Seskab Teddy saat menerima penganugerhan dari Presiden Prabowo/Int 

 

JAKARTA — Penganugerahan Bintang Mahaputera Utama kepada Sekretaris Kabinet Teddy menuai banayk kritik. Pasalnya, penghargaan yang diberikan kepada seorang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang juga bertugas di pemerintahan sipil tersebut dianggap berlebihan.

 

Penilaian tersebut diungkapkan Peneliti ISEAS, Made Supriatma yang mengaku terkejut dengan penganugerahan gelar tersebut bukan hanya kepada Teddy tetapi juga kepada Haji Isam.

 

"Saya tidak tahu bagaimana dua orang ini dianggap berhak mendapatkan anugerah sebagai warga utama dan teladan Republik ini. Mengapa Teddy? Apakah melayani Presiden sehari-hari membuat Anda memenuhi kualifikasi berjasa untuk bangsa dan negara?" tanya Made dikutip dari akun media sosialnya, Selasa (26/8/2025).

 

"Juga Haji Isam. Mengapa harus dia? Apakah ada keberhasilannya yang luar biasa? Bukankah dia baru mulai bekerja untuk food estate dan transisi energi? Proyek gasifikasi batubaranya baru mulai dan yang beli pun PLN, perusahaan negara," sambungnya.

 

Para pejabat, kata dia, dari atas hingga ke bawah sungguh kehilangan rasa dan kepekaan terhadap rakyat biasa — para pembayar pajak yang mengongkosi hidup mewah mereka.

 

"Hari ini (kemarin) ada demo besar di Jakarta dan Pati. Di Jakarta massa marah dengan kenaikan gaji para anggota DPR — yang sebagian besar adalah pengusaha dan artis itu. Mereka sebenarnya tidak butuh-butuh amat dengan uang. Tapi ya itulah. Mobil mereka harus belasan dan harganya miliaran sebijinya," ungkap Made.

 

Di Pati, Bone, dan Cirebon ada protes. Rakyat biasa marah karena hidup mereka makin susah. Para elite membuat angka-angka yang menunjukkan bahwa hidup di negeri ini baik-baik saja. Mereka hidup dalam bubble atau gelembung yang mereka bikin sendiri.

 

Para pejabat dari atas hingga ke bawah sungguh sudah kehilangan empati. Kehilangan bela rasa akan hidup rakyat yang semakin mereka cekik. Mereka semakin bergelimang kemewahan, kemegahan, dan kemuliaan.

 

Mereka bergaul dengan sesama mereka sendiri. Saling mendengar, saling memuji, dan saling menjilat. Hasilnya ditunjukkan dengan sangat gamblang: obral penghargaan untuk lingkaran sendiri. Untuk ajudan dan kroni.

 

"Seperti Anda, saya pun lelah melihat semua arogansi dan ketidakpekaan ini. Saya lelah melihat mereka menari-nari dan menyanyi sementara masa depan terlihat tidak ada. Mereka merasa masa depan mereka indah karena mereka punya tentara, polisi, jaksa, dan hakim — yang sebenarnya kita biayai," kritiknya.

 

Bagi Made, ini adalah OrBa yang dimampatkan — compacted New Order. Situasinya persis seperti Suharto menjelang pemilihan umumnya yang terakhir. Masih ingat semua orang berlomba menjilat? Tutut baca puisi bikinannya sendiri dan menangis membayangkan penderitaan rakyat — yang tidak pernah dialaminya? 

 

Untuk mereka, lanjut Made, rakyat adalah hiburan. Yang bisa membuat mereka berduka namun tanpa empati. Tanpa harus merasakan kepahitan dan kesakitan hidupnya.

 

Sejarah pernah punya gambaran untuk zaman seperti ini. Menurut Made Supriatma, inilah zaman Kalabendu — zaman semuanya edan. Namun sekaligus, zaman seperti ini adalah zaman bergerak. Zaman ketika semua orang bangkit untuk menuntut perbaikan dalam hidup bersama.

 

Zaman bergerak. Zaman vergadering. Zaman berkumpul. Zaman berhimpun membangun kekuatan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. "Anda berdiri di mana?" tutup Made Supriatma. (fajar)

 

Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.