Latest Post

Demonstrasi mahasiswa/Ist 

 OLEH : AHMADIE THAHA

DI tengah suasana politik yang makin mirip sinetron tanpa jeda iklan --dan tanpa penulis skenario profesional -- muncul lagi satu episode menggelitik. Kali ini dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Bukan hanya sekadar acara reuni akbar sambil karaoke lagu perjuangan, mereka datang dengan delapan tuntutan.

 

Salah satu tuntutan mereka cukup bombastis: mengganti Wakil Presiden dengan memakzulkan Gibran Rakabuming Raka.

 

Ya, Gibran. Anak sulung mantan Presiden Jokowi, mantan Wali Kota Solo yang naik kelas ke panggung nasional lebih cepat dari kecepatan promosi karyawan startup. Kalau Gibran ini karakter fiksi, mungkin sudah menyabet penghargaan “Tokoh Paling Instan” di dunia politik Indonesia. Tapi karena dia nyata, kita semua kena plot twist nasional.

 

Yang bikin heboh, tuntutan penggantian ini tidak datang dari ormas pinggiran atau netizen gabut yang lagi nungguin diskon belanja online. Ini dari 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Kalau mereka berbaris rapi di Senayan sambil teriak yel-yel, mungkin warga bakal mengira ada parade kemerdekaan edisi “Alternate Universe”.

 

Tentu saja, ini bukan pertama kalinya Gibran disuruh “undur diri” -- baik dengan sopan santun ala keraton maupun dengan gaya kasar ala netizen 4G. Sudah ada demo mahasiswa, ormas, aktivis, hingga pameran tanda pagar: #BukanWaktunyaGibran, #CaweCaweGate, #NepotismeNaikKelas.

 

Tapi, tuntunan kali ini lebih berbobot dan nendang begitu kerasnya: ditandatangani para mantan KSAD, KSAL, dan KSAU. Ini diperkuat oleh banyak dukungan dari sejumlah mantan petinggi negeri. Kalau zaman Orba, mungkin ini sudah jadi tayangan wajib di TVRI, dengan backsound “Bagimu Negeri” versi dramatis.

 

Namun, mari kita turunkan volume ketawa sebentar dan bertanya: Apakah mereka salah?

 

Tidak sepenuhnya. Para purnawirawan ini menyoroti akar masalah yang sudah lama jadi bisik-bisik tetangga: kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan Gibran menjadi cawapres. Putusan ini, kalau diibaratkan makanan, kayak mi instan yang dimasak pakai air comberan: cepat, tapi bikin mules.

 

Anda ingat, Ketua MK waktu itu -- yang, kebetulan, paman Gibran sendiri --dinyatakan melanggar etika berat, sampai-sampai meja sidang hampir perlu diganti karena terlalu banyak menahan malu. Logika hukum publik langsung jalan: jika tindakan Ketua MK diputus melanggar, mestinya hasil keputusannya juga salah.

 

Namun, apakah ini cukup alasan mengganti Wapres?

 

Secara konstitusional, jawabannya tak semudah membalik lembaran naskah pidato. Gibran sudah terpilih lewat pemilu yang (minimal secara administrasi) sah. Konstitusi cuma bisa memberhentikan Presiden/Wapres kalau ada pelanggaran berat: pengkhianatan negara, korupsi, suap, tindakan tercela, dan tentu saja, tindakan-tindakan selevel “menerbangkan alien untuk curi kotak suara”.

 

Satu-satunya jalur yang sah? Mahkamah Konstitusi. Dan meskipun kita semua ingin mengedit naskah ceritanya, kita tidak bisa sekadar bilang, “Prosesnya aneh, yuk ganti.” Itu seperti mau ganti pemain bola hanya karena rambutnya mirip mantan pacar yang nyakitin.

 

Lalu, apa sebenarnya motivasi di balik usulan ini?

 

Bisa jadi ini suara kekecewaan terhadap nepotisme politik. Bisa jadi ini alarm bahwa reformasi kita ternyata masih nginep di pos satpam kekuasaan. Bisa juga karena Gibran dinilai tidak qualified. Atau alasan lainnya, silahkan sebut. Tapi sekali lagi: niat baik tanpa prosedur yang sah itu kayak proposal cinta yang disampaikan lewat penggeledahan KTP -- bisa dianggap kriminal.

