Latest Post

Menko Pemberdayaan Masyarakat Mubaimin Iskandar/RMOL 

 

JAKARTA — Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Republik Indonesia, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, terkejut saat mengetahui maraknya jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang beroperasi di sekitar Ibu Kota Indonesia (IKN), Provinsi Kalimantan Timur.

 

“Waduh ini gawat, gawat, gawat,” kata Cak Imin usai rapat bersama Badan Anggaran DPR RI, Gedung Nusantara II, Komplek DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin 7 Juli 2025.

 

Menurutnya, informasi tersebut harus dicek langsung kebenarannya sebab sangat mengkhawatirkan.

 

“Ini harus dicek, ini harus dicek,” tutup Cak Imin.

 

Satpol PP Kabupaten Penajam Paser Utara menggelar operasi penertiban sepanjang 2025, di seluruh wilayah kecamatan, termasuk di Kecamatan Sepaku, yang masuk wilayah IKN.

 

Dalam tiga kali operasi penertiban terakhir, khusus di wilayah Kecamatan Sepaku terjaring 64 perempuan diduga  pelaku praktik prostitusi.

 

Berdasarkan keterangan Satpol PP, para PSK menyewa kamar penginapan dengan tarif Rp 300 ribu per malam. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Samarinda, Balikpapan, Bandung, Makassar, dan Yogyakarta. (rmol)

 


 

JAKARTA — Tuntutan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang disampaikan Forum Purnawirawan TNI merupakan persoalan yang sangat mendalam, yakni persoalan kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta masa depan rakyat yang hidup di dalamnya.

 

“Karena begitu serius dan mendesaknya pemakzulan Gibran ini, maka para purnawirawan yang sudah rata-rata sepuh itu terpaksa harus turun gunung,” kata peneliti media dan politik Buni Yani dikutip Minggu 6 Juli 2025.

 

Padahal, kata Buni Yani, seharusnya para sesepuh TNI ini mencukupkan diri untuk melakukan ibadah di masa pensiun.

 

“Tetapi panggilan yang didasari oleh kecintaan pada bangsa dan negara memaksa mereka harus kembali berjuang bersama rakyat,” kata Buni Yani.

 

Seharusya Ketua DPR Puan Maharani, juga seluruh anggota DPR, memahami persoalan genting ini dan menjadikannya agenda mendesak yang harus segera ditindaklanjuti.

 

“DPR tidak bisa lagi menipu rakyat dengan alasan receh dan bodoh seolah rakyat tidak bisa berpikir rasional,” kata Buni Yani.

 

Kata Buni Yani, membuat alibi bahwa surat tuntutan pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka yang disampaikan Forum Purnawirawan TNI belum ditemukan, padahal mereka punya organisasi besar yang seharusnya punya administrasi rapi, membuat rakyat muak dan marah.

 

“Jarak ruangan Puan dengan Sekretariat Jenderal DPR tidaklah jauh dan berita mengenai tuntutan para purnawirawan TNI sudah menjadi berita nasional, apa kira-kira yang menyebabkan Puan dan DPR berani melakukan pembodohan kepada rakyat?” tanya Buni Yani.

 

Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI (Purn), Slamet Soebijanto menyatakan, Forum Purnawirawan TNI akan menduduki MPR apabila surat usulan pemakzulan Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya sebagai Wakil Presiden Indonesia, tak kunjung direspons.

 

Slamet mengatakan pihaknya telah melakukan pendekatan dengan cara yang sopan. Namun, mereka tidak juga mendapatkan timbal balik yang semestinya.

 

“Kalau sudah kita dekati dengan cara yang sopan, tapi diabaikan, nggak ada langkah lagi selain ambil secara paksa. Kita duduki MPR Senayan sana. Oleh karena itu, saya minta siapkan kekuatan,” kata Slamet dalam konferensi pers di di Hotel Arion Suites, Kemang, Jakarta, Rabu 2 Juli 2025. (radar)


Ilustrasi filsafat hukum (Foto pixabay.com). 


