dilaporkan atas dugaan ujaran kebencian, tetapi belum dilakukan proses hukum.

 

 “Contohnya seperti Arteria Dahlan, Abu Janda, Denny Siregar, Ade Armando, Habib Kribo, dan lainnya,” tegas Juju. Sebelumnya salah satu kuasa hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir mengatakan pihaknya sudah menerima surat panggilan kedua dari Bareskrim Polri.

 

Dia menyebut bahwa pemanggilan kedua ini telah sesuai prosedur KUHAP. “Pemanggilan yang kedua memang sudah sesuai prosedur, sesuai apa yang kami minta, tetapi yang jelas mau untuk hadir,” ujar dia ketika dikonfirmasi, Sabtu (29/1).

 

 Namun, Edy Mulyadi mangkir dan hanya mengutus kuasa hukum. Bareskrim pun langsung mengirimkan surat panggilan kedua kepada eks caleg PKS tersebut. x  Sesuai surat panggilan, Edy diminta hadir ke Bareskrim Polri pada Senin (31/1) pukul 10.00.(jpnn)



 

SANCAnews.id – Kuasa Hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir mengatakan klien menunda kedatangannya ke Dewan Pers. 

 

Penundaan dilakukan karena Edy Mulyadi bakal menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri, Senin, 31 Januari.

 

“(Rencana Dewan Pers) itu kita pending dulu, setelah pemeriksaan besok senin ya, (Jadi) liat perkembangan dari BAP dulu,” kata Herma Kadir dikonfirmasi VOI, Minggu, 30 Januari.

 

Herman menjelaskan, kliennya akan menghadiri pemeriksaan di Bareskrim Polri pada Senin, 31 Januari, pukul 10.00 WIB. Kedatangannya untuk memenuhi panggilan sebagai saksi kasus ujaran kebencian soal pernyataan Kalimantan tempat jin buang anak.

 

“Jadi semua, hari senin (31 Januari), jam 10 di Bareskrim,” kata dia.

 

Diberitakan sebelumnya, juasa hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir menyebut surat panggilan terhadap kliennya tak sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada jadwal pemeriksaan Jumat, 28 Januari. Hal itu menjadi salah satu alasan Edy Mulyadi tak hadiri dalam pemeriksaan.

 

"Jadi kan itu minimal harus 3 hari, ini baru 2 hari sudah ada pemanggilan, intinya itu sudah tidak sesuai dengan KUHAP," ujar Herman.

 

Karena itu, Herman meminta kepada penyidik untuk memperbaiki surat panggilan tersebut. Sehingga, proses pemeriksaan sesuai aturan.

 

"Kami minta itu diperbaiki lagi surat pemanggilan," kata Herman.

 

Sedangkan Bareskrim Polri sudah melayangkan surat panggilan kedua terhadap Edy Mulyadi dalam kasus dugaan ujaran kebencian soal Kalimantan tempat jin buang anak. Edy Mulyadi dijadwalkan menjalani pemeriksaan pada awal pekan depan.

 

"Penyidik menerbitkan surat panggilan kedua dan disertai surat perintah membawa untuk hadir pada tanggal 31 Januari 2022 hari Senin," ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Jumat, 28 Januari.

 

Dalam jadwal pemeriksaan itu, Edy Mulyadi bakal dimintai keterangan sebagai saksi pada pukul 10.00 WIB.

 

Selain itu, Ramadhan juga menyatakan surat panggilan pemeriksaan itu telah diterima. Surat diterima oleh istri dari Edy Mulyadi.

 

"Jadi tadi surat panggilan langsung diantar ke rumah dan yang menerima adalah istri," kata Ramadhan.

 

Selain itu, Ramadhan menyatakan dalam surat panggilan pemeriksaan itu tertera perintah membawa. Bula Edy Mulyadi tak hadir maka penyidik akan mencari keberadaannya dan membawanya untuk dimintai keterangan.

 

"Kita akan menunggu bila yang bersangkutan tidak hadir memenuhi panggilan yang kedua maka penyidik akan menjemput dan membawa yang bersangkutan ke Bareskrim Polri," kata Ramadahan. (voi)





 

OLEH: DJONO W OESMAN

BERTUBI-TUBI ujaran kebencian. Satu ditahan polisi, pelaku lain muncul lagi. Terbaru, Edy Mulyadi dengan "Jin buang anak di Kalimantan". Yang akan dijemput paksa polisi (jika ia mangkir lagi) pada Senin (31/1/22).