 

Ironisnya, dalam delapan tuntutan para purnawirawan itu, mereka tetap mendukung Presiden Prabowo. Jadi logikanya kira-kira: “Pak Prabowo kami dukung penuh, asal tolong usir bocah itu.” Ini seperti memesan sate kambing, lalu ngamuk karena ada tusukannya.

 

Tentu, kita menghormati hak bersuara. Bahkan kritik keras seperti ini adalah tanda vitalitas demokrasi. Tapi, solusi harus realistis. Konstitusi kita bukan warung kopi yang bisa mengubah menu sesuka hati pelanggan.

 

Dan kini, masuklah pendapat menarik dari ranah akademisi. Dalam dialog di Kompas TV, Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM, membeberkan tiga opsi pintu hukum untuk impeachment Gibran. Tidak gampang, tapi bukan mustahil—tentu dengan syarat berat:

 

1. Ijazah Gibran: Kalau memang ada bukti kuat terkait keabsahan ijazahnya, ini bisa jadi batu sandungan. Tapi perlu bukti konkret, bukan sekadar rumor WhatsApp grup keluarga.

 

2. Perbuatan Tercela: Seperti dugaan kepemilikan akun fufufafa -- akun misterius yang isinya diduga menghina Prabowo dan keluarganya. Kalau terbukti, bisa masuk kategori moral hazard, bukan sekadar iseng.

 

3. Dugaan Korupsi: Kalau laporan pidana lama, misalnya dari Mas Ubaidilah ke KPK, bisa dibuktikan, ini jalur hukum keras untuk membuka pintu pemakzulan.

 

Namun, seperti ditekankan Zainal -- yang akrab disapa Uceng -- semua harus lewat jalur konstitusional. Tidak boleh mengulangi dosa konstitusi hanya karena ingin memperbaiki dosa politik. Atau, dalam istilah kampung saya: jangan memperbaiki genteng bocor dengan menendang seluruh atap rumah.

 

Muncul juga ide ekstrem: bisakah MK membatalkan putusannya sendiri? Secara teori hukum, ada mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Tapi syaratnya berat: harus ada novum -- fakta baru -- seperti bukti pelanggaran etika berat yang belum dipertimbangkan. Dan… dengan Ketua MK waktu itu sudah terbukti melanggar etika berat plus konflik kepentingan, sebagian ahli hukum menilai PK layak diajukan.

 

Apakah Mahkamah Konstitusi mau membongkar rumah yang sudah separuh dibangun? Nah, itu persoalan keberanian sejarah -- dan mungkin juga soal siapa yang keburu kehabisan kursi duluan.

 

Kesimpulannya? Kursi Gibran memang masih punya pegangan hukum, tapi goyah secara moral. Ia menang suara, tapi kehilangan kepercayaan sebagian rakyat. Dalam politik, itu ibarat menang duel tapi pulang dengan reputasi berdarah-darah.

 

Jika Gibran ingin kursinya tidak hanya bertahan, tapi benar-benar berwibawa, ia perlu lebih dari sekadar senyum-senyum menyong dan jargon “menghormati proses hukum.” Ia perlu kerja nyata, integritas kuat, dan kemauan keras untuk membuktikan dirinya layak --bukan karena garis keturunan, tapi karena kualitas kepemimpinan.

 

Karena sejarah bangsa ini terlalu mahal untuk diserahkan kepada mereka yang hanya menang lomba genetik. (*)


*Penulis adalah Wartawan Senior


Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Presiden ke-44 AS Barack Obama/Ist 

 

TULISAN ini mungkin menjadi penutup dari beberapa artikel yang telah saya buat mengenai polemik dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi.

 

Sebelumnya, saya telah menulis tiga artikel terkait isu ini sebagai bentuk kepedulian dan refleksi terhadap pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem demokrasi.

 

Hari ini, Senin 5 Mei 2025, saya menyampaikan penutup reflektif melalui tulisan ini. Tujuannya adalah memberikan gambaran utuh kepada masyarakat tentang akar persoalan, dinamika polemik, aktor-aktor yang terlibat, serta solusi konkret.

 

Seharusnya penyelesaian masalah ini bisa ditempuh sejak awal. Tidak berlarut-larut tanpa menimbukan polemik  berkepanjangan atas dugaan ijazah palsu Jokowi.

 

Akar masalah dari polemik ini kemungkinan besar berawal dari sikap Jokowi sendiri yang ketika itu tampaknya meremehkan isu dugaan ijazah palsu.

