Latest Post

Ijazah-Jokowi 

 

JAKARTA — Baru-baru ini, publik Indonesia kembali dikejutkan oleh pengungkapan terbaru terkait dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi. Setelah pakar forensik digital Rismon Sianipar dan alumni Relagama Bergerak mendatangi kediaman Prof. Sofian Effendi, fakta-fakta baru pun muncul.

 

Sofian, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan bahwa Jokowi tidak ada dalam daftar alumni 1985. Menanggapi hal ini, mantan relawan Ganjar Pranowo, Palti Hutabarat, mengatakan bahwa pernyataan tersebut mengejutkan.

 

"ini mengejutkan bagi kita semua," kata Palti kepada fajar.co.id, Kamis (17/7/2025).

 

Palti bilang, jika apa yang diungkapkan Sofian benar, maka bangsa Indonesia selama sepuluh tahun terakhir menjadi korban penipuan.

 

"Kalau ini benar, maka akan menjadi sebuah tragedi besar bangsa ini yang sudah kena tipu habis-habisan," tandasnya.

 

Sebelumnya, Sofian menyinggung dugaan manipulasi data akademik saat Pratikno menjabat sebagai Rektor UGM. Ia menyebutkan bahwa nilai akademik Jokowi kala itu berada di bawah standar kelulusan.

 

"Jadi pada waktu Pratikno jadi Rektor, kan dia mengatakan, dia yang menjadikan Jokowi alumni UGM," ucap Sofian.

 

Ia bahkan menyebut adanya dugaan perubahan nilai, penambahan dokumen skripsi, hingga rekayasa data akademik agar Jokowi bisa diakui sebagai lulusan.

 

“Doa aturlah semua, yang dulu nilainya itu di bawah dua IPK-nya, kemudian diubah-ubah nilai itu. Kemudian ditambah sehingga dia lulus program sarjana, dimasukkan nilainya, dan skripsinya dimasukkan,” ungkapnya.

 

Lebih jauh, Sofian mengaku telah menelusuri langsung arsip daftar wisuda tahun 1985. Hasilnya, nama Jokowi disebut tidak tercantum.

 

“Kalau saya cari, minta pegawai saya untuk melihat daftar wisuda (1985), masuk gak dia? Di situ dia gak masuk, jadi gak ada namanya di wisuda tahun 1985. Artinya dia gak pernah ikut wisuda,” tegasnya. (**)

 

Rektor UGM periode 2002-2007 Prof Sofian Effendi (tangkapan layar Youtube) 

 

JAKARTA — Sempat bikin geger, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) 2002-2007, Prof. Sofian Effendi tiba-tiba mencabut semua pernyataannya terkait gelar sarjana mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo atau Jokowi, yang ada dalam video di YouTube.

 

Diketahui, dalam video berjudul "Mantan Rektor UGM Buka-Bukaan! Prof Sofian Effendy Rektor 2002-2007! ljazah Jokowi & Kampus UGM!", pada 16 Juli 2025, Sofian Effendi menegaskan bahwa Jokowi tidak pernah lulus dari Fakultas Kehutanan karena IPK-nya kurang dari 2.

 

"Sehubungan dengan itu, saya menarik semua pernyataan saya di dalam video tersebut dan memohon agar wawancara dalam kanal YouTube tersebut ditarik dari peredaran," kata Sofian dalam keterangan tertulis yang dikutip Kamis 17 Juli 2025.

 

Dalam pernyataannya, Sofian menegaskan bahwa keterangan Rektor UGM Prof. Dr. Ova Emilia tertanggal 11 Oktober 2022 memang sesuai dengan bukti-bukti yang tersedia di Universitas.

 

"Saya mohon maaf setulus-tulusnya kepada semua pihak yang saya sebutkan pada wawancara tersebut," kata Sofian.

 

Lewat surat surat pernyataannya tersebut, Sofian berharap agar wacana tentang ijazah tersebut dapat diakhiri. Terima kasih.

 

Berikut pernyataan lengkapnya:

 

Pernyataan Sofian Effendi

 

Terkait dengan informasi yang tersebar dari live streaming di kanal YouTube Langkah Update dengan Judul “Mantan Rektor UGM Buka-Bukaan! Prof Sofian Effendy Rektor 2002-2007! ljazah Jokowi & Kampus UGM!” pada tanggal 16 Juli 2025 tentang ijazah atas nama Bapak Joko Widodo, saya menyatakan bahwa pernyataan Rektor UGM Prof. Dr. Ova Emilia tertanggal 11 Oktober 2022 memang sesuai dengan bukti-bukti yang tersedia di Universitas. Sehubungan dengan itu, saya menarik semua pernyataan saya di dalam

 

video tersebut dan memohon agar wawancara dalam kanal YouTube tersebut ditarik dari peredaran.

 

Saya mohon maaf setulus-tulusnya kepada semua pihak yang saya sebutkan pada wawancara tersebut.

 

Demikian pernyataan saya dan saya sangat berharap agar wacana tentang ijazah tersebut dapat diakhiri. Terima kasih.

 

Yogyakarta, 17 Juli 2025

 

Yang menyatakan,

 

Ttd

Prof. Dr. Sofian Effendi

Mantan Rektor UGM 2002-2007. (rmol)

 

Politikus PDIP, Ferdinand Hutahaean 


 

JAKARTA — Pakar forensik digital Rismon Sianipar mendesak Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bersikap profesional dalam menangani laporan tersebut.

 

Rismon mengatakan, dirinya dan tim telah membuat laporan resmi ke Polda DIY terkait dugaan penyebaran informasi bohong yang dilakukan mantan Presiden Jokowi pada Selasa (15/7/2025) kemarin.

 

"Itu untuk mengeskaminasi, mengeksekusi hak saya sebagai warga negara yang bisa melaporkan juga," ujar Rismon kepada fajar.co.id, Rabu (16/7/2025) malam.

 

Penyebaran berita atau informasi bohong yang dimaksud Rismon, mengenai mantan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) yang disebut sebagai dosen pembimbing skripsi dan akademiknya.

 

Bahkan dalam video yang ditayangkan langsung pada 2017 lalu itu, Jokowi mengklaim bahwa Kasmudjo merupakan sosok dosen yang galak kala itu.

 

"Pak Kasmudjo sudah membantah, tidak ada perannya sebagai dosen pembimbing skripsi maupun akademik," ucapnya.

 

Rismon berharap, Polda DIY bisa menjalankan fungsinya secara netral untuk memanggil pihak-pihak terkait. Termasuk Jokowi.

 

"Kami berharap Polda DIY bisa menegaskan bahwa akan menegakkan hukum kepada siapapun. Memanggil pak Kasmudjo, mengambil keterangannya, dan memanggil atau meminta keterangan dari pak Jokowi," kuncinya.

 

Sebelumnya diberitakan, Politikus PDIP, Ferdinand Hutahaean, mengatakan bahwa laporan yang dilayangkan tersebut telah memenuhi unsur.

 

"Soal laporan Rismon, kalau kita bicara tentang hukum yah, saya melihat bahwa laporan terkait penyebaran informasi bohong itu memenuhi unsur," ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Rabu (16/7/2025).

 

"Semua unsurnya terpenuhi, barang siapa dengan sengaja, di situ barang siapanya Jokowi, dengan sengaja menyampaikan itu," tambahnya.

 

Dikatakan Ferdinand, yang disampaikan Jokowi mengenai Kasmudjo pada 2017 lalu dibantah mentah-mentah oleh sang mantan Dosen.

 

"Ternyata kan yang disampaikan tentang pak Kasmudjo adalah pembimbing skripsinya kan dibantah pak Kasmudjo sekarang," Ferdinand menuturkan.

 

Berkaca pada keterangan Kasmudjo dalam video Rismon, Jokowi bisa dikatakan telah menyebarkan informasi yang tidak benar.

 

"Bahkan pada saat menyampaikan itu Jokowi masih menggunakan pin Garuda, simbol kepresidenan negara di dadanya, di jasnya," tukasnya.

 

"Dia menggunakan jabatannya waktu itu untuk menyebarluaskan berita bohong," sambung dia. 

 

Kata Ferdinand, secara hukum pidana unsur-unsurnya terpenuhi bahwa Jokowi memang dengan sengaja menyebarluaskan informasi yang tidak benar terkait dirinya.

 

"Saya prihatin sekali Presiden berani terbuka berbohong seperti itu. Soal laporan itu saya pikir kalau Kepolisian benar-benar bekerja profesional, maka Jokowi harus jadi tersangka," imbuhnya.

 

Persoalannya, kata Ferdinand, pihak Kepolisian berani atau tidak menjadikan Jokowi sebagai tersangka.

 

"Saya perhatikan Polisi dalam kondisi terjepit sekarang ini mengurusi soal Jokowi," terang Jokowi.

 

Ferdinand bilang, laporan Jokowi di Polda Metro Jaya dan Rismon di Polda DIY masing-masing memiliki potensi naik ke penyidikan dan menjadikan para terlapor tersangka.

 

"Saya sekali lagi mengatakan bahwa laporan Rismon itu memenuhi unsur untuk menetapkan Jokowi sebagai tersangka," kuncinya. (**)


Dino Patti Djalal 

 

JAKARTA — Tindakan hukum yang diambil oleh mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), terkait tuduhan pemalsuan ijazah telah memicu kontroversi. Banyak yang mendukung tindakan hukum Jokowi, yang melibatkan pelaporan mereka yang menuduh atau mempertanyakan keaslian ijazahnya.

 

Namun, banyak juga yang mengkritik upaya Jokowi untuk mengkriminalisasi mereka yang vokal mempertanyakan ijazahnya. Di antara mereka yang menyatakan keprihatinan adalah Dino Patti Djalal, Wakil Menteri Luar Negeri Indonesia era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

 

Melalui unggahan media sosial, Dino Patti tampak mengikuti perkembangan laporan Jokowi ke Polda Metro Jaya, yang kini telah memasuki tahap penyidikan. Artinya, Polda Metro Jaya akan segera menetapkan tersangka setelah memastikan adanya unsur pidana dalam kasus tersebut.

 

"Sy prihatin melihat upaya pak @jokowi pidanakan figur2 yg vokal re masalah “ijazah palsu”, apapun pasal KUHP yg digunakan," begitu ciutan Dino Patti Djalan di akun media sosialnya dilansir Selasa (15/7).

 

Dia menyebut, dalam negara demokrasi dan alam reformasi, hal-hal menyangkut ijazah, kesehatan, harta kekayaan, afiliasi politik dan bisnis, serta rekam jejak dari pemimpin negara sepenuhnya "fair game" untuk diketahui, dibahas, dan dikritik publik.

 

"Being criticized is the price of leadership — sebelum, sewaktu dan sesudah berkuasa. Accept it," tambah Dino Patti Djalal.

 

Dia menambahkan, mempidanakan Roy Suryo dkk akan dinilai sebagai upaya Jokowi untuk menakut-nakuti masyarakat madani. Bahkan, langkah itu bisa saja menjadi bumerang bagi Jokowi sendiri.

 

"Kriminalisasi ini juga memberikan kesan Jokowi sedang panik, dan akan semakin menyulut tandatanya masyarakat," sebutnya.

 

Mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat ini juga menambahkan, Jokowi seharusnya tetap tetap tenang, dan tempuh jalur hukum tanpa harus mempidanakan Roy Suryo dkk.

 

"Suharto setelah lengser pernah menuntut wartawan Jason Tejasukmana (dari Time Magazine yg menulis re harta kekayaan beliau), tapi tidak mempidana. Pak @jokowi, balas Roy Suryo cs dgn argumen, senyum, doa & bukti, bukan dgn bui," tandas Dino Patti Djalal.

 

Sebelumnya diberitakan, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengungkapkan, penyidik telah melakukan gelar perkara pada Kamis (10/7/2025) pukul 18.45 WIB.

 

Gelar perkara ini membahas enam laporan polisi (LP) terkait kasus tersebut. “Ada satu LP terkait dugaan pencemaran nama baik atau fitnah sebagaimana diatur dalam Pasal 310, 311 KUHP dan UU ITE. Laporan itu dibuat oleh saudara IR HJW,” ujar Kombes Ade Ary kepada wartawan, Jumat (11/7/2025).

 

Selain itu, ada lima laporan lain yang ditarik dari sejumlah Polres, yakni Polres Bekasi Kota, Depok, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat.

 

Laporan tersebut terkait dugaan tindak pidana menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana. “Lima LP itu, satu di antaranya di Polda Metro Jaya, sedangkan empat lainnya merupakan pelimpahan dari Polres,” jelasnya.

 

Ade Ary juga menyampaikan, dalam proses penyelidikan, penyidik telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk saksi berinisial dr. TT. “Saksi dr. TT telah hadir di Subdit Kamneg dan memberikan klarifikasi serta menjawab sejumlah pertanyaan penyidik,” ungkapnya.

 

Dari hasil gelar perkara, penyidik menyimpulkan bahwa terdapat dugaan peristiwa pidana dalam laporan dugaan pencemaran nama baik tersebut. “Berdasarkan hasil gelar perkara, laporan tersebut kami tingkatkan ke tahap penyidikan,” tegasnya.

 

Lebih lanjut, Kombes Ade Ary memastikan bahwa proses penyidikan akan berjalan profesional sesuai ketentuan hukum yang berlaku. (fajar)


Joko Widodo alias Jokowi 

 

JAKARTA — Kasus korupsi yang mencuat melibatkan pedagang minyak M Riza Chalid menjadi babak baru dalam kisruh dan kesewenang-wenangan mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo alias Jokowi pasca lengser dari jabatannya pada Oktober 2024.

 

Pengamat Citra Institute, Efriza menilai kasus dugaan korupsi pengelolaan hasil kilang minyak mentah periode 2018-2023 berpotensi mengungkap penyalahgunaan wewenang oleh Jokowi.

 

"Pengungkapan tindakan Jokowi yang dianggap penyalahgunaan kekuasaan selama memerintah, belum sekalipun dapat menunjukkan Jokowi berada di ujung tanduk," ujar Efriza kepada RMOL, Selasa 15 Juli 2025.

 

"Tetapi dianggap membuat Jokowi pasca tidak lagi menjabat sebagai presiden menghadapi kondisi tidur tidak nyenyak mungkin ini yang tepat," sambungnya.

 

Menurutnya, salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan Jokowi saat masih memerintah, yakni dari Riza Chalid yang buron usai ditetapkan tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.

 

"Tulisan Said Didu yang dinyatakan fakta dan ada bukti-buktinya, sebenarnya bisa menjadi dasar jika ingin membuka kembali (penyalahgunaan wewenang Jokowi)," kata Efriza.

 

Hanya saja, Efriza memandang tulisan Said Didu belum memiliki bukti kuat untuk diproses lebih lanjut oleh penegak hukum, di samping juga ada kasus-kasus lainnya yang menyangkut Jokowi seperti dugaan ijazahnya yang palsu.

 

"Ini baru sekadar awal babak baru saja dari serangan terhadap Jokowi. Semestinya Said Didu membawa bukti-buktinya ke lembaga hukum seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kejaksaan, atau Kepolisian," kata Efriza.

 

"Sehingga pernyataan maupun tulisannya tersebut tidak bernilai opini atau tuduhan, maupun sinisme semata, tetapi melainkan sudah dalam posisi hukum," demikian Efriza. (***)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.