Dokter Tifa mengaku mendapat teror dan ancaman. Usai
persoalkan ijazah Jokowi
JAKARTA — Usai mempertanyakan ijazah Jokowi,
Dokter Tifa mengaku menerima teror dan ancaman. Tak hanya dirinya, anak-anaknya
pun menjadi korban teror, termasuk intimidasi langsung hingga doxing atau
penyebaran data pribadi di media sosial.
Diketahui, Dr Tifa mulai mencurigai keaslian ijazah Jokowi
sejak mendengar pernyataan Jokowi pada 2013 lalu, dalam sebuah seminar
kepemimpinan di Universitas Islam Indonesia (UII).
Dalam seminar tersebut, Jokowi hadir bersama Mahfud MD. Saat
itu, moderator Rosiana Silalahi bercanda dengan memasangkan nama Mahfud dan
Jokowi sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2014.
"Buya Syafii, silakan pilih mana yang RI 1 dan RI
2," ujar Rosiana kepada Buya Syafii Maarif, yang juga menjadi pembicara
dalam acara bertajuk Memimpin dengan Hati tersebut, Jumat, 28 Juni 2013.
Buya Syafii lantas menolak menjawab dengan nada bercanda.
"Moderatornya kurang ajar, saya ditodong," ujarnya disambut tawa.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu kemudian menjelaskan
bahwa calon presiden ideal adalah sosok yang mampu bertindak nyata untuk
rakyat, jujur, dan anti pencitraan.
"Hanya itu ukurannya, IPK 4 bukan indikator,"
katanya.
Namun, ia menambahkan bahwa IPK calon presiden sebaiknya
tidak di bawah 3. Saat bertanya kepada Mahfud tentang IPK-nya, Mahfud menjawab,
"IPK saya dulu 3,8."
Ketika giliran Jokowi ditanya, ia menjawab, "Dua saja
tidak ada."
Pernyataan inilah yang kembali mencuat setelah diangkat oleh
Roy Suryo, pakar telematika yang juga menjadi salah satu pihak yang dilaporkan
ke polisi oleh pihak Jokowi.
Ucapan Jokowi itu membuat Dr Tifa mempertanyakan riwayat
pendidikannya, yang dikenal sebagai lulusan Fakultas Kehutanan UGM.
Ia lalu menelusuri katalog alumni dan data skripsi di UGM,
dan menemukan sejumlah ketidaksesuaian terkait nama, jurusan, hingga nomor
induk mahasiswa.
Pada Maret 2025, Dr Tifa membandingkan ijazah Jokowi dengan
ijazah sahabatnya, Aida Greenbury—putri Dekan Fakultas Kehutanan UGM saat itu.
Ia menemukan perbedaan ejaan nama dekan dalam kedua ijazah:
tertulis “Soemitro” dalam ijazah Jokowi, sementara pada ijazah Aida tertulis
“Sumitro”.
Perbedaan ini dianggap sebagai bukti ketidaksesuaian dokumen
akademik.
Temuan tersebut kemudian ia unggah dalam bentuk utas di media
sosial. Unggahan itu viral dan memicu kontroversi publik.
Sejak saat itu, Dr Tifa mengaku menerima berbagai bentuk
tekanan dan teror, termasuk ancaman terhadap anak-anaknya. Ia menyebut
anak-anaknya disatroni dan identitas mereka, termasuk KTP, disebarkan.
Nelangsa Dr Tifa
Curhat pilu Dr Tifa saat ini diketahui dari unggahan
terbarunya tentang perlaku tidak menyenangkan yang dia terima sejak mengusi
Jokowi.
Hal itu diketahui dari unggahan terbarunya, yang ia sampaikan
melalui akun X (Twitter) pribadinya pada Sabtu, 28 Juni 2025 pukul 17.27 WIB.
Dalam cuitannya, Dr Tifa menyebut bahwa anak-anaknya kini
menjadi korban teror, termasuk intimidasi langsung hingga doxing atau
penyebaran data pribadi di media sosial.
Cuitan tersebut telah ditonton lebih dari 11 ribu kali dan
mendapat ratusan komentar serta dibagikan lebih dari 300 kali.
"Anak-anak saya diteror. Kost mereka disatroni, dan
diancam verbal akan disakiti. Sampai foto-foto KTM dan KTP mereka disebar di
sosial media dengan ancaman setiap hari di WA," tulisnya.