 

Tuduhan yang datang dari masyarakat mungkin dianggap sebagai suara-suara pinggiran, tidak kredibel, dan boleh jadi dianggap berasal dari orang-orang yang hanya mencari panggung popularitas.

 

Mungkin Jokowi menilai, sebagai Presiden tidak perlu merespons tuduhan yang menurutnya tidak berdasar dan berasal dari orang-orang yang tidak selevel dengannya.

 

Sayangnya, mungkin dengan sikap ini justru menjadi pemicu utama kenapa polemik ini tidak pernah reda.

 

Isu dugaan ijazah palsu Jokowi pertama kali muncul pada 2019, melalui unggahan Umar Kholid Harahap di media sosial.

 

Umar menuding bahwa ijazah SMA Negeri 6 Solo milik Jokowi adalah palsu. Pihak kepolisian menyatakan bahwa unggahan tersebut adalah hoaks, dan menangkap Umar. Namun isu terkait masalah ini tidak berhenti.

 

Pada tahun 2022, Bambang Tri Mulyono menggugat Jokowi ke pengadilan dengan tuduhan serupa. Tetapi gugatan itu dicabut setelah Bambang menjadi tersangka ujaran kebencian.

 

Pada tahun 2024, advokat Eggi Sudjana mencoba langkah hukum serupa, namun ditolak pengadilan karena dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat atau dengan alasan lainnya.

 

Atas hal ini, Ketua Tim Kuasa Hukum Jokowi, Otto Hasibuan meminta narasi negatif terkait kliennya agar dihentikan oleh semua pihak.

 

Belum lama ini, muncul pengacara Muhammad Taufiq dari Solo kembali menggugat objek serupa.

 

Taufiq mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Solo terhadap empat pihak, yakni Jokowi (tergugat 1), KPU Surakarta (tergugat 2), SMAN 6 Surakarta (tergugat 3), dan Universitas Gadjah Mada (tergugat 4).

 

Gugatan itu dilayangkan karena Taufiq menilai ijazah Jokowi belum pernah ditunjukkan ke publik secara meyakinkan.

 

Ia menuding KPU lalai dalam memverifikasi ijazah saat Pilkada Solo pertama. SMAN 6 Surakarta baru berdiri tahun 1986 sehingga seharusnya Jokowi tidak bisa bersekolah di sana. Terakhir UGM dinilai keliru dalam mengeluarkan ijazah.

 

Dalam hal ini, tampaknya perkiraan saya terbukti benar. Boleh jadi, prediksi Jokowi bahwa polemik ini akan mereda dengan sendirinya ternyata keliru. Justru setelah masa jabatannya berakhir pada Oktober 2024, eskalasi isu ini meningkat secara signifikan.

 

Publik kemudian dikejutkan oleh langkah ahli digital forensic Rismon Hasiholan Sianipar, yang secara detail membedah berbagai kejanggalan dokumen terkait Jokowi.

 

Rismon mengangkat sejumlah isu teknis, seperti ketidaksesuaian tanda tangan dosen penguji skripsi, penggunaan huruf font Times New Roman yang dinilai tidak lazim pada era 1980-an, serta berbagai aspek administratif lainnya.

 

UGM sebagai institusi tempat Jokowi menempuh pendidikan tinggi, membantah seluruh tuduhan tersebut.

 

Pihak kampus menyatakan bahwa semua proses akademik Jokowi terdokumentasi dengan baik, dan penggunaan font serta format ijazah sesuai kebijakan fakultas pada masa itu.

 

Namun, meskipun UGM telah beberapa kali memberikan klarifikasi, polemik tidak juga mereda.

 

Beberapa tokoh, termasuk Roy Suryo, ikut meragukan keaslian foto pada ijazah Jokowi.

 

Semua ini memperkuat persepsi publik bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

 

Padahal bisa saja masalah ini selesai secara cepat dan elegan jika saja Jokowi bersedia menunjukkan secara terbuka dokumen akademiknya.

 

Kecurigaan publik lebih banyak tumbuh bukan karena bukti pemalsuan yang kuat, tetapi karena minimnya transparansi dari pihak yang bersangkutan.

 

Jokowi seharusnya bisa mengambil langkah sederhana namun strategis dengan menunjukkan langsung ijazah asli yang dipermasalahkan.

 

Jokowi juga bisa mengajak pihak sekolah, dari SD hingga perguruan tinggi, untuk secara terbuka menyampaikan dan memverifikasi dokumen akademiknya kepada publik.

