Latest Post


 

SANCAnews.id – Mantan Sekretaris Menteri BUMN, Muhammad Said Didu menanggapi soal akun Facebook ILC (Indonesia Lawyers Club) yang di-banned karena mengunggah video penceramah, Bahar bin Smith.

 

“Makin otoriter,” kata Said Didu melalui akun Twitter pribadinya melalui akun Twitter pribadinya pada Senin, 27 Desember 2021.

 

“Setelah Instagram Karni Ilyas Club dibanned, sekarang FB ILC yang dibanned, tidak bisa posting selama 24 jam karena postingan promo Habib Bahar dianggap melawan kebijakan FB,” sambungnya.

 

Bersama pernyataannya, Said Didu melampirkan tangkapan layar pemberitahuan dari pihak Facebook kepada akun “Indonesia Lawyes Club”.

 

“Anda tidak bisa mengunggah atau meninggalkan komentar selama 24 jam,” demikian tertulis di awal pemberitahuan tersebut.

 

Faceebok menjelaskan bahwa alasan akun tersebut dilarang selama 24 jam adalah karena unggahan sebelumnya yang tidak memenuhi standar komunitas atau community standar facebook.

 

Adapun unggahan yang dimaksud, yakni potongan video dan tautan link YouTube wawancara Host ILC, Karni Ilyas dan penceramah, Bahar bin Smith.

 

“Posting ini bertentangan dengan standar kami tentang individu dan organisasi yang berbahaya,” demikian tertulis.

 

Sebagaimana diketahui, Karni Ilyas sebelumnya memang mengundang dan mewawancarai Bahar bin Smith di acara Karni Ilyas Club.

 

Wawancara itu diunggah di YouTube pada 23 Desember 2021 dan dipromosikan di beberapa akun Karni Ilyas Club dan ILC.

 

Sekedar catatan, Bahar bin Smith akhir-akhir ini ramai dibicarakan karena ceramahnya yang kontroversial.

 

Salah satu ceramahnya yang sempat ramai dibicarakan adalah bahwa ia akan menghabisi pengkhianat pendiri Front Pembela Islam (FPI) satu per satu. (terkini)



 

SANCAnews.id – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)  menuntut Muhammad Yahya Waloni, terdakwa ujaran kebencian dan penistaan agama, dengan pidana penjara selama tujuh bulan dan denda sebesar Rp50 juta atau subsider satu bulan kurungan.

 

Tuntutan itu dibacakan oleh Tim JPU Kejari Jaksel dalam sidang yang berlangsung di PN Jaksel, Selasa, 28 Desember.

 

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Muhammad Yahya Waloni dengan pidana penjara selama tujuh bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah tetap ditahan dan denda sebesar Rp50 juta subsider satu bulan kurungan," kata JPU membacakan tuntutan dilansir dari Antara.

 

Dalam tuntutannya, jaksa penuntut menyatakan Yahya Waloni terbukti bersalah melakukan tindak pidana penghasutan untuk melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

 

Perbuatan Yahya Waloni melanggar Pasal 45 a ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

 

Dalam pertimbangannya, jaksa menilai hal yang memberatkan terdakwa adalah perbuatannya telah merusak kerukunan antarumat beragama yang sudah berjalan lama.

 

Adapun hal-hal yang meringankan, yakni terdakwa Yahya Waloni tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan, menyesali perbuatannya dan telah meminta maaf kepada umat Nasrani dan seluruh rakyat Indonesia.

 

Selain itu, saksi pelapor telah memaafkan perbuatan terdakwa, meskipun kasus hukum terdakwa dilanjutkan demi kebaikan bersama.

 

"Terdakwa Yahya Waloni berjanji tidak mengulangi perbuatannya lagi dan diharapkan dapat memperbaiki di masa mendatang. Terdakwa merupakan tulang punggung keluarga," kata jaksa penuntut.

 

Usai dibacakan tuntutan, ketua majelis hakim menanyakan tanggapan terdakwa Yahya Waloni yang menjalani persidangan tanpa didampingi pengacara. Hakim menanyakan apakah terdakwa menerima tuntutan tersebut dan berhak mengajukan pleidoi (pembelaan, Red).

 

Yahya menyatakan menerima dan langsung menyampaikan pembelaannya secara lisan. Majelis hakim lantas mempersilakan terdakwa menyampaikan pembelaannya. Dalam pembelaannya, Yahya mengakui dan menyesali perbuatannya, serta meminta maaf kepada umat Nasrani seluruh Indonesia.

 

Yahya mengakui perbuatannya melanggar etika dan moralitas berbangsa dan bernegara, oleh karena itu menerima segala konsekuensinya, dan menjalani persidangan tanpa didampingi oleh pengacara.

 

Ia pun berjanji setelah keluar dari penjara akan kembali menjadi pendakwah yang baik, menyerukan pada persatuan dan kesatuan antarumat beragama.