OLEH: FIRMAN TENDRY MASENGI* 

SENIN dan hari Rabu besok, sebuah babak lanjutan dalam praktek hukum Indonesia menyangkut dugaan ijazah palsu Jokowi akan di besut. Kegiatan itu bernama Gelar Perkara Khusus.

 

Pada tulisan sebelumnya dengan Tema yang sama seorang advokat yang kerap mengkritisi kinerja kepolisian, merespon tulisan saya yang kurang tajam. Rekan advokat tersebut adalah Sugeng Teguh Santoso, Direktur Eksekutif Indonesia Police Watch (IPW).

 

Artikel ini semoga menjawab dan menguatkan babak baru Gelar Perkara.

 

Di balik kerumitan pasal dan hiruk-pikuk penyidikan perkara, ada satu forum yang kerap luput dari sorotan publik: Gelar Perkara Khusus. Ia adalah ruang internal di tubuh kepolisian, tempat penyidik, atasan, dan kadang pejabat eksternal duduk bersama memutuskan nasib suatu perkara. Apakah layak naik penyidikan, dihentikan, atau diredam? 

 

Namun pertanyaan mendasarnya bukan sekadar teknis: Apakah Gelar Perkara itu adil? Pertanyaan yang lebih radikal adalah: Apakah hukum -sebagai sistem dan institusi- benar-benar netral?

 

Untuk menjawabnya, kita perlu melongok ke dalam satu pendekatan hukum progresif yang sejak lama mengkritik “mitos netralitas hukum”: Critical Legal Studies (CLS). Aliran ini menolak pandangan bahwa hukum adalah sistem yang objektif dan bebas nilai. Sebaliknya, CLS melihat hukum sebagai produk dari kekuasaan yang telah dilembagakan, bukan sekadar alat pencari keadilan.

 

Hukum yang Tidak Pernah Netral

 

Banyak orang percaya bahwa hukum bekerja secara impersonal: siapa pun pelakunya, jika cukup bukti, pasti diproses. Namun pengalaman menunjukkan bahwa praktik Gelar Perkara sering kali justru memperlihatkan hal sebaliknya. Di sinilah hukum tidak lagi bekerja sebagai sistem rasional, tetapi sebagai arena negosiasi kekuasaan.

 

CLS menyebut ini sebagai bentuk indeterminacy -bahwa hukum tidak pernah benar-benar pasti, karena selalu terbuka terhadap penafsiran, dan penafsiran itu tak lepas dari ideologi, jabatan, atau kekuasaan politik.

 

Lihatlah bagaimana Gelar Perkara Khusus berlangsung: tanpa akses publik, tanpa catatan deliberatif yang dapat diuji, tanpa partisipasi korban atau masyarakat. Dalam konteks ini, hukum bekerja secara tertutup dan sangat bergantung pada struktur hierarkis institusinya. Publik hanya bisa menebak hasilnya dari ucapan juru bicara, bukan dari transparansi proses.

 

Gelar Perkara: Arena Kekuasaan, Bukan Forum Keadilan

 

Salah satu ciri khas CLS adalah kritik terhadap hukum sebagai alat dominasi. Hukum, dalam banyak hal, bukan sekadar teks atau norma, tapi merupakan bahasa kekuasaan yang telah dilembagakan. Gelar Perkara Khusus, dalam banyak kasus, menjadi ritual administratif untuk menutup akses terhadap keadilan substansial.

 

Ketika seorang pejabat diduga melakukan pelanggaran hukum, kita menyaksikan serangkaian gelar perkara yang berujung pada kesimpulan: tidak cukup bukti. Tetapi ketika rakyat kecil terlibat perkara sepele, proses hukum bisa melaju tanpa perlu digelar -langsung masuk penyidikan, dan kadang vonis.