 

Jika langkah itu ditempuh, maka polemik ini akan selesai jauh sebelum Jokowi mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden.

 

Sebaliknya, Jokowi justru membiarkan isu ini bergulir terus-menerus, yang sepertinya hanya memperkeruh suasana dan membuka celah bagi berkembangnya ketidakpercayaan publik.

 

Dalam konteks ini, mungkin bukan hanya Jokowi yang patut dikritik. Lembaga-lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi penjaga integritas dan kebenaran akademik mungkin juga turut terlibat dalam masalah ini.

 

Demikian pula lembaga peradilan yang cenderung menolak gugatan tanpa mendorong pembuktian langsung dengan meminta Jokowi menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka.

 

Di sisi lain, sebagian pengkritik dan penyebar konten di media sosial turut memperkeruh situasi dengan narasi bombastis yang tidak sepenuhnya didasarkan pada verifikasi terhadap dokumen asli.

 

Tindakan semacam ini memang berpotensi menyulut emosi publik, memperbesar polemik, dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat tanpa menawarkan penyelesaian yang konstruktif.

 

Namun demikian, mereka juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan, karena pada dasarnya mereka hanya mengisi ruang publik yang kosong akibat absennya klarifikasi resmi yang transparan.

 

Selain itu, banyak di antara mereka hanya menyusun argumen berdasarkan data dan fakta yang beredar di media sosial, yang telah mereka analisis dengan kemampuan dan keahlian masing-masing.

 

Maka, meski pendekatannya bisa diperdebatkan, sikap kritis mereka tetap patut dipahami dalam konteks keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam demokrasi.

 

Namun, jika harus menunjuk siapa yang paling bertanggung jawab atas polemik dan pro kontra ini, maka jawabannya mungkin adalah Jokowi sendiri.

 

Sebagai tokoh publik --terlebih lagi sebagai presiden dua periode -- Jokowi memikul tanggung jawab moral untuk menjernihkan fitnah atau kecurigaan yang muncul terhadap dirinya dengan cara yang elegan dan terbuka.

 

Meneladani Langkah Obama

 

Dalam menghadapi masalah tuduhan dugaan ijazah palsu, seharusnya Jokowi menunjukkan ijazah aslinya sejak awal tuduhan mencuat. Bukan malah membiarkan isu berkembang liar di ruang publik. Apalagi jika respons yang ditunjukkan cenderung membungkam, menghindar, atau menunda klarifikasi.

 

Sikap Jokowi semacam itu justru memicu polemik dan pro kontra yang berkepanjangan serta melemahkan kepercayaan publik.

 

Bahkan saat ini, sepertinya masyarakat telah terbelah menjadi dua kubu: yang mendukung dan yang menentang terkait isu ijazah ini.

 

Kondisi ini jelas merugikan, karena berpotensi menimbulkan kegaduhan yang dapat mengganggu stabilitas dan konsentrasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan agenda-agenda nasional.

 

Memang benar bahwa Jokowi secara hukum tidak wajib menunjukkan ijazah yang dimilikinya, kecuali atas perintah pengadilan.

 

Namun sebagai pejabat publik tertinggi saat itu, akan jauh lebih bijak jika ia memilih bersikap proaktif demi menyelesaikan polemik ini. Bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga demi menjaga martabat institusi kepresidenan serta ketenangan publik.

 

Bahkan, saya meyakini sepenuhnya bahwa jika sejak awal Jokowi berinisiatif menunjukkan ijazah aslinya secara terbuka, langkah tersebut akan menjadi solusi jitu yang menyelesaikan persoalan ini dengan cepat dan elegan.

 

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi bergeming dan sama sekali tidak mengambil langkah untuk meredakan atau menyelesaikan persoalan ini secara tuntas.

 

Saat ini, Jokowi telah melaporkan sejumlah pihak yang dianggap menyebarkan tuduhan tanpa dasar ke Polda Metro Jaya. Laporan tersebut disampaikan Jokowi pada Rabu 30 April 2025, dengan menumpangi mobil Toyota Kijang Innova bernomor polisi B 2329 SXL.

 

Langkah Jokowi itu menandai babak baru dalam polemik dugaan ijazah palsu. Cara ini menandai perubahan strategi: dari menghindar, kini Jokowi memilih jalur hukum untuk melawan balik.

 

Tetapi publik tentu bertanya, mengapa tidak sejak awal memilih jalur transparansi terlebih dahulu?

 

Dalam konteks ini, langkah Presiden AS ke-44 Barack Obama layak dijadikan teladan. Saat menghadapi tuduhan bahwa ia bukan warga negara Amerika Serikat, Obama tak memilih bungkam.

 

Ketika kasus tersebut mencuat, Obama segera merilis salinan lengkap akta kelahirannya dari Hawaii pada 27 April 2011. Ia membuktikan bahwa ia lahir di Honolulu pada 4 Agustus 1961.

 

Dengan langkah terbuka itu, Obama menutup ruang spekulasi kelompok “birther” yang menyebar disinformasi bahwa ia lahir di Kenya.

 

Obama menganggap tuduhan itu sebagai gangguan politik, tetapi tetap memilih jalur transparansi untuk meredam keraguan.

 

Seharusnya Jokowi bisa meniru Obama. Menunjukkan ijazah asli secara terbuka bukan hanya merupakan pilihan yang tepat secara moral, tetapi juga langkah strategis untuk menjaga legitimasi di mata rakyat dan catatan sejarah.

 

Tindakan semacam itu akan mencerminkan sikap kenegarawanan serta memberikan teladan berharga bagi generasi penerus tentang arti penting transparansi dan akuntabilitas dalam kepemimpinan.

 

Pada akhirnya, kasus ini menunjukkan bahwa sebuah dugaan yang awalnya tampak sepele dapat berubah menjadi bola liar yang sulit dikendalikan. Terutama ketika tidak direspons secara bijak dan terbuka sejak awal.

 

Semua ini terjadi karena sejak awal persoalan tidak ditangani secara bijak dan transparan, khususnya dengan tidak ditunjukkannya ijazah asli kepada publik.

 

Padahal, isu ini bukan sekadar soal selembar ijazah, melainkan menyangkut kepercayaan publik terhadap integritas seorang pejabat negara.

 

Ketika kepercayaan itu retak, yang tercoreng bukan hanya nama seorang mantan presiden, tetapi juga wibawa institusi pendidikan, kredibilitas lembaga hukum, dan bahkan martabat republik ini sendiri. (*)

  

*Penulis adalah Ketua Himpunan Masyarakat Nusantara (Hasrat)


Presiden ke-7 RI Joko Widodo di Polda Metro Jaya, (Rabu, 30 April 2025) 


ABRAHAM Samad meminta agar Joko Widodo mencabut pelaporan pengaduan ijazah palsu. Abraham Samad adalah mantan Ketua KPK periode tahun 2011-2015.

 

Betapa sungguh amat sangat mengherankan, jika Abraham Samad justru meminta Joko Widodo bersedia mencabut delik aduan berupa tidak mempraktikkan penegakan hukum KUHP dan UU ITE.

 

Di samping itu Abraham Samad meyakini bahwa aparat penegak hukum tidak mempunyai dasar untuk menindaklanjuti pelaporan Joko Widodo.

 

Argumentasi Abraham Samad adalah pasal-pasal yang digunakan oleh pengacara yang menjadi kuasa hukum Joko Widodo diyakini tidak tepat, yaitu tentang dugaan pencemaran nama baik terhadap dugaan ijazah palsu.

 

Mereka yang dilaporkan adalah Rizal Fadilah, Tifauzia Tyassuma, Rismon Sianipar, Roy Suryo dan nama berinisial K. Bukti yang dijadikan sebagai dasar hukum delik aduan pencemaran nama baik berupa video sebanyak 24 unit.

 

Berdasarkan jejak digital YouTube diketahui hubungan dekat dan kebersamaan Abraham Samad secara langsung atau tidak langsung dengan terlapor dalam beberapa event kegiatan politik praktis dan atau podcast-podcast.

 

Artinya, tercium motif Abraham Samad berargumentasi secara tersirat untuk bermaksud melindungi para terlapor atas dasar pernah bersama-sama melakukan kegiatan beroposisi non parlemen.

 

Kebersamaan dalam berbagai agenda bersama, itu terkesan membuat Abraham Samad bertindak membantu para terlapor dengan usul pencabutan pelaporan delik aduan di atas.

 

Permintaan untuk mencabut praktek penegakan hukum tersebut, terkesan Abraham Samad menggunakan dasar pemikiran tentang hak kebebasan berpendapat, yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945 hasil amandemen satu naskah.

 

Bunyi Pasal 27 berupa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU. Pasal 28 E ayat (3) berbunyi bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

 

Pasal 28 F berbunyi bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

 

Sebaliknya, Joko Widodo sebagai pihak yang melaporkan delik aduan juga dilindungi oleh Pasal 28 G.

 

Bunyi pasal tersebut pada ayat (1) adalah setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

 

Pada ayat (2) berbunyi setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.

 

Juga pada Pasal 28 J ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

 

Para terlapor dituntut oleh kuasa hukum Joko Widodo telah melanggar Pasal 310 dan 311 KUHP 1/2023. Juga terhadap tuntutan pelanggaran Pasal 27A, 32, dan 35 UU ITE 1/2024.

 

Persoalannya adalah Pasal 310 berbunyi bahwa setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, atau membuat tidak dapat dipakai bangunan untuk menahan air atau bangunan untuk menyalurkan air yang mengakibatkan bahaya banjir, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

 

Pasal 311 berbunyi bahwa setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan terjadinya kebakaran, ledakan, atau banjir yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi nyawa orang lain, atau mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Implikasinya adalah jika dan hanya jika wartawan tidak keliru mengutip informasi dari kuasa hukum, maka benarlah argumentasi dari Abraham Samad. Akan tetapi informasi tentang penulisan nomor pasal yang dikutip terkesan sungguh tidak masuk akal jika menggunakan nomor UU tersebut di atas.

 

Akan tetapi jika kutipan penulisan nomor pasal itu adalah benar adanya, maka tafsir yang kiranya cocok adalah momentum tuntutan delik aduan lebih bermaksud sebagai drama pembentukan citra dalam menggertak para terlapor.

 

Meskipun demikian kutipan nomor kedua pasal kiranya lebih masuk akal, jika pengutipan kurang tepat. Keliru dalam mengutip nomor-nomor pasal KUHP di atas.

 

Pasal 27A berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik. Pasal 32 dan Pasal 35 tidak tersaji dalam UU ITE 1/2024.

 

Implikasinya adalah pengutipan nomor-nomor pasal yang dijadikan penuntutan delik aduan terkesan bukan bersumber dari UU terbaru, melainkan berasal dari periode UU yang sama sebelum versi perubahan terbaru. Jadi, informasi Abraham Samad dalam konteks ini terkesan kurang tepat.

 

Akan tetapi jika yang digunakan dasar hukum adalah UU ITE 11/2008 itu tidak tercantum nomor pasal 27 A, melainkan nomor 27. Pada Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

 

Jadi, penggunaan UU ITE 11/2008 cocok dengan pelaporan delik aduan ijazah palsu.

 

Pasal 32 pada ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.

 

Ayat (2) berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada sistem orang lain yang tidak berhak.

 

Ayat (3) berbunyi terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya.

 

Pasal 35 berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, perusakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik.

 

Jadi, penggunaan UU ITE 11/2008 lebih cocok dibandingkan mengacu menggunakan UU ITE 1/2024.

 

Selanjutnya penggunaan ijazah atau gelar akademik palsu diatur menggunakan UU KUHP 1/2023 Pasal 272 dan menjadi persoalan hukum yang serius.

 

Pada ayat (1) berbunyi bahwa setiap orang yang memalsukan atau membuat palsu ijazah atau sertifikat kompetensi dan dokumen yang menyertainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (2) berbunyi bahwa setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi palsu, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (3) berbunyi bahwa setiap orang yang menerbitkan dan/atau memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI.

 

Implikasinya adalah usul Abraham Samad, agar Joko Widodo mencabut delik aduan adalah perbuatan yang bersifat tidak adil atau berat sebelah kepada koleganya, karena tercantumnya Pasal 272 dengan sanksi pidana penjara dan pidana denda tersebut di atas.

 

Sebenarnya yang lebih tepat adalah penggunaan Pasal 263 dan Pasal 264 pada UU KUHP 1/2023.

 

Pasal 263 ayat (1) berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.

 

Ayat (2) berbunyi setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong yang dapat mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

 

Pasal 264 berbunyi bahwa setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap sedangkan diketahuinya atau patut diduga, bahwa berita demikian dapat mengakibatkan kerusuhan di masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda paling banyak kategori III.

 

Jadi, dalam hal ini kuasa hukum masih dimungkinkan untuk melakukan perbaikan penggunaan dasar hukum dalam mengajukan delik aduan dan/atau wartawan memperjelas kutipan tentang penggunaan nomor-nomor pasal dan nomor UU yang digunakan sebagai kutipannya.

 

Implikasinya adalah para terlapor berpotensi sangat besar segera menjadi narapidana dan wajib membayar denda.

 

Sementara itu alibi penggunaan dasar hukum UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik terkendala oleh Pasal 6. Pada ayat (2) berbunyi Badan Publik berhak menolak memberikan informasi publik apabila tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Ayat (3) point c berbunyi bahwa informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi. Sebagaimana diketahui bahwa hak-hak pribadi dilindungi menggunakan UUD 1945 hasil amandemen satu naskah tersebut di atas maupun UU 27/2022 tentang pelindungan data pribadi.

 

Singkat kata, pengaduan delik aduan pelaporan ijazah palsu mempunyai dasar hukum yang jelas dan mempunyai prospek yang sangat besar berpotensi mampu memenjarakan dan mendenda para terlapor, sedangkan maksud untuk menolak penegakan hukum justru berdampak dengan maksud melanggar penegakan hukum UU di atas.

 

Demikian pula dengan tafsir bahwa Joko Widodo ingin senantiasa mempunyai panggung di media massa terkesan kurang sesuai dengan keberadaan UU tersebut di atas. (*)

 

Penulis adalah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Pengajar Universitas Mercu Buana

 

Pegiat Media Sosial, Dokter Tifa 


JAKARTA — Pegiat media sosial sekaligus ahli epidemiolog, Dokter Tifauzia Tyassuma menyoroti potongan video Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) memegang MAP berwarna coklat saat berkunjung ke Polda Metro Jaya.

 

Tifa menjelaskan, besaran ijazah bukan hal yang lumrah bagi alumni Universitas Gadjah Mada.

 

"Kalau anda Alumnus UGM asli!. maka anda pasti punya ijazah asli yang ukurannya tidak lazim, sehingga tidak bisa ditaruh di dalam MAP standar seperti yang dipegang orang ini." tulis Tifa, dilansir X @DokterTifa Sabtu, (3/5/3025).

 

Dalam kritikan selanjutnya, ia mengatakan apabila MAP berisi dengan lembaran ijazah maka akan kaku jika dibawa.

 

"Dan kalau anda sedang bawa map yang isinya adalah Ijazah Asli SD, SMP, SMA, dan S1 maka tumpukan ijazah itu akan menghasilkan Map kaku dan tebal, yang tidak mungkin dibawa dengan digulung dengan sembrono seperti ini," ujarnya.

 

Sebagai penutup, ia memberikan pandangan bahwa itu merupakan benda yang menjadi titik penentu dari gugatannya, namun tidak dijaga dengan hati-hati.

 

"Padahal kasus yang berhubungan dengan isi map itu akan menentukan jalannya sejarah bangsa ini, sehitam sekelam dan segenap apa nantinya," tutupnya.

 

Unggahan yang melampirkan video Jokowi sedang, menggenggam MAP berhasil mematik perhatian warganet, tidak sedikit yang membernarkan analisa dari dokter Tifa.

 

Sebelumnya, diwartakan bahwa Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) meninggalkan sentra pelayanan kepolisian terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya setelah membuat laporan terkait tuduhan ijazah palsu.

 

Dia tampak membawa map berwarna cokelat, ke Polda Metro Jaya, Rabu (30/4/2025), Jokowi terlihat didampingi sejumlah pengacara. Dia langsung menuju mobil setelah keluar SPKT.

 

Jokowi tak mengucapkan sepatah kata pun saat meninggalkan SPKT. Dia tampak mulai meninggalkan SPKT sekitar pukul 10.15 WIB, kemudian meninggalkan lokasi.

 

Jokowi sebelumnya telah datang ke SPKT sekitar pukul 09.50 WIB. Dia akan membuat laporan terkait tuduhan ijazah palsu. (fajar)


Letjen Kunto Arief Wibowo 

 

JAKARTA — Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengubah keputusan pemindahan Letjen Kunto Arief Wibowo dari jabatan Panglima Komando Gabungan Daerah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I menjadi Staf Khusus Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

 

Perubahan berdasarkan Keputusan Perubahan I Panglima TNI Nomor Kep/554.a/IV/2025 tentang Pemberhentian dari dan Pengangkatan dalam Jabatan di Lingkungan Tentara Nasional Indonesia. Surat tersebut dikeluarkan pada hari Rabu, 30 April 2025.