 

Mengapa bisa begitu marak? Apakah para pelaku sebanyak itu, atas inisiatif sendiri? Ataukah inisiatif sendiri, setelah disuruh? Kalau disuruh, berapa bayarannya?

 

Jawabnya, belum ada riset yang bisa menjawab itu. Umpama diriset, sulit mengetahui pihak yang menyuruh. Apalagi, besaran bayarannya. Paling, bisanya diinvestigasi.

 

Cuma diketahui, hampir semua bermotif politik. Dari situ muncul spekulasi, bahwa ada pihak yang menyuruh pelaku. Kalau disuruh, sangat mungkin dibayar. Bayarannya bisa uang. Langsung. Atau janji. Atau sesuatu yang menguntungkan pelaku.

 

Pedoman penyuruh atau pelaku, adalah "Kebebasan berpendapat dijamin UUD 1945."

 

Edy Mulyadi, sudah tersiar luas, melalui video yang ia unggah di YouTube, 21 Januari 2022, menolak kepindahan ibukota RI, dari Jakarta ke Panajam Paser Utara, Kalimantan Selatan.

 

Di situ, yang krusial ada dua. Mengolok Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto sebagai "Macan yang berubah mengeong". Dan, "Jin buang anak di Kalimantan".

 

Saat ia mengatakan begitu, di video tampak ada penonton. Yang bersorak.

 

Videonya pun viral. Lantas, tiga pihak melapor ke polisi. Dari Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur.

 

Dari Suku Dayak, muncul video balasan. Atas nama Panglima Tambak Baya, Titisan Panglima Burung. Mengancam Edy, diselesaikan secara adat Dayak.

 

Komisi III DPR RI menggelar audiensi dengan Aliansi Bornes Bersatu di Gedung DPR RI, Kamis, 27 Januari 2022. Ada pagelaran tarian perang Suku Dayak. Lengkap dengan Mandau dan tameng.

 

Bareskrim Polri mengambil-alih perkara ini dari laporan polisi di tiga Polda tersebut. Edy dipanggil untuk diperiksa Jumat, 28 Januari 2022. Ternyata Edy tiakda datang, dengan alasan, ada urusan lain.

 

Polri langsung mengirimkan surat panggilan kedua, hari itu juga, ke rumah Edy. Jadwal pemeriksaan Senin, 31 Januari 2022. Surat panggilan disertai catatan, jika ia tidak hadir lagi, langsung, saat itu juga, dijemput paksa. Kata polisi, surat sudah diterima isteri Edy.

 

Di interval tiga hari dari Jumat sampai Minggu, 30 Januari 2022, semua pakar hukum yang diwawancarai pers, mendukung Polri. Bahwa Polri sudah betul. Diduga, Edy mengatakan ujaran kebencian bermuatan SARA. Terbukti, menimbulkan keonaran masyarakat.

 

Pihak pendukung Edy, berdalih: "Kebebasan berpendapat dijamin UUD 1945". Selalu, ini dijadikan dalih.

 

Maka, penegak hukum dan pers, wajib mengedukasi masyarakat tentang hal ini. Bukan hanya sekali-dua. Melainkan terus-menerus. Dengan berbagai cara.

 

Dikutip dari pernyataan Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Dr Teguh Santosa, pers wajib bela negara. Teguh mengutip tujuan negara Indonesia, berdasar Alinea Keempat, Pembukaan UUD 1945. Pers Indonesia harus mengacu ke sini:

 

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

 

2) Memajukan kesejahteraan umum.

 

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

Sebab, data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil sensus per akhir 2020, lama sekolah rakyat Indonesia rata-rata 8,7 tahun. Artinya, rata-rata rakyat Indonesia putus sekolah di kelas tiga setingkat SMP. Tidak sampai lulus SMP.

 

Dengan tingkat rata-rata 'makan sekolah' segitu, sulit paham tentang "kebebasan berpendapat".

 

Dikutip dari UUD 1945, Pasal 28E, Ayat 3, bunyinya demikian:

 

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."

 

Tapi, setiap orang juga wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.

 

UUD 1945, Pasal 28J ayat 2 menyatakan: 

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Di tingkat dunia, kebebasan berpendapat juga dijamin undang-undang. Disebut: Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.

 

Pasal 19, berbunyi: 

"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat, tanpa mendapat gangguan. Dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat, dengan cara apa pun, dan tidak memandang batas-batas." (The Universal Declaration on Human Rights, The UN General Assembly, 10 Desember 1948)

 

Deklarasi Universal itu diimbangi aturan lain: Tidak ada kebebasan absolut (mutlak). Tidak ada kebebasan sekemauan orang. Sebab, bisa menimbulkan kekacauan.

