Mendiang Munir
Said Thalib/Istimewa
OLEH :
KHAIRUL A. EL MALIKY
DI NEGERI yang katanya demokrasi ini, kadang kita merasa
hidup seperti di film noir: penuh kabut, penuh misteri, dan selalu ada aktor
gelap yang tak pernah tertangkap kamera. Salah satu episode tergelap dari
serial panjang demokrasi pura-pura kita adalah hilangnya Munir Said Thalib,
seorang aktivis HAM yang suaranya lebih tajam dari peluru dan lebih keras dari toa
masjid di subuh hari.
BERITA TERKAIT:
Munir bukan aktivis sembarangan. Ia adalah mimpi buruk para
algojo berseragam rapi, mimpi buruk mereka yang senang menyiksa dalam diam, dan
trauma masa lalu bagi institusi yang alergi terhadap kritik. Tapi dalam perjalanan
menuju Belanda, suara itu dibungkam. Permanen.
Mari kita ingat lagi kisah ini, sebelum sejarah menulisnya
dengan tinta yang telah dipesan oleh para pelupa. Atau lebih buruk, oleh mereka
yang justru ingin kisah Munir hilang selamanya dari buku pelajaran anak cucu
kita.
Episode Pembunuhan yang Sangat Rapi
Pada 7 September 2004, Munir tewas dalam penerbangan dari
Jakarta ke Amsterdam. Bukan karena serangan jantung, bukan karena mabuk udara,
apalagi karena doa para koruptor yang mujarab. Ia tewas karena arsenik—racun
yang lebih sering dipakai di film ketimbang di dunia nyata. Tapi nyatanya, ada
yang masih cukup kejam dan cukup pengecut untuk membunuh dengan cara itu.
Awalnya, banyak yang menyangkal bahwa itu pembunuhan. Tapi
autopsi independen di Belanda membuktikan: arsenik dalam tubuh Munir cukup
untuk membunuh dua ekor gajah dewasa. Lalu siapa yang punya akses? Siapa yang
bisa menyelundupkan racun ke dalam sistem penerbangan internasional tanpa
dicurigai?
Kita tidak perlu jadi Sherlock Holmes untuk tahu: hanya orang
dengan kuasa, wewenang, dan jejaring yang bisa melakukannya. Tapi anehnya,
hingga dua dekade lebih berlalu, mereka yang betul-betul di puncak kuasa masih
duduk nyaman. Bahkan mungkin masih menyusun skenario kematian versi mereka
sendiri.
Garuda Indonesia,
Pilot, dan Skenario yang Timpang
Polisi waktu itu menangkap Pollycarpus Budihari Priyanto,
seorang pilot Garuda Indonesia. Ia dijerat dan dijadikan aktor utama dalam
drama pembunuhan ini. Katanya, Polly ini tiba-tiba jadi extra crew dalam
penerbangan yang sama dengan Munir. Bayangkan, seorang pilot yang mestinya di
balik kokpit, malah jadi penumpang yang duduk berdekatan dengan target. Seperti
penjahat yang tiba-tiba jadi penonton di bioskop, tapi bawa racun di tas.
Polly akhirnya divonis bersalah dan dipenjara. Tapi
pertanyaan dasarnya belum dijawab: siapa yang menyuruhnya?
Nama BIN (Badan Intelijen Negara) sempat disebut. Bahkan ada
dugaan keterlibatan pejabat tinggi saat itu. Tapi setiap kali benang merah
hampir terlihat jelas, entah kenapa ada tangan tak terlihat yang memutusnya.
Saksi kunci mendadak lupa. Dokumen menghilang. Bukti
melempem. Bahkan Pollycarpus sendiri sempat bebas sebelum akhirnya dipenjara
kembali. Dan akhirnya meninggal tahun 2020 karena Covid-19. Ironi atau keadilan
ilahi? Entahlah.
Negara yang Lupa, atau
Sengaja Melupakan?