Tak hanya anak-anaknya, Dr Tifa juga mengaku telah
berkali-kali menerima ancaman.
Ia menyebut bahwa serangan ini bukan hanya dialaminya
sendiri, tetapi juga beberapa tokoh lain yang vokal terkait dugaan ijazah palsu
mantan Presiden Joko Widodo.
"Selain tentu saja saya sendiri, ancaman sudah tidak terhitung.
@SianiparRismon (Rismon Sianipar) mobilnya dirusak berkali-kali. @KRMTRoySuryo
(Roy Suryo) dikirimi makhluk aneh-aneh dari dunia Astral," lanjutnya.
Dengan nada tajam, Dr Tifa mempertanyakan siapa sebenarnya
pihak yang ketakutan hingga menyerang dengan cara-cara semacam itu.
"Sebetulnya siapa sih yang ketakutan ini? Kok banci
sekali anak-anak pun diserang? Pakai preman dll," sindirnya.
"Yang serang pakai tangan orang lain itu yang melakukan
kejahatan, penipuan, kebohongan. Yang diserang, tentu saja yang pegang
kebenaran."
"Jangan terbalik, kecuali Termul pikirannya
terbalik-balik."
Di akhir cuitan, ia juga menyelipkan kalimat satir:
"Btw, siapa yang berobat alasannya liburan antar cucu
ya?"
Unggahan ini memantik berbagai reaksi dari warganet.
Banyak yang menunjukkan simpati dan dukungan moral terhadap
Dr Tifa dan rekan-rekannya yang turut disinggung dalam cuitan.
Akun @hahahuhu menulis:
"Mereka punya segalanya, menghalalkan segala cara agar
bu dok dan teman-teman menyerah. Tapi mereka tak sadar bahwa apa yang mereka
buat pasti akan mendapat balasannya dari yang Maha Kuasa."
Akun @Yuk Berisik juga menambahkan:
"Biarlah ancaman itu jadi ladang amal. Kebenaran itu
sangat pahit bagi orang yang berbohong."
Sementara akun @Indonesia Gelap mendoakan:
"Semoga Allah senantiasa melindungi @DokterTifa,
@SianiparRismon, dan pak Roy Suryo... memberikan kesehatan, kekuatan, dan
kesabaran sebagai lokomotif perjuangan melawan kebodohan, kemunafikan, dan
kedzaliman si ijazah palsu."
Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak terkait
mengenai laporan teror yang diungkapkan oleh Dr Tifa.
Universitas Pasar
Pramuka Cetak Ijazah Jokowi
Nama Pasar Pramuka Pojok ramai jadi sorotan setelah tokoh
PDIP, Beathor Suryadi, disebut pernah menyinggung tempat itu sebagai lokasi
pembuatan ijazah milik Jokowi.
Di tengah polemik lama yang kembali menguat, muncul
pertanyaan: mengapa kawasan ini digusur dan akhirnya habis kebakaran?
Seperti diketahui, sepekan terakhir narasi Universitas Pasar
Pramuka ramai dibicarakan warganet.
Universitas Pasar Pramuka yang sepertinya merujuk pada
kawasan Pasar Pramuka Pojok yang terletak di Jl. Salemba Raya No.79, Kelurahan
Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat kini ramai diperbincangkan.
Istilah Universitas Pasar Pramuka diungkap akun X (dulu
Twitter) dr. Tifauzia Tyassuma yang menyebut istilah itu dalam konteks ijazah
mantan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Dalam unggahan yang tayang pada Senin, 16 Juni 2025 pukul
18.54 WIB, ia menyebut nama Beathor Suryadi, tokoh PDIP, sebagai orang yang
pernah menyinggung soal tempat pembuatan ijazah Jokowi.
"Universitas Pasar Pramuka (UPP) ditutup tahun 2012,
dirobohkan habis 2015. Yang menurut Beathor Suryadi tokoh PDIP, adalah tempat
pembuatan ijazah yang dididaftarkan ke KPU DKI Jakarta," tulis Tifauzia,
dilansir TribunBengkulu.com.
Cuitan itu langsung viral, ditayangkan lebih dari 300 ribu
kali dan menuai berbagai komentar dari warganet.
