Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan
Presiden ke-44 AS Barack Obama/Ist
TULISAN ini mungkin menjadi penutup dari beberapa artikel yang telah saya buat mengenai polemik dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi.
Sebelumnya, saya telah menulis tiga
artikel terkait isu ini sebagai bentuk kepedulian dan refleksi terhadap
pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem demokrasi.
Hari ini, Senin 5 Mei 2025, saya
menyampaikan penutup reflektif melalui tulisan ini. Tujuannya adalah memberikan
gambaran utuh kepada masyarakat tentang akar persoalan, dinamika polemik,
aktor-aktor yang terlibat, serta solusi konkret.
Seharusnya penyelesaian masalah ini
bisa ditempuh sejak awal. Tidak berlarut-larut tanpa menimbukan polemik berkepanjangan atas dugaan ijazah palsu
Jokowi.
Akar masalah dari polemik ini
kemungkinan besar berawal dari sikap Jokowi sendiri yang ketika itu tampaknya
meremehkan isu dugaan ijazah palsu.
Tuduhan yang datang dari masyarakat
mungkin dianggap sebagai suara-suara pinggiran, tidak kredibel, dan boleh jadi
dianggap berasal dari orang-orang yang hanya mencari panggung popularitas.
Mungkin Jokowi menilai, sebagai
Presiden tidak perlu merespons tuduhan yang menurutnya tidak berdasar dan
berasal dari orang-orang yang tidak selevel dengannya.
Sayangnya, mungkin dengan sikap ini
justru menjadi pemicu utama kenapa polemik ini tidak pernah reda.
Isu dugaan ijazah palsu Jokowi
pertama kali muncul pada 2019, melalui unggahan Umar Kholid Harahap di media
sosial.
Umar menuding bahwa ijazah SMA Negeri
6 Solo milik Jokowi adalah palsu. Pihak kepolisian menyatakan bahwa unggahan
tersebut adalah hoaks, dan menangkap Umar. Namun isu terkait masalah ini tidak
berhenti.
Pada tahun 2022, Bambang Tri Mulyono
menggugat Jokowi ke pengadilan dengan tuduhan serupa. Tetapi gugatan itu
dicabut setelah Bambang menjadi tersangka ujaran kebencian.
Pada tahun 2024, advokat Eggi Sudjana
mencoba langkah hukum serupa, namun ditolak pengadilan karena dianggap tidak
memiliki dasar hukum yang kuat atau dengan alasan lainnya.
Atas hal ini, Ketua Tim Kuasa Hukum
Jokowi, Otto Hasibuan meminta narasi negatif terkait kliennya agar dihentikan
oleh semua pihak.
Belum lama ini, muncul pengacara
Muhammad Taufiq dari Solo kembali menggugat objek serupa.
Taufiq mengajukan gugatan ke
Pengadilan Negeri (PN) Solo terhadap empat pihak, yakni Jokowi (tergugat 1),
KPU Surakarta (tergugat 2), SMAN 6 Surakarta (tergugat 3), dan Universitas
Gadjah Mada (tergugat 4).
Gugatan itu dilayangkan karena Taufiq
menilai ijazah Jokowi belum pernah ditunjukkan ke publik secara meyakinkan.
Ia menuding KPU lalai dalam
memverifikasi ijazah saat Pilkada Solo pertama. SMAN 6 Surakarta baru berdiri
tahun 1986 sehingga seharusnya Jokowi tidak bisa bersekolah di sana. Terakhir
UGM dinilai keliru dalam mengeluarkan ijazah.
Dalam hal ini, tampaknya perkiraan
saya terbukti benar. Boleh jadi, prediksi Jokowi bahwa polemik ini akan mereda
dengan sendirinya ternyata keliru. Justru setelah masa jabatannya berakhir pada
Oktober 2024, eskalasi isu ini meningkat secara signifikan.
Publik kemudian dikejutkan oleh
langkah ahli digital forensic Rismon Hasiholan Sianipar, yang secara detail
membedah berbagai kejanggalan dokumen terkait Jokowi.
Rismon mengangkat sejumlah isu
teknis, seperti ketidaksesuaian tanda tangan dosen penguji skripsi, penggunaan
huruf font Times New Roman yang dinilai tidak lazim pada era 1980-an, serta
berbagai aspek administratif lainnya.
UGM sebagai institusi tempat Jokowi
menempuh pendidikan tinggi, membantah seluruh tuduhan tersebut.
Pihak kampus menyatakan bahwa semua
proses akademik Jokowi terdokumentasi dengan baik, dan penggunaan font serta
format ijazah sesuai kebijakan fakultas pada masa itu.
Namun, meskipun UGM telah beberapa
kali memberikan klarifikasi, polemik tidak juga mereda.
Beberapa tokoh, termasuk Roy Suryo,
ikut meragukan keaslian foto pada ijazah Jokowi.
Semua ini memperkuat persepsi publik
bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Padahal bisa saja masalah ini selesai
secara cepat dan elegan jika saja Jokowi bersedia menunjukkan secara terbuka
dokumen akademiknya.
Kecurigaan publik lebih banyak tumbuh
bukan karena bukti pemalsuan yang kuat, tetapi karena minimnya transparansi
dari pihak yang bersangkutan.
Jokowi seharusnya bisa mengambil
langkah sederhana namun strategis dengan menunjukkan langsung ijazah asli yang
dipermasalahkan.
Jokowi juga bisa mengajak pihak
sekolah, dari SD hingga perguruan tinggi, untuk secara terbuka menyampaikan dan
memverifikasi dokumen akademiknya kepada publik.
Jika langkah itu ditempuh, maka
polemik ini akan selesai jauh sebelum Jokowi mengakhiri masa jabatannya sebagai
presiden.
Sebaliknya, Jokowi justru membiarkan
isu ini bergulir terus-menerus, yang sepertinya hanya memperkeruh suasana dan
membuka celah bagi berkembangnya ketidakpercayaan publik.
Dalam konteks ini, mungkin bukan
hanya Jokowi yang patut dikritik. Lembaga-lembaga pendidikan yang seharusnya
menjadi penjaga integritas dan kebenaran akademik mungkin juga turut terlibat
dalam masalah ini.
Demikian pula lembaga peradilan yang
cenderung menolak gugatan tanpa mendorong pembuktian langsung dengan meminta
Jokowi menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka.
Di sisi lain, sebagian pengkritik dan
penyebar konten di media sosial turut memperkeruh situasi dengan narasi
bombastis yang tidak sepenuhnya didasarkan pada verifikasi terhadap dokumen
asli.
Tindakan semacam ini memang
berpotensi menyulut emosi publik, memperbesar polemik, dan menciptakan
polarisasi di tengah masyarakat tanpa menawarkan penyelesaian yang konstruktif.
Namun demikian, mereka juga tidak
sepenuhnya dapat disalahkan, karena pada dasarnya mereka hanya mengisi ruang
publik yang kosong akibat absennya klarifikasi resmi yang transparan.
Selain itu, banyak di antara mereka
hanya menyusun argumen berdasarkan data dan fakta yang beredar di media sosial,
yang telah mereka analisis dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.
Maka, meski pendekatannya bisa
diperdebatkan, sikap kritis mereka tetap patut dipahami dalam konteks
keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam demokrasi.
Namun, jika harus menunjuk siapa yang
paling bertanggung jawab atas polemik dan pro kontra ini, maka jawabannya
mungkin adalah Jokowi sendiri.
Sebagai tokoh publik --terlebih lagi
sebagai presiden dua periode -- Jokowi memikul tanggung jawab moral untuk menjernihkan
fitnah atau kecurigaan yang muncul terhadap dirinya dengan cara yang elegan dan
terbuka.
Meneladani Langkah Obama
Dalam menghadapi masalah tuduhan
dugaan ijazah palsu, seharusnya Jokowi menunjukkan ijazah aslinya sejak awal
tuduhan mencuat. Bukan malah membiarkan isu berkembang liar di ruang publik.
Apalagi jika respons yang ditunjukkan cenderung membungkam, menghindar, atau
menunda klarifikasi.