Setelah Munir wafat, apa yang dilakukan negara? Banyak. Banyak berpura-pura. Komnas HAM bersuara, LSM bergerak, dan Presiden SBY saat itu membentuk TPF (Tim Pencari Fakta). Tapi ketika TPF memberikan laporan, laporan itu… hilang. HILANG. Seperti disedot blackhole birokrasi. Ketika ditanya, pejabat negara mengangkat bahu. Tidak tahu. Tidak ingat. Tidak mau tahu. Apakah kita sedang menghadapi negara dengan Alzheimer stadium akhir?
Padahal, laporan itu adalah kunci. Kunci menuju siapa dalang
pembunuhan Munir. Tapi seperti biasa, kunci itu disembunyikan, dilempar ke
laut, atau dikubur bersama ingatan kolektif bangsa ini yang pendeknya seperti
status WhatsApp.
Lucunya, Mahkamah Agung akhirnya memerintahkan agar laporan
TPF dipublikasikan. Tapi pemerintah, dengan alasan yang entah dapat dari mimpi
siapa, tetap tidak mau. Bahkan Menkopolhukam kala itu mengatakan, “Laporan itu
tidak ada.” Padahal, jejak digitalnya bertebaran. Saksi hidupnya masih ada.
Tapi negara menutup mata seperti balita yang tidak mau makan brokoli.
Srikandi yang Tak Mau
Diam
Di tengah gelapnya birokrasi, Suciwati—istri Munir—muncul
sebagai lilin kecil yang tak kunjung padam. Ia tidak menyerah. Ia menuntut
keadilan, bersuara ke mana-mana, dari pengadilan hingga media internasional. Ia
adalah simbol bahwa kebenaran tidak akan pernah benar-benar mati, selama masih
ada orang yang percaya padanya.
Suciwati membentuk Omah Munir, sebuah museum HAM di Batu,
Malang. Di tempat itu, anak-anak bisa belajar bahwa ada seseorang yang dibunuh
karena membela hak orang lain. Bahwa keadilan tidak selalu menang, tapi harus
selalu diperjuangkan. Omah Munir bukan sekadar rumah, tapi tugu ingatan di
tengah bangsa yang suka amnesia.
Pemerintah Berganti,
Tapi Keadilan Masih Jauh
Dari SBY ke Jokowi, dari Jokowi ke siapa nanti, pertanyaannya
tetap sama: di mana keadilan untuk Munir? Jokowi pernah berjanji saat kampanye
akan menuntaskan kasus HAM, termasuk Munir. Tapi seperti janji-janji lain yang
ditiup angin, janji itu tinggal kenangan. Tidak ada gebrakan. Tidak ada
keseriusan. Hanya peringatan tahunan yang kian sepi, ditemani lilin dan spanduk
yang sama dari tahun ke tahun.
Bahkan kita sampai pada titik di mana kasus Munir hanya
menjadi bahan upacara peringatan. Setiap 7 September, orang akan menulis
“Menolak Lupa” di media sosial, lalu lupa keesokan harinya. Negara ikut-ikutan
pura-pura prihatin, padahal kalau serius, bisa kok mengusut. Tapi ya itu tadi,
siapa yang mau menggali jika galiannya akan menelanjangi elite sendiri?
Menolak Lupa adalah
Tindakan Revolusioner
Di negeri ini, menolak lupa bukan sekadar kenangan. Itu
tindakan politis. Karena lupa adalah strategi kekuasaan. Mereka yang ingin
bertahan di atas, akan selalu menghapus sejarah yang membahayakan. Kasus Munir
terlalu sensitif, terlalu telanjang, terlalu menggambarkan betapa kotornya
dapur kekuasaan.
Tapi kita sebagai warga negara tidak boleh tunduk. Karena
sekali kita lupa, maka kejahatan itu akan dianggap biasa. Kita akan menciptakan
budaya impunitas. Bahwa membunuh orang baik itu sah, asal punya kekuasaan.
