OLEH : AHMADIE THAHA
DI Masjid Darul Falah, Makassar Sulawesi Selatan, Jumat
siang, 6 Juni 2025, udara masih harum oleh jejak pagi. Minyak wangi masih
merebak dari baju gamis jamaah yang baru saja menunaikan salat Iduladha.
Ketupat dan opor masih hangat dalam ingatan.
Belum lama mereka pulang sebentar ke rumah, mengganti baju
koko, lalu kembali lagi ke masjid untuk salat Jumat -- karena hari raya tetap
tidak membatalkan kewajiban mingguan.
Dan di atas mimbar, berdiri sosok yang suaranya dikenal lebih
lantang dari toa masjid: Ustaz Dr. H. Muhammad Yahya Yopie Waloni, M.Th.
Usianya menjelang 55 tahun.
Beliau berkhutbah tentang pengorbanan. Ayat demi ayat, hadits demi hadist, meluncur dari bibirnya seperti biasanya. Suaranya membakar, mengguncang, kadang-kadang juga menyulut kontroversi.
Tapi siang itu, ada ketenangan aneh dalam suaranya. Ia bicara
tentang Nabi Ibrahim dan Ismail, tentang ketundukan total pada kehendak Ilahi.
Mungkin, tanpa disadari, ia sedang mengisyaratkan sebuah perpisahan.
Lalu -- seperti potongan film yang terlalu dramatis untuk
kenyataan -- suara itu mengecil. Bibirnya seperti masih hendak bicara, tapi
suaranya terhisap. Tubuhnya lunglai, kemudian jatuh menggebrak ke lantai
mimbar.
Tak ada efek suara. Hanya kesunyian yang mendadak menggigit.
Jemaah panik. Sujud pun tertunda. Shalat Jumat diinterupsi oleh kenyataan: sang
khatib tak bergerak. Innalillahi wa inna ilayhi rajiun.
Meninggal di atas mimbar seperti itu adalah cita-cita
sebagian pendakwah. Mungkin juga kita. Tapi sedikit yang betul-betul “dijemput”
Allah saat masih menggenggam tugasnya.
Yahya Waloni, mantan pendeta yang menjadi pendakwah Islam,
tampaknya telah menyelesaikan naskah hidupnya di titik paling dramatis. Di atas
mimbar. Dalam khutbah tentang pengorbanan.
Namun, jangan buru-buru menjadikannya bak malaikat. Sosok ini
adalah tokoh yang penuh warna -- dan
terkadang over --saturasi. Yahya Waloni bukan pendakwah kalem ala Ustaz Abdul
Somad atau dai televisi yang sopan dan rapi seperti Aa Gym.
Ia dikenal sebagai juru bicara Islam “garis keras”, bersuara
lantang, dan… yah, cukup senang menabrak tembok toleransi. Dalam daftar
kontroversinya: menyebut kitab suci agama lain sebagai palsu, sehingga dijatuhi
vonis lima bulan penjara karena ujaran kebencian.
Dalam dunia medsos, ia dijuluki “Ustaz Pansos” -- alias
Panjat Sosial, label sinis yang, ironisnya, malah menambah popularitasnya.
Tapi, apakah semua itu membatalkan nilai perjuangannya? Belum tentu. Tentu
tidak.
Fakta tak bisa dibantah: ia adalah seorang mualaf yang
memilih jalan Islam dengan total. Islam kaffah, bahkan bersama istrinya yang
juga muallafah.
Ustaz yang lahir di kota Manado pada 30 November 1970 dari
keluarga Kristen Minahasa yang taat ini pernah memimpin sekolah teologi
Kristen. Lalu ia meninggalkan semuanya untuk menyatakan syahadat.
Tidak mudah menjadi mualaf di usia matang, apalagi setelah
menjadi tokoh dalam agama sebelumnya. Ia kehilangan teman, posisi, dan --
mungkin juga -- rasa aman. Tapi ia tetap maju. Dalam gaya yang kadang bikin
jemaah mengangguk, kadang menggeleng, tapi tak pernah membuat mereka diam.
Dan di sinilah kita perlu jujur: tak semua yang keras itu
jahat, tak semua yang lembut itu benar. Yahya Waloni adalah potret Islam yang
bergulat dengan realitas pluralisme di Indonesia, tapi punya batasan akidah
yang tak bisa ditawar.
Sebagian melihatnya sebagai pembela akidah. Sebagian lagi
melihatnya sebagai pembelah harmoni. Ia adalah semacam refleksi keras kepala
dari kita semua yang tak selesai berdamai dengan sejarah konversi, trauma
kolonial, dan luka-luka teologis.
Tapi apa pun penilaian kita, kematiannya di mimbar adalah
simbol yang tidak bisa diremehkan. Bayangkan: ia menghembuskan napas terakhir
di hadapan jemaah. Di atas mimbar. Di Hari Raya, persis saat jutaan haji
bersatu di padang Arafah. Di sela khutbah tentang pengorbanan. Dan di hari
Jumat!
Apakah itu kebetulan? Atau skenario ilahi dengan naskah
paling puitis sekaligus suci?
Tubuhnya memang dilarikan ke RS Bahagia -- nama rumah sakit
yang sangat ironis dalam konteks duka. Tapi bagi sebagian orang, terutama
mereka yang percaya bahwa hidup adalah medan jihad ideologis, ia tidak wafat
biasa. Ia syahid di jalan dakwah.
Dan seperti biasa, setelah jenazah dikafani, media sosial pun
mulai mengkafani narasi. Ada yang mengenangnya sebagai pahlawan iman. Ada yang
mengecamnya sebagai provokator.
Tapi mungkin, Yahya Waloni akan tersenyum dari alam sana,
sebab seperti yang biasa ia ucapkan: “Biar saya yang maki, yang penting kamu
mikir.” Kini, setelah ia tak bisa bicara lagi, kita yang mesti berpikir.
Tentang cara menyampaikan dakwah tanpa melukai. Tentang
bagaimana menjaga akidah tanpa membakar jembatan kemanusiaan. Dan tentang
bagaimana, kadang, satu nyawa yang padam bisa lebih nyaring dari seribu
ceramah.
Selamat jalan, Ustaz Yahya Waloni. Akhir hidupmu mungkin
bukan akhir damai. Tapi siapa tahu, itu awal dari percakapan baru -- yang lebih
jujur, lebih terbuka, dan lebih manusiawi, tentu tanpa pernah harus
mengorbankan akidah. (*)
(Penulis adalah
Wartawan Senior dan Pengasuh Ma’had Tadabbur Quran)