Sikap Jokowi semacam itu justru
memicu polemik dan pro kontra yang berkepanjangan serta melemahkan kepercayaan
publik.
Bahkan saat ini, sepertinya
masyarakat telah terbelah menjadi dua kubu: yang mendukung dan yang menentang
terkait isu ijazah ini.
Kondisi ini jelas merugikan, karena
berpotensi menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu stabilitas dan
konsentrasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan
agenda-agenda nasional.
Memang benar bahwa Jokowi secara
hukum tidak wajib menunjukkan ijazah yang dimilikinya, kecuali atas perintah
pengadilan.
Namun sebagai pejabat publik tertinggi
saat itu, akan jauh lebih bijak jika ia memilih bersikap proaktif demi
menyelesaikan polemik ini. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga
demi menjaga martabat institusi kepresidenan serta ketenangan publik.
Bahkan, saya meyakini sepenuhnya
bahwa jika sejak awal Jokowi berinisiatif menunjukkan ijazah aslinya secara
terbuka, langkah tersebut akan menjadi solusi jitu yang menyelesaikan persoalan
ini dengan cepat dan elegan.
Sayangnya, yang terjadi justru
sebaliknya. Jokowi bergeming dan sama sekali tidak mengambil langkah untuk
meredakan atau menyelesaikan persoalan ini secara tuntas.
Saat ini, Jokowi telah melaporkan
sejumlah pihak yang dianggap menyebarkan tuduhan tanpa dasar ke Polda Metro
Jaya. Laporan tersebut disampaikan Jokowi pada Rabu 30 April 2025, dengan
menumpangi mobil Toyota Kijang Innova bernomor polisi B 2329 SXL.
Langkah Jokowi itu menandai babak
baru dalam polemik dugaan ijazah palsu. Cara ini menandai perubahan strategi:
dari menghindar, kini Jokowi memilih jalur hukum untuk melawan balik.
Tetapi publik tentu bertanya, mengapa
tidak sejak awal memilih jalur transparansi terlebih dahulu?
Dalam konteks ini, langkah Presiden
AS ke-44 Barack Obama layak dijadikan teladan. Saat menghadapi tuduhan bahwa ia
bukan warga negara Amerika Serikat, Obama tak memilih bungkam.
Ketika kasus tersebut mencuat, Obama
segera merilis salinan lengkap akta kelahirannya dari Hawaii pada 27 April
2011. Ia membuktikan bahwa ia lahir di Honolulu pada 4 Agustus 1961.
Dengan langkah terbuka itu, Obama
menutup ruang spekulasi kelompok “birther” yang menyebar disinformasi bahwa ia
lahir di Kenya.
Obama menganggap tuduhan itu sebagai
gangguan politik, tetapi tetap memilih jalur transparansi untuk meredam
keraguan.
Seharusnya Jokowi bisa meniru Obama.
Menunjukkan ijazah asli secara terbuka bukan hanya merupakan pilihan yang tepat
secara moral, tetapi juga langkah strategis untuk menjaga legitimasi di mata
rakyat dan catatan sejarah.
Tindakan semacam itu akan mencerminkan
sikap kenegarawanan serta memberikan teladan berharga bagi generasi penerus
tentang arti penting transparansi dan akuntabilitas dalam kepemimpinan.
Pada akhirnya, kasus ini menunjukkan
bahwa sebuah dugaan yang awalnya tampak sepele dapat berubah menjadi bola liar
yang sulit dikendalikan. Terutama ketika tidak direspons secara bijak dan
terbuka sejak awal.
Semua ini terjadi karena sejak awal
persoalan tidak ditangani secara bijak dan transparan, khususnya dengan tidak
ditunjukkannya ijazah asli kepada publik.
Padahal, isu ini bukan sekadar soal
selembar ijazah, melainkan menyangkut kepercayaan publik terhadap integritas
seorang pejabat negara.
Ketika kepercayaan itu retak, yang tercoreng bukan hanya nama seorang mantan presiden, tetapi juga wibawa institusi pendidikan, kredibilitas lembaga hukum, dan bahkan martabat republik ini sendiri. (*)
*Penulis adalah Ketua Himpunan
Masyarakat Nusantara (Hasrat)