Bahwa aktivisme bisa dibunuh, asal pakai racun yang tak terlihat. Bahwa
keadilan hanya mainan anak kecil di taman kanak-kanak.
Menolak lupa adalah bentuk perlawanan. Mengingat Munir adalah
deklarasi bahwa kita tidak takut. Bahwa meski negara pura-pura tuli, kita akan
tetap berteriak.
Dunia Internasional
Menyaksikan, Tapi Diam
Banyak organisasi internasional yang tahu pembunuhan Munir
adalah pelanggaran hak asasi berat. Amnesty International, Human Rights Watch,
bahkan PBB—semua pernah berkomentar. Tapi tekanan mereka seolah menabrak tembok
baja diplomasi Indonesia. Tak ada sanksi, tak ada desakan serius. Dunia memilih
diam, karena ya… Indonesia pasar besar. Siapa yang mau ganggu?
Dunia lebih peduli pada minyak, tambang, dan pasar. Bukan
pada satu nyawa aktivis yang dibungkam. Ini ironi global. Aktivis dipuja
setelah mati, tapi diabaikan saat hidup. Dan negara-negara yang mengaku
demokratis pun memilih bersikap seperti turis: datang, selfie, lalu pergi tanpa
tanggung jawab.
Munir Sebagai Simbol
yang Tidak Boleh Mati
Munir bukan hanya seorang manusia. Ia adalah simbol. Simbol
keberanian dalam melawan sistem. Simbol bahwa kebenaran bisa disuarakan, bahkan
ketika semua orang memilih diam. Dan karena itulah ia dibunuh. Karena suara
seperti itu mengganggu. Tapi simbol tidak bisa dibunuh semudah itu.
Selama kita terus menyebut namanya, mengenang perjuangannya, dan menuntut keadilan atas kematiannya, maka Munir hidup. Ia hidup dalam setiap mahasiswa yang turun ke jalan. Dalam setiap jurnalis yang menulis tanpa takut. Dalam setiap warga yang berani mengkritik penguasa meski ancamannya nyata. Munir hidup di dada orang-orang yang tidak pernah diam meski ditekan.
Negara yang Sakit dan Demokrasi yang Sakit Jiwa
Kalau negara ini sehat, pembunuh Munir sudah dihukum. Kalau
demokrasi ini waras, dalang kasus Munir sudah dilucuti jabatannya. Tapi
kenyataannya, kita hidup dalam sistem yang menganggap pelanggar HAM sebagai
calon pemimpin. Yang lebih sibuk membangun IKN ketimbang membangun keadilan.
Setiap pemilu, para kandidat bicara HAM, tapi itu cuma
brosur. Setelah berkuasa, mereka jadi bagian dari masalah. Yang dulu berjanji
membongkar, kini duduk satu meja dengan pembongkar harapan.
Jadi, kalau kau merasa marah, kecewa, atau jijik—itu wajar.
Itu sehat. Karena negara ini memang sedang tidak sehat. Demokrasi kita sudah
seperti zombie: masih berjalan, tapi tanpa jiwa.
Keadilan Itu Tidak
Mati, Tapi Ditinggalkan
Munir telah tiada. Tapi perjuangannya adalah alarm keras
bahwa demokrasi tanpa keadilan hanyalah ilusi. Kita tidak boleh berhenti
bertanya. Tidak boleh berhenti menulis. Tidak boleh berhenti menuntut. Karena
satu-satunya hal yang membuat kejahatan menang adalah ketika orang baik diam.
Hari ini kita menolak lupa. Besok kita suarakan lagi. Sampai
para pembunuh itu tidak bisa tidur nyenyak. Sampai sejarah tidak ditulis oleh
mereka yang membunuhnya.
Munir mungkin sudah dibungkam. Tapi kita tidak. (*)
*Pengarang novel,
pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis