Latest Post

Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong 

 

JAKARTA — Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong telah mengajukan gugatan terhadap tiga hakim yang menangani kasusnya. Gugatan tersebut telah diajukan ke Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). KY saat ini sedang memverifikasi gugatan tersebut. Gugatan tersebut berkaitan dengan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.

 

Siapakah hakim-hakim yang dilaporkan? Mereka adalah Dennie Arsan Fatrika, Purwanto S Abdullah, dan Alfis Setyawan. Selain menangani kasus Tom Lembong yang banyak disorot media, para hakim ini juga pernah menangani kasus-kasus besar lainnya.

 

Dennie Arsan Fatrika, misalnya, adalah seorang hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta, Mahkamah Agung. Ia adalah hakim madya senior. Jabatannya saat ini adalah Pengawas Utama Muda (IV/c). Pemegang gelar magister ini memiliki karier yang cukup sukses.

 

Beliau menjabat sebagai hakim di Pengadilan Negeri Kelas 1A (Khusus) Bandung. Beliau juga pernah menduduki berbagai jabatan penting, termasuk Ketua Pengadilan Negeri Baturaja dan Ketua Pengadilan Negeri Karawang.

 

Sementara Purwanto S Abdullah, adalah Hakim Madya Muda di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Kelas 1A Khusus. Ia pernah bertugas di wilayah Sulawesi Selatan. Yakni di Pengadilan Negeri Palopo dan Pengadilan Negeri Sungguminasa.

 

Lalu ada Hakim Alfis Setyawan. Ia mengganti Ali Muhtarom di tengah proses hokum. Hal tersebut, karena Ali terjerat kasus suap terkait putusan lepas di kasus korupsi CPO.

 

Diberitakan sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, membacakan vonis terhadap Mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.

 

Dalam sidang putusan itu, Tom Lembong terbukti bersalah melakukan korupsi impor gula yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 578 miliar, sehingga dia dijatuhi hukuman 4 tahun dan 6 bulan penjara.

 

"Menyatakan terdakwa Thomas Trikasih Lembong telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam dakwaan primer," kata Ketua Majelis Hakim, Dennie Arsan Fatrika saat membacakan vonis.

 

Selain hukuman badan, Tom Lembong juga dijatuhkan hukuman denda Rp750 juta apabila tidak dibayarkan diganti dengan hukuman kurungan 6 bulan penjara.

 

"Pidana denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar Hakim.

 

Belakangan, Tom Lembong mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. Segala tuntutan hukum terhadapnya dihapus. Karenanya, segala proses hukum Tom Lembong dihentikan. Tom Lembong kini telah resmi bebas dari Rutan Cipinang. (fajar)

 

 

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian


JAKARTA — Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi membantah rumor yang menyebutkan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) Ahmad Muzani akan diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri menggantikan Tito Karnavian.

 

"Jangan bikin isu. Gimana, kan, enggak masuk itu, secara logika umum kan ya, agak kurang ketemu juga kan," kata Prasetyo Hadi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin kemarin.

 

Hal itu disampaikan Mensesneg merespons alasan dibalik pergantian posisi Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, dari yang sebelumnya dijabat Ahmad Muzani untuk diberikan kepada Sugiono yang merupakan Menteri Luar Negeri RI.

 

Dia pun mengaku heran dengan munculnya isu Muzani akan diangkat sebagai Mendagri RI sebab menurutnya isu yang berkembang tersebut kurang masuk logika.

 

"Dia sekarang kan Ketua MPR, masa kemudian menjadi menteri? Kan agak kurang masuk itu," tuturnya.

 

Mensesneg juga menepis argumentasi yang menyebut pergantian Sekjen DPP Partai Gerindra dari Ahmad Muzani kepada Sugiono dalam rangka menjaga marwah kesetaraan posisi Muzani yang duduk sebagai Ketua MPR RI dengan Presiden, sebab posisi sekjen dalam struktur partai berada di bawah Ketua Umum DPP Partai Gerindra yang dijabat Presiden Prabowo Subianto.

 

Prasetyo menegaskan bahwa pergantian Sekjen Partai Gerindra dari Muzani ke Sugiono didasari perlunya regenerasi struktur Partai Gerindra periode 2025–2030.

 

"Enggaklah, itu kan asumsinya orang itu. Kalau dalam hal pengambilan keputusan tidak seperti itu. Jadi, kami merasa, terutama bahwa Ketua Dewan Pembina, Ketua Umum (Prabowo Subianto), sudah waktunya ada regenerasi," katanya.

 

Prasetyo juga mengapresiasi kontribusi Ahmad Muzani yang telah menjabat Sekjen DPP Partai Gerindra sejak partai berdiri 17 tahun lalu hingga mendampingi Prabowo Subianto yang kini menjadi Presiden RI.

