Ilustrasi/Net
JAKARTA — Kepolisian Negara Republik
Indonesia harus menjadi aparatur negara yang profesional sebagai penegak hukum
di era saat ini. Jangan sampai institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia
hanya digunakan oleh satu orang untuk meraih kekuasaan semata.
Demikian disampaikan tokoh aktivis 98, Mixil Mina Munir
terkait refleksi 27 tahun Reformasi, 1998-2025.
"Saat ini polisi bukan sebagai alat negara, tapi dia
sebagai alat pemerintahan itu yang enggak bisa ditoleransi. Polri tidak boleh
menjadi alat politik bagi beberapa oknum, bagi orang yang berkuasa," kata
Mixil dalam keterangannya pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Bukan hanya soal kekuasaan, lebih lanjut, Mixil yang juga
mantan aktivis Forum Kota (Forkot) menyinggung salah satu hasil yang didapat
dari Reformasi yakni kala Polri dipisahkan dari TNI.
Dari sini, Maxil berharap besar Korps Bhayangkara bisa
menjadi institusi yang tak terkooptasi militer.
"Kalau dulu kan polisi memisahkan dari militer dengan
harapan polisi bisa menjalankan fungsinya tidak di bawah dalam kooptasi
militer," kata Maxil.
Sementara itu, terkait wacana RUU Polri yang tengah dibahas,
Mixil mengaku belum membaca secara keseluruhan, Ia pun berharap RUU tak membuat
kewenangan Polri menjadi 'kebablasan'.
"Saya belum baca, cuma pada beberapa, nampaknya mau
diperluas lagi peran dan fungsinya ya. Seperti memberikan peran dan fungsi
peran yang lebih luas kepada militer, kepada tentara. Itu kan, nampaknya
diperluas lagi itu," paparnya.
Selain Polri, Mixil juga menyoroti peran militer yang saat
ini banyak diperbincangkan usai disahkannya UU TNI.
"Kalau dulu militer masuk menjadi bagian dari, salah
satunya bisa duduk di legislatif. Nah sekarang ini lebih fatal lagi. Mereka
bisa duduk di pos-pos eksekutif, masuk Dirjen, di Kepala Badan, dan lain
sebagainya yang mengambil peran-peran dari wilayah-wilayah sipil," tegas
Mixil. (rmol)