Fariz RM (tengah)/Ist
OLEH: YUDI SYAMHUDI SUYUTI
SEBAGAI aktivis kemanusiaan, saya jadi tertarik mengamati
sekaligus menganalisis dan mengomentari kasus penggunaan narkoba di Indonesia.
Dan ini membuat saya tertarik untuk menguji secara sederhana melalui kasus
Fariz RM yang telah ditangkap dan diadili selama 4 kali di pengadilan.
Meskipun, sangat banyak kasus menyangkut korban, penyalahgunaan hingga kecanduan narkoba di Indonesia.
Kasus didakwa dan diadilinya Fariz RM sebagai pecandu yang
telah 4 kali diadili, sebenarnya sangat sederhana. Di mana dalam Negara
Indonesia yang didasari sila ke-2 Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
(Hak Asasi Manusia termasuk di dalamnya), maka aturan perundangan yang
seharusnya digunakan adalah UU tentang Narkotika.
Tentu dengan adanya UU tentang Narkotika sejak tahun 1976 hingga tahun 2009 sebagai aturan yang terakhir, lengkapnya UU 35/2009 tentang Narkotika, maka kasus tentang pengguna penyalahgunaan narkotika hingga pecandu, bukan merupakan tindakan pidana.
Sehingga penerapan penindakan hukum pidana bagi para pengguna
penyalahgunaan narkotika hingga pecandu sangat tidak layak dihukum pidana.
Berbeda dengan pengedar gelap narkoba yang patut dikenakan hukum pidana dengan
ancaman hukuman badan dan perampasan aset.
Hal ini juga dinyatakan oleh mantan Kepala BNN, Komjen (Pol),
Dr. Anang Iskandar yang juga mantan Kabareskrim Polri, menyatakan bahwa
penggunaan proses hukum pidana atas Fariz RM atau para pengguna dan pecandu
narkoba sangatlah tidak tepat dan cenderung salah tindakan.
Meskipun KUHP mengatur tentang masalah penyalahgunaan
narkotika.
Menurut kami sendiri, setiap kasus hukum, tentu tidak serta
merta harus diatasi melalui penindakan hukum pidana meskipun ada aturan hukum
di KUHP. Karena kasus tersebut tentu mesti dipastikan, apakah kasus tersebut
merupakan benar-benar suatu kejahatan atau tidak.
Dan tentu perlu ada pembanding dalam aturan hukumnya. Karena
keadilan adalah bagian atau unsur kemanusiaan dalam kehidupan ini, termasuk
kehidupan bernegara.
Jika melihat pembanding yang ada di luar KUHP dan
pelaksananya yang dijalankan Badan-Badan Peradilan Criminal Justice System,
Undang-Undang tentang Narkotika di Indonesia yang merupakan ratifikasi dari
hukum internasional, yaitu Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi PBB
tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 dengan
perangkat pelaksananya dan fasilitas-fasilitasnya.
Di mana perangkat pelaksananya adalah Lembaga BNN (Badan
Narkotika Nasional) dan Kementerian Kesehatan yang memiliki fasilitas Pusat
Rehabilitasi Anti Narkotika yang pusatnya berada di RSKO (Rumah Sakit
Ketergantungan Obat) dan cabangnya 1400-an tempat rehabilitasi di seluruh
Indonesia, termasuk Puskesmas.
Namun ironisnya tempat-tempat rehabilitasi yang jumlahnya
1400-an kosong, karena tidak ada pasien. Pasiennya di dalam penjara yang proses
hukumnya menghabiskan anggaran triliunan mulai dari penyelidikan, penyediaan
sarana hingga pemenjaraannya. Negara rugi uang sosial. Lapas menjadi over
capacity.
Bagi para pengedar gelap, mafia narkoba, tentu Negara wajib
memberantas dengan pendekatan pidana yang hukumannya adalah hukuman badan atau
pembatasan kebebasannya hingga perampasan aset, sesuai UU tentang Narkoba.
Namun bagi pengguna yang terdiri dari korban, pengguna,
penyalahguna, dan pecandu, tindakan Negara adalah melalui tindakan medis, yaitu
rehabilitasi.
Di negara-negara maju, atau negara-negara yang penyelenggara
negaranya berpikiran maju dan manusiawi, korban, pengguna narkoba hingga
pecandu tidak dihukum pidana. Di Indonesia, UU tentang Narkotika beserta
lembaga dan sarana prasarananya telah ada, dan ini harus diterapkan juga di
sosialisasi seluas-luasnya.
Kembali ke masalah Fariz RM, selayaknya Majelis Hakim
memutuskan bahwa kasus Fariz RM dengan mengacu pada UU Narkotika adalah bukan
pidana dan penyelesaiannya melalui keputusan rehabilitasi.
Masalah ini adalah masalah medis. Sehingga merupakan putusan
berdasarkan keadilan, bukan putusan pidana yurisprudensi.
Dan jika ahli medis meneliti tingkat kecanduannya tinggi,
rehabilitasi itu tidak terbatas waktu. Di Eropa, bagi pecandu yang tingkatnya
tinggi, pemerintah justru memberikan obat seumur hidup dengan dosis yang
rasional. Karena ada banyak pecandu narkoba yang jika langsung dihentikan malah
mati.
Di Indonesia, tinggal menyesuaikan kondisinya. Akan tetapi
yang patut digarisbawahi, bahwa masalah aturan pengguna atau pecandu narkoba
itu adalah merupakan masalah medis. ***
*Koordinator Eksekutif
JAKI Kemanusiaan Inisiatif