 

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), menyebutkan, kebebasan berpendapat dilarang merugikan orang lain. Juga dilarang mengganggu national security (keamanan nasional).

 

Soal keamanan nasional, di Indonesia diatur di Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, wajib menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

 

Jadi, seandainya ada orang bicara sebebas-bebasnya, lantas menimbulkan keonaran, sehingga memecah kesatuan dan persatuan bangsa, tapi dibiarkan aparat hukum, maka bisa bubar negeri ini. Merugikan seluruh anak bangsa.

 

Tapi, apalah artinya? Bagi pihak atau orang, atau orang yang menyuruh orang, soal aturan-aturan itu?

 

Pelanggar tidak peduli. Walaupun paham undang-undang. Buktinya, terduga Edy Mulyadi. Yang mengaku wartawan, dan minta kasus "Jin Buang Anak" diselesaikan secara jurnalistik. Ke Dewan Pers. Bukan ke Polisi.

 

Seandainya penegak hukum kelak bisa membukti Edy bersalah, itu bakal jadi bukti, bahwa orang mengerti Undang-undang sengaja melanggarnya.

 

Pelanggar lain, dengan aturan yang sama (tentang kebebasan berpendapat) yang kini sudah dihukum, juga sama: Mereka paham undang-undang.

 

Terus, mengapa mereka melanggar? Mengapa mereka mau pasang badan? Demi apa?

Apakah ini terkait dengan tingkat pendidikan rakyat yang (data BPS) 8,7 tahun 'makan sekolah'? Yang, dengan begitu gampang digoreng hoaks? Yang, dengan begitu menguntungkan kepentingan pihak pelanggar?

 

Jawabnya, hanya para pelanggar yang tahu persis.

 

(Penulis adalah wartawan senior)



 

SANCAnews.id – Polri memerintahkan untuk membawa Edy Mulyadi pada panggilan kedua. Edy Mulyadi sebelumnya tidak memenuhi panggilan Polri, terkait dugaan ujaran kebencian Kalimantan pada Jumat, 28 Januari 2022.

 

Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto memerintahkan untuk membawa Edy Mulyadi, pada panggilan kedua.

 

Menurut Agus Andrianto, panggilan kedua Edy Mulyadi bisa disertakan dengan perintah membawa berdasarkan hasil koordinasi bersama Direktorat Tindak Pidana Siber.

 

"Panggilan kedua, dengan perintah membawa (Edy Mulyadi)," ucap Agus Andrianto pada Jumat, 28 Januari 2022 seperti dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com dari ANTARA.

 

Menurut Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto, Edy Mulyadi harus menempuh jalur praperadilan jika kembali tak memenuhi panggilan.

 

Agus Andrianto mengungkapkan, penyidik Polri memiliki mekanisme serta membuat rencana penyidikan, terkait perkara dugaan ujaran kebencian Edy Mulyadi pada Kalimantan.

 

"Kalau enggak pas, silakan saja tempuh jalur praperadilan," tutur Kabareskrim Polri, Komjen Pol Agus Andrianto.

 

Kuasa hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir menyebut pihaknya yang mewakili kliennya memenuhi panggilan pertama Polri.

 

Pihaknya mewakili Edy Mulyadi untuk menyerahkan surat penundaan panggilan Polri.

 

"Kedatangan kami, mau memasukkan surat penundaan ini dulu," ucap Herman Kadir.

 

Kliennya tak hadir karena ada halangan dan panggilan tersebut tidak sesuai dengan KUHAP.

 

"Intinya itu, sudah tidak sesuai dengan KUHAP," ucap Herman Kadir.

 

Panggilan pada Edy Mulyadi minimal dilakukan tiga hari usai perkara naik penyidikan.

 

"Kami minta itu diperbaiki lagi, surat pemanggilan," tutur Herman Kadir.

 

Sebagai informasi, Edy Mulyadi tidak memenuhi panggilan pertama Polri, dimana pihaknya masih berstatus sebagai saksi pada Jumat, 28 Januari 2022.***



 

SANCAnews.id – Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto mengatakan akan mengirim surat panggilan kedua terhadap saksi Edy Mulyadi.

 

Edy Mulyadi mangkir dalam undangan pemeriksaan sebagai saksi oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada Jumat (28/1/2022) pukul 10.00 WIB. Ia berhalangan hadir dan meminta penjadwalan ulang pemeriksaan.

