Geisz Chalifah
JAKARTA — Mantan Komisaris Ancol, Geisz
Chalifah menanggapi kasus hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Tom
Lembong. Geisz menegaskan, Tom Lembong tidak terbukti menerima uang dan tidak
memiliki hubungan pribadi dengan importir yang terlibat dalam kasus tersebut.
"Tom Lembong terbukti tidak menerima uang, dia juga tak
mengenal para importir secara pribadi. Berhubungan dengan mereka secara
personal maupun diwakili orang lain," ujar Geisz di X @GeizsChalifah
(9/7/2025).
Meski begitu, Tom Lembong tetap menghadapi tuntutan tujuh
tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta.
Geisz menyebut kasus ini bermula dari pelaksanaan kebijakan
yang disebutnya sebagai perintah langsung Presiden.
"Tom Lembong dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp750
juta. Karena melaksanakan perintah Presiden. Apakah itu lucu? Tidak ini semua
tidak lucu, melainkan bejat," tegasnya.
Geisz pun menilai hukum telah dijadikan alat untuk menyerang
pihak yang berbeda pandangan politik.
Ia menyatakan siap hadir dalam sidang ke-21 Tom Lembong untuk
memberikan dukungan langsung, sembari mengajak masyarakat bergabung menunjukkan
solidaritas.
"Besok saya akan hadir. Memberi dukungan secara
langsung. Sidang Tom Lembong ke 21. Teman-teman yang mau gabung silahkan
hadir," ucapnya.
"Kita tunjukan kepada mereka semua dengan kepala tegak,
bahwa kita bukan kaum Hipokrit dan Oportunis seperti PSI dan sebangsatnya. Kita
hadapi ketidak adilan ini," tandasnya.
Sebelumnya, Managing Director Political Economy and Policy
Studies (PEPS), Anthony Budiawan, kembali secara blak-blakan menyebut penahanan
Tom Lembong dan delapan pejabat perusahaan gula rafinasi sebagai bentuk nyata
kriminalisasi yang brutal.
Anthony mengutip pernyataan Jaksa Agung Hendarman Supandji
yang memandang bahwa kasus dapat dikatakan sebagai kriminalisasi jika ada
perbuatan yang bukan termasuk tindak pidana, kemudian dikriminalkan.
"Penjelasan tersebut memberi kesimpulan penting. Bahwa,
kriminalisasi adalah sebuah pemaksaan terhadap status hukum seseorang,"
ujar Anthony kepada fajar.co.id, Senin (7/7/2025).
Dikatakan Anthony, seseorang dikriminalkan ketika yang
bersangkutan tidak melakukan pelanggaran pidana, tetapi kemudian dicari-cari
seolah-olah melakukan pelanggaran pidana, dengan memberi tuduhan dan
alasan-alasan yang bahkan tidak masuk akal dan melanggar nurani.
"Dalam hal ini penguasa menjelma menjadi hukum itu
sendiri. Karena, penguasa menjalankan hukum menurut kehendaknya secara
sewenang-wenang, alias tirani," sebutnya.
Oleh karena itu, kata Anthony, dalam negara hukum seperti
Indonesia, kriminalisasi kasus hukum termasuk kategori tindakan kriminal yang
mencederai kebenaran dan perjuangan penegakan hukum, karena dilakukan untuk
menghukum seseorang yang tidak melanggar pidana.
Berdasarkan definisi ini, Anthony menekankan bahwa penahanan
Tom Lembong sejak 29 Oktober 2024 dan delapan pejabat perusahaan gula rafinasi
sejak 20 Januari 2025 merupakan bentuk nyata kriminalisasi.
"Karena Tom Lembong sejatinya tidak melakukan pelanggaran
pidana dalam pemberian persetujuan izin impor gula kristal mentah (GKM) kepada
delapan perusahaan gula swasta untuk diolah menjadi gula kristal putih
(GKP)," tukasnya.
Ia justru memiliki pandangan lain, melihat bahwa Tom Lembong
telah menyelamatkan industri gula (kristal putih) nasional dari krisis gula,
serta menguntungkan perekonomian negara.
"Tidak ada peraturan yang melarang impor gula dilakukan
dalam bentuk GKM untuk diolah menjadi GKP. Tetapi, Jaksa mencari-cari, bahwa
impor gula wajib dilakukan dalam bentuk GKP, dengan menggunakan dasar hukum
Pasal 4 Permendag No 117/2015," ucap Anthony.
Dibeberkan Anthony, bunyi pasal tersebut bukan melarang impor
GKM. Tetapi, pembatasan impor GKP, yang hanya dapat dilakukan dalam rangka
mengendalikan ketersediaan dan kestabilan harga GKP.
