Ilustrasi prajurit TNI. Antara
Foto/Didik Suhartono
JAKARTA — TNI berencana ikut memproduksi
obat-obatan untuk Koperasi Daerah (Kopdes) Merah Putih. Rencana itu menjadi
sorotan di tengah maraknya isu dwifungsi TNI.
Iyan Hidayat Anwar, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI-LBH) Makassar mengatakan, pada dasarnya negara harus menjamin
kesehatan warga negaranya.
“Kita selalu berharap, negara memenuhi hak masyarakatnya.
Termasuk dalam aspek kesehatan. Tapi bagaimana jika itu dilakukan oleh TNI yang
notabene adalah bergerak di ranah militer,” kata Iyan kepada fajar.co.id, Kamis
(1/5/2025).
Pasalnya, kata Iyan, saat ini sudah ada institusi yang
mengurusi masalah kesehatan. Selain itu, diketahui ada tiga Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang memproduksi obat. Masing-masing Bio Farma, Kimia Farma, dan
Indofarma.
“Nah sekarang, kondisi di negara ini sudah ada institusi yang
mengurusi masalah kesehatan. Jadi, kenapa harus TNI begitu?” ujarnya.
Di sisi lain, ia menilai hal tersebut menegaskan makin melebarnya
otoritas TNI di ranah sipil. Itu, menurutnya, bisa berujung pada militerisasi.
“Juga yang penting disorot, bagaimana melebarnya otoritas TNI
ke ranah sipil. Itu bisa jadi menyebabkan militerisasi,” ujarnya.
Pada dasarnya, Iyan menjelaskan, tidak ada masalah dengan
militerisme. Namun yang mesti dipastikan, militerisme itu tak mengancam
demokrasi.
“Militerisme sebenarnya tidak masalah. Tapi yang jadi masalah
ketika militerisasi terjadi di suatu negara, akhirnya sifatnya yang otoriter
mengancam demokrasi kita,” terangnya.
Rencana TNI terlibat memproduksi obat, disebutnya atas dalih
Operasi Militer Selain Perang atau OMSP. Di dalam UU TNI yang baru, OMSP itu
diperluas perannya.
“Ini mereka artikan sebagai operasi non-perang. Tapi
masalahnya, kita tidak dalam masa perang,” pungkas Iyan. (fajar)