Ilustrasi mata uang Dolar AS dan Rupiah/Ist
OLEH : DR. IR.
SUGIYONO, MSI
MENTERI
Keuangan Amerika Serikat (AS) Scott Bessent mengingatkan bahwa pemerintah AS
berpotensi kembali mengalami gagal bayar utang pada Agustus 2025, jika kongres
tidak segera menaikkan ambang batas utang negara.
Dewasa ini
estimasi utang pemerintah AS netto sebesar 29,910 triliun Dolar AS tahun 2025
(IMF, WEO April 2025), atau sebesar 98,04 persen dari PDB AS. Pemerintah AS
menjalankan politik APBN jenis defisit. Estimasi jumlah penerimaan APBN AS
sebesar 9,58 triliun Dolar AS, sedangkan jumlah pengeluaran APBN AS sebesar
11,55 triliun Dolar AS, sehingga APBN AS mengalami defisit anggaran sebesar
minus 797,56 triliun Dolar AS tahun 2025.
Pada sisi
yang lain, terjadi defisit neraca pembayaran pada pemerintah AS sebesar minus
1,14 triliun Dolar AS, maupun terjadi defisit neraca pertumbuhan volume ekspor
netto barang dan jasa AS, yaitu impor
barang dan jasa tumbuh 2,64 persen sedangkan ekspor barang dan jasa tumbuh
sebesar 1,89 persen.
Pemerintahan Donald Trump dalam menghadapi persoalan defisit APBN, defisit pertumbuhan neraca volume perdagangan barang dan jasa, defisit neraca pembayaran, maupun tekanan gagal bayar utang, yaitu dengan memberlakukan liberalization day. Tarif impor dengan banyak negara dinaikkan untuk menaikkan penerimaan APBN secara signifikan.
Untuk
mencari solusi dari potensi gagal bayar utang, namun sekalipun pemberlakuan
kebijakan tarif impor ditunda selama tiga bulan, tetapi Menteri Keuangan
Bessent terkesan kurang yakin kepada efektivitas dari kebijakan menaikkan tarif
impor akan membuat pemerintah AS mampu mencegah dari ancaman gagal bayar utang
per Agustus 2025.
Bessent
lebih yakin jika kongres bersedia secara lebih awal untuk menaikkan ambang
batas utang pemerintah, yang mencapai posisi 98,04 dari PDB AS.
Jika kongres
tidak kunjung bersedia menaikkan ambang batas utang, maka bukan hanya
pemerintah AS akan mengalami gagal bayar, melainkan juga akan melakukan kembali
kebijakan government shutdown.
Sebelumnya
pemerintah AS tercatat telah melakukan kebijakan government shutdown sebanyak
14 kali sejak tahun 1981.
Jadi,
masalah ambang batas ini merupakan masalah yang serius bukan hanya untuk
pemerintah, rakyat AS, maupun dampak potensi gagal bayar utang yang segera
ditransmisikan ke sektor moneter, maupun sektor riil, serta mekanisme transmisi
merambah negara-negara sahabat melalui kegiatan ekspor dan impor dalam
perdagangan barang dan jasa, investasi, modal, obligasi, komoditas sektor riil,
perdagangan berjangka komoditas, dan
tenaga kerja, maupun efektivitas peran pemerintah dalam menjaga perdamaian
dunia.
Masalah
tekanan potensi gagal bayar utang ini relatif tidak dihadapi oleh pemerintah
China. Sekalipun estimasi defisit APBN China sebesar minus 11,99 triliun
Renminbi tahun 2025, namun estimasi neraca pembayaran China mengalami sebesar
surplus 362,63 triliun Dolar AS tahun 2025.
Implikasinya
adalah masalah tekanan keuangan pemerintah Zhi Jin Ping tidaklah seberat
masalah tekanan keuangan yang dialami oleh pemerintahan Trump.
Akan tetapi
pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka juga
sesungguhnya mengalami tekanan keuangan, yang relatif mengkhawatirkan soal
potensi fenomena keberlanjutan fiskal. Estimasi utang pemerintah netto APBN
Indonesia sebesar Rp612,68 triliun tahun 2025.
Persoalan
yang dihadapi pemerintah Indonesia tidaklah ringan, karena estimasi pertumbuhan
volume impor barang dan jasa sebesar 6,22 persen jauh lebih besar dibandingkan
pertumbuhan laju volume ekspor barang dan jasa yang sebesar 0,79 persen tahun
2025.