Ia menekankan, alasan Jaksa merupakan bentuk pemaksaan, dari
tidak ada pelanggaran peraturan, apalagi pelanggaran pidana, tetapi dipaksa
untuk ada pelanggaran peraturan dan pidana.
"Tom Lembong tidak menerima suap dari pihak manapun.
Dalam hal ini, Tom Lembong tidak melakukan pelanggaran pidana," tegasnya.
Anthony mengatakan bahwa Jaksa mencari-cari celah pidana.
Jaksa bermanuver, pemberian persetujuan impor GKM kepada delapan perusahaan
gula rafinasi untuk diolah menjadi GKP telah menguntungkan pihak lain yang
mengakibatkan kerugian keuangan negara.
"Sejauh ini tidak ada bukti kerugian keuangan negara.
BPKP (Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan) kemudian ditugaskan untuk
melakukan audit investigasi untuk penghitungan kerugian keuangan negara.
Laporan selesai 20 Januari 2025," jelasnya.
Dan pada hari itu juga, lanjut Anthony, delapan pejabat
tinggi perusahaan gula rafinasi ditahan. Mereka menjadi korban, victim, atau
tumbal untuk kriminalisasi Tom Lembong.
Selanjutnya, Anthony membeberkan bahwa perhitungan kerugian
keuangan negara hasil audit investigasi BPKP sangat tidak masuk akal dan
melanggar nurani.
"BPKP berpendapat harga gula yang dibeli PT PPI dari
perusahaan gula rafinasi sebesar Rp9.000 per kg kemahalan, sehingga merugikan
keuangan negara," imbuhnya.
"BPKP menganggap PT PPI seharusnya membeli dengan harga
dasar sebesar Rp8.900 per kg. Artinya, BPKP menganggap harga dasar adalah harga
maksimum," sambung Anthony.
Olehnya itu, ia beranggapan bahwa alasan kemahalan harga
jelas mengada-ada, tidak masuk akal, dan melanggar nurani.
"Harga dasar jelas bukan merupakan harga maksimum.
Sebaliknya, harga dasar seharusnya berfungsi sebagai harga minimum,"
sesalnya.
Kata Anthony, harga dasar gula hanya berlaku untuk harga gula
ex tebu dari petani, karena prinsip harga dasar adalah untuk melindungi
pendapatan petani, sehingga tidak berlaku untuk harga gula (kristal putih) yang
berasal dari GKM.
Kemudian, faktanya, Anthony menjelaskan bahwa PTPN dan PT RNI
(keduanya adalah BUMN), juga membeli gula dengan harga (lelang) di atas harga
dasar sepanjang tahun 2015-2016. Bahkan harga (lelang) gula rata-rata bulan Mei
dan Juni 2016 mencapai 50 dan 54 persen di atas harga dasar.
"Sekali lagi, seperti dikatakan Jaksa Agung Hendarman
Supandji, kriminalisasi merupakan pemaksaan status hukum seseorang dengan
memberi tuduhan dan alasan-alasan yang tidak masuk akal dan melanggar
nurani," tekannya.
Dijelaskan Anthony, hasil audit BPKP yang tidak masuk akal
tersebut masuk kategori kriminalisasi terhadap Tom Lembong dan delapan
perusahaan gula rafinasi.
"BPKP menyatakan ada kurang bayar bea masuk, pajak impor
(PPh 22), dan PPN impor sehingga merugikan keuangan negara," timpalnya.
"Padahal, perusahaan gula rafinasi sudah membayar semua
kewajiban perpajakannya, baik bea masuk, pajak impor dan PPN impor sesuai
dengan produk yang diimpor yaitu GKM," tambahnya.
Ia kemudian mengingatkan kembali pendapat BPKP yang
menyatakan perusahaan gula rafinasi seharusnya membayar bea masuk dan pajak
(dalam rangka impor) seolah-olah produk yang diimpor adalah GKP, meskipun yang
diimpor adalah GKM.
"Alasan ini jelas sangat, sangat tidak masuk akal.
Bahkan cenderung gila. Bagaimana seseorang impor produk A (GKM) disuruh bayar
bea dan pajak untuk produk B (GKP)? Apakah ini bukan sebuah kegilaan?,"
sesalnya.
"Sekali lagi, penahanan Tom Lembong sejak 29 Oktober 2024 merupakan bentuk nyata kriminalisasi seperti dijelaskan di atas. Karena, pada saat itu, tidak ada bukti pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Tom Lembong tidak ada bukti menerima suap, dan tidak ada bukti merugikan keuangan negara," tandasnya. **