OLEH: SUGIYANTO*


KEKUATAN rakyat apabila lahir secara alamiah dan murni dari aspirasi kolektif, biasanya membawa dampak positif bagi bangsa. Namun, jika kekuatan ini dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok tertentu, maka bisa berubah menjadi ancaman yang merugikan banyak pihak, termasuk rakyat itu sendiri.

 

Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan yang arogan di hadapan gelombang rakyat. Aksi Tritura tahun 1966 -- yang menuntut pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan penurunan Harga -- menjadi momentum besar yang mengubah arah perjalanan bangsa.

 

Dari gerakan mahasiswa saat itu lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang membuka jalan bagi lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.

 

Namun, kekuasaan yang tampak kuat sekalipun tidak pernah sepi dari koreksi rakyat. Pada 1974, peristiwa Malari pecah sebagai simbol perlawanan terhadap kesenjangan sosial, praktik korupsi, serta ketidakadilan yang mulai mengakar di tubuh Orde Baru.

 

Reformasi 1998 kemudian menjadi puncak ledakan koreksi rakyat, melengserkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Sejarah itu membuktikan bahwa kekuasaan sebesar apa pun tidak kebal terhadap amarah rakyat.

 

Era Reformasi membawa perubahan signifikan, termasuk amandemen UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode alias 10 tahun, serta lahirnya sistem Pemilihan Presiden langsung.

 

Namun, reformasi juga tidak menutup jalan bagi rakyat untuk melakukan demonstrasi besar. Pasca Pemilu 2019, aksi massa kembali menunjukkan bahwa jalanan tetap menjadi arena koreksi ketika institusi formal kehilangan kepercayaan publik.

 

Kini, peristiwa serupa kembali terulang. Pada 25-29 Agustus 2025, bangsa ini diguncang demonstrasi nasional yang dipicu oleh isu tunjangan DPR sebesar Rp50 juta per bulan, ditambah berbagai fasilitas lainnya, sehingga total penghasilan anggota DPR menjadi sangat besar. Jumlah tersebut jelas jauh melampaui upah minimum yang diterima rakyat kecil.

 

Atas masalah tersebut, tuntutan publik berkembang mencakup transparansi gaji pejabat, percepatan pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset, serta pembatalan sejumlah rancangan undang-undang yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

 

Aksi ini meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kemarahan publik bukan semata persoalan materi, melainkan menyangkut rasa keadilan yang dianggap telah dikhianati.

 

Tragedi kemudian terjadi. Pada 28 Agustus 2025, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas akibat terlindas kendaraan lapis baja polisi.

 

Affan bukan pejabat, bukan elite politik, melainkan rakyat biasa -- simbol nyata “pemilik daulat”: hak untuk hidup, hak atas keadilan, dan hak untuk bersuara. Peristiwa ini seketika mengubah demonstrasi menjadi gelombang solidaritas nasional.

 

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E UUD 1945. Jaminan tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 yang memberikan dasar hukum bagi penyampaian pendapat di muka umum, termasuk demonstrasi damai. Lebih jauh, Indonesia juga terikat pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

 

Khusus untuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, peraturan ini merupakan Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Melalui instrumen ini, Indonesia secara resmi mengesahkan sekaligus mengakui isi kovenan tersebut sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

 

Dalam undang-undang tersebut, Pasal 1 ayat (1) menyatakan:

 

“Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1.”

 

Sementara itu, Pasal 1 ayat (2) menegaskan:

 

“Salinan naskah asli International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”

 

Beberapa ketentuan penting dalam ICCPR antara lain:

 

Pasal 6 ICCPR-Hak untuk Hidup

Article 6

1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.

 

(Pasal 6 (1). Setiap manusia memiliki hak asasi untuk hidup. Hak ini dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang).

 

Pasal 21 ICCPR-Hak Berkumpul Damai

Article 21

The right of peaceful assembly shall be recognized. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those imposed in conformity with the law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others.

 

(Pasal 21: Hak berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang boleh dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang diberlakukan sesuai hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau moralitas publik, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain).

 

Dengan demikian, kematian Affan tidak hanya dapat dipandang sebagai persoalan domestik, tetapi juga berpotensi dinilai sebagai pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang telah disepakati Indonesia

 

Kematian Affan menjadi percikan yang menyulut amarah kolektif. Gelombang protes meluas menjadi aksi besar-besaran: ratusan ribu rakyat turun ke jalan, ada gedung DPRD dibakar, rumah pejabat diserang, ratusan orang terluka, dan banyak yang ditangkap.

 

Pemerintah merespons dengan langkah ganda. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemangkasan tunjangan, menangguhkan perjalanan dinas luar negeri pejabat, serta menjanjikan investigasi transparan.

 

Namun di sisi lain, Prabowo juga menegaskan perlunya ketegasan aparat terhadap mereka yang dianggap perusuh atau provokator. Aparat keamanan dikerahkan secara masif demi menjaga ketertiban umum.

 

Meski demikian, penting dicatat bahwa setiap langkah pengamanan tidak boleh mengorbankan hak asasi rakyat.

 

Tindakan represif justru berisiko menuai kritik keras dari lembaga internasional seperti PBB maupun Human Rights Watch, serta berpotensi membuka tuduhan pelanggaran HAM berat.

 

Bila hal ini terjadi, maka kontradiksi antara janji reformasi dan praktik di lapangan akan semakin nyata di mata publik.

 

Fenomena ini sejatinya bukan anomali, melainkan bagian dari pola global. Arab Spring pada 2011 menggulingkan rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan Libya akibat korupsi, kesenjangan, dan arogansi kekuasaan.

 

Thailand pada 2020 menyaksikan protes mahasiswa melawan militerisme dan privilese monarki. Hong Kong pada 2019 menjadi saksi jutaan rakyat yang turun ke jalan melawan kebijakan otoritarian Beijing.

 

Semua contoh ini mengajarkan satu hal: ketika suara rakyat diabaikan dan jarak antara elite dan rakyat melebar, jalanan menjadi instrumen koreksi terakhir.

 

Bagi Indonesia, peringatan ini jelas. Demokrasi Pancasila menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika kemarahan rakyat Agustus 2025 diabaikan, Indonesia berisiko mengalami krisis legitimasi sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang gagal merespons aspirasi warganya.

 

Sejarah telah cukup memberi pelajaran: represi mungkin menunda, tetapi tidak pernah memadamkan tuntutan keadilan.

 

Dalam konteks ini, kebijaksanaan pemerintah menjadi kunci. Aspirasi rakyat harus didengar, bukan ditekan. Rakyat juga harus waspada agar tidak terprovokasi kepentingan asing yang ingin menunggangi protes, karena sejatinya tuntutan yang muncul adalah suara murni dari rakyat Indonesia.

 

Etika kepemimpinan menuntut kerendahan hati. Aristoteles menegaskan bahwa tujuan politik adalah kebaikan bersama (bonum commune). Negara hadir untuk memungkinkan warga negaranya hidup dalam kebaikan.

 

Dalam tradisi Nusantara, pepatah “manunggaling kawula lan gusti” dalam konteks kepemimpinan menekankan kesatuan antara pemimpin dengan Tuhannya, yang pada akhirnya terwujud dalam persatuan dengan rakyat guna melahirkan keadilan.

 

Dalam demokrasi modern, prinsip ini sejalan dengan konsep servant leadership, yakni pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa mereka. Prinsip rule of law dan good governance menegaskan bahwa kekuasaan hanya sah bila dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan.

 

Ketika pemilik daulat marah, itu bukan sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan alarm keras bagi pemimpin dan pejabat arogan untuk bercermin. Peristiwa Agustus 2025 bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga cermin batas kesabaran rakyat terhadap kesewenang-wenangan.

 

Bila pesan ini diabaikan, sejarah Indonesia dan dunia telah berulang kali membuktikan: kekuasaan yang arogan hanya tinggal menunggu giliran runtuh.

 

Dalam kerangka itulah, saya meyakini bahwa Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bersama para kepala daerah di seluruh Indonesia akan mendengar dan memperhatikan tuntutan rakyat dengan seksama.

 

Tujuan utamanya adalah agar Indonesia maju, rakyat hidup sejahtera, dan negeri ini terbebas dari dominasi segelintir elite yang hidup mewah di atas penderitaan mayoritas rakyat kecil. **


*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik


Label:
This is the most recent post.
Posting Lama

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.