Tom Lembong, Jokowi, dan Hasto. (INT)
JAKARTA — Saat ini, ada 2 kasus hukum yang
menjadi sorotan publik. Kasus-kasus tersebut masing-masing telah memaksa dua
tokoh politik oposisi kembali ke pengadilan, yaitu kasus impor gula Tom Lembong
dan kasus dugaan suap yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto
Kristiyanto.
Anehnya, kedua kasus itu sama-sama menuntut dua tokoh oposisi
ini dengan tuntutan pidana 7 tahun penjara.
Anehnya, kedua kasus tersebut sama-sama membuat kedua tokoh
oposisi itu dituntut 7 tahun penjara. Hal ini membuat publik makin curiga
dengan dugaan adanya pesanan hukum, khususnya di media sosial. Pasalnya,
menurut netizen, angka 7 diduga sebagai simbol pihak yang berwenang mengatur
kasus hukum terhadap lawan politik.
"Tom Lembong dituntut 7 tahun. Hasto Kristianto dituntut
7 tahun. Jokowi mantan Presiden RI ke-7. Bisa pas gtu ya angkanya?🙄," tulis akun pegiat media
sosial bercentang biru di X, @BosPurwa, dikutip Minggu, (6/7/2025).
Cuitan yang telah dilihat lebih dari 11,3 ribu pengguna
aplikasi milik Elon Musk itu pun ramai dikomentari netizen.
"Sebenarnya yg tuntutan tom Lembong itu bingung, jadi
mending samain aja?" balas warganet di kolom komentar.
",,,sesuai pesanan Hukumannya mngkin,biar estetik,"
ujar lainnya.
"Order dari mantan si 7 ,kah ?," cuap lainnya.
Sementara itu, menurut mantan Penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap, tuntutan tersebut dinilai terlalu berat
lantaran Tom tidak menikmati hasil korupsi.
“Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun tidak berhasil membuktikan
adanya aliran dana kepada Tom Lembong atau menikmati hasil korupsi," ujar
Yudi, Minggu (5/7/2025).
Ada pun, kuasa hukum Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto,
Maqdir Ismail memandang, tuntutan tujuh tahun penjara oleh jaksa penuntut umum
(JPU) KPK terhadap kliennya sebagai bentuk kriminalisasi politik. Hasto
terjerat kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR dan
perintangan penyidikan perkara Harun Masiku.
Maqdir menyebut, kasus itu tidak semestinya dikategorikan sebagai tindak pidana biasa, melainkan sebagai upaya politisasi hukum.
"Saya kira hal yang sangat perlu mendapat perhatian kita
bahwa perkara ini bukan perkara kejahatan murni, tetapi ini adalah seperti
berulang kali kami katakan, ini adalah perkara politik yang
dikriminalkan," kata Maqdir di Jakarta, Jumat (4/7/2025). (fajar)