Demo buruh 28 Agustus di jakarta. (pram/fajar)
Oleh: Heru Subagia
(Pengamat Politik dan Ekonomi)
Patologi politik Indonesia sudah akut dan seram banget.
Diagnosis penyakitnya sangat jelas dan fundamental, kerusakan bangsa dan negara
ini sudah kronis di segala bidang dan jajarannya hingga memicu terjadinya
krisis kepercayaan menyeluruh baik vertikal atau horisontal.
Puncak tercabik-cabiknya krisis kepercayaan berawal dari
kelalaian pemerintah melaksanakan janji politik dan juga amanat konstitusi.
Mereka lalai dengan jabatan dan wewenangnya hingga dengan sengaja melukai,
hidup hedonis, tidak ada rasa empati dan bahkan sudah merugikan kepentingan
masyarakat.
Tidak hanya pemerintah jadi sasaran ketidakpercayaan
masyarakat, Secara umum semua anggota DPR saat ini dianggap sebagai musuh
bersama, bukan lagi mitra atau bahkan disebutkan sebagai pelayanan atau wakil
rakyat. Mereka justru yang mencederai tugas dan fungsinya dan bahkan ketiadaan
empati, simpati hingga melukai hati hingga menghancurkan harapan hidup
masyarakat.
Paradoks Demokrasi
Hingga Demo Melanda
DPR menjadi institusi negara paling dihormati, tetapi justru
sebaliknya menjadi institusi yang fenomenal. Awalnya dari dipilih tidak
langsung memilih gambar partai hingga mencoblos foto caleg dan keterpihannya
langsung sebagai mandat suara rakyat.
Namun pada akhirnya hanya menjadi simbol yang dimanfaatkan
maksimal oleh DPR mencari keberuntungan. Ini adalah Paradoks dalam demokrasi
Indonesia. Bangunan demokrasi berbayar mahal dan lumpuh total secara fungsi dan
esensinya. Fondasi demokrasi yang dibangun paska Reformasi akhirnya harus
tenggelam dan dibangunkan kembali oleh suara rakyat.
Demo bergerak, bergejolak awal sebuah kemarahan yang
dibarengi ketidakpercayaan pada wakil mereka. DPR dianggapnya sudah berkhianat,
bukan hanya itu justru melawan rakyatnya sendiri yang telah memberikan mandat
kekuasaannya.
Pergeseran harapan masyarakat atas kerja-kerja DPR terus
berlangsung dan akumulasi frustasi kian menjadi. Ledakan dekonstruksi
kepercayaan kian lebat dan merata
Titik persoalan sudah jelas dan sudah bulat satu suara dalam
demo besar di berbagai daerah. Gerakan demi kian masih digelar tanggal 25-31
Desember 2025 adalah bukti autentik marahnya rakyat secara kolosal.
Demo besar tersebut semakin kencang ketika Massa juga
menuntut pembubaran DPR diperparah dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR
RI periode 2019-2024, Ahmad Sahroni, yang menyebut bahwa pendemo sebagai 'orang
paling bodoh di dunia'.
Aktor Pembuat Tuntutan
Rakyat
Perlu dicermati dan dianalisis kemunculan tuntutan 17+8.
Diketahui jika Ungguhan bertuliskan '17+8 Tuntutan Rakyat' ramai diserukan
warganet melalui media sosial (medsos).
Para peserta demo dan para aktor-aktor pembuatan tuntutan
rakyat berbeda. Muncul para aktor utama pembuat tuntutan adalah para penggiat
media, diaspora bukan aktivis gerakan mahasiswa atau tokoh masyarakat.
Konon, Tuntutan itu muncul dan berseliweran setelah diskusi online yang dilakukan beberapa pemengaruh seperti Jerome Polin, Cheryl Marcella, Salsa Erwina Hutagalung, Andovi Dalopez, Abigail Limuria, Fathia Izzati Malaka, dan Andhyta F Utami.
Mereka mengklaim telah merangkum tuntutan dari berbagai
organisasi masyarakat dan suara rakyat yang kemudian menghasilkan "17+8 Tuntutan
Rakyat".
Bagi Mereka, Tuntutan tersebut diadopsi dari berbagai
organisasi seperti YLBHI yang menghimpun aspirasi dari 211 organisasi
masyarakat sipil, siaran pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK),
pernyataan sikap Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI, dan Center for
Environmental Law & Climate Justice Universitas Indonesia.
Kemudian mereka juga memasukkan tuntutan demo buruh pada 28
Agustus 2025 dan 12 tuntutan rakyat menuju reformasi Transparansi &
Keadilan oleh Reformasi Indonesia .
Tuntutan Rakyat 17+8
Mencermati Tuntutan 17+8 yang banyak diklaim sebagai
rangkuman berbagai aksi dan isi tuntutan masyarakat diambil dari big data media
sosial. Sepertinya adanya rekayasa terstruktur yang didanai dan diarahkan untuk
maksimalkan kegagahan isu utama bubarkan DPR.
Awalnya terdapat 17 Tuntutan Rakyat Dalam 1 Minggu'-'8
Tuntutan Rakyat dalam 1 Tahun. Adapun 17 tuntutan pertama merupakan tuntutan
jangka pendek yang harus diselesaikan dalam 1 minggu. Tuntutan ini ditujukan
kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR, Ketum parpol, kepolisian, TNI, dan
kementerian sektor ekonomi dengan batas waktu penyelesaian hingga 5 September
2025.
