Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Foto: RMOL/Jamaludin) 

 

OLEH: KENNY WINSTON*


OPERASI Tangkap Tangan (OTT/sting operation) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan, berbeda dengan Tertangkap Tangan (caught red handed) oleh aparat penegak hukum dalam  konteks KUHAP.

 

Apa syarat yang harus ada untuk melakukan OTT oleh KPK dan Kejaksaan? Apakah KPK dan Kejaksaan memiliki yurisdiksi terhadap pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan OTT mengingat hilangnya status penyelenggara negara?

 

Apa pelajaran dan nasihat hukum bagi pejabat BUMN dan penyelenggara negara agar terhindar dari OTT. Seluruh pembahasan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

 

Perbedaan OTT dalam UU KPK dan Tertangkap Tangan dalam KUHAP

 

Dalam KUHAP, tertangkap tangan diatur sebagai dasar sah penangkapan tanpa surat perintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 19 dan Pasal 18 ayat (2) KUHAP. Penangkapan dapat dilakukan oleh siapa saja, dengan kewajiban menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik terdekat.

 

Caught red-handed: Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tertangkap basah melakukan tindak pidana atau kesalahan. Arrested on the spot: Istilah ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang ditangkap secara langsung di tempat kejadian.

 

Apprehended in flagrante delicto: Istilah ini digunakan dalam konteks hukum dan berarti seseorang yang tertangkap basah melakukan tindak pidana.

 

OTT dalam konteks UU KPK merupakan istilah populer yang merujuk pada penangkapan oleh KPK terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang atau baru saja melakukan tindak pidana korupsi.

 

Meskipun istilah OTT tidak secara eksplisit disebutkan dalam UU KPK, praktiknya merujuk pada mekanisme penangkapan tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK.

 

Perbedaan Utama:

. KUHAP mengatur tertangkap tangan sebagai dasar umum penangkapan tanpa surat perintah untuk semua tindak pidana.

. OTT dalam UU KPK adalah praktik khusus penangkapan tertangkap tangan oleh KPK terhadap tindak pidana korupsi dengan adanya bukti permulaan.

. OTT identik dengan tindakan proaktif KPK, sering melibatkan penyadapan dan pengawasan intensif, sedangkan tertangkap tangan dalam KUHAP tidak mensyaratkan penyadapan.

. Penanganan OTT oleh KPK diatur secara khusus dalam UU KPK, sedangkan tertangkap tangan dalam KUHAP berlaku umum untuk seluruh aparat penegak hukum.


Syarat Sah OTT dan Dasar Hukumnya

 

Syarat sah OTT merujuk pada ketentuan tertangkap tangan dalam Pasal 1 angka 19 dan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, yakni seseorang dianggap tertangkap tangan apabila sedang melakukan tindak pidana, sesaat setelah melakukan tindak pidana, sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai pelaku, sesaat kemudian ditemukan benda yang diduga keras digunakan untuk melakukan tindak pidana.

 

Syarat lain, penangkapan dalam keadaan tertangkap tangan dapat dilakukan oleh siapa saja, dengan kewajiban menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penyidik.

 

Dalam konteks KPK, dasar hukum pelaksanaan OTT terdapat pada Pasal 12 ayat (1) huruf a UU 19/2019 tentang Perubahan Kedua atas UU 30/2002, yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan terhadap pelaku korupsi yang tertangkap tangan.

 

Dengan demikian, syarat sah OTT adalah terpenuhinya unsur tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam KUHAP, dan dasar hukumnya adalah ketentuan KUHAP serta UU KPK.

 

Yurisdiksi KPK dan Kejaksaan terhadap Pejabat BUMN dalam OTT

 

Berdasarkan UU 30/2002 tentang KPK, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan penyelenggara negara dan/atau pihak lain yang terkait, termasuk pejabat BUMN, selama tindak pidana tersebut memenuhi kualifikasi sebagai tindak pidana korupsi menurut UU 31/1999 jo. UU 20/2001.

 

Pasal 50 UU KPK menegaskan bahwa apabila KPK telah mulai melakukan penyidikan, maka kepolisian atau kejaksaan tidak lagi berwenang melakukan penyidikan perkara yang sama. Namun, sebelum itu, kejaksaan tetap memiliki yurisdiksi untuk melakukan OTT terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan pejabat BUMN.

 

Perubahan status pejabat BUMN dalam UU 1/2025 yang menyatakan pejabat BUMN bukan lagi sebagai penyelenggara negara tidak serta-merta menghilangkan yurisdiksi KPK dan Kejaksaan, selama perbuatan yang dilakukan memenuhi unsur tindak pidana korupsi.

 

Prinsip lex posterior derogat legi priori dapat diterapkan jika terdapat perubahan mendasar dalam UU terbaru yang membatasi yurisdiksi, namun hingga saat ini yurisdiksi KPK dan Kejaksaan tetap berlaku.