 

Surat tersebut berisi perubahan keputusan terhadap nama-nama yang tercantum pada nomor urut 4 sampai dengan 10 dalam lampiran Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025 yang diterbitkan sehari sebelumnya, salah satunya atas nama Letnan Jenderal TNI Kunto Arief Wibowo.

 

"MEMUTUSKAN: 1. Menetapkan: Perubahan Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/554/IV/2025 tentang Pemberhentian dari dan pengangkatan dalam jabatan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia atas nama Letjen TNI Teguh Muji Angkasa, S.E., M.M. NRP 32635, Dosen Tetap Unhan dkk 236 orang pada lampiran nomor urut 4 sampai dengan 10," demikian bunyi Perubahan I Keputusan Panglima TNI dilihat RMOL, Jumat, 2 Mei 2025.

 

Dalam keputusan Panglima sebelumnya tertulis nomor urut 4 dalam lampiran keputusan bahwa Letjen TNI Kunto Arief Wibowo jabatan lama Pangkogabwilhan I dan jabatan baru sebagai Staf Khusus KSAD. Ia digantikan Laksda Hersan yang bergeser posisi dari Panglima Komando Armada Republik Indonesia (Koarmada) III.

 

Namun dalam Keputusan perubahan nomor urut 4 tertulis Mayjen TNI Yusman Madayun jabatan lama Pa Sahli Tk. III Bid. Sosbudkum HAM dan Narkoba Panglima TNI dan jabatan baru sebagai Pati Mabes TNI dalam rangka pensiun.

 

Kemudian, nama Arief Kunto tidak tertulis dalam keputusan perubahan. Dengan demikian Kunto Arief tetap menjabat Pangkogabwilhan I dan tidak jadi diganti Laksda Hersan yang juga merupakan mantan ajudan dan Sesmilpres Joko Widodo.

 

Kunto Arief Wibowo merupakan putra dari mantan Panglima ABRI dan sekaligus Wakil Presiden Indonesia ke-6 Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno.

 

Karier militer Kunto dimulai sejak berpangkat Letnan Dua hingga Kapten. Berbagai penugasan pernah ditempuhnya antara lain Komandan Peleton di Batalyon Infanteri Linud 502/Ujwala Yudha pada tahun 1992, dan Komandan Peleton di Batalyon Infanteri 412/Bharata Eka Sakti.

 

Setelah menempuh berbagai penugasan di tingkat satuan, Kunto Arief Wibowo mendapat kepercayaan sebagai Kepala Seksi Operasi (Kasi 2/Ops) Korem 083/Baladhika Jaya (2007-2008). Ketika itu pria kelahiran lahir 15 Maret 1971 ini berpangkat Mayor.

 

Ketika Letnan Kolonel, ia dipercaya memimpin Batalyon Infanteri 500/Raider sebagai komandan. Jabatan ini dia emban setahun lamanya dari 2008 hingga 2009. Lalu menjadi Komandan Satuan Pendidikan Sussarcab di Pusdikif Pussenif (2009-2010), serta menjabat Kepala Staf Brigade Infanteri 13/Galuh (2010-2012).

 

Karier militer Kunto Arief terus menanjak saat menjadi Kolonel. Dia mengemban tugas sebagai Komandan Brigade Infanteri 6/Tri Shakti Balajaya (2012-2013), Kepala Departemen Teknik Akademi Militer (2013-2014), Asisten Operasi Kepala Staf Kodam IX/Udayana (2014-2016), Komandan Korem 044/Garuda Dempo (2016-2018) dan Komandan Pusat Latihan Tempur Kodiklat TNI AD (2018).

 

Meraih pangkat Brigadir Jenderal, ia kemudian diangkat sebagai Komandan Korem 032/Wirabraja. Tugas ini dia emban dari 2018 hingga 2020. Kemudian menjabat Kepala Staf Kodam III/Siliwangi (2020-2021).

 

Kemudian sebagai Mayor Jenderal, ia mengemban amanat sebagai Panglima Divisi Infanteri 3/Kostrad (2021-2022), sebelum menjadi Panglima Kodam III/Siliwangi yang juga merangkap Komandan Komando Garnisun Tetap II/Bandung pada 2022 hingga 2023. Ia lalu dipercayakan sebagai Wakil Komandan Kodiklatad (2023-2024) dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Sekretariat Jenderal Wantannas pada tahun 2024.

 

Pada tahun 2024, Kunto Arief Wibowo mendapatkan kenaikan pangkat Letnan Jenderal dan diangkat sebagai Pangkogabwilhan I. (rmol)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.