Latest Post

Menteri BUMN Erick Thohir resmi menjadi anggota kehormatan Banser/Net 

 

JAKARTA — Nama Menteri BUMN Erick Thohir terseret dalam kasus korupsi PT.Pertamina Patra Niaga yang merupakan bagian dari perusahaan milik negara.

 

Loyalis Anies, Geisz Chalifah, menyatakan bahwa Erick Thohir-lah yang mengangkat dan menempatkan pejabat tinggi anak perusahaan PT.Pertamina tersebut.

 

“Para pencoleng di Patra Niaga, itu yang menunjuk dan menempatkan mereka adalah Erick Thohir,” kata Geisz Chalifah dalam akun X pribadinya, Rabu, (26/2/2025).

 

Lebih lanjut dia juga menyentil penempatan Dede Budhyarto sebagai Komisaris Independen di PT Pelni.

 

Dede Budhyarto sempat viral karena dia diduga melampirkan Unhas sebagai bagian dari riwayat pendidikannya. Sedangkan Unhas telah membantah.

 

“Erick Thohir juga yang menempatkan si penipu CV @kangdede78. Apa tanggung jawab Erick Thohir terhadap itu semua. Bahkan si bajingan @kangdede78 masih dalam posisinya,” tandasnya.

 

Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) mengumumkan tujuh orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina pada Senin malam (24/2). Salah seorang tersangka adalah Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.

 

Mereka memastikan telah memiliki alat bukti yang cukup sehingga menetapkan tujuh orang itu sebagai tersangka. Hal itu disampaikan oleh Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung Abdul Qohar.

 

”Berdasarkan alat bukti permulaan yang cukup, tim penyidik menetapkan tujuh orang tersangka,” ungkap dia kepada awak media.

 

Dia pun merinci tujuh orang tersangka tersebut berasal dari beberapa perusahaan. Selain Riva Siahaan, tersangka lainnya adalah SDS (Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional), YF (Direktur Utama PT Pertamina International Shipping), serta AP (VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional).

 

Lalu, MKAR (Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa), DW (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim), serta GRJ (Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak). (fajar)


Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra 
 

JAKARTA — Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra menyoroti eksekusi rumah warga di Setia Mekar, Kabupaten Bandung yang dilakukan berdasarkan putusan pengadilan. Menurutnya, eksekusi tersebut diduga melanggar prosedur hukum, mulai dari tidak adanya proses Anmaning hingga salah sasaran dalam eksekusi tanah.

 

Soedeson menyampaikan hal itu usai mendengar aspirasi warga korban penggusuran dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panitia Kerja Mafia Tanah di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (26/2).

 

“Soal Bekasi ini ada persoalan. Biasanya, sebelum eksekusi dilakukan, Ketua Pengadilan Negeri setempat harus memanggil pihak tereksekusi dan memberikan teguran terlebih dahulu dalam proses yang disebut Anmaning,” ujar Soedeson.

 

Namun, dalam kasus ini, anggota Fraksi Partai Golkar itu menilai prosedur tersebut tidak dilakukan. Selain itu, berdasarkan keterangan pihak yang hadir dalam rapat dengan Komisi III, lahan yang dieksekusi diduga berada di luar lokasi yang seharusnya.

 

"Ada tiga pelanggaran di sini," tegas Soedeson.

 

Pertama, tidak adanya proses Anmaning sebelum eksekusi, kedua kesalahan dalam menentukan lokasi eksekusi, ketiga tanah yang dieksekusi masih memiliki sertifikat yang belum pernah dibatalkan secara hukum.

 

“Soal sertifikat itu, kalau belum pernah dibatalkan, berarti tanah itu masih sah milik mereka berdasarkan asas hukum. Tetapi tetap dieksekusi,” lanjutnya.

 

Komisi III DPR berencana memanggil berbagai pihak untuk meminta klarifikasi terkait eksekusi ini, termasuk Kapolres dan Ketua Pengadilan Negeri setempat.

