Ilustrasi filsafat hukum (Foto pixabay.com). 


OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI* 

SENIN dan hari Rabu besok, sebuah babak lanjutan dalam praktek hukum Indonesia menyangkut dugaan ijazah palsu Jokowi akan di besut. Kegiatan itu bernama Gelar Perkara Khusus.

 

Pada tulisan sebelumnya dengan Tema yang sama seorang advokat yang kerap mengkritisi kinerja kepolisian, merespon tulisan saya yang kurang tajam. Rekan advokat tersebut adalah Sugeng Teguh Santoso, Direktur Eksekutif Indonesia Police Watch (IPW).

 

Artikel ini semoga menjawab dan menguatkan babak baru Gelar Perkara.

 

Di balik kerumitan pasal dan hiruk-pikuk penyidikan perkara, ada satu forum yang kerap luput dari sorotan publik: Gelar Perkara Khusus. Ia adalah ruang internal di tubuh kepolisian, tempat penyidik, atasan, dan kadang pejabat eksternal duduk bersama memutuskan nasib suatu perkara. Apakah layak naik penyidikan, dihentikan, atau diredam? 

 

Namun pertanyaan mendasarnya bukan sekadar teknis: Apakah Gelar Perkara itu adil? Pertanyaan yang lebih radikal adalah: Apakah hukum -sebagai sistem dan institusi- benar-benar netral?

 

Untuk menjawabnya, kita perlu melongok ke dalam satu pendekatan hukum progresif yang sejak lama mengkritik “mitos netralitas hukum”: Critical Legal Studies (CLS). Aliran ini menolak pandangan bahwa hukum adalah sistem yang objektif dan bebas nilai. Sebaliknya, CLS melihat hukum sebagai produk dari kekuasaan yang telah dilembagakan, bukan sekadar alat pencari keadilan.

 

Hukum yang Tidak Pernah Netral

 

Banyak orang percaya bahwa hukum bekerja secara impersonal: siapa pun pelakunya, jika cukup bukti, pasti diproses. Namun pengalaman menunjukkan bahwa praktik Gelar Perkara sering kali justru memperlihatkan hal sebaliknya. Di sinilah hukum tidak lagi bekerja sebagai sistem rasional, tetapi sebagai arena negosiasi kekuasaan.

 

CLS menyebut ini sebagai bentuk indeterminacy -bahwa hukum tidak pernah benar-benar pasti, karena selalu terbuka terhadap penafsiran, dan penafsiran itu tak lepas dari ideologi, jabatan, atau kekuasaan politik.

 

Lihatlah bagaimana Gelar Perkara Khusus berlangsung: tanpa akses publik, tanpa catatan deliberatif yang dapat diuji, tanpa partisipasi korban atau masyarakat. Dalam konteks ini, hukum bekerja secara tertutup dan sangat bergantung pada struktur hierarkis institusinya. Publik hanya bisa menebak hasilnya dari ucapan juru bicara, bukan dari transparansi proses.

 

Gelar Perkara: Arena Kekuasaan, Bukan Forum Keadilan

 

Salah satu ciri khas CLS adalah kritik terhadap hukum sebagai alat dominasi. Hukum, dalam banyak hal, bukan sekadar teks atau norma, tapi merupakan bahasa kekuasaan yang telah dilembagakan. Gelar Perkara Khusus, dalam banyak kasus, menjadi ritual administratif untuk menutup akses terhadap keadilan substansial.

 

Ketika seorang pejabat diduga melakukan pelanggaran hukum, kita menyaksikan serangkaian gelar perkara yang berujung pada kesimpulan: tidak cukup bukti. Tetapi ketika rakyat kecil terlibat perkara sepele, proses hukum bisa melaju tanpa perlu digelar -langsung masuk penyidikan, dan kadang vonis.

 

CLS menyebutnya sebagai bentuk exclusionary legality -hukum yang hanya berlaku keras bagi yang lemah, dan lunak bagi yang berkuasa. Ini bukan kesalahan prosedur; ini adalah cerminan ideologis dari bagaimana hukum dikendalikan oleh struktur sosial-politik dominan.

 

Membongkar Mitos Proseduralisme

 

Selama ini kita diajarkan untuk percaya pada prosedur. Bahwa jika semua langkah hukum ditempuh sesuai aturan, maka keadilan akan tercapai. Namun CLS membongkar mitos ini: prosedur bisa dilembagakan justru untuk menghalangi keadilan.

 

Gelar Perkara adalah contoh sempurna: sebuah prosedur yang tampak sah, tapi tertutup dari pengawasan publik. Kita tidak tahu siapa yang bersuara, bagaimana argumen dibangun, dan apa pertimbangan hukumnya. Hasilnya? Kita dipaksa percaya bahwa proses itu adil?"tanpa pernah bisa mengujinya.

 

Sebagaimana dikatakan Roberto Unger, salah satu tokoh CLS, “coherence in law is often a disguise for domination.” Keserasian prosedural sering kali menyembunyikan dominasi kekuasaan atas hukum.

 

Urgensi Dekonstruksi dan Reformasi

 

Apa yang harus dilakukan? CLS bukan sekadar alat kritik, tapi juga seruan untuk dekonstruksi: membongkar cara-cara lama kita memahami hukum, lalu membangun ulang dengan fondasi yang lebih demokratis dan partisipatif.

 

Gelar Perkara semestinya dibuka untuk pengawasan eksternal. Korban dan masyarakat perlu dilibatkan, dan hasilnya harus dapat diuji secara publik. Tanpa transparansi, hukum akan terus menjadi alat kuasa, bukan instrumen keadilan.

 

Kita perlu sadar bahwa yang kita hadapi bukan sekadar praktik gelar perkara, tapi seluruh paradigma hukum yang menganggap dirinya netral padahal bias secara sistemik.

 

Penutup

 

Di era keterbukaan informasi, saat masyarakat makin sadar hukum, kita tidak bisa lagi mentolerir praktik hukum yang gelap dan eksklusif. Gelar Perkara Khusus hanyalah satu contoh dari banyaknya ruang dalam sistem hukum kita yang perlu diterangi.

 

Critical Legal Studies mengingatkan kita bahwa hukum tidak bisa dipahami sebagai kumpulan pasal. Ia adalah arena ideologis, tempat kebenaran bisa ditekan atas nama prosedur. Dan selama kita percaya pada mitos netralitas hukum, keadilan akan tetap menjadi ilusi. (*)


*Pengacara, analis hukum progresif, hak asasi manusia, kritik terhadap struktur hukum formalistik dan mantan wartawan  kepresidenan.


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.