Yusril Ihza Mahendra -Facebook Yusril Ihza Mahendra
JAKARTA — Managing Director Political
Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, tiba-tiba mengkritik
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Yusril Ihza
Mahendra.
Anthony menilai Yusril tidak konsisten menanggapi pemisahan
jadwal pilkada dan pilpres.
"Yusril terkesan tidak konsisten," ujar Anthony
kepada fajar.co.id, Rabu (2/7/2025).
Dikatakan Anthony, pernyataan Yusril yang menyebut pemisahan
waktu pemilu berpotensi melanggar konstitusi karena menunda pemilu lokal selama
2 hingga 2,5 tahun, justru bertentangan dengan sikapnya terhadap Pemilu
Serentak 2024 yang lalu.
"Kalau alasan penundaan dianggap melanggar konstitusi,
maka Pemilu Serentak 2024 yang menyebabkan pilkada ditunda juga termasuk
pelanggaran konstitusi," ucapnya.
Tidak berhenti di situ, ia menyinggung bahwa pada Pemilu
2024, pelaksanaan pilkada ditunda 1 hingga 2 tahun, dan kepala daerah yang masa
jabatannya habis diganti oleh penjabat yang ditunjuk Menteri Dalam Negeri.
"Tentu saja pengangkatan penjabat kepala daerah ini juga
melanggar konstitusi, karena kepala daerah seharusnya dipilih secara demokratis
melalui pemilihan umum," tegas Anthony.
Anthony mempertanyakan logika hukum Yusril yang hanya
menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemisahan pemilu.
Ia mengatakan bahwa Yusril justru tidak bersuara keras
terhadap penundaan pilkada dan pengangkatan penjabat kepala daerah di masa
pemerintahan sebelumnya.
"Kalau pemerintah ketika itu bisa menunda pemilihan umum
kepala daerah serta mengangkat penjabat, kenapa sekarang tidak bisa?,"
cetusnya.
Kata Anthony, format pemilu serentak seperti pada 2024 lalu
justru menguras energi besar dan hasilnya tidak optimal.
“Yang pasti, model pemilu serentak tahun 2024 menghabiskan
banyak energi. Hasilnya tidak maksimal dan berisiko tinggi secara teknis maupun
politik,” terangnya.
Anthony berharap Yusril dapat bersikap lebih komprehensif dan
konsisten dalam menyikapi putusan MK maupun isu-isu konstitusional lainnya.
“Yang perlu diperhatikan, apakah putusan MK juga sejalan
dengan aspirasi masyarakat luas? Semoga Yusril bisa menyikapi putusan MK ini
secara menyeluruh dan konsisten,” kuncinya.
Sebelumnya, dikutip dari Antara, Yusril Ihza Mahendra
menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu
nasional dan lokal mengharuskan pemerintah bersama DPR untuk menyusun ulang
Undang-Undang Pemilu.
Menurut Yusril, karena putusan MK bersifat final dan mengikat,
maka tak ada pilihan lain bagi pemerintah dan legislatif selain segera
melakukan pembahasan regulasi pemilu secara menyeluruh.
"Sekarang sudah mau tidak mau karena memang itu sudah
putusan MK, final dan binding (mengikat). Pemerintah dan DPR harus merumuskan
kembali Undang-Undang Pemilu, termasuk sejumlah masalah baru yang timbul,
misalnya mengenai anggota DPRD," kata Yusril kepada awak media di Kantor
Komnas HAM, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Pernyataan tersebut disampaikan Yusril sebagai respons
terhadap keputusan MK yang menyatakan bahwa pemilu serentak secara
konstitusional adalah dengan memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu
daerah (lokal).
Berdasarkan putusan itu, pemilihan kepala daerah serta
anggota DPRD akan digelar dua tahun atau dua setengah tahun setelah pelantikan
presiden, wakil presiden, anggota DPR dan DPD hasil Pemilu Nasional.
Yusril menjelaskan bahwa dengan skema baru tersebut, kepala
daerah yang masa jabatannya berakhir pasca-2024 kemungkinan besar akan
digantikan oleh penjabat kepala daerah hingga pilkada serentak digelar pada
2029.
Meski demikian, Yusril menilai bahwa implementasi model ini
dapat menimbulkan persoalan baru, khususnya terkait masa jabatan anggota DPRD
hasil Pemilu 2024.
"Bagaimana halnya dengan anggota DPRD? Apakah bisa
anggota DPRD itu diperpanjang? Apakah ini tidak against (menentang) konstitusi
sendiri karena memang anggota DPRD itu harus dipilih oleh rakyat?,"
tandasnya.
Oleh karena itu, Yusril menegaskan perlunya diskusi dan
kajian yang mendalam antara pemerintah dan DPR agar tindak lanjut dari putusan
MK tersebut tidak justru melanggar ketentuan konstitusional lainnya. (fajar)