 

"Penghormatan yang sebesar-besarnya, penghargaan kepada Bapak Ahmad Muzani yang telah menjadi Sekjen Partai Gerindra selama 17 tahun, sejak partai berdiri sampai hari ini, dengan segala dinamika, naik turun. Di ujung prestasi terbesar sebagai sekjen untuk mengantar Bapak Prabowo Subianto terpilih menjadi presiden," katanya.

 

Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Prabowo Subianto menetapkan struktur kepengurusan DPP periode 2025–2030 yang ditandatangani di kediaman Prabowo di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (1/8)

 

Dalam struktur kepengurusan baru itu, Prabowo ditetapkan menjadi Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina, Sufmi Dasco Ahmad sebagai Ketua Harian, Sugiono sebagai Sekretaris Jenderal, dan Satrio Dimas Adityo sebagai Bendahara Umum.

 

Adapun Sugiono menggantikan jabatan yang sebelumnya diemban Ahmad Muzani, sedangkan Muzani kini ditunjuk sebagai Sekretaris Dewan Pembina sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Partai Gerindra. (era)

 

Poster yang beredar 

 

JAKARTA — Pengacara Roy Suryo Cs, Ahmad Khozinudin, berharap terpidana Silfester Matutina tetap bersikap sopan dengan mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Silfester dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara pada tahun 2019 karena menghina mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

 

Ahmad mengatakan, pihaknya belum lama ini menerima kabar bahwa Kejaksaan Agung telah memerintahkan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk melaksanakan putusan kasasi Mahkamah Agung.

 

"Kasus ini, sebenarnya telah berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2019. Namun, karena pengaruh kekuasaan Jokowi, karena Silfester Matutina menjadi Relawan Jokowi, eksekusi putusan tidak dijalankan," kata Ahmad kepada fajar.co.id, Senin (4/8/2025).

 

Koordinator Non Litigasi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis ini mengaku tidak terlalu peduli dengan kasus tersebut.

 

Hanya saja, kata Ahmad, setelah melihat perilaku terpidana Silfester Matutina yang sering melontarkan fitnah dan intimidasi kepada kliennya, Roy Suryo Cs akan menjadi tersangka dan dipenjara, maka ia mengambil tindakan.

 

"Pada 31 Juli 2025 lalu kami mendatangi Kejari Jakarta Selatan, untuk meminta agar putusan Kasasi segera deksekusi," tukasnya.

 

Ia pun merasa bersyukur, Kejari Jakarta Selatan merespons permintaannya melalui Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna.

 

"Menyatakan bahwa eksekusi akan dilangsungkan hari ini. Dia menyebut, pihaknya akan melakukan upaya paksa untuk menjalankan eksekusi tersebut," Ahmad mengikuti gaya bicara Anang.

 

Agar tidak terlalu banyak drama, Ahmad meminta Silfester Matutina untuk bersikap ksatria dengan mendatangi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menjalankan eksekusi.

 

Alasan Ahmad, sebelumnya terpidana Silfester Matutina terbukti lebih ksatria ketimbang Jokowi. Berani tunjuk hidung yang menghina dan merendahkan Jokowi.

 

"Berbeda dengan Jokowi selaku pelapor yang pengecut, yang berdalih tidak menyebut nama, tidak melaporkan 12 nama yang ditetapkan sebagai Terlapor dalam SPDP yang dikirim Polda Metro Jaya, melainkan hanya melaporkan peristiwa," timpalnya.

 

Kata Ahmad, jika nantinya Silfester tidak ksatria, ia meminta Kejari Jakarta Selatan melakukan upaya paksa, dengan melakukan penangkapan dan menjebloskannya ke penjara.

 

"Jangan sampai, Negara kalah dengan seorang Silfester. Jangan sampai, wibawa hukum dan aparat penegak hukum luruh, karena membiarkan terpidana berkeliaran tanpa menjalani putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," tandasnya.

 

Ahmad bilang, selain Silfester, perkara yang melibatkan Ade Armando juga semestinya dilanjutkan. Ia melihat, hukum hanya tajam kepada pengkritik Jokowi namun tumpul kepada pendukungnya.

 

"Di era Presiden Prabowo Subianto, kami berharap seluruh perkara yang membelit kubu pendukung Jokowi diproses hukum. Tidak boleh, ada Warga Negara yang mendapatkan prevelensi di mata hukum," kuncinya. (**)

 

Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo/Net 

 

JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto dinilai berhasil mencegah instabilitas politik dalam negeri dengan mengeluarkan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto.

 

Pendiri Citra Institute Yusak Farchan menilai, hak prerogatif Presiden Prabowo dalam mengeluarkan abolisi dan amnesti merupakan langkah cerdas untuk mencegah timbulnya rasa dendam terhadap mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan Jokowi.

 

Sebab, menurut Yusak, Tom Lembong dan Hasto menjadi lawan Jokowi karena mengungkap sejumlah permasalahan di pemerintahan ayah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka itu.