 

"Saya menyadari penuh, apa yang saya lakukan ini akan mendorong saya lebih baik ke depan, akan menjadi seorang pendakwah yang lebih santun, bermartabat, beretika menyampaikan risalah dakwah," kata Yahya.

 

Usai pembacaan pembelaan dari terdakwa, majelis hakim menunda sidang selama dua pekan untuk pembacaan putusan yang diagendakan pada 11 Januari 2022. (voi)




SANCAnews.id – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai dua tahun kepemimpinan Ketua KPK Filri Bahuri membuat lembaga antikorupsi menjadi bobrok.

 

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengungkapkan hanya ada dua cara untuk menyelamatkan KPK. Pertama, harus dipastikan pada 2023, lembaga antikorupsi dipimpin komisioner yang tidak bermasalah.

 

“Ke depan akan semakin sulit situasinya, KPK berubah seperti sedia kala. Kecuali pada 2023 KPK tak diisi orang bermasalah seperti saat ini,” kata Kurnia di Cikini, Jakarta Pusat, Senin (27/12/2021).

 

Kedua, lanjut Kurnia, pada kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden ada kandidat yang menawarkan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna membatalkan Undang-Undang KPK 2019.

 

“Dua cara itu enggak bisa ditawar, enggak bisa diambil satu saja untuk mengembalikan KPK seperti sedia kala,” ujarnya.

 

Kebobrokan KPK salahs atunya karena adanya revisi Undang-Undang KPK.

 

Kurnia mengatakan perlahan muncul ke permukaan. Dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Firli Bahuri yang bergaya hidup mewah, menggunakan helikopter, dan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Komisioner KPK Lili Pintauli Siregar, dengan berhubungan dengan pihak yang berperkara.

 

Kemudian yang menjadi puncak pelemahan KPK adalah setelah dipecatnya 57 pegawai, termasuk penyidik senior Novel Baswedan.

 

“Bukannya memperbaiki kinerja dalam aspek penindakan atau klaim pencegahan yang baik, ternyata berdasarkan catatan kami masih banyak yang harus diperbaiki, tapi justru menciptakan situasi kekisruhan yang enggak penting dengan memecat atau memberhentikan 57 pegawai KPK,” ujar Kurnia.

 

ICW lantas membandingkan kepimpinan KPK sebelum Firli Bahuri dengan Agus Rahardjo hingga Abraham Samad.

 

Pada periode itu kata Kurnia, KPK memang mendapatkan kritikan namun positifnya masukan yang datang dijawab dengan perbaikan.

 

“Dikatakan era ini yang paling banyak catatannya dan sudah diberikan catatan tapi enggak melakukan perbaikan,” katanya.

 

“Itu yang mungkin sedikit membedakan dengan pimpinan sebelumnya. Yang dulu KPK selalu dapat peringkat tertinggi (lembaga survei) atau setidaknya tiga besar, bukan seperti saat ini yang justru di bawah kepolisian,” Kurnia menambahkan. (suara)



 

SANCAnews.id – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan menyoroti penanganan kasus terhadap kader PDIP yang memukul dan menendang pelajar Al Azhar Medan. Tersangka HSM ditetapkan sebagai tersangka, namun tidak ditahan melainkan hanya wajib lapor.

 

Menyikapi keputusan penyidik, pengacara publik LBH Medan Maswan Tambak menilai tidak ditahannya pelaku HSM atas perbuatannya memukul dan menendang FAL, dapat menciderai rasa adil dari hukum itu sendiri dan masyarakat.

 

"Dengan tidak dilakukannya penahanan terhadap tersangka tentu mencederai rasa adil dari hukum itu sendiri dan masyarakat," kata Maswan Tambak, Senin (27/12/2021).

 

Menurutnya secara hukum berdasarkan Pasal 20 Ayat (1) penyidik atau penyidik pembantu memang diberikan kewenangan untuk menahan. Penahanan secara aturan dilakukan terhadap perbuatan yang diancam dengan penjara lima tahun atau lebih, sebagaimana pada pasal 21 Ayat (4) huruf a.

 

"Namun, jangan lupa, bahwa pada pasal 21 Ayat (4) huruf b mengklasifikasikan beberapa tindak pidana yang tetap dapat dilakukan penahanan sekalipun ancaman hukumannya tidak lima tahun atau lebih. Salah satunya adalah pasal 351 ayat (1) KUHPidana yaitu tindak pidana penganiayaan," jelas Maswan.

 

Sehingga, lanjutnya, dengan tidak ditahannya pelaku yang telah dijerat dengan pasal Undang-undang perlindungan anak, belum memberikan rasa adil kepada korban dan keluarganya.

 

Dia menjelaskan, terkait Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana itu diancam dengan penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan sedangkan pasal yang disangkakan terhadap tersangka ancaman hukumannya paling lama tiga tahun enam bulan.

 

Secara filosofis kata Maswan, Undang-undang Nomor 35/2014 itu dibentuk untuk memberikan rasa adil dan perlindungan lebih kepada korban dan juga memberikan penghukuman yang lebih berat kepada pelaku.

