ILUSTRASI. Band Dewa 19 salah satu yang paling getol
mengedukasi publik soal pembayaran royalti
JAKARTA — Direktorat Jenderal Kekayaan
Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menegaskan, pemilik
restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel yang memutar musik di ruang
publik komersial wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak
terkait.
Agung Damarsasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri
di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengatakan bahwa pemilik bisnis
telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau
layanan streaming lainnya.
"Langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium
tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang
publik," ucap Agung, Selasa silam.
Ia menjelaskan layanan streaming bersifat personal, tetapi
ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk
kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui
mekanisme yang sah.
Dia mengatakan pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga
Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang
Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada
para pencipta dan pemilik hak terkait. Skema tersebut memastikan transparansi
dan keadilan bagi seluruh pelaku industri musik serta memudahkan pelaku usaha
karena tidak perlu mengurus lisensi satu per satu dari setiap pencipta lagu.
"Hal ini memberikan keseimbangan agar pencipta atau
pemilik hak terkait musik/lagu mendapatkan hak ekonominya serta pengguna merasa
nyaman dalam berusaha atau menggunakan lagu," tuturnya.
Agung juga menanggapi kekhawatiran sebagian pelaku usaha yang
menyatakan akan memblokir pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran
royalti.
Menurut dia, hal itu justru akan melemahkan ekosistem musik
lokal dan tidak mengapresiasi pencipta/pemegang hak cipta.
Ia berpendapat musik merupakan bagian dari identitas budaya,
sehingga saat pelaku usaha enggan mengapresiasi pencipta lagu Indonesia, maka
yang dirugikan bukan hanya seniman, melainkan juga konsumen dan iklim kreatif
nasional secara keseluruhan.
Sementara itu menanggapi alternatif lain seperti pemutaran
musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri, Agung menyampaikan
pelaku usaha tetap perlu berhati-hati lantaran tidak semua musik instrumental
bebas dari perlindungan hak cipta.
"Beberapa lagu yang diklaim no copyright justru bisa
menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber,
termasuk lagu dari luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban
royalti tetap berlaku,” kata Agung.
Disampaikan bahwa apabila pelaku usaha tidak memiliki
anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih, yaitu
dengan menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free) atau musik dengan lisensi
creative commons, yang memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik
ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung
dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.
Mengenai skema pembayaran, kata dia, pelaku usaha dapat
mendaftarkan usahanya melalui sistem digital LMKN dan membayar royalti sesuai
klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik.
Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris,
dan Korea Selatan, kata dia, sistem serupa sudah diberlakukan sejak lama.
“Namun tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan
negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku
industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” ungkapnya.
Di sisi lain, Agung menekankan pihaknya juga memastikan bahwa
kebijakan tersebut tidak dipukul rata kepada UMKM karena terdapat mekanisme
keringanan atau pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan yang diatur oleh
LMKN, berdasarkan ukuran ruang usaha, kapasitas pengunjung, serta tingkat
pemanfaatan musik dalam operasional harian.
Dirinya pun mengimbau pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan
keringanan secara resmi agar mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung
ekosistem musik nasional.
Ia mengingatkan pelanggaran terhadap kewajiban pembayaran
royalti dapat dikenakan sanksi hukum, namun sesuai Pasal 95 ayat (4) UU Hak
Cipta untuk melakukan mediasi terlebih dahulu.
“Pelindungan hak cipta bukan semata soal kewajiban hukum,
melainkan bentuk penghargaan nyata terhadap kerja keras para pencipta yang
memberi nilai tambah pada pengalaman usaha Anda,” ujar Agung. (era)