 

"Kalau Prabowo diam, kemarahan pendukung Anies dan PDIP bisa memicu terjadinya instabilitas politik yang merugikan Prabowo," ujar Yusak kepada RMOL, Senin 4 Agustus 2025.

 

Dengan adanya langkah maju Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong serta amnesti kepada Hasto, secara tidak langsung juga mengarah pada terungkapnya kebobrokan kepemimpinan Jokowi.

 

"Pemberian abolisi dan amnesti kepada Lembong dan Hasto jelas menjadi tamparan keras bagi Jokowi," kata Yusak.

 

Lebih lanjut, kandidat doktor politik Universitas Nasional (Unas) itu memerhatikan kebijakan Presiden Prabowo juga untuk mematahkan cara berpolitik kolaboratif, tanpa memandang keberpihakan dalam konstestasi.

 

"Pemberian abolisi dan amnesti merupakan itikad baik Prabowo untuk melakukan rekonsiliasi nasional besar-besaran pasca pemilu," kata Yusak.

 

"Dari kacamata politik, dengan diberikannya abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto, Prabowo sedang mengkonsolidasikan semua kekuatan politik yang ada untuk mendukung pemerintahannya," tambahnya. (rmol)

 

Adhie M Massardi  

 

JAKARTA — Mantan Juru Bicara Presiden keempat Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Adhie M. Massardi angkat bicara terkait kasus Silfester Matutina yang saat ini tengah menjadi perbincangan hangat.

 

Silfester Matutina, terpidana kasus penghinaan terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, kini tengah menjadi sorotan publik. Sorotan publik yang intens ini muncul setelah Kejaksaan Agung mengumumkan rencana eksekusi hukuman 1,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepadanya enam tahun lalu.

 

Terkait rencana jaksa, Adhie M. Massardi meragukan niat jaksa untuk melaksanakan eksekusi tersebut. Ia meragukan Kejaksaan Agung, di bawah pimpinan ST Burhanuddin, berani memenjarakan para pendukung setia mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

 

"99,99 % gak yakin kejaksaan berani menjarakan para begundal Joko Widodo," kata Adhie M Massardi dikutip dari laman media sosialnya, Senin (4/8).

 

Cuitan Adhie M Massardi itu menyertakan tangkapan layar terkait rencana kejaksaan untuk melakukan eksekusi terhadap terpidana Silfester Matutina.

 

Selain meragukan kejaksaan berani mengeksekusi Silfester Matutina ke penjara, Adhie M Massardi juga ragu Menteri BUMN, Erick Thohir berani melakukan langkah untuk memecat tokoh yang diangkatnya menjadi komisaris salah satu BUMN tersebut.

 

"Erick Thohir juga gak berani mecat terpidana satu ini dari Komisaris BUMN," tandas Adhie M Massardi.

 

Sebelumnya, Mantan Sekretaris BUMN, Muhammad Said Didu juga menyentil mantan Presiden Joko Widodo. Kali ini kaitannya dalam kasus Silfester Matutina.

 

Kasus yang bergulir di pengadilan pada 2019 lalu itu berakhir dengan menjatuhkan vonis penjara 1,5 tahun kepada Silfester. Meski vonis tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, Silfester selama kekuasaan Jokowi tidak dieksekusi Kejaksaan Agung (Kejagung).

 

Bahkan dia diangkat sebagai komisaris ID Food oleh Menteri BUMN, Erick Thohir. Begitu ramai diperbincangkan saat ini statusnya, Kejaksaan Agung angkat suara dan menyatakan segera melakukan eksekusi terhadap putusan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap.

 

Sinyal Kejaksaan Agung mengeksekusi Silfester Matutina ini kemudian dikomentari Said Didu. "Kasus Silfester sbg fakta bhw Aparat Hukum “diatur atau takut” sama Jokowi," kata Said Didu dikutip dari akun media sosialnya, Senin (4/8).

 

Said Didu memberi tiga alasan atas pernyataanya terkait aparat hukum takut sama Jokowi. Dia mengungkapkan bahwa, putusan Mahkamah Agung (MA) sudah incrach, dimana Silfester harus dipenjara sejak Mei 2019 atau penghinaan terhadap mantan Wapres Jusuf Kalla (JK).

 

Said Didu menyebut, Kejaksaan Agung baru berencana melakukan eksekusi setelah lebih dari enam tahun kasus tersebut berkekuatan hukum tetap. Niat kejaksaan untuk mengeksekusi Silfester itu pun setelah institusi tersebut didemo.

 

Alasan ketiga Said Didu menyebut aparat hukum diatur Jokowi karena saat masih status terpidana dan belum dilakukan eksekusi, dia malah diangkat menjadi Komisaris BUMN.

 

Diketahui, Silfester dilaporkan Bareskrim Polri dengan nomor laporan LP/554/V/2017/Bareskrim tertanggal 29 Mei 2017, karena orasinya pada 15 Mei 2017, yang menyebtu JK menjadi akar permasalahan bangsa. (fajar)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.