Latest Post

Mantan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) saat dikediamannya/Ist

 

JAKARTA — Mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) akan menjalani pemeriksaan oleh penyidik Polda Metro Jaya di Mapolresta Solo, Rabu (23/7/2025).

 

Penyelidikan dilakukan atas nama Jokowi sebagai informan dalam kasus dugaan pencemaran nama baik terkait dugaan pemalsuan ijazah. Hal ini dibenarkan oleh kuasa hukum Jokowi, Rivai Kusumanegara, saat dihubungi pada Selasa (22 Juli 2025).

 

"Kami tadi siang menemui Pak Jokowi di kediaman untuk menanyakan kesediaannya jika diperiksa di Polres Solo, karena kebetulan, penyidik Polda Metro Jaya sedang memeriksa banyak saksi yang berdomisili di wilayah Solo dan Yogyakarta,” kata Rivai.

 

Ia menuturkan, dalam pemeriksaan tersebut, Jokowi akan membawa sejumlah dokumen pendukung, termasuk ijazah asli.

 

"Pak Jokowi bersedia dan tadi kami menemui penyidik yang sedang berada di Polres Solo untuk menanyakan kemungkinannya jika diperiksa bersamaan saksi-saksi lainnya," ucap dia.

 

"Penyidik memperkenankan dan untuk itu Pak Jokowi diminta besok pukul 10.00 WIB hadir di Polres Solo dengan membawa dokumen terkait, termasuk ijazahnya,” lanjutnya.

 

Sempat diprotes Roy Suryo

 

Kembali menjadi sorotan karena mangkir dari panggilan Polda Metro Jaya untuk diperiksa sebagai saksi pelapor pada laporan yang diajukan sebelumnya

 

Ketidakhadiran Jokowi tersebut mendapatkan kritik dari banyak