Ilustrasi/Ist 


Oleh : Arief Rachman


KEPOLISIAN Negeri Impian’ adalah gambaran harapan masyarakat akan sosok polisi yang profesional, berintegritas dan dekat dengan masyarakat. Ungkapan ini mewakili keinginan masyarakat untuk memiliki aparat penegak hukum yang tidak sekedar menegakkan aturan, namun juga terlibat aktif dalam kegiatan sosial, melindungi, mengayomi serta memberikan pelayanan terbaik. Inilah cita-cita ideal tentang kepolisian yang benar-benar menjadi ”Sahabat Masyarakat”.

 

Selasa, 1 Juli 2025 Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menggelar puncak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara yang ke-79 dengan mengusung tema “Polri untuk Masyarakat”. Ditahun yang sama pula, melalui keterangan yang dikutip pada Senin, 10 Februari 2025, Civil Society for Police Watch melakukan penelitian mengenai tingkat kepuasan publik terhadap Polri yang menunjukkan bahwa kepercayaan publik serta kinerja Polri masih berada di bawah angka 50 persen. (Sumber ; MetroTV)

 

Oleh karena itu, kesempatan ini selayaknya digunakan untuk merefleksikan kembali perjalanan hidup Jenderal Hoegeng Imam Santoso, seorang figure kepolisian dalam sejarah bangsa Indonesia yang dikenal sebagai sosok yang jujur dan dihormati oleh masyarakat, sembari melakukan introspeksi sebagai proses evaluasi awal untuk dapat memahami bagaimana cara membangun kepercayaan publik, menciptakan citra dan reputasi yang positif, agar visi ’Kepolisian Negeri Impian’ dapat diwujudkan.

 

Pendekatan Sosial Terhadap Kepercayaan Publik

 

Dalam karyanya “Trust : The Social Virtues and the Creation of Prosperity”, Francis Fukuyama mengungkapkan bahwa kepercayaan sosial adalah dasar untuk menjaga kohesi sosial serta keberhasilan lembaga publik. Kepercayaan ini terbangun lewat konsistensi, transparansi, dan pertanggung jawaban.

 

Ketika kepolisian transparansi dalam setiap tindakan dan pilihan yang diambil, serta menerima tanggung jawab atas kesalahan yang mungkin ada, masyarakat akan bisa lebih percaya. Transparansi ini bisa dicapai dengan beberapa cara, seperti menyusun laporan tahunan yang terbuka, menyelesaikan kasus secara adil dan terbuka, terbuka dalam proses rekrutmen hingga promosi jabatan kepolisian dan lain sebagainya.

 

Menurut Sunshine dan Tyler, sikap keadilan dalam perkhidmatan kepolisian memberi impact kepada kepercayaan dan kepatuhan masyarakat. Semakin banyak masyarakat yang percaya bahwa kepolisian itu berkeadilan, maka semakin cenderung masyarakat untuk mengikuti aturan dan mendukung kepolisian. Ini menunjukan pentingnya menjaga dan meningkatkan standar profesionalitas dan netralitas.

 

Dapat dibayangkan, ketika masyarakat tidak percaya terhadap institusi penegak hukum, mereka cenderung menjauh dari petugas kepolisian dan berusaha mencari keadilan melalui cara-cara yang tidak resmi atau bahkan melanggar hukum. Hal ini menimbulkan siklus negatif, yang dimana ketidakpercayaan masyarakat semakin meluas di tengah tingginya tindakan ilegal. Sebaliknya, jika kepercayaan masyarakat tinggi, mereka lebih mau berkolaborasi dengan polisi, melaporkan kejahatan, dan mendukung penegakan hukum, yang pada akhirnya lingkungan aman dan harmonis tercipta dengan sendirinya.

 

Netralitas

 

Berdasarkan gagasan tentang keadilan dari John Rawls, keadilan sebagai perlakuan yang objektif menghendaki adanya lembaga yang dapat berfungsi sesuai dengan prinsip keadilan tanpa berpihak kepada kelompok tertentu. Netralitas tidak hanya diartikan sebagai ketidak berpihakan, lebih dari itu; ia menunjukan nilai-nilai kejujuran dan keadilan yang mendasar. Dari sudut pandang ini, netralitas kepolisian erat kaitanya dengan jaminan bahwa setiap langkah dan putusan yang diambil berlandaskan pada prinsip keadilan dan bebas dari pengaruh agenda politik maupun ekonomi yang spesifik.

 

Kepolisian sebagai sebuah lembaga harus beroperasi dengan cara seperti demikian, memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak dipengaruhi oleh bias yang bisa merugikan keadilan. Netralitas juga berkaitan dengan tanggung jawab etis. Immanuel Kant dalam pandangan etika deontologisnya menekankan pentingnya tindakan yang dilakukan berdasarkan kewajiban moral serta prinsip yang bersifat universal. Hal ini berarti bahwa setiap tindakan dan keputusan harus didasari oleh hukum dan kode etik profesional, bukan kepentingan pribadi atau tekanan dari luar.

 

Tantangan untuk mempertahankan netralitas kepolisian dapat dilihat dari pola interaksi kekuasaan dan hukum. Michael Lipsky mencatat bahwa petugas di lapangan memiliki wewenang yang signifikan dalam membuat keputusan, tetapi perlu kebijaksanaan agar wewenang yang dijalankan tidak disalahgunakan. Sebab, penyalahgunaan bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat.

 

Di Indonesia, keputusan kepolisian kerap kali kontroversial, ketika dipertemukan dengan kasus-kasus yang melibatkan para pejabat atau pengusaha. Artinya, kepolisian harus menunjukkan netralitas dan profesionalisme untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan memastikan hukum ditegakkan dengan adil.

 

Selanjutnya, netralitas kepolisian sangat diuji saat momentum demokrasi. Sering kali dugaan terhadap oknum kepolisian yang ikut terlibat mendukung calon tertentu mencuat ke permukaan, ini dapat merusak citra institusi. Oleh karena itu, penting bagi kepolisian untuk tetap bebas dari pengaruh politik dan memastikan semua tindakan sesuai hukum dan berkeadilan. Kepolisian harus menunjukkan bahwa penanganan setiap kasus dapat dipertanggungjawabkan secara etika dan prosedur.

 

Profesionalitas: Manifestasi Kepolisian Negeri Impian

 

Tantangan utama dalam mencapai profesionalisme di kepolisian adalah memastikan semua anggotanya memiliki integritas yang tinggi dan kemampuan yang baik. “The Soldier and the State”, oleh Samuel Huntington menyoroti betapa krusialnya pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk menjaga sikap profesionalitas. Hal ini berkaitan dengan elemen-elemen teknis serta perkembangan budaya yang mendukung nilai integritas dan etika.

 

Dalam lingkup kepolisian, profesionalisme berarti melaksanakan tugas dengan baik, tanpa korupsi dan dengan pemahaman hukum yang mendalam. Solutif penulis, menekankan pentingnya struktur hierarki yang jelas dan pelatihan berkelanjutan agar dapat bekerja secara efektif. Ini menunjukan setiap anggota kepolisian perlu mendapatkan pelatihan yang baik dan sistem penilaian yang adil untuk meningkatkan kemampuan mereka secara berkelanjutan.

 

Misalnya,  berkaca pada salah satu persoalan yang sering muncul terkait dengan minimnya kompetensi dalam menangani tindak pidana cyber atau kejahatan antar negara di tengah era digitalisasi. Artinya, dengan tantangan tugas kepolisian yang semakin kompleks, perlu perbaikan di banyak bidang, termasuk pembinaan, operasional dan pembangunan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana juga harus menjadi perhatian.

 

Terutama, keberadaan petugas kepolisian sangat erat kaitanya dengan masyarakat. Insiden penyalahgunaan kekuasaan, kekerasan, ketidakjelasan dalam penyampaian informasi mengenai suatu perkara, pelecehan seksual, tindakan yang tidak menyenangkan, serta penyelidikan perkara yang tidak berujung adalah contoh penyimpangan yang dilakukan oleh anggota kepolisian yang lambat laun menciptakan paradigma buruk bagi institusi.

 

Apalagi, kepolisian berperan penting dalam menciptakan keamanan dan ketertiban. Opini yang seharusnya ada adalah bahwa polisi menjadi teladan yang dapat di ikuti dan di andalkan untuk memberikan perlindungan serta pelayanan terhadap masyarakat. Jika terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam menjalankan tugas, hal ini dapat menimbulkan keraguan publik terhadap kemampuan polisi dalam melaksanakan fungsi utamanya sebagai pelindung dan pelayan. (*)

 

*Penulis adalah Pegiat Literasi dan Ketua Forum Cinta Polri Nusa Tenggara Barat


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.