 

CLS menyebutnya sebagai bentuk exclusionary legality -hukum yang hanya berlaku keras bagi yang lemah, dan lunak bagi yang berkuasa. Ini bukan kesalahan prosedur; ini adalah cerminan ideologis dari bagaimana hukum dikendalikan oleh struktur sosial-politik dominan.

 

Membongkar Mitos Proseduralisme

 

Selama ini kita diajarkan untuk percaya pada prosedur. Bahwa jika semua langkah hukum ditempuh sesuai aturan, maka keadilan akan tercapai. Namun CLS membongkar mitos ini: prosedur bisa dilembagakan justru untuk menghalangi keadilan.

 

Gelar Perkara adalah contoh sempurna: sebuah prosedur yang tampak sah, tapi tertutup dari pengawasan publik. Kita tidak tahu siapa yang bersuara, bagaimana argumen dibangun, dan apa pertimbangan hukumnya. Hasilnya? Kita dipaksa percaya bahwa proses itu adil?"tanpa pernah bisa mengujinya.

 

Sebagaimana dikatakan Roberto Unger, salah satu tokoh CLS, “coherence in law is often a disguise for domination.” Keserasian prosedural sering kali menyembunyikan dominasi kekuasaan atas hukum.

 

Urgensi Dekonstruksi dan Reformasi

 

Apa yang harus dilakukan? CLS bukan sekadar alat kritik, tapi juga seruan untuk dekonstruksi: membongkar cara-cara lama kita memahami hukum, lalu membangun ulang dengan fondasi yang lebih demokratis dan partisipatif.

 

Gelar Perkara semestinya dibuka untuk pengawasan eksternal. Korban dan masyarakat perlu dilibatkan, dan hasilnya harus dapat diuji secara publik. Tanpa transparansi, hukum akan terus menjadi alat kuasa, bukan instrumen keadilan.

 

Kita perlu sadar bahwa yang kita hadapi bukan sekadar praktik gelar perkara, tapi seluruh paradigma hukum yang menganggap dirinya netral padahal bias secara sistemik.

 

Penutup

 

Di era keterbukaan informasi, saat masyarakat makin sadar hukum, kita tidak bisa lagi mentolerir praktik hukum yang gelap dan eksklusif. Gelar Perkara Khusus hanyalah satu contoh dari banyaknya ruang dalam sistem hukum kita yang perlu diterangi.

 

Critical Legal Studies mengingatkan kita bahwa hukum tidak bisa dipahami sebagai kumpulan pasal. Ia adalah arena ideologis, tempat kebenaran bisa ditekan atas nama prosedur. Dan selama kita percaya pada mitos netralitas hukum, keadilan akan tetap menjadi ilusi. (*)


*Pengacara, analis hukum progresif, hak asasi manusia, kritik terhadap struktur hukum formalistik dan mantan wartawan  kepresidenan.


Tangkapan layar momen eks Kabareskrim Susno Duadji (kiri) diskusi dengan Rismon dalam kasus ijazah Jokowi, (28/5/2025).  

 

JAKARTA — Jelang gelar perkara khusus kasus ijazah Jokowi yang bakal digelar Bareskrim Polri, Rabu (9/7/2025), mantan Kabareskrim Komjen (Purn.) mengatakan Rismon Sianipar dkk belum bisa ditetapkan sebagai tersangka.

 

Menurut Susno, kemungkinan adanya tersangka dalam kasus ini sangat sulit, apalagi jika harus menduga kasus pencemaran nama baik yang saat ini tengah ditangani Polda Metro Jaya. Hal itu wajar karena objek kasus ini, yakni ijazah Jokowi, harus dibuktikan keasliannya terlebih dahulu.

 

"Kalau obyeknya saja tidak asli, berarti pencemaran nama baiknya gugur. Kalau remang-remang hanya identik, tidak bisa mentersangkakan Rismon Cs itu," kata Susno dikutip dari tayangan TVOne pada Jumat (4/7/2025).

 

Menurut Susno, saat ini sangat ditunggu terbukti tidaknya ijazah itu palsu atau asli.