Penulis fokus menyoal isu bubarkan DPR hingga tersisa
tuntutan yang sifatnya administratif. Mereka hanya menyoal Tugas Dewan
Perwakilan Rakyat untuk melakukan tindakan bekukan kenaikan gaji/tunjangan
anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).
Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah,
fasilitas DPR). Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah
(termasuk selidiki melalui KPK).
Kemudian Mereka Menyoal Tugas Ketua Umum Partai Politik
dengan merekomendasikan pemecatan atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR
yang tidak etis dan memicu kemarahan publik. Umumkan komitmen partai untuk
berpihak pada rakyat di tengah krisis. Libatkan kader dalam ruang dialog publik
bersama mahasiswa serta masyarakat.
Awas Penumpang Gelap
Secara pribadi Saya tidak mengenal mereka, namanya unik dan
kekinian. Tidak kenal baik secara personal atau kelembagaan.
Mereka berhasil mendompleng dan bahkan mendominasi ruang
media sosial hingga viral dan isi serta isu menumpang aksi demo hingga menjadi
manusia-manusia terkenal dadakan. Mungkin saya yang salah persepsi karena
kurang gaul atau koneksi.
Tapi, rasa penasaran dan kecurigaan justru kian membara,
fenomena unik yang melibatkan banyak aktor-aktor diaspora Indonesia, memberikan
kisah dan kiprahnya hingga tersohor seantero Indonesia.
Siapakah Mereka? Apakah mereka dalam para pejuang demokrasi
organik atau hanya influencer online yang tiba -tiba mengambil manfaat sesaat
dari panggung demonstrasi yang betul-betul murni gerakan Masyarakat sipil. Keraguan
hingga dugaan keterlibatan mereka sebagai agen spionase atau bahkan aktor
lapangan memungkinkan terjadi pula. Hanya dugaan semoga salah.
Tuntutan yang Tertukar
Penulis fokus menyoal isu bubarkan DPR hingga tersisa
tuntutan yang sifatnya administratif. Mereka hanya menyoal Tugas Dewan
Perwakilan Rakyat untuk melakuan tindakan bekukan kenaikan gaji/tunjangan
anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).
Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah,
fasilitas DPR). Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah
(termasuk selidiki melalui KPK).
Kemudian Mereka Menyoal Tugas Ketua Umum Partai Politik dengan
merekomendasikan pemecatan atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang
tidak etis dan memicu kemarahan publik. Umumkan komitmen partai untuk berpihak
pada rakyat di tengah krisis. Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama
mahasiswa serta masyarakat.
DPR Gagal Dibubarkan
Justru hal yang mendasar tuntutan masyarakat DPR dibubarkan
diletakkan dalam rangkuman tuntutan 8 dan diberlakukan sebagai pasal tuntutan
jangan panjang, bukan diletakkan skala prioritas utama yang harusnya menjadi
sasaran utama dalam waktu sesingkat-singkatnya. Lebih khuauat, tuntutan DPR
dibubarkan hilang dan hanya sifatnya upaya revitalisasi DPR dan Parpol beserta
Sistem Pemilunya.
Akhirnya DPR gagal dibubarkan, tidak ada klausul pembubaran
DPR lagi. Ketika Pimpinan DPR ( 5/09/2025) telah memberikan jawaban apa yang
dituntut dalam beberapa pasal 17, sejatinya adalah keputusan receh dan tidak
subtansi.
Kita bukannya disuguhi oleh keputusan fenomenal tetapi justru
hanya hadir kesepakatan administrasi, urusan gaji dan fasilitas dpr yang
dikurangi, kunjungan luar negeri ditiadakan dan penghentian sementara DPR yang
jadi pelawak saat gelaran resmi MPR.
Tetapi, ketika demo mulai landai, adanya upaya Damai kedua
pihak baik rakyat dan pemerintah justru terjadi kudeta bergeser subtansi
tuntutan rakyat. Manipulasi dan rekayasa yang sangat cerdas dan penuh
strategis.
Pembauran cipta kondisi yang rapi hingga rakyat tidak paham
sesungguhnya apa yang sedang terjadi hingga pada akhir drama tuntutan demo
bubarkan DPR dibayarkan oleh secuil keputusan Pimpinan DPR, itu pun masih bisa
dan tidak jelas ketepatan dan realisasikan. Lagi-lagi terkesan manipulatif dan
tensius melemparkan isi dan isu krusial.
Ini adalah mungkin kegagalan parah yang disengaja dan
sistematis. Apakah teman -teman yang ngotot untuk pembubaran DPR harus puas
dengan jalan Damai sementara yang ditawarkan oleh DPR?
Tuntutan bubarkan DPR yang kandas bisa jadi merupakan
konspirasi dan elaborasi sebuah kecerdasan politik yang amat dahsyat dan sangat
sesat.
Penulis curiga ada pihak yang sengaja menjadi aktor dibalik
gagalnya tuntutan bubarkan DPR. Bukannya hanya menuduh , Penulis semakin yakin
jika ada dalang, aktor perantara dan juga pihak sebagai pion. (*)