Defisit
neraca perdagangan pertumbuhan volume ekspor netto barang dan jasa ini lebih
disebabkan oleh tekanan sektor jasa ekspor dan impor yang luar biasa besar
dibandingkan neraca ekspor netto barang yang surplus.
Persoalan
tersebut bertambah akibat tekanan defisit neraca pembayaran yang sebesar minus
21,24 triliun Dolar AS tahun 2025. Tekanan utang pemerintah yang sebesar 38,63
persen PDB diyakini relatif aman, hanya karena sikap Kementerian Keuangan yang
senantiasa optimis mampu membayar tagihan utang sekalipun neraca pertumbuhan
ekspor netto sektor jasa mengalami defisit, maupun neraca pembayaran juga
tertekan oleh masalah defisit.
Disamping
selain tertekan oleh defisit APBN, bersikap sebagai pembayar utang pemerintah
yang baik, rajin senantiasa menambah utang pemerintah untuk mencegah gagal
bayar, sekalipun neraca ekspor netto sektor jasa mengalami defisit maupun
kondisi neraca pembayaran yang juga sangat besar.
Akan tetapi
pemerintah Indonesia tidak memberlakukan kebijakan government shutdown,
melainkan terkesan senantiasa menunda pembayaran biaya pengeluaran APBN sampai
diperoleh utang-utang baru untuk membuat pemerintah Indonesia mampu mendanai
pembiayaan APBN.
Akan tetapi
persoalannya adalah pemerintahan Prabowo dan Gibran sungguh amat sulit untuk
bertindak sebagaimana Bessent dan Trump, maupun Xi Jin Ping guna memperbaiki
tekanan utang, menyelesaikan defisit APBN, defisit neraca ekspor netto barang
dan jasa, maupun terhadap tekanan defisit neraca pembayaran secara fundamental,
spektakuler, progressif, dan revolusioner.
Yang terjadi
adalah pemerintah Indonesia justru memilih untuk memperbesar kebijakan yang
bersifat lebih populer dan sosialisme, yang diyakini lebih bermanfaat untuk
masyarakat banyak. Misalnya antara lain adalah kebijakan makan siang gratis.
Pembangunan
asrama untuk penduduk pra sejahtera guna memutus rantai kemiskinan menggunakan
pendekatan perbaikan pendidikan. Membangun koperasi merah putih. Menghapus
utang UMKM.
Menjadikan
Danantara sebagai lembaga yang mendanai investasi dengan bersumber dari
keuangan BUMN, yang dikumpulkan setelah Perusahaan Pengelola Aset tidak kunjung
sepenuhnya berhasil menyehatkan BUMN yang bermasalah dengan keuangan.
Kementerian
Investasi/BKPM yang tidak mudah untuk memasukkan investasi ke dalam negeri
dengan nilai yang sangat besar sebagai faktor pengungkit pertumbuhan
perekonomian tinggi, maupun bursa efek Indonesia yang tidak mudah dalam
menggalang capital inflows yang lebih besar.
Implikasinya
adalah sekalipun pengeluaran APBN mempunyai proporsi yang relatif kecil
dibandingkan PDB, namun kebijakan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran
besar-besaran, namun lebih tepat adalah melakukan relokasi anggaran, itu telah
berdampak terhadap lebih rendahnya peran APBN dalam menumbuhkan laju
perekonomian.
Akibat dari
kebijakan APBN antara pemerintah dengan DPR yang seperti itu, maka harapan
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen per tahun sungguh amat
sangat terasa terkesan sebagai kegiatan omon-omon pada waktu kampanye Pilpres
tahun 2024.
Target
pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen selain tidak didukung oleh kebijakan APBN
sebagaimana sasaran asumsi pertumbuhan yang rendah, juga terkesan tidak
didukung oleh kebijakan moneter Bank Indonesia.
Lemahnya
dukungan terhadap target pertumbuhan ekonomi 8 persen, kelak berpotensi besar
menjadi isu yang senantiasa akan rajin digoreng-goreng oleh para oposisi non
parlemen, sebagaimana apa yang dihadapi oleh Joko Widodo tentang isu ijazah
palsu selama beberapa tahun terakhir ini, sekalipun persidangan ijazah palsu
berpotensi sangat besar akan dimenangkan oleh Joko Widodo. (*)