 

Terkait rencana Bareskrim melakukan gelar perkara khusus kasus ini, menurut Susno hal itu sebenarnya biasa saja.

 

Namun, karena yang diperiksa adalah tokog berpengaruh yakni mantan Presiden RI dan obyek pemeriksaannya ijazah, maka dianggap tidak biasa.

 

Susno juga menyoroti pernyataan Bareskrim sebelumnya yang menyebut ijazah Jokowi identik.

 

Menurutnya identik itu masih menjadi pertanyaan besar.

 

"Identik dengan mana? kalau dengan yang palsu ya namanya palsu juga. Kalau identik dengan yang asli, asli yang mana?. Harus ada lembaga resmi yang memberikan pembanding yang asli," katanya. 

 

Susno menyarankan kasus ini ditarik semuanya di Bareskrim Polri agar tidak ada persepsi macam-macam dari masyarakat.

 

Dia juga meminta adanya perlakuan yang sama antara pelapor, baik Jokowi maupun TPUA.

 

"Dikarenakan perkara ini dua-duanya masih dalam taraf penyelidikan, maka harus hati-hati polri menyelidiki," katanya.

 

Menanggapi pernyataan Susno, pengacara  Jokowi, Rivai Kusumanegara mengakui bahwa gelar perkata itu sesuatu yang biasa.

 

Namun dia meminta agar gelar perkara ini benar-benar inisiatif dari penyidik, bukan karena desakan dari TPUA. 

 

"Penyidik harus netral," tegasnya.

 

Terkait pernyataan Susno bahwa Rismon Cs tidak bisa dijadikan tersangka, Rivai jusru mengungkap pernyataan berbeda.

 

Dikatakan, dalam laporannya Jokowi tak hanya mencantumkan pasal pencemaran nama baik, namun juga fitnah, rekayasa teknologi dan penggunaan data tanpa izi.

 

Diakui, untuk pasal fitnah memang harus dibuktikan ijazah itu asli atau tidak.

 

Namun, untuk perkara pencemaran nama baik, sekalipun ijazah tidak asli pun masih bisa dijeratkan.

 

"Bedanya pencemaran nama baik ini yang disampaikan itu nyata, tapi disebarluaskan dalam satu forum yang tidak benar, yang memang tujuan mendiskrieditkan," katanya.

 

Menurut Rivai di perkara ini tidak bergantung pada asli tidaknya ijazah namun ada 3 pasal lain yang bisa dijeratkan.

 

Soal hasil labfor Bareskrim, diakui Rivai karena dilakukan di tahap penyelidikan, memang belum pro justicia.

 

Meski demikian, menurutnya uji labfor ini masih bisa dilakukan oleh penyidik Polda Metro Jaya.

 

"Ini harus semua perkara harus jelas, harus ada akhirnya, jangan dibuat khusus atau tidak ada ujungnya," tukasnya.

 

Sebelumnya, Polri menunda gelar perkara khusus soal kasus ijazah Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi) yang sedianya dilakukan hari ini, Kamis (3/7/2025).

 

Adapun agenda gelar perkara khusus tersebut bakal dilakukan pada pekan depan tepatnya Rabu (9/7/2025).

 

Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko menyebut penundaan gelar perkara khusus ini atas permohonan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) melalui aduan masyarakat (Dumas).

 

Atas hal tersebut, Bareskrim kemudian menindaklanjutinya dengan mengundang pihak pendumas dan terdumas pada 30 Juni 2025.

 

Meski begitu, pihak pendumas yakni TPUA sendiri kembali menyurati Polri untuk bisa menghadirkan sejumlah nama yang mereka sodorkan

 

“Tanggal 2 Juli kemarin itu TPUA membuat surat perihal permohonan nama-nama untuk dilibatkan dalam gelar perkara khusus yang memohon penjadwalan ulang gelar perkara khusus sampai mereka mendapatkan kepastian atas nama-nama yang dilibatkan dalam proses gelar perkara khusus dimaksud,” kata Trunoyudo kepada wartawan, Kamis (3/7/2025).