 

"Kemarin laporan penyidik, infonya bersedia hadir. Sekarang beralasan untuk menunda kehadiran, kita kirim panggilan kedua," ujar Komjen Agus dikonfirmasi, Jumat (28/1/2022).

 

Agus menegaskan apabila yang bersangkutan kembali tidak hadir memenuhi undangan maka akan disiapkan panggilan ketiga.

 

"Kalau nggak datang lagi, kita panggil ketiga dengan perintah membawa," katanya.

 

Edy Mulyadi, mantan calon legislatif Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini dilaporkan atas kasus dugaan ujaran kebencian 'tempat jin buang anak' di platform Youtube.

 

Ketua tim Kuasa Hukum Edy Mulyadi, Herman Kadir, datang ke Mabes Polri untuk menyampaikan surat dari kliennya yang tidak bisa hadir.

 

Herman Kadir menilai panggilan pemeriksaan polisi ini tidak sesuai prosedur, karena tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

Ia merujuk Pasal 227 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa pemanggilan untuk dilakukan pemeriksaan minimal memiliki jarak waktu tiga hari.

 

"Pemanggilan tidak sesuai dengan KUHAP. Minimal harus tiga hari, ini baru dua hari sudah ada pemanggilan. Kami minta itu diperbaiki lagi surat pemanggilan," kata Herman.

 

Ia mengatakan, kliennya akan menghadiri agenda pemeriksaan selanjutnya jika penyidik menjadwalkannya kembali.

 

"Kita sudah sepakat, pihak Mabes akan melakukan pemanggilan ulang, ya kalau memang ada, kita akan datang," ujarnya.

 

Herman menduga ada kepentingan politik dalam kasus yang saat ini melibatkan kliennya.

 

Ia meminta pihak kepolisian mengungkap siapa provokator di balik kasus ujaran kebencian yang seolah-seolah merendahkan masyarakat Kalimantan.

 

"Kami berharap Mabes Polri menyidik pelaku provokator, karena ada kepentingan politik di kasus Pak Edy ini," kata Herman.

 

Herman mengatakan, kliennya tidak pernah menyebut atau pun menyindir warga Kalimantan.

 

Ia yakin bisa memastikan itu, setelah beberapa kali memutar ulang video acara yang turut dihadiri kliennya.

 

Menurutnya, istilah 'tempat jin buang anak' untuk menunjukkan tempat yang jauh dan sepi. Istilah itu, katanya, kerap dikatakan banyak orang dan wajar diungkapkan.

 

"Tidak ada menyinggung suku adat RAS sama sekali, yang ada hanya “jin buang anak” itu saja, jin buang anak itu ditafsirkan Edy itu adalah tempat yang jauh, sepi, itu wajar, orang-orang Jakarta sudah biasa ngomong begitu," ujarnya.

 

Teror Setiap Hari 

Herman menyinggung, Edy Mulyadi yang belakangan mendapat banyak teror usai kasus ujaran kebencian perpindahan ibu kota negara.

 

Herman kembali menjelaskan, teror yang dialami kliennya itu banyak sekali, mulai dari ancaman hingga gangguan di media sosial.

 

"Bukan teror lagi, dia (yang meneror) ada video-videonya WhatsApp nya, ancamannya," kata Herman.

 

Menurutnya, kliennya menerima teror hampir setiap hari melalui perangkat smartphonenya. Untuk itu, kata Herman, kliennya juga sudah menonaktifkan dua nomor kontaknya.

 

"Sampai Pak Edy itu ada dua nomor hp-nya dimatikan. Nggak berani, setiap hari ada yang nelepon dia seribu orang," ungkapnya.

 

Saksi Bertambah 

Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Ahmad Ramadhan menerangkan jumlah saksi kasus ini bertambah jadi 18 orang.

 

Rinciannya, sebanyak 10 orang saksi dari Kalimantan, dua saksi dari Jawa Tengah, tiga saksi dari Jakarta, serta tiga orang ahli.

 

Adapun ahli yang diperiksa dalam kasus ini, kata Ramadhan, yakni ahli Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), ahli sosiologi, ahli pidana, dan ahli bahasa.

 

Kendati begitu, Ramadhan belum memerinci lebih jauh terkait dengan hasil pemeriksaan terhadap para saksi. Saat ini tim penyidik masih melakukan pendalaman pemeriksaan.

 

"Kami sampaikan proses penanganan perkara masih berjalan, tentu perkembangan atau update selanjutnya nanti akan kami sampaikan," ujar Ramadhan. (tribun)


SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.