Latest Post

Mantan Menag Yaqut Cholil Qoumas 

 

JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap perhitungan awal kerugian negara dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penetapan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024, atau pada masa mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mencapai lebih dari Rp1 triliun.

 

“Dalam perkara ini, hitungan awal dugaan kerugian negaranya lebih dari Rp1 triliun,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (11/8/2025).

 

Budi menjelaskan perhitungan tersebut baru dilakukan oleh internal KPK. Namun, hal tersebut sudah didiskusikan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

 

“Sudah didiskusikan juga dengan teman-teman di BPK, tetapi masih hitungan awal. Tentu nanti BPK akan menghitung secara lebih detail lagi,” katanya dilansir Era.id.

 

Sebelumnya, KPK mengumumkan memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024, yakni pada 9 Agustus 2025.

 

Pengumuman tersebut dilakukan KPK setelah meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus 2025.

 

Pada saat itu, KPK juga menyampaikan sedang berkomunikasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut.

 

Selain ditangani KPK, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya mengklaim menemukan sejumlah kejanggalan yang terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.

 

Titik poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50:50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.

 

Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

 

Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar delapan persen sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler. (**)

 

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2011-2015 Abraham Samad/Ist 


JAKARTA — Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad akan diperiksa dalam kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) yang melibatkan Roy Surya dan kawan-kawan pada Rabu, 13 Agustus 2025.

 

"Abraham Samad, juga kami konfirmasi, sudah menerima panggilan sebagai saksi dan akan diperiksa pada hari Rabu. Hari Rabu berarti tanggal 13 Agustus ya," kata kuasa hukum Roy Suryo Cs, Ahmad Khozinudin kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Senin, 11 Agustus 2025.

 

Ia pun mengonfirmasi bila Abraham Samad akan hadir dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya.

 

"Untuk Abraham Samad, beliau ada waktu Rabu bisa datang, makanya Rabu kami akan mendampingi lagi pemeriksaan Pak Abraham Samad. Terkonfirmasi akan diperiksa dan akan hadir," terang Khozinudin.

 

Untuk Roy Suryo bersama dua saksi terlapor lainnya, Riza Fadilah dan Kurnia Tri Royani bakal diperiksa Selasa besok, 12 Agustus 2025.

 

Diketahui, Jokowi melaporkan dugaan fitnah terkait tuduhan ijazah palsu ke Polda Metro Jaya dengan jeratan Pasal 310 dan 311 KUHP dan Pasal 27A, 32, serta 35 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Setelah menerima laporan, Polda Metro Jaya memeriksa saksi dan menaikkan kasus laporan tuduhan ijazah palsu Jokowi dari penyelidikan ke penyidikan. (rmol)


Pengamat Hukum Pidana UIN Makassar, Dr. Rahman Syamsuddin 


MAKASSAR — Belakangan ini, nama pendukung setia Jokowi, Silfester Matutina, menjadi perbincangan hangat. Meskipun berstatus tahanan, ia belum ditahan.

 

Anggapan bahwa pendiri Solidaritas Merah Putih (Solmet), organisasi relawan pendukung Jokowi, diduga punya bekingan kuat di belakangnya, tiba-tiba mengalir.

 

Bahkan, beredar poster pencarian Silfester yang disebut-sebut sebagai buronan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

 

Menanggapi gejolak tersebut, Pengamat Hukum Pidana UIN Makassar, Dr. Rahman Syamsuddin, mengatakan ada unsur kelalaian dalam perkara tersebut.

 

Ia merujuk pada ketentuan Pasal 270 KUHAP, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) merupakan kewajiban Jaksa sebagai eksekutor.

 

"Apabila terpidana seperti Silfester telah diputus bersalah dengan putusan yang inkrah, namun eksekusi belum dilaksanakan tanpa alasan yang sah menurut hukum, maka hal tersebut patut diduga sebagai bentuk kelalaian atau penyimpangan dari prosedur hukum acara pidana," kata Rahman kepada fajar.co.id, Senin (11/8/2025).

 

Secara yuridis, kata Rahman, terdapat beberapa faktor yang secara sah dapat menunda pelaksanaan eksekusi.

 

"Alasan kesehatan yang dibuktikan secara resmi melalui surat keterangan dokter yang berwenang," sebutnya.

 

Selain itu, ada pengajuan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali (PK) atau permohonan grasi, meskipun diungkapkan Rahman bahwa secara prinsip tidak menunda eksekusi.

 

"Pertimbangan keamanan atau teknis pelaksanaan yang objektif dan terukur," lanjutnya.

 

Di luar itu, Rahman menuturkan, penundaan eksekusi karena intervensi kekuasaan, pengaruh politik, atau alasan non-yuridis lainnya jelas bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum.

 

"Sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," imbuhnya. 

 

Kata Rahman, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka akan timbul dampak serius terhadap integritas penegakan hukum di Indonesia.

 

"Bisa meruntuhkan wibawa aparat penegak hukum dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana," terangnya.

 

Tambahnya, pembiaran tersebut juga bisa semakin memperkuat stigma hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

 

"Mendorong praktik impunitas yang melemahkan fungsi hukum pidana sebagai sarana perlindungan masyarakat (social defence)," tandasnya.

 

Wakil Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum UIN Makassar ini bilang, dalam negara hukum, pelaksanaan putusan pengadilan merupakan bagian dari mandat konstitusional.

 

"Merupakan moral yang tidak boleh dihambat oleh kepentingan di luar hukum. Eksekusi yang tepat waktu dan sesuai prosedur adalah wujud nyata tegaknya supremasi hukum di Indonesia," kuncinya.

 

Sebelumnya diberitakan, Silfester pernah dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun karena terbukti menyebarkan informasi bohong yang mencemarkan nama baik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan keluarganya.

 

Dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 100/Pid.B/2018/PN.Jkt.Sel, yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Silfester terbukti secara sah dan meyakinkan menyampaikan orasi di depan Gedung Baharkam Mabes Polri pada 15 Mei 2017 lalu.

 

"Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Yusuf Kalla. Mari kita mundurkan Yusuf Kalla JK, karena JK menggunakan isu (red) untuk memenangkan Anies-Sandi. Untuk kepentingan korupsi keluarga Yusuf Kalla," kata Silfister kala itu.

 

Pernyataan itu dianggap mencemarkan nama baik dan tidak terbukti secara hukum.

 

Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya tertanggal 20 Mei 2019 menolak permohonan Silfester dan memerintahkan ia menjalani hukuman satu tahun penjara.

 

Kini, Silfester kembali tampil ke ruang publik dengan pernyataan kontroversial.

 

Ia menuding Partai Demokrat sebagai pihak yang mendanai gerakan pemakzulan Gibran dan isu ijazah palsu Jokowi. Tudingan ini disampaikan tanpa bukti kuat dan menuai kecaman dari berbagai kalangan.

 

Saat menjadi narasumber di Kompas Petang baru-baru ini, Silfister menegaskan bahwa isu yang terus dikembangkan Roy Suryo Cs tersebut tidak benar.

 

"Isu pemakzulan dan ijazah palsu ini kalau kita lihat tidak mempunyai dasar hukum dan fakta konstitusi yang benar," kata Silfister dikutip pada Senin (28/7/2025).

 

Ia kemudian mengutip pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Jimly Asshiddiqie, yange nyebut bahwa itu merupakan upaya untuk menghancurkan lawan politik.

 

"Seperti yang dikatakan Prof. Jimly Asshiddiqie hanya untuk menghancurkan lawan politik dengan tidak beradab. Bohir di belakangnya ini gak bersatu, mereka bermain sendiri-sendiri," ucapnya.

 

Melihat serangan yang begitu intens dan terstruktur, Silfister menegaskan bahwa kemungkinan besar gerakan tersebut didanai pihak tertentu.

 

"Pastinya (didanai), siapa yang mendanai begini-begini gitu loh," tukasnya.

 

Adapun Ketum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan bahwa tudingan yang dialamatkan ke kubunya merupakan fitnah besar.

 

Hal ini ditegaskan AHY ketika kunjungan kerja di Lombok Barat, Minggu (27/7/2025) kemarin. (fajar)


Kuasa hukum Roy Suryo Cs Ahmad Khozinudin (Era.id/Sachril Agustin) 


JAKARTA — Tujuh terlapor, termasuk mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo, dijadwalkan diperiksa di Polda Metro Jaya pekan ini terkait dugaan ijazah palsu milik mantan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

 

Terlapor yang absen adalah Roy Suryo, Rismon Hasiholan Sianipar, Kurnia Tri Royani, Rizal Fadillah, Mikhael Sinaga, Rustam Effendi, dan Nurdian Noviansyah Susilo.

 

Roy Suryo, Rizal, dan Kurnia dijadwalkan diperiksa besok, Selasa (12 Agustus 2025). Rustam akan diperiksa Rabu depan (13 Agustus 2025). Mikhael, Nurdian, dan Rismon akan dipanggil pada Kamis (14 Agustus 2025).

 

Kuasa hukum Roy Suryo dan kawan-kawan, Ahmad Khozinudin menjelaskan, para terlapor tidak dapat memenuhi panggilan pemeriksaan karena memiliki agenda lain menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia.

 

"Pertama, panggilan tersebut belum bisa dipenuhi klien kami karena klien kami pada jadwal-jadwal yang berkenaan yang saya sebutkan tadi ya ada Senin, Selasa, Rabu, Kamis yang menjelang 17 Agustus 2025 ini, sudah teragendakan berbagai agenda jelang perayaan 17 Agustus 2025, Hari Kemerdekaan," kata Khozinudin di Polda Metro Jaya, Senin (11/8/2025).

 

Pengacara ini tak mau Roy Suryo dkk disebut mangkir ketika dipanggil. Sebab, pihaknya mengirimkan surat permohonan penundaan pemeriksaan kepada penyidik.

 

Khozinudin mengatakan pemeriksaan terhadap Roy Suryo Cs bisa dilakukan setelah Hari Kemerdekaan. Tanggal pasti penjadwalan menunggu pertimbangan penyidik Polda Metro Jaya.

 

Dia lalu menyampaikan mantan Ketua KPK, Abraham Samad akan dimintai keterangan terkait kasus tudingan palsu Jokowi pada Rabu depan. Abraham akan memenuhi panggilan tersebut.

 

"(Abraham Samad) terkonfirmasi akan diperiksa dan akan hadir. Hari Rabu berarti tanggal 13 Agustus ya, bersamaan dengan Rustam Effendi," jelasnya.

 

Diketahui, laporan Jokowi terkait tudingan ijazahnya palsu telah naik ke tahap penyidikan. Sementara perkara Ijazah Jokowi diduga palsu yang diadukan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) ke Bareskrim Polri, telah dihentikan penyelidikannya.

 

Bareskrim Polri menyatakan ijazah Jokowi asli. TPUA kemudian meminta dilakukan gelar perkara khusus. Biro Wassidik Bareskrim Polri kemudian menyatakan penghentian penyelidikan kasus ijazah palsu Jokowi oleh Dittipidum sesuai prosedur atau ketentuan. (era)


Silfester Matutina 

 

JAKARTA — Publik sorot terhadap kinerja Kejaksaan Agung semakin intensif belakangan ini. Hal ini disebabkan Silfester Matutina—terpidana kasus pencemaran nama baik dan penghinaan terhadap Jusuf Kalla (JK), yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap—masih bebas tanpa menjalani hukuman.

 

Kejanggalan ini semakin nyata setelah pemerintah, melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara, mengangkat Silfester sebagai komisaris di sebuah perusahaan milik negara. Meskipun putusannya telah berkekuatan hukum tetap, hukumannya belum dilaksanakan.

 

Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi, termasuk di antara mereka yang bersuara. “Buahahaha, ndak usah muluk-muluk mau ngejar Riza Chalid dan DPO kelas kakap lainnya,” tulis Islah di akun media sosialnya, Minggu pagi (10/8/2025).

 

“Menjarain Silfester yang jelas-jelas inkrah terpidana saja bijinya ciut..,” sambung tokoh Nahdlatul Ulama itu.

 

Cuitan tersebut, yang telah dilihat lebih dari 14 ribu kali, langsung memancing beragam komentar warganet. Salah satu akun menulis, “@KejaksaanRI masuk angin… mending mundur saja semua, daripada gak becus dan makan gaji dari uang rakyat.”

 

Ada pula yang mengutip pernyataan mendiang Gus Dur. “Benar kata Almarhum Gus Dur 🙏 Alfatihah 🤲🤲🤲,” tulis seorang warganet sambil mengunggah foto Presiden RI ke-4 itu. Gus Dur pernah menyebut bangsa ini penakut karena tak berani bertindak terhadap pelaku kesalahan.

 

Komentar bernada sindiran juga muncul. “Apabila APH berlindung di bawah ketiak penguasa, maka jangan berharap ada keadilan. Yang terjadi adalah sandiwara belaka. Anda menjilat dijamin selamat, anda berseberangan siap-siap dipenjarakan,” tulis pengguna X lainnya. (fajar)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.