 

"Artinya jika Pasal 351 Ayat (1) KUHPidana saja dapat ditahan apalagi terhadap pasal 76 C jo. Pasal 80 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014. Seharusnya penyidik bisa menghubungkan pasal yang disangkakan tersebut dengan pasal 351 Ayat (1) KUHPidana untuk dapat menahan tersangka," ungkapnya.

 

Kendati secara hukum penyidik dan penyidik pembantu diberikan wewenang untuk melakukan penangguhan penahanan terhadap tersangka, akan tetapi secara hukum alasan penangguhan diatur secara jelas. Meskipun alasan itu sepenuhnya menjadi subjektifitas penyidik.

 

"Oleh karenya sekalipun alasan itu menjadi subjektifitas penyidik, seharusnya tidak boleh disalah gunakan," jelasnya.

 

Seperti diketahui, penyidik kepolisian Polrestabes Medan menetapkan HSM sebagai tersangka dengan pasal 76 C jo. Pasal 80 Ayat (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Namun, tersangka tidak ditahan dan hanya wajib lapor. (era)



SANCAnews.id – Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang ingin merampingkan kabinetnya bertolakbelakang dengan banyaknya wakil menteri (Wamen) di struktur pemerintahan.

 

Terbaru, Jokowi kembali mengalokasikan Wamen di Kementerian Sosial. Ketentuan tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2021 Tentang Kementerian Sosial pada 14 Desember 2021.

 

Dengan bertambahnya satu kursi Wamen, maka total kursi wamen di Kabinet Indonesia Maju menjadi 16. Sementara pada Kabinet Indonesia Kerja, Jokowi hanya mengalokasikan tiga kursi wamen.

 

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, mengatakan membengkahnya kursi Wamen pada Kabinet Indonesia Maju layak dipersoalkan.

 

Pasalnya, sejauh ini belum jelas apa urgensi penetapan kursi Wamen dalam satu kementerian.

 

"Semua tugas dan fungsi kementerian sesungguhnya sudah terbagi habis di unit eselon satu. Tugas dan fungsi eselon satu juga sudah dijabarkan secara operasional oleh unit eselon dua," kata Jamil kepada Pedoman Tangerang–jaringan Pikiran Rakyat–Senin, 27 Desember 2021.

 

Pada Juli 2020, Jokowi pernah menyatakan akan terus merampingkan struktur pemerintahannya. Dia misalnya, berencana membubarkan 18 lembaga nonstruktural untuk meringankan beban keuangan negara.

 

"Dalam waktu dekat ini ada 18 lembaga (yang akan dirampingkan),” kata Jokowi saat berbincang bersama wartawan di Istana Merdeka, Senin, 13 Juli 2020.

 

Jokowi mengatakan alasan perampingan untuk menghemat anggaran negara. Alokasi anggaran untuk pembiayaan 18 lembaga nonstruktural itu rencananya akan dikembalikan ke lembaga struktural yang ada.

 

"Semakin ramping organisasi ya cost-nya kan semakin bisa kita kembalikan. Anggaran, biaya. Kalaupun bisa kembalikan ke menteri, kementerian, ke dirjen, direktorat, direktur, kenapa kita harus pakai badan-badan itu lagi, ke komisi-komisi itu lagi," ujarnya.

 

Menurut Jamil, semua kebijakan yang terkait tugas dan fungsi setiap kementerian sudah ditentukan oleh menteri. Adapun seorang Sekjen biasanya mewakili menteri dalam kegiatan seremonial.

 

Sementara dirjen mewakili menteri dalam bidang operasional sesuai tugas dan fungsi kementeriannya.

 

"Jadi, tugas dan fungsi setiap kementerian pada dasarnya sudah terbagi habis. Karena itu, tidak ada lagi tugas dan fungsi kementerian yang perlu didistribusikan untuk Wamen," jelasnya.

 

Jamil mengatakan penempatan Wamen di kementerian pada dasarnya bukanlah kebutuhan. Sebab, kementerian yang sudah memiliki kursi Wamen juga kinerjanya tidak membaik.

 

"Ada kesan kursi wamen hanya untuk mengakomodir orang-orang yang dinilai berjasa mengantarkan Jokowi jadi presiden. Jadi, kursi wamen hanya untuk mengakomodasi kepentingan politik," ujar Jamil.

 

Dia menilai kebijakan ini tidak sejalan dengan keinginan Jokowi yang selalu ingin berhemat.

 

Duduknya 16 Wamen di Kabinet Indonesia Maju dinilai menjadi beban yang tak sedikit bagi negara. Padahal negara saat ini tengah mengalami kesulitan keuangan akibat pandemi.

 

"Jokowi seharusnya menghentikan penambahan kursi Wamen. Selain memang tidak berkaitan dengan peningkatan kinerja kabinet, juga tidak sejalan dengan janjinya untuk menyusun kabinet yang ramping," pungkas Jamil. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.