Tom Lembong saat dihalangi berbicara ke wartawan 

 

JAKARTA — Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menilai perhitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus impor gula mentah yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong sangat aneh dan tidak masuk akal.

 

Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024 dalam kasus impor gula kristal mentah (GKM) untuk diolah menjadi gula kristal putih (GKP) yang terjadi pada 2015 dan 2016. Namun, penetapan itu dinilai cacat sejak awal.

 

“Tidak ditemukan aliran dana atau keuntungan pribadi kepada Tom Lembong dalam perkara ini. Artinya, tidak ada unsur korupsi yang memperkaya diri sendiri,” ujar Anthony dikutip pada Jumat (4/7/2025).

 

Karena tidak bisa dibuktikan meraup keuntungan pribadi, tuduhan terhadap Lembong pun bergeser. Ia dituduh menguntungkan pihak lain dan menyebabkan kerugian keuangan negara. Namun menurut Anthony, unsur ini pun patut dipertanyakan.

 

Ia menyoroti fakta bahwa saat penetapan tersangka dan penahanan Tom Lembong dilakukan, BPKP bahkan belum menyampaikan laporan perhitungan kerugian negara. Laporan itu baru diserahkan ke kejaksaan pada 20 Januari 2025.

 

“Artinya, saat Lembong ditahan, jaksa belum tahu apakah benar ada kerugian keuangan negara atau tidak. Ini sangat fatal. Penahanan itu bisa dikategorikan tidak sah,” tegasnya.

 

Dalam laporan yang disusun oleh tim investigasi BPKP yang terdiri dari enam orang itu, disebutkan bahwa kerugian negara berasal dari dua sumber.

 

Pertama, karena harga beli gula oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebesar Rp9.000 per kg dianggap terlalu mahal dibanding harga dasar (HPP) sebesar Rp8.900 per kg.

 

Kata Anthony, istilah “kelebihan bayar” yang dipakai BPKP sangat menyesatkan. Transaksi itu dilakukan secara sah dan sesuai kesepakatan bisnis. 

 

Bahkan, harga beli PT PPI jauh lebih rendah dibanding harga pembelian gula petani oleh BUMN lain seperti PTPN dan RNI, yang mencapai lebih dari Rp13 ribu per kg.

 

“Kalau logika BPKP dipakai, maka perusahaan BUMN itu juga harus dijadikan tersangka karena membeli gula jauh di atas HPP. Ini menunjukkan standar ganda,” ucapnya.

 

Selain itu, BPKP juga menyebut ada unsur kerugian karena perusahaan gula rafinasi dianggap kurang bayar bea masuk dan pajak impor. Namun Anthony menyebut tuduhan ini ngawur dan tak berdasar.

 

Yang diimpor adalah gula kristal mentah, dan perusahaan telah membayar seluruh kewajiban bea masuk, PPN impor, dan PPh Pasal 22 sesuai aturan.

 

Anehnya, BPKP menghitung seolah-olah yang diimpor adalah gula kristal putih, yang tarif bea masuknya jauh lebih tinggi.

 

“Ini seperti memaksakan sesuatu yang tidak ada, menjadi seolah-olah ada. Logika hukumnya dipelintir,” tukas Anthony.

 

Lebih jauh, ia menyebut pajak impor seperti PPN dan PPh Pasal 22 bersifat dibayar di muka dan diperhitungkan di laporan pajak tahunan. Jika pun ada kekurangan, itu menjadi ranah otoritas pajak, bukan pidana.

 

“BPKP dan Kejaksaan Agung sudah melampaui kewenangannya dalam menetapkan bahwa ada kurang bayar pajak. Ini administrasi perdata, bukan pidana,” Anthony menuturkan.

 

Atas dasar itu semua, Anthony menduga kuat ada unsur rekayasa dalam proses hukum terhadap Tom Lembong. Ia meminta BPKP, khususnya tim investigasi dalam kasus impor gula ini, menjelaskan kepada publik dasar perhitungannya. 

 

“Kalau ada kelebihan bayar dalam transaksi komersial, kenapa Tom Lembong yang disalahkan? Kalau ada kekurangan bayar pajak, kenapa bukan perusahaan yang ditindak? Banyak kejanggalan di sini,” tandasnya. (fajar)


Label:
This is the most recent post.
Posting Lama

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.