"Bisa jadi yg di sampaikan Bambang Tri itu benar semua.
Joko Widodo adalah orang yg sangat misterius asal usulnya, anaknya siapa sampai
ijazah semua serba rekayasa," tulis akun @Djoko Widodo.
Namun komentar lain menyebut lokasi tersebut sudah tidak ada
lagi sejak terjadi kebakaran akhir 2024.
"Salah dok... Ditutup habis setelah terjadi kebakaran
pada bulan Desember 2024, sebelumnya masih ada beberapa lapak di sana...
kebetulan rumah saya dekat dengan lokasi tersebut," tulis akun @Gnuga
Anaylum.
Ada pula yang membenarkan reputasi Pasar Pramuka sebagai
tempat pemalsuan dokumen.
"Tukang setting di Pasar Pramuka emang terkenal banget
tmpat bikin ijazah palsu. Soalnya saya pernah coba-coba mau bikin, sampe
ditawarin pake kertas & hologram yg asli," ungkap akun @ghuzzan.
Pasar Pramuka Jadi
Sarang Pemalsuan
Pada tahun 2015, pihak kepolisian pernah turun tangan
melakukan penyelidikan jejak pemalsuan di pasar pramuka.
Warta Kota memberitakan, polisi mencap Pasar Pramuka Pojok
sebagai sarang pemalsu di Jakarta.
Tapi sebenarnya ini imbas dari tak dibutuhkannya lagi jasa
pengetik dan para pemilik kios tetap berusaha mempertahankan bisnisnya.
Maka orderan pemalsuan pun diterima.
Pasar ini masuk wilayah RW 06, Kelurahan Paseban, Kecamatan
Senen,Jakarta Pusat. Lebih dikenal dengan Pasar Pramuka Pojok atau Pasar
Matraman.
Tapi nama sebenarnya adalah Pasar Pramuka Jati.
Jarkasyi Royani (62), warga setempat yang pernah berbisnis
jasa pengetikan dan tahu persis perkembangan pasar itu, menceritakan hal
tersebut kepada Wartakotalive.com di rumahnya, Minggu (22/11).
"Dulu di tahun 1980an sampai pertengahan 1990an, pasar
itu dikenal sebagai Pasar Skripsi. Semua anak kuliah kalau mau mengetik
skripsi, maka akan datang ke Pasar Pramuka Pojok itu. Sebab jasa pengetik mesin
tik handal ada disana," kata Jarkasyi, dilansir TribunBengkulu.com.
Jarkasyi mengaku dulu punya usaha percetakan sekaligus jasa
pengetikan.
Letaknya dekat dengan Pasar Pramuka Pojok.
Bahkan Dia mendirikan usaha itu lantaran tergiur manisnya
bisnis tersebut di tahun-tahun itu.
"Tahun 1980an itu masa emas usaha jasa pengetikan.
Sampai pertengahan tahun 1990an masih okelah," kata Jarkasyi.
Tapi, kata Jarkasyi, saat melewati pertengahan tahun 1990an,
bisnis jasa pengetikan dan percetakan melewati masa sulit.
Krisis moneter menghadang di tahun 1998.
"Bisnis percetakan saya habis tahun-tahun itu,"
ujar Jarkasyi.
Tambah parah, ucapnya, omzet usaha jasa pengetikannya pun
merosot jauh.
Sedikit sekali yang datang mengetik. Dan para pemilik kios
jasa ketik pun seluruhnya merasakan penurunan omzet drastis selepas tahun 1998.
Jarkasyi menduga itu terjadi lantaran sudah mulai masuk era
komputer.
Tak ada lagi orang yang butuh mengetik dengan rangkap 9 atau
10 yang sulit dan hanya bisa dilakukan oleh orang yang terampil.
Di masa di atas tahun 1998, orang hanya perlu mengetik dengan
mudah di komputer, lalu mencetaknya berulang-ulang dengan printer.
"Kalau di era 1980an, mengetik itu keterampilan yang
dibayar mahal. Sebab seorang pengetik mampu mengetik di kertas yang dirangkap
10. Itu sulit dilakukan, makanya Pasar Skripsi (Pasar Pramuka Pojok) hidup di
tahun itu," kata Jarkasyi.
