Kwik Kian Gie/Net
OLEH: EEP SAEPULLOH FATAH
LAMA sekali komunikasi saya terputus dengan Pak Kwik Kian Gie. Tiba-tiba saja, pada 1 November 2023, melalui pesan WA, Pak Kwik meneruskan video berisi percakapan saya dengan Abraham Samad dalam program YouTube Speak Up.
Menyertai video itu Pak Kwik mengirim emoji jempol berlatar merah putih, dengan lambang Garuda dan tulisan NKRI di dalamnya.
Kamipun bertukar sapa singkat. “Baik, karena usia tidak
begitu mobile lagi,” tulis Pak Kwik, menjawab pertanyaan saya soal kabarnya.
Selepas itu, kami jadi lanjut berkomunikasi. Tidak terlalu
intens. Hanya sesekali.
Pada 13 Desember 2023 misalnya, Pak Kwik mempertanyakan
posisi saya dalam Pilpres 2024. Terlihat benar bahwa ia khawatir saya salah
posisi dengan mendukung Prabowo Subianto. Pak Kwik menunjukkan kelegaannya
setelah saya pastikan saya tidak dalam posisi itu.
Sejak awal November 2023 itu Pak Kwik lumayan rajin mengirimi
saya video yang ia teruskan dari beberapa kanal YouTube.
Tema-tema yang dipilihnya adalah: gugatan terhadap kualitas
Pemilu, perlawanan terhadap Jokowi dan dinasti yang dibangunnya,
kekhawatirannya soal re-militerisasi, dan kegalauannya akan masa depan
demokrasi Indonesia.
Kesan yang saya tangkap dari obrolan-obrolan sangat terbatas
lewat WA itu: Kwik Kian Gie adalah seorang nasionalis yang tak lelah berjuang
untuk bangsa yang dicintainya hingga usia lanjut sudah membatasi mobilitasnya.
Juli 2006, saya dan (Almarhum) Arifin Panigoro berikhtiar
membangun Sekolah Demokrasi Indonesia. Niatnya, kami ingin menyelenggarakan
pendidikan politik yang luas untuk menyiapkan setiap orang menjadi Warga
Negara.
Yang melatari niat itu adalah kekhawatiran kami bahwa
demokrasi Indonesia terus berjalan maju tapi sambil terancam oleh satu bahaya
serius: Defisit para demokrat. Demokrasi pun kelak akan keropos tanpa
ketersediaan para demokrat.
Pak Kwik adalah satu penyokong serius niat itu. Dalam
sejumlah perbincangan pribadi, Pak Kwik menegaskan sikapnya soal pendidikan
politik atau pendidikan kewarganegaraan.
“Celakalah kita jika tak ada yang peduli pada urusan mendidik
rakyat untuk siap berdemokrasi,” begitu kurang lebih katanya.
Seperti halnya Mohammad Hatta, Pak Kwik bukan hanya peduli
dan mumpuni dalam hal ihwal ekonomi, tetapi sangat yakin akan pentingnya
sokongan rakyat terdidik bagi kemajuan bangsa.
Mungkin dipengaruhi oleh tokoh semacam Hatta pula, ia
cenderung “berorientasi ke dalam” dalam arah kebijakan ekonomi yang
diperjuangkannya ?" baik saat menduduki jabatan publik maupun ketika
berada di luar jabatan publik.
Tapi tak cukup di situ, Pak Kwik mencemaskan demokrasi
Indonesia bernasib sama dengan banyak demokrasi di Amerika Latin pada dekade
1960-an dan 1970-an.
Sebab musabab kemunduran demokrasi di Amerika Latin beragam.
Namun ada satu hal yang menjadi sebab pokok yang umum: Gagalnya demokrasi
mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang kemudian menurunkan daya
terima warga terhadap demokrasi. Pak Kwik mengkhawatirkan skenario serupa ini
bisa menimpa demokrasi Indonesia.
Pak Kwik juga mengaku galau pada tak terkelola dengan layak
dan efektifnya pemberantasan korupsi. Di luar banyak faktor lain, menurut Pak
Kwik, korupsi dalam berbagai bentuknya termasuk kebocoran anggaran negara
adalah kontributor besar bagi kegagalan ekonomi dan pengeroposan demokrasi
Indonesia.
Berbasis disiplin ilmu ekonomi yang dikuasainya, Pak Kwik
menghubungkan kegagalan-kegagalan kebijakan ekonomi dengan turunnya daya terima
warga terhadap demokrasi serta percepatan degradasi demokrasi yang disebabkan
oleh maraknya korupsi.
Berbasis perbincangan-perbincangan pribadi kala itu, seperti
itulah konstruksi pikiran Pak Kwik yang saya tangkap. Tentu saja, ini tak
mewakili seluruh spektrum isu yang dijangkau Pak Kwik dalam penjelajahan
intelektualnya yang luas dan panjang.
Yang jelas, berbasis pikiran itulah Pak Kwik menyatakan
dukungannya pada ikhtiar-ikhtiar pendidikan politik dan kewarganegaraan.
Menurutnya, demokrasi Indonesia hanya akan matang manakala disokong oleh
ketersediaan warga, publik atau rakyat yang memahami dan mendukung demokrasi.
Pak Kwik di atas segalanya adalah pendidik. Maka beruntunglah
kita karena tiga tahun lalu sekitar 870 tulisannya berhasil dihimpun ke dalam
trilogi “Kwik Kian Gie: Bunga Rampai Pemikiran” (Gramedia Pustaka Utama, 2022).
Berisi sekitar 2.500 halaman trilogi yang penting ini adalah
artefak penting yang menegaskan sejumlah karakter Kwik Kian Gie.
Pertama, ia adalah manusia langka karena penjelajahannya yang
relatif lengkap. Pak Kwik adalah pengusaha yang sempat aktif menjadi politisi
dengan menjadi Wakil Rakyat.
Ia juga sempat menjadi pejabat publik dan bergumul di tengah
birokrasi. Tapi Pak Kwik tak pernah menanggalkan identitasnya sebagai “pendidik
publik”, terutama melalui tulisan-tulisannya. Sungguh tak banyak orang yang
melakukan penjelajahan selengkap Pak Kwik.
Kedua, ia sungguh serius menjaga sikapnya. Kita tak menemukan
jalan zig zag dalam pikiran Pak Kwik selagi menjalani peran sebagai penulis-pengusaha,
wakil rakyat dan pejabat tinggi negara. Padahal di Indonesia ada semacam
anggapan umum bahwa sikap jernih seseorang bakal berakhir ketika memegang
kekuasaan.
Tapi pada Pak Kwik, kekuasaan ternyata tak membuntukan
pikiran atau membelokkan sikapnya. Dalam konteks inilah orang akan mengenang
perdebatan serius antara Kwik Kian Gie versus Sri Mulyani soal arah dan model
pengelolaan kebijakan ekonomi Indonesia.
Ketiga, analisisnya tajam, masuk ke detail persoalan tanpa
kehilangan desain besar. Tulisan-tulisan dalam trilogi “Bunga Rampai Pemikiran”
ini membuktikan dengan telak kualitas itu.
Biasanya kita bersua dengan pola umum “mumpuni soal detail
tapi miskin desain besar” atau “lancar bicara desain besar tapi luput pada
soal-soal detail yang elementer”.
Almarhum WS Rendra pernah mengingatkan, “Jangan pernah silau
oleh pikiran-pikiran besar sambil lupa pada remeh-temeh”. Pak Kwik termasuk
sedikit orang yang memamah biak pikiran-pikiran besar sambil secara
sungguh-sungguh mendalami soal-soal rincian.
Di atas segalanya, saya menemukan sosok Pak Kwik sebagai
pendidik. Lewat trilogi “Bunga Rampai Pemikiran” Pak Kwik membuka mata kita
pada soal-soal mendasar, bukan cuma pada isu-isu permukaan yang artifisial.
Sudah selayaknya namanya kemudian dipakai untuk menggantikan
nama Institut Bisnis Indonesia (IBI) menjadi Kwik Kian Gie School of Business
atau Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie.
Selasa, 29 Juli 2025 pagi ini, saya membuka Instagram (IG). Lewat akun Sandiaga
Uno, bersualah saya dengan berita duka itu. Pak Kwik berpulang.
“Indonesia berduka,” tulis Sandi antara lain. Ya, Indonesia berduka, kehilangan seorang Pejuang Nasionalis yang terus memperjuangkan sikapnya hingga akhir. (*)