Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Polda Metro Jaya, (Rabu, 30 April 2025) 


ABRAHAM Samad meminta agar Joko Widodo mencabut pelaporan pengaduan ijazah palsu. Abraham Samad adalah mantan Ketua KPK periode tahun 2011-2015.

 

Betapa sungguh amat sangat mengherankan, jika Abraham Samad justru meminta Joko Widodo bersedia mencabut delik aduan berupa tidak mempraktikkan penegakan hukum KUHP dan UU ITE.

 

Di samping itu Abraham Samad meyakini bahwa aparat penegak hukum tidak mempunyai dasar untuk menindaklanjuti pelaporan Joko Widodo.

 

Argumentasi Abraham Samad adalah pasal-pasal yang digunakan oleh pengacara yang menjadi kuasa hukum Joko Widodo diyakini tidak tepat, yaitu tentang dugaan pencemaran nama baik terhadap dugaan ijazah palsu.

 

Mereka yang dilaporkan adalah Rizal Fadilah, Tifauzia Tyassuma, Rismon Sianipar, Roy Suryo dan nama berinisial K. Bukti yang dijadikan sebagai dasar hukum delik aduan pencemaran nama baik berupa video sebanyak 24 unit.

 

Berdasarkan jejak digital YouTube diketahui hubungan dekat dan kebersamaan Abraham Samad secara langsung atau tidak langsung dengan terlapor dalam beberapa event kegiatan politik praktis dan atau podcast-podcast.

 

Artinya, tercium motif Abraham Samad berargumentasi secara tersirat untuk bermaksud melindungi para terlapor atas dasar pernah bersama-sama melakukan kegiatan beroposisi non parlemen.

 

Kebersamaan dalam berbagai agenda bersama, itu terkesan membuat Abraham Samad bertindak membantu para terlapor dengan usul pencabutan pelaporan delik aduan di atas.

 

Permintaan untuk mencabut praktek penegakan hukum tersebut, terkesan Abraham Samad menggunakan dasar pemikiran tentang hak kebebasan berpendapat, yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 hasil amandemen satu naskah.

 

Bunyi Pasal 27 berupa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. Pasal 28 E ayat (3) berbunyi bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

 

Pasal 28 F berbunyi bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

 

Sebaliknya, Joko Widodo sebagai pihak yang melaporkan delik aduan juga dilindungi oleh Pasal 28 G.

 

Bunyi pasal tersebut pada ayat (1) adalah setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

 

Pada ayat (2) berbunyi setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

 

Juga pada Pasal 28 J ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Para terlapor dituntut oleh kuasa hukum Joko Widodo telah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP 1/2023. Juga terhadap tuntutan pelanggaran Pasal 27A, 32, dan 35 UU ITE 1/2024.

 

Persoalannya adalah Pasal 310 berbunyi bahwa setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk menahan air atau bangunan untuk menyalurkan air yang mengakibatkan bahaya banjir, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

 

Pasal 311 berbunyi bahwa setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan terjadinya kebakaran, ledakan, atau banjir yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi nyawa orang lain, atau mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Implikasinya adalah jika dan hanya jika wartawan tidak keliru mengutip informasi dari kuasa hukum, maka benarlah argumentasi dari Abraham Samad. Akan tetapi informasi tentang penulisan nomor pasal yang dikutip terkesan sungguh tidak masuk akal jika menggunakan nomor UU tersebut di atas.

 

Akan tetapi jika kutipan penulisan nomor pasal itu adalah benar adanya, maka tafsir yang kiranya cocok adalah momentum tuntutan delik aduan lebih bermaksud sebagai drama pembentukan citra dalam menggertak para terlapor.

 

Meskipun demikian kutipan nomor kedua pasal kiranya lebih masuk akal, jika pengutipan kurang tepat. Keliru dalam mengutip nomor-nomor pasal KUHP di atas.

 

Pasal 27A berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik. Pasal 32 dan Pasal 35 tidak tersaji dalam UU ITE 1/2024.

 

Implikasinya adalah pengutipan nomor-nomor pasal yang dijadikan penuntutan delik aduan terkesan bukan bersumber dari UU terbaru, melainkan berasal dari periode UU yang sama sebelum versi perubahan terbaru. Jadi, informasi Abraham Samad dalam konteks ini terkesan kurang tepat.

 

Akan tetapi jika yang digunakan dasar hukum adalah UU ITE 11/2008 itu tidak tercantum nomor pasal 27 A, melainkan nomor 27. Pada Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

 

Jadi, penggunaan UU ITE 11/2008 cocok dengan pelaporan delik aduan ijazah palsu.

 

Pasal 32 pada ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

 

Ayat (2) berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem orang lain yang tidak berhak.

 

Ayat (3) berbunyi terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

 

Pasal 35 berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, perusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

 

Jadi, penggunaan UU ITE 11/2008 lebih cocok dibandingkan mengacu menggunakan UU ITE 1/2024.

 

Selanjutnya penggunaan ijazah atau gelar akademik palsu diatur menggunakan UU KUHP 1/2023 Pasal 272 dan menjadi persoalan hukum yang serius.

 

Pada ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang yang memalsukan atau membuat palsu ijazah atau sertifikat kompetensi dan dokumen yang menyertainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (2) berbunyi bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi palsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (3) berbunyi bahwa setiap orang yang menerbitkan dan/atau memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI.

 

Implikasinya adalah usul Abraham Samad, agar Joko Widodo mencabut delik aduan adalah perbuatan yang bersifat tidak adil atau berat sebelah kepada koleganya, karena tercantumnya Pasal 272 dengan sanksi pidana penjara dan pidana denda tersebut di atas.

 

Sebenarnya yang lebih tepat adalah penggunaan Pasal 263 dan Pasal 264 pada UU KUHP 1/2023.

 

Pasal 263 ayat (1) berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (2) berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

 

Pasal 264 berbunyi bahwa setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

 

Jadi, dalam hal ini kuasa hukum masih dimungkinkan untuk melakukan perbaikan penggunaan dasar hukum dalam mengajukan delik aduan dan/atau wartawan memperjelas kutipan tentang penggunaan nomor-nomor pasal dan nomor UU yang digunakan sebagai kutipannya.

 

Implikasinya adalah para terlapor berpotensi sangat besar segera menjadi narapidana dan wajib membayar denda.

 

Sementara itu alibi penggunaan dasar hukum UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terkendala oleh Pasal 6. Pada ayat (2) berbunyi Badan Publik berhak menolak memberikan informasi publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Ayat (3) point c berbunyi bahwa informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi. Sebagaimana diketahui bahwa hak-hak pribadi dilindungi menggunakan UUD 1945 hasil amandemen satu naskah tersebut di atas maupun UU 27/2022 tentang pelindungan data pribadi.

 

Singkat kata, pengaduan delik aduan pelaporan ijazah palsu mempunyai dasar hukum yang jelas dan mempunyai prospek yang sangat besar berpotensi mampu memenjarakan dan mendenda para terlapor, sedangkan maksud untuk menolak penegakan hukum justru berdampak dengan maksud melanggar penegakan hukum UU di atas.

 

Demikian pula dengan tafsir bahwa Joko Widodo ingin senantiasa mempunyai panggung di media massa terkesan kurang sesuai dengan keberadaan UU tersebut di atas. (*)

 

Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Pengajar Universitas Mercu Buana

 

Label:
This is the most recent post.
Posting Lama

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.