Latest Post

Tangkapan layar potongan video viral Kaesang Pangarep putra Jokowi/Ist 

  

TANGERANG – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengecam keras pihak-pihak yang berupaya mengendalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait fasilitas jet pribadi putra sulung Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep, yang dinyatakan bukan gratifikasi.

 

Ia menegaskan hukum harus berlaku adil dan tidak diskriminatif meski Kaesang adalah putra Jokowi. Namun, ia mengingatkan agar para pihak tidak melakukan tindakan tidak adil hanya karena melihat latar belakang Kaesang sebagai anak Jokowi.

 

“Hukum itu harus berkeadilan. Rakyat akan mencatat itu ketika negara yang seharusnya berbasis hukum ternyata menjadi negara kekuasaan,” kata Hasto di QBIG, BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (3/11).

 

Hasto menegaskan, penegakan hukum tidak boleh melihat latar belakang keluarga, meskipun hal tersebut menyangkut anak seorang presiden yang sedang menjabat. Ia menyebut, persoalan gratifikasi penerimaan fasilitas jet pribadi yang menyangkut anak presiden tersebut merupakan hal serius.

 

“Ini akan menjadi problem yang serius, yang membuat kita sebagai bangsa akan terpuruk,” tegas Hasto.

 

Hasto lantas meminta pemberi fasilitas jet pribadi membuka penerbangan ke Amerika Serikat (AS) itu untuk digunakan rakyat. Menurutnya, fasilitas tersebut merupakan gratifikasi, apabila penyedia tidak bisa memberikan hal yang sama kepada anak muda rakyat Indonesia lainnya.

 

“Kalau begitu yang bersangkutan harus memberikan kesempatan yang sama untuk rakyat bisa ke AS dengan private jet seharga Rp 90 juta,” ujar Hasto.

 

Lebih lanjut, Hasto menuturkan tindakan Kaesang bisa dianggap gratifikasi apabila pemberi fasilitas tak bisa menyediakan hal tersebut untuk rakyat yang dianggap setara dengan kedudukan Kaesang.

 

“Sekiranya yang pemilik pesawat itu tidak mampu, ya dia (Kaesang) telah melakukan tindak pidana gratifikasi,” tegasnya.

 

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron sebelumnya menyatakan bahwa laporan terkait penggunaan jet pribadi Kaesang Pangarep bukan bagian dari gratifikasi. Hal itu setelah Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK menganalisa terkait laporan jet pribadi Kaesang.

 

Laporan dari Kaesang menjadi landasan bagi Kedeputian Pencegahaan KPK untuk menganalisis. Berdasarkan laporan itu, Kedeputian Pencegahan menentukan penggunaan jet pribadi Kaesang tersebut termasuk gratifikasi atau tidak.

 

“Yang bersangkutan telah menyampaikan kepada KPK dan Direktorat Gratifikasi sudah menyampaikan kepada pimpinan bahwa karena yang bersangkutan bukan merupakan penyelenggara negara maka kemudian laporan tersebut nota dinasnya dari Deputi Pencegahan dalam hal ini menyampaikan bahwa laporan tersebut tidak dapat diputuskan apakah gratifikasi atau tidak,” ucap Ghufron di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (1/11).

 

Ghufron menekankan, keputusan ini bukan pertama kali ditetapkan KPK. Sebelumnya, lembaga antirasuah pernah memutuskan tidak dapat menetapkan status gratifikasi atau bukan saat menerima laporan dugan gratifikasi dari seorang dokter swasta yang menerima dari pasien.

 

"Kasus seperti ini KPK sebelumnya telah menerima ada tiga kali," pungkas Ghufron. (jawapos)


Pengamat Kebijakan Publik, Gigin Praginanto 

 

JAKARTA – Pengamat Kebijakan Publik, Gigin Praginanto menyampaikan pandangan kritis terkait kepemimpinan Prabowo Subianto sebagai Presiden Indonesia, khususnya terkait penegakan hukum dan kebijakan ekonomi.

 

"Kalau penegakan hukum diserahkan kepada para bajingan, korbannya adalah orang baik rakyat," ujar Gigin dalam keterangannya di aplikasi X @giginpraginanto (3/11/2024).

 

Menurut Gigin, penegakan hukum yang bersih dan ekonomi yang bebas dari kepentingan kelompok koruptif adalah elemen penting untuk kemajuan negara.

 

Hanya saja, Gigin merasa masih ada potensi kendala dalam pemerintahan saat ini.

 

Ia menilai bahwa rezim Prabowo dihadapkan pada tantangan besar dalam mengatur tim ekonomi dan berbagai pihak di pemerintahan.

 

"Rezim yang sekarang memang jauh lebih komplit," tukasnya.

 

Menurutnya, saat ini masih ada indikasi keberadaan kelompok-kelompok yang dianggapnya berpotensi mencederai sistem demokrasi dan ekonomi negara.

 

"Ada tim koruptor, penggerak buzzer, jagoan cuci uang, tukang tangkep, penculik. Dahsyat!," Gigin menuturkan.

 

Dalam pemilihan wakil presiden, Gigin menilai Prabowo semestinya memilih cara yang bersih.

 

"Waktu memilih Wapres dia punya dua pilihan, menang secara curang atau kalah secara terhormat," sebutnya.

 

Kata Gigin, pilihan seorang pemimpin seharusnya mengutamakan kejujuran, bahkan jika harus menghadapi kekalahan.

 

"Dia memilih yang pertama. Kesimpulannya, dia memang tak pantas jadi pemimpin," cetusnya.

 

Selain aspek kepemimpinan, Gigin juga menyoroti strategi hilirisasi industri yang akan diusung Prabowo.

 

"Mau menggenjot hilirisasi industri mengandalkan para menteri ekonomi yang sangat beraroma korupsi," tambahnya.

 

Blak-blakan, Gigin menuturkan bahwa rencana ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi akan sulit terlaksana jika tidak diimbangi dengan pemimpin ekonomi yang bebas dari konflik kepentingan.

 

Gigin menekankan bahwa integritas kepemimpinan sangat penting untuk memastikan setiap kebijakan bermanfaat bagi masyarakat luas dan tidak hanya menguntungkan sekelompok kecil orang.

 

"Ujung-ujungnya yang tumbuh industri milik para bandit ekonomi," tandasnya.

 

Lebih lanjut, Gigin juga mengkritisi pengelolaan sumber daya alam yang menurutnya rawan dimanfaatkan secara tidak bertanggung jawab.

 

"Keahliannya berburu cuan dari pembabatan hutan serta menggarong kekayaan alam di dalam perut bumi dan lautan," kuncinya. (fajar)


Eks Wamenkumham Denny Indrayana. (Instagram dennyindrayana99) 

 

JAKARTA – Status tersangka mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dalam kasus dugaan korupsi payment gateway masih belum jelas. Apalagi kasus ini belum bergulir selama 10 tahun. Jadi harus ada kejelasan.

 

Praktisi hukum yang juga mantan Hakim di pengadilan tersebut, Irwan Yunas menyoroti kondisi ini. Kasus ini harus segera diselesaikan untuk memberikan kepastian hukum kepada Denny.

 

“Yang menuntaskan pekerjaan ini adalah Jaksa Agung dengan perintah ke bawahannya atau bisa jadi Presiden Prabowo perintahkan Jaksa Agung,” kata Irwan, Sabtu (2/10).

 

Irwan mendorong adanya laporan dari masyarakat kepada Kejaksaan selaku penuntut umum untuk mengeksekusi kasus ini.

 

“Melalui laporan masyarakat baik ke presiden ataupun langsung ke kejaksaan, selaku penuntut umum. Bisa juga ke KPK selaku supervisor,” jelasnya.

 

Irwan melihat kasus ini menggantung tanpa kejelasan. Sehingga membuat kondisinya membungungkan.

 

“Atau kemungkinan jaksa peneliti yang merekomendasi kan untuk kelengkapan bukti belum dipenuhi. Apabila semua telah terpenuhi dan belum dilimpahkan ke pengadilan, tentu akan jadi pertanyaan terhadap JPUnya, mengenai keprofesionalannya serta sebab-sebab lainnya di luar aturan hukum,” paparnya.

 

Kasus payment gateway Kemenkumham kembali mencuat usai eks Wamenkumham Denny Indrayana di situs miliknya, menyinggung status tersangka yang disandangnya akan genap berusia 10 tahun, pada Februari 2025 mendatang.

 

Pada Maret 2023, Andi Syamsul Bahri, sang pelapor dugaan korupsi ini sempat mengeluhkan perkembangan kasus yang jalan di tempat, tapi hingga sekarang belum juga ada tanda-tanda kelanjutan dari perkara ini. (jawapos)


South China Morning Post (SCMP), media terkemuka asal China, turut mengangkat berita Tom Lembong dan menyoroti kemungkinan adanya unsur politisasi di balik penangkapannya 

 

JAKARTA – Penangkapan mantan Menteri Perdagangan RI, Tom Lembong, telah menjadi sorotan publik, tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di media internasional.

 

South China Morning Post (SCMP), media terkemuka dari China, juga meliput berita tersebut dan menyoroti kemungkinan ada unsur politik di balik penangkapan Tom Lembong.

 

SCMP merilis artikel dengan judul provokatif, "Is Indonesia’s Prabowo playing ‘constitutional hardball’ by arresting Widodo critic?" atau "Apakah Prabowo di Indonesia bermain ‘constitutional hardball’ dengan menangkap kritikus Widodo?" Frasa ‘constitutional hardball’ merujuk pada strategi eksploitasi konstitusi oleh pihak tertentu untuk kepentingan kelompoknya.

 

Dalam paragraf pembuka artikel tersebut, SCMP menyebutkan bahwa penangkapan Tom Lembong memicu perhatian besar, terutama karena ada kekhawatiran bahwa penangkapan ini bertujuan untuk menyasar para pengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo.

 

Beberapa analis bahkan menyebut bukti yang mendasari penangkapan Lembong masih belum cukup kuat, sehingga memunculkan persepsi adanya pemaksaan dalam proses hukum tersebut.

 

 

Nicky Fahrizal, seorang analis politik, turut memberikan pandangannya dalam wawancara dengan SCMP. Ia menyatakan, “Melihat kasus Tom Lembong, tren penggunaan alat hukum terhadap lawan politik menjadi lebih nyata, terutama jika tuduhan diajukan tanpa bukti yang kuat. Saat ini, masih ada ambiguitas dalam tuduhan korupsi terhadapnya.”

 

Tak hanya Nicky, Indonesian Corruption Watch (ICW) juga turut angkat bicara. Mereka menyebutkan bahwa Kejaksaan Agung hingga kini belum memberikan bukti yang memadai untuk mendukung penangkapan Lembong.

 

Sikap ICW ini memperkuat kekhawatiran akan adanya penggunaan hukum sebagai alat politik, terutama menjelang pemilihan umum.

 

Sorotan dari media internasional seperti SCMP ini menambah panas perdebatan publik terkait kasus Tom Lembong dan memunculkan pertanyaan lebih besar mengenai integritas proses hukum di Indonesia. (fajar)


Tom Lembong usai diperiksa sebagai tersangka oleh Kejagung, Jumat malam, 1 November 2024 

 

JAKARTA – Kasus hukum yang menjerat mantan Menteri Perdagangan RI, Tom Lembong, dinilai janggal. Apalagi, hingga kini Kejaksaan Agung yang menangani kasus impor gula itu belum mengungkap adanya aliran dana ke mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu.

 

Pandangan aktivis Pro Demokrasi, Adhie Massardi, sosok bernama asli Thomas Trikasih Lembong itu diduga telah dikriminalisasi. Adhie menduga Tom sengaja diperkarakan menutupi masalah besar yang mendera penegakan hukum ompong di Indonesia.

 

Salah satunya kasus suap mantan Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, Pendidikan, Pelatihan, dan Hukum (Balitbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung, Zarof Ricar, terkait pembebasan Ronald Tannur.

 

"Tom Lembong dikriminalisasi untuk mengubur kotak pandora makelar kasus (markus) di Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar," kata Adhie Massardi kepada redaksi, Sabtu, 2 November 2024.

 

Jika dikuliti lebih jauh, maka kasus Zarof Ricar diyakini akan merembet pada kebobrokan penegakan hukum di Indonesia yang lebih luas.

 

"Markus MA Zarof jika dibuka, tak cuma aib hakim, tapi Kejaksaan dan putusan MA soal Pilkada terkuak otaknya," tegas mantan Jurubicara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.

 

Selain untuk menutupi kasus Zarof Ricar, dugaan kriminalisasi terhadap mantan co-captain Timnas Anies-Muhaimin di Pilpres 2024 itu juga disinyalir untuk memukul mundur pendukung Anies Baswedan.

 

"Kriminalisasi Tom Lembong agar menimbulkan arus balik yang kuat hingga pendukung Parpol baru (yang akan dibentuk) Anies cemas," tandasnya. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.