Sejak itulah, ucap Jarkasyi, pemilik kios mulai menerima
order membuat ijazah palsu, KTP palsu, dan sebagainya.
Sampai akhirnya menjadi sarang pemalsu di Jakarta.
Jarkasyi mengatakan, sebenarnya sejak masa-masa pemilik kios
belum menerima order pemalsuan, sudah banyak terjadi ada pengunjung datang dan
meminta mengetik yang ternyata isinya bohong.
Atau mencetak sesuatu yang ternyata isinya selebaran
penipuan.
"Dulu pernah ada kasus sebuah selebaran yang mencatut
nama Menkopolhukkam soalnya, itu kejadiannya sebelum tahun 1995," kata
Jarkasyi.
Penipu itu mencetak di tempat percetakan Jarkasyi, tetapi
mengetik dan membuatnya di lokasi Pasar Pramuka Pojok.
"Disidang semua lagi itu saya, dan beberapa pengetik di
pasar," kata Jarkasyi.
Bareskrim Polri
Analisis Ijazah Jokowi
Sebelumnya, Bareskrim Polri telah melakukan uji laboratorium
forensik (labfor) terhadap ijazah sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada (UGM) Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Uji labfor dilakukan menyusul adanya pengaduan masyarakat
oleh Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana.
Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro
menyampaikan bahwa dari hasil uji labfor, ijazah Jokowi dinyatakan identik
dengan ijazah pembanding.
Pengecekan berdasarkan dari bahan kertas, pengaman kertas,
bahan cetak, tinta tulisan tangan, cap stempel, dan tinta tanda tangan dari
dekan dan rektor.
"Dari peneliti tersebut maka antara bukti dan pembanding
adalah identik atau berasal dari satu produk yang sama," ucap Djuhandani
dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (22/5/2025),
dilansir Tribunnews.
Pihak kepolisian juga telah memeriksa total 39 saksi yang
terdiri dari berbagai pihak di Fakultas Kehutanan UGM hingga teman Jokowi selama
menempuh studi.
"Bahwa terhadap hasil penyelidikan ini telah
dilaksanakan gelar perkara untuk memperoleh kepastian hukum tidak ditemukan
adanya tindak pidana," lanjut dia.
Sebelumnya, Jokowi melalui tim kuasa hukumnya telah
menyerahkan ijazah asli SMA hingga universitas kepada Dittipidum Bareskrim
Polri.
Kuasa hukum Jokowi Yakup Hasibuan mengatakan penyerahan itu
dalam rangka adanya aduan dari Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi
Sudjana terkait dugaan ijazah S1 Jokowi palsu.
“Hari ini kami sudah serahkan semuanya (ijazah) kepada pihak
Bareskrim untuk ditindaklanjuti, untuk dilakukan uji laboratorium forensik,”
katanya di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (9/5/2025).
Dia menyebut ijazah asli Jokowi dibawa langsung oleh
perwakilan keluarga Jokowi yaitu Wahyudi Andrianto selaku adik ipar.
Penyerahan dokumen asli ini, merupakan komitmen Jokowi dalam
mendukung proses penyelidikan yang dilakukan Dittipidum Bareskrim Polri.
Kejanggalan Analisis
Ijazah Jokowi
Terpisah, atas hasil analisa yang diumumkan Bareskrim Polri
itu, Rismon Sianipar mengurai respon.
Seperti diketahui, Rismon Sianipar bersama dua rekannya, Roy
Suryo dan Dokter Tifa adalah pihak yang paling ngotot menuding ijazah Jokowi
palsu.
Karenanya saat mendengar hasil analisa dari Bareskrim Polri
kemarin, Rismon tak percaya.
Rismon lantas mengurai empat kejanggalan serta hal blunder
dari pihak Bareskrim usai mengumumkan analisa ijazah Jokowi.
Kejanggalan pertama adalah kata Rismon, Bareskrim telah
menyimpulkan ijazah Jokowi asli padahal cuma melakukan uji perbandingan dengan
ijazah alumni UGM lain.
"Yang saya tonton dari keterangan Dittipidum Bareskrim
itu selalu mengulangi kata identik. Kalau kita bicara identik maka dia butuh
pembanding.
Pertanyaannya, pembandingnya itu diuji enggak otentikasinya?