 

Atas permintaan itu, kata Trunoyudo, penyidik akhirnya menunda jadwal gelar perkara khusus dengan akan mengundang sejumlah orang di antaranya dari Komnas HAM, DPR RI, pakar telematika, Roy Suryo hingga Rismon Hasiholan.

 

“Maka tindak lanjut itu untuk mengundang nama-nama dalam pelibatan gelar perkara khusus yang dimohonkan itu dilakukan ralat untuk dilaksanakan tanggal 9 karena kan harus mengundang meminta untuk menghadirkan nama-nama yang diminta itu,” ujar Trunoyudo.

 

Sementara itu, Roy Suryo sendiri mengaku dirinya siap jika diminta untuk menjadi ahli dalam gelar perkara khusus tersebut.

 

"Nah, kami ini siap juga untuk hadir selaku ahli. Saya dan Dr. Rismon, sementara , tapi nanti dengan yang lain. Kami siap," ungkap Roy.

 

Meski begitu, Roy menyebut dirinya akan menunggu keputusan tim apakah akan dilibatkan atau tidak. (tribun)

 

Tom Lembong, Jokowi, dan Hasto. (INT) 

 

JAKARTA — Saat ini, ada 2 kasus hukum yang menjadi sorotan publik. Kasus-kasus tersebut masing-masing telah memaksa dua tokoh politik oposisi kembali ke pengadilan, yaitu kasus impor gula Tom Lembong dan kasus dugaan suap yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto.

 

Anehnya, kedua kasus itu sama-sama menuntut dua tokoh oposisi ini dengan tuntutan pidana 7 tahun penjara.

 

Anehnya, kedua kasus tersebut sama-sama membuat kedua tokoh oposisi itu dituntut 7 tahun penjara. Hal ini membuat publik makin curiga dengan dugaan adanya pesanan hukum, khususnya di media sosial. Pasalnya, menurut netizen, angka 7 diduga sebagai simbol pihak yang berwenang mengatur kasus hukum terhadap lawan politik.

 

"Tom Lembong dituntut 7 tahun. Hasto Kristianto dituntut 7 tahun. Jokowi mantan Presiden RI ke-7. Bisa pas gtu ya angkanya?🙄," tulis akun pegiat media sosial bercentang biru di X, @BosPurwa, dikutip Minggu, (6/7/2025).

 

Cuitan yang telah dilihat lebih dari 11,3 ribu pengguna aplikasi milik Elon Musk itu pun ramai dikomentari netizen.

 

"Sebenarnya yg tuntutan tom Lembong itu bingung, jadi mending samain aja?" balas warganet di kolom komentar.

 

",,,sesuai pesanan Hukumannya mngkin,biar estetik," ujar lainnya.

 

"Order dari mantan si 7 ,kah ?," cuap lainnya.

 

Sementara itu, menurut mantan Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo Harahap, tuntutan tersebut dinilai terlalu berat lantaran Tom tidak menikmati hasil korupsi.

 

“Jaksa Penuntut Umum (JPU) pun tidak berhasil membuktikan adanya aliran dana kepada Tom Lembong atau menikmati hasil korupsi," ujar Yudi, Minggu (5/7/2025).

 

Ada pun, kuasa hukum Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail memandang, tuntutan tujuh tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK terhadap kliennya sebagai bentuk kriminalisasi politik. Hasto terjerat kasus dugaan suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku.

 

Maqdir menyebut, kasus itu tidak semestinya dikategorikan sebagai tindak pidana biasa, melainkan sebagai upaya politisasi hukum. 

 

"Saya kira hal yang sangat perlu mendapat perhatian kita bahwa perkara ini bukan perkara kejahatan murni, tetapi ini adalah seperti berulang kali kami katakan, ini adalah perkara politik yang dikriminalkan," kata Maqdir di Jakarta, Jumat (4/7/2025). (fajar)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.