 

Penanganan Kerugian BUMN yang Murni Risiko Bisnis

 

Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999, suatu perbuatan hanya dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi apabila terdapat unsur memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi secara melawan hukum dan/atau menyalahgunakan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.

 

Jika kerugian BUMN terjadi semata-mata karena risiko bisnis (misal: kegagalan investasi, fluktuasi pasar, atau keputusan bisnis yang diambil secara profesional tanpa pelanggaran hukum), maka tidak terdapat unsur melawan hukum atau penyalahgunaan kewenangan.

 

Penyelesaian kerugian BUMN akibat risiko bisnis lebih tepat dilakukan melalui mekanisme tata kelola perusahaan, pertanggungjawaban manajemen, atau sanksi administratif sesuai ketentuan internal BUMN dan peraturan terkait, seperti Pasal 40 dan Pasal 41 Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-2/MBU/03/2023 Tahun 2023.

 

Pasal 64 ayat (1) UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara juga menegaskan bahwa sanksi pidana hanya berlaku jika terdapat unsur pidana.

 

Dengan demikian, kerugian BUMN akibat risiko bisnis tidak dapat dijadikan dasar OTT atau penegakan hukum pidana oleh KPK maupun Kejaksaan.

 

Persyaratan Bukti Permulaan dan Pengaduan Masyarakat dalam OTT oleh KPK

 

Tidak terdapat kewajiban bahwa OTT oleh KPK harus selalu didahului oleh pengaduan masyarakat atau whistle blowing.

 

Pelaksanaan OTT tetap mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup sebagai dasar tindakan penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK dan Pasal 26 UU 31/1999 jo. UU 20/2001.

 

Bukti permulaan yang cukup dapat diperoleh dari berbagai sumber, termasuk hasil penyadapan, pengawasan, laporan masyarakat, whistle blowing, atau temuan KPK sendiri.

 

Pasal 26a UU 31/1999 jo. UU 20/2001 menegaskan bahwa alat bukti yang sah dapat berupa informasi elektronik, dokumen, atau rekaman data.

 

Dengan demikian, syarat utama inisiasi OTT oleh KPK adalah adanya bukti permulaan yang cukup, sedangkan pengaduan masyarakat atau whistle blowing hanya merupakan salah satu sumber informasi.

 

Pelajaran dan Nasihat Hukum bagi Pejabat BUMN dan Penyelenggara Negara agar Tidak Terjaring OTT

 

Patuhi prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UU 28/1999.

 

Hindari penyalahgunaan wewenang dan perbuatan melawan hukum yang dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999.

 

Terapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan, dan integritas dalam setiap pengambilan keputusan bisnis, serta dokumentasikan seluruh tindakan secara transparan dan akuntabel, sebagaimana diinstruksikan dalam Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-2/MBU/07/2019.

 

Segera menolak dan melaporkan setiap bentuk gratifikasi, suap, atau pemberian yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, sesuai Peraturan Kepala BP Batam Nomor 11/2020 dan Peraturan Ketua KPK Nomor 02/2014.

 

Aktif mengikuti pelatihan dan sosialisasi pencegahan korupsi, serta membangun budaya integritas di lingkungan kerja.

 

Waspadai dan tindaklanjuti setiap pengaduan masyarakat atau whistleblowing secara profesional dan transparan, serta pastikan sistem pengaduan internal berjalan efektif, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BKPM Nomor 7 Tahun 2015 dan Peraturan Kepala BP Batam Nomor 12/2016.

 

Selalu melaporkan dan mengumumkan harta kekayaan secara jujur, lengkap, dan tepat waktu sesuai dengan ketentuan LHKPN, sebagaimana diatur dalam Peraturan KPK Nomor 07/2016.

 

Kesimpulan

 

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa OTT oleh KPK dan Kejaksaan terhadap pejabat BUMN tetap sah sepanjang memenuhi unsur tindak pidana korupsi sesuai peraturan perundang-undangan. Kerugian BUMN akibat risiko bisnis murni tidak dapat dijadikan dasar OTT.

 

Setiap tindakan OTT harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, tanpa keharusan adanya pengaduan masyarakat. Pejabat BUMN dan penyelenggara negara wajib menerapkan tata kelola yang baik, integritas, dan kepatuhan hukum untuk menghindari risiko OTT.

 

Pastikan seluruh tindakan dan keputusan bisnis sesuai prinsip tata kelola dan peraturan perundang-undangan. Hindari penyalahgunaan wewenang, gratifikasi, dan perbuatan melawan hukum. Lakukan pelaporan harta kekayaan dan tindaklanjuti pengaduan secara transparan. **

 

*Advokat Kenny Winston Law Office

Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.