Jadi kalau identik bukan berarti dia otentik asli. Kalau identik ya identik
saja, artinya objek A sama dengan objek B," ujar Rismon Sianipar dalam
wawancaranya di konten Youtube Refly Harun, dilansir TribunnewsBogor.com pada
Jumat (23/5/2025).
Lagipula kata Rismon, polisi tidak memberitahukan siapa empat
alumni UGM yang ijazahnya dibandingkan dengan Jokowi.
Lantaran hal itu, Rismon menganggap hasil analisa Bareskrim
tidak bernilai apa-apa.
"Dan tidak disebutkan juga ijazah siapa yang menjadi
perbandingan itu. Harusnya secara random dong diambil (sebagai pembanding
ijazah Jokowi) bukan orang yang menyediakan atau yang selama ini dikenal die
hard Joko Widodo. Jadi ya menurut saya tidak bernilai sih hari ini, apa yang
kita tunggu-tunggu harusnya kajian ilmiah," pungkas Rismon.
"Jadi lucu, pengujiannya identik atau enggak,
kesimpulannya otentik. Itu enggak sinkron," sambungnya sambil tertawa.
Kejanggalan kedua menurut Rismon adalah polisi tidak
melakukan uji kertas dan tinta di ijazah Jokowi.
Padahal kata Rismon, dua hal itu adalah penting dilakukan
guna menguji keaslian ijazah ayah dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming itu.
"Harus ada uji yang lain, otentikasi, uji carbon
analysis, tekstur kertas tahun itu bagaimana. Terus penanggalan tinta itu kan
hal mudah dilakukan, jenis tinta juga bisa dilakukan. Itu kan tidak kita dengar
hari ini malah dibandingkan dengan referensi lain yang tidak kita tahu," kata
Rismon.
Kejanggalan ketiga yang disorot Rismon adalah saat Bareskrim
memperlihatkan deretan dokumen yang dibawa Jokowi.
Rismon heran dengan warna kertas yang berbeda-beda.
Kata Rismon, jika dokumen itu berasal dari tahun 1980-an,
harusnya sudah berwarna usang.
"Secara visual aja ada beberapa dokumen yang katanya
mereka sita, itu kan ada yang sejumlah kertas yang warnanya sudah buram
kekuningan, tapi ada sejumlah surat atau berkas yang benar-benar putih.
Bagaimana itu? Kayak (dibikin) beberapa tahun ke belakang," imbuh Rismon.
"Secara visual komparasi saja saya bisa melihat itu.
Makanya pada saat saya memegang skripsi Joko Widodo, ada perbedaan warna yang
signifikan mulai dari prakata dan sebelumnya. Itu kan enggak diuji oleh
Bareskrim, ini enggak ilmiah menurut saya. Dan tidak dijelaskan bagaimana
mereka melakukan uji keidentikan, apa lewat mata, algoritmik atau secara
digital, enggak ada penjelasan ilmiah apapun," sambungnya.
Lalu hal keempat yang kata Rismon menjadi blunder dari
pemaparan ijazah Jokowi oleh Bareskrim adalah perihal lembar pengesahan.
Rismon menyoroti betul penjelasan polisi soal lembar
pengesahan di skripsi Jokowi.
"Apa yang lucu adalah lembar pengesahan skripsi tersebut
itu adalah produk dari handpress tanpa menjelaskan bagaimana rekonstruksi
menggunakan handpress tahun 1985 menghasilkan sebuah lembar pengesahan yang
sekarang saja sama dengan itu. Rapi kali. Jadi kalau tidak direkonstruksi oleh
penyidik atau orang yang mengaku dari percetakan perdana?" imbuh Rismon.
Terkait dengan lembar pengesahan skripsi Jokowi, Rismon yakin
tidak mungkin dibuat di tahun 1985.
"Itu kan ada 'dipertahankan di depan dewan penguji'.
Coba perhatikan kerapatan dari titik-titik itu, itu produk dari handpress
enggak? enggak logis," ungkap Rismon.
"Kalau produk dari handpress dengan kerapatan semacam
itu, itu menjadi garis."
"Itu enggak bisa
dijelaskan ya karena memang tidak ada teknologi zaman itu secantik itu. Ketika
kita rekonstruksi pakai microsoft word sekarang, sama loh dengan itu." (tribunnews)