 

“Soal Komisi Yudisial (KY), kami memang tidak bisa memanggil mereka. Tetapi Kapolres dan pengadilan akan kami panggil,” ungkapnya.

 

Soedeson juga mengkritik keterlibatan berbagai pihak dalam eksekusi ini, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), kepolisian, dan Satpol PP. Menurutnya, meskipun kehadiran mereka sesuai prosedur sebagai bagian dari pengamanan, mereka seharusnya memastikan bahwa objek eksekusi sudah benar.

 

“Kalau mereka hadir semua, ya mereka juga ikut salah. Jangan sampai mereka membackup sesuatu yang keliru,” pungkasnya.

 

Kasus eksekusi rumah warga di Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, telah menjadi sorotan publik. Pada 30 Januari 2025, Pengadilan Negeri (PN) Cikarang melaksanakan eksekusi pengosongan lahan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi tahun 1997, yang memenangkan gugatan Mimi Jamilah atas lahan yang diklaim bermasalah sejak 1976.

 

Namun, eksekusi ini menuai kontroversi karena diduga melanggar prosedur hukum dan salah sasaran. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyatakan bahwa lima rumah yang dieksekusi berada di luar objek lahan yang disengketakan.

 

Dia menegaskan bahwa eksekusi tersebut cacat prosedur, karena pengadilan tidak melibatkan BPN Kabupaten Bekasi dalam pelaksanaan eksekusi dan tidak ada perintah pembatalan sertifikat tanah sebelum eksekusi dilakukan. Pihak PN Cikarang, melalui Hakim Juru Bicara Isnandar Nasution, menyatakan bahwa eksekusi telah dilakukan sesuai prosedur hukum.

 

Mereka mengeklaim telah melaksanakan delegasi sita eksekusi berdasarkan permohonan dari PN Bekasi dan telah menjalankan seluruh tahapan, termasuk proses constatering atau pencocokan objek eksekusi. Namun, BPN Kabupaten Bekasi tidak hadir dalam proses tersebut meskipun telah diundang.

 

Kasus ini semakin kompleks karena lahan seluas 3,6 hektare tersebut telah beberapa kali berganti kepemilikan sejak 1976. Transaksi jual beli antara pemilik lahan sebelumnya, Djuju Saribanon Dolly, dan Abdul Hamid bermasalah, yang kemudian memicu serangkaian gugatan hukum hingga eksekusi yang kontroversial ini.

 

Akibat eksekusi ini, lima rumah warga telah rata dengan tanah, meskipun pemiliknya memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah. Menteri Nusron Wahid berjanji akan menjembatani penyelesaian kasus ini dengan PN Cikarang dan pihak yang bersengketa guna mencari solusi atas rumah yang terlanjur dieksekusi. (jpnn)


Ferdinand Hutahaean 

 

JAKARTA — Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, dijadwalkan hadir di Akademi Militer (Akmil), Magelang, Jawa Tengah, dan memberikan materi kepada peserta retret kepala daerah, Rabu (26/2/2025).

 

Kabar Gibran akan membawa materi tersebut disampaikan langsung oleh Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto.

 

"Insya Allah, Pak Wapres berkenan untuk memberikan materi pada hari Rabu pukul sepuluh pagi," kata Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto.

 

Adapun materi yang disampaikan Gibran seputar Asta Cita Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto beserta turunannya.

 

Merespons kabar tersebut, Politikus PDIP Ferdinand Hutahean menyinggung soal kapasitas seorang Gibran Rakabuming Raka yang selama ini dipertanyakan.

 

"Kalau kita berkaca pada kapasitas kemampuan dari Wakil Presiden kita, saya pikir beliau tidak memiliki kapasitas memberikan wejangan, nasihat, atau apalah di acara retret," ujar Ferdinand seperti dilansir Fajar.co.id, Selasa (25/2/2025) malam.

 

Dikatakan Ferdinand, kapasitas anak sulung Presiden ke-7 Indonesia, Jokowi, itu jauh di bawah para Kepala Daerah yang baru saja dilantik Presiden Prabowo.

 

"Karena beliau ini kan sebetulnya jauh kualitasnya di bawah daripada Kepala Daerah yang terpilih, terutama Gubernur," tukasnya.

 

Blak-blakan, Ferdinand mengatakan bahwa Gibran tidak layak berdiri di hadapan para Kepala Daerah jika dimandat untuk memberikan pembekalan.

 

"Tapi mengingat beliau Wakil Presiden, yah jabatannya lah yang membuat dia jadi layak. Jadi buruk tidak buruk, layak tidak layak para kepala daerah harus menerima," imbuhnya.

 

Kata Ferdinand, apa yang menjadi riak-riak di publik belakangan ini merupakan cerminan demokrasi Indonesia. Memaksakan seseorang menjadi pemimpin meskipun dianggap belum mampu.

 

"Ini harusnya menjadi bahan berpikir bagi para kepala daerah kita. Apakah mereka tidak malu diberikan wejangan dari seseorang yang kapasitasnya di bawah mereka?," kuncinya. (*)



 

Oleh : Ida N Kusdianti | Sekjen FTA

 

HARAPAN rakyat Banten terhadap Pemerintahan Prabowo untuk mempertahankan hak dan kedaulatan wilayah yang dicaplok oleh Aguan dkk, sepertinya sulit dicapai. Rakyat Banten harus menyusun kekuatan dan persatuan untuk melawan dengan caranya sendiri, apalagi Presiden Prabowo sampai hari ini masih bungkam tak bernyali menghadapi Aguan sang penjajah tanah pesisir Banten.

 

Menteri ATR Nusron Wahid bak kaum Sofis yang hidup di zaman 400 SM.  Dengan retorika meyakinkan pada rakyat Banten pada saat pencabutan SHGB bulan lalu, Nusron seolah memberikan angin segar bagi perjuangan rakyat Banten. Tetapi pada akhirnya Nusron membajak hak-hak rakyat dan membantu oligarki untuk mencaplok jengkal demi jengkal tanah pesisir Pantai Utara (Pantura) Tangerang tersebut.

 

Artinya, terkait konflik lahan atau sengketa tanah di Pantura Tangerang, menunjukkan kapasitas Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang lemah. Ia tidak berhasil melawan kekuatan atau pengaruh dari seseorang atau kelompok yang disebut Aguan.

 

Bagaimana bisa beberapa sertifikat tanah milik Aguan  di Pantura Tangerang batal dicabut. Aguan tampaknya memiliki kekuasaan atau pengaruh yang lebih besar daripada pemerintah bahkan undang-undang,

 

Kasus ini memunculkan banyak pertanyaan antara lain: 

- Apakah Aguan menjadi monster bagi penegakan hukum di Indonesia?

- Mengapa Menteri ATR tidak berhasil melawan Aguan?

- Apa dampak dari kasus ini terhadap masyarakat terutama rakyat Banten?

- Apakah ini akhir dari hilangnya kedaulatan NKRI di tangan oligarki?

- Apa pemerintah tidak berpikir jika rakyat marah tak ada satu kekuatanpun yang mampu mencegahnya?

- Apakah Ini tanda dimulainya perang antar-etnis karena kerakusan Aguan dkk dengan PIK 1, PIK2 dan pencaplokan di banyak wilayah di Indonesia?

 

Perlawanan rakyat Banten diperkirakan akan meningkat terkait dicabutnya pembatalan sertifikat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid.

 

Jika Menteri ATR berpihak pada Aguan dkk dengan dalih yang dibuat-buat maka, Forum Tanah Air mengecam dan akan terus berdiri tegak berjuang bersama rakyat Banten sampai terwujudnya rasa keadilan bagi rakyat kecil.

 

Dengan demikian, perlawanan rakyat Banten diperkirakan akan meningkat karena pencabutan pembatalan sertifikat oleh Nusron Wahid selalu Menteri ATR.  Dengan keputusan ini bisa dipastikan bahwa Pemerintahan Prabowo tidak berani melawan Aguan dkk.

 

Jika kebenaran dan keadilan terus dinistakan, jangan salahkan rakyat  mengambil langkah dan jalannya sendiri.

 

Jika Presiden Prabowo tak mampu menghadapi Aguan dkk, biarkan rakyat Banten bertindak dengan kekuatan yang dimiliki.

 

#Banten Melawan Aguan

#Mentri ATR Masuk Angin

#Macan Asia Terkapar Dibawah Pagar Laut

#ForumTanahAir

#FTAFrorBrighterIndonesia

 

Rawe Rawe Rantas Malang Malang Putung, Rakyat banyak akan pertahankan bumi Banten dari penjajahan Aguan. sebagai bukti kecintaan kami pada Bumi Pertiwi  (*).


Kolase foto Joko Widodo dan Megawati Soekarnoputri 

 

JAKARTA — Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dinilai menjadi penyebab menjauhnya Presiden Prabowo Subianto dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.

 

Kemarahan Megawati memuncak saat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ditahan KPK beberapa waktu lalu. Di hari yang sama, Megawati langsung mengeluarkan instruksi kepada kepala daerah dari PDIP untuk menunda keberangkatan.

 

Terkait hal itu, Dosen Ilmu Politik Universitas Udayana (Unud) Efatha Filomeno Borromeu Duarte menilai instruksi Megawati tersebut bukan sekadar reaksi politik spontan, melainkan manuver strategis dalam mendefinisikan kembali peran PDIP di era transisi kekuasaan.

 

“Dengan mengarahkan serangan ke Jokowi, bukan Prabowo, PDIP menunjukkan upaya sistematis untuk mendekonstruksi warisan politik Jokowi, sekaligus menjaga kelenturan politiknya di bawah pemerintahan yang baru,” kata Efatha kepada RMOL, Senin, 24 Februari 2025.

 

Menurut dia, ada tiga indikator utama yang menunjukkan pola delegitimasi ini. Pertama, permintaan Hasto Kristiyanto agar Jokowi diperiksa sebelum dirinya ditahan bukan sekadar bentuk perlawanan hukum, melainkan strategi reframing politik yang bertujuan mengalihkan isu dari kasus personal ke problem struktural dalam penegakan hukum.

 

“Kedua, tuduhan bahwa KPK dikendalikan oleh aktor eksternal melalui AKBP Rossa membangun narasi bahwa PDIP adalah korban represi kekuasaan, bukan sekadar partai yang terseret kasus hukum. Ketiga, dengan menekankan bahwa kasus Hasto sudah berjalan sejak sebelum Prabowo berkuasa, PDIP menghindari benturan langsung dengan pemerintahan baru, memungkinkan mereka untuk tetap relevan dalam dinamika politik mendatang,” bebernya.

 

Lanjut Efatha, strategi ini pada dasarnya adalah eksperimen reposisi menjauh dari Jokowi untuk membentuk ulang narasi oposisi, tetapi tetap menyisakan ruang diplomasi dengan Prabowo.

 

“Jika berhasil, PDIP akan mengukuhkan dirinya sebagai kekuatan oposisi utama yang kredibel. Tetapi, jika gagal mendapatkan dukungan publik, langkah ini bisa menjadi bumerang, mengisolasi PDIP di luar lingkar kekuasaan tanpa daya tawar yang signifikan lagi,” ungkapnya.

 

“Pada dasarnya, ini bukan sekadar konflik personal atau hukum. Ini adalah kalkulasi politik jangka panjang PDIP untuk tetap menjadi pemain dominan di era pasca-Jokowi,” tandas Efatha. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.