Oleh: Muhammad Sutisna
PASCA-pemberian abolisi dan amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto telah mencuri perhatian publik bahkan menimbulkan respon beragam dari berbagai kalangan. Dimana menurut penulis langkah ini merupakan sebagai manuver cerdas Presiden dalam meredam polarisasi politik dan memperkuat stabilitas politik.
Sederhananya kasus ini membentuk persepsi publik tentang rasa pesimisme terhadap pemerintah ketika bagi siapa saja yang tak dekat dengan penguasa tentu akan mudah terjerat kasus hukum. Namun berkat sensitivitas Presiden terhadap dinamika politik yang terjadi, rasa pesimisme itu perlahan hilang. Ada secercah harapan di masyarakat, kini Pemerintah tak akan menggunakan hukum untuk membungkam lawan politiknya.
Namun perlu menjadi catatan adalah setelah berhasil membuat
stabilitas politik menjadi tak keruh. Penting untuk melakukan stabilitas
ekonomi. Meskipun dalam konteks teori ekonomi politik, keputusan ini selaras
dengan pendekatan neoklasik yang menekankan pentingnya stabilitas institusional
sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi.
Apalagi Dalam teori ekonomi politik, stabilitas politik dan ekonomi saling terkait erat. Menurut Douglass North, institusi yang kuat dan stabil menjadi fondasi bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang karena mengurangi ketidakpastian.
Langkah Presiden Prabowo memberikan amnesti kepada
tokoh-tokoh politik seperti Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto mencerminkan
upaya membangun kohesi sosial dan politik, yang merupakan prasyarat bagi iklim
investasi yang kondusif. Namun, stabilitas politik tanpa diimbangi stabilitas
ekonomi hanya akan menjadi kemenangan sementara.
Seperti apa yang dikatakan oleh Joseph Schumpeter dalam teori
"creative destruction" menegaskan bahwa inovasi kebijakan dan
kepemimpinan yang adaptif diperlukan untuk menghadapi disrupsi ekonomi. Saat
ini, kinerja sejumlah menteri, khususnya Menteri Perdagangan Budi Santoso,
menjadi titik lemah yang menghambat kemampuan pemerintah merespons tantangan
ekonomi.
Apalagi kalau kita melihat neraca perdagangan Indonesia yang
terus merosot menjadi indikator krisis yang nyata. Seperti yang kita lihat
dalam Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa pada 2024, neraca
perdagangan mengalami defisit akibat kebijakan impor yang kurang terkontrol,
seperti yang diatur dalam Permendag Nomor 3 dan 7 Tahun 2024.
Dimana kebijakan ini memicu banjir barang impor ilegal, yang
tidak hanya melemahkan industri lokal, tetapi juga memperburuk posisi UMKM yang
menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Selain itu, kegagalan menjaga stabilitas harga komoditas
strategis seperti MinyaKita dan gas 3 kg telah memicu keresahan sosial, yang
dalam teori ekonomi politik ala Karl Polanyi disebut sebagai "double
movement"--reaksi masyarakat terhadap ketidakadilan pasar yang tidak
diimbangi perlindungan sosial. Jika dibiarkan, kondisi ini dapat memicu
deflasi, menekan investasi, dan meningkatkan pengangguran, yang pada akhirnya
mengancam legitimasi pemerintahan.
Sehingga penting bagi pemerintah untuk segera melakukan
Reshuffle kabinet. Karena reshuffle bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi juga
imperatif strategis dalam kerangka ekonomi politik.
Dalam teori principal-agent, Presiden sebagai principal harus
memastikan bahwa agen (menteri) yang ditunjuk memiliki kompetensi dan visi yang
selaras dengan tujuan nasional. Kegagalan Menteri Perdagangan saat ini dalam
merumuskan kebijakan yang mendukung daya saing ekonomi nasional menunjukkan
adanya misalignment antara tujuan pemerintahan dan kinerja kabinet.
Skandal seperti BBM oplosan dan kebijakan impor yang
kontraproduktif telah merusak kepercayaan publik dan pelaku pasar, yang dalam
teori ekonomi politik Robert Gilpin disebut sebagai "krisis
kepercayaan" yang dapat melemahkan kapasitas negara dalam mengelola
ekonomi global.
Untuk mengatasi krisis ini, Presiden Prabowo perlu mengambil
langkah berani dengan mereshuffle kabinet, khususnya posisi Menteri
Perdagangan. Nama Harvick Hasnul Qolbi muncul sebagai kandidat yang layak.
Dengan pengalaman sebagai Wakil Menteri Pertanian pada era Jokowi-Ma’ruf Amin,
Harvick telah menunjukkan kemampuan dalam merumuskan kebijakan yang berpihak
pada rakyat.
Mengingat kiprahnya di Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ketua
Lembaga Perekonomian dan salah satu Bendahara PBNU mencerminkan pemahaman
mendalam terhadap pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, yang sangat relevan
untuk memperkuat UMKM dan sektor perdagangan.
Sosok Harvick Hasnul Qolbi sendiri memiliki rekam jejak yang
kuat untuk membawa perubahan signifikan di Kementerian Perdagangan.
Pengalamannya dalam mengelola kebijakan pangan di Kementerian Pertanian
menunjukkan kapasitasnya dalam menangani isu-isu strategis yang berdampak
langsung pada rakyat. Ia juga dikenal sebagai intelektual muda yang mampu
menjembatani kepentingan pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
Dalam konteks perdagangan, Harvick berpotensi memperbaiki
kebijakan impor dengan pendekatan yang lebih protektif terhadap industri lokal,
sekaligus mendorong ekspor produk bernilai tambah tinggi. Ini sejalan dengan
teori ekonomi politik merkantilisme modern, yang menekankan pentingnya surplus
perdagangan untuk memperkuat posisi ekonomi nasional.
Mengingat tantangan ke depan tidaklah ringan. Mulai dari
Krisis ekonomi global, disrupsi rantai pasok, dan meningkatnya proteksionisme
di pasar internasional menuntut Menteri Perdagangan yang mampu berpikir
strategis dan bertindak cepat. Jika Presiden Prabowo gagal mengambil langkah
tegas, kepercayaan publik dan pelaku pasar akan terus terkikis, yang dalam
teori ekonomi politik dapat memicu "legitimacy crisis" bagi
pemerintahan.
Sebaliknya, dengan menempatkan figur seperti Harvick,
pemerintahan dapat menunjukkan komitmen pada perubahan progresif, yang tidak
hanya menjawab tantangan ekonomi, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di
panggung global.
Oleh karena itu dalam melihat Langkah Presiden Prabowo yang
memberikan abolisi dan amnesti telah menunjukkan keberanian dalam menjaga
stabilitas politik. Namun, tantangan yang lebih besar kini terletak pada
stabilitas ekonomi, yang menuntut reshuffle kabinet sebagai langkah strategis.
Sehingga saatnya Presiden Prabowo bertindak tegas, menjadikan
reshuffle sebagai titik balik menuju pemerintahan yang lebih kuat, inklusif,
dan berorientasi pada kemajuan bangsa. ***
*Penulis adalah Co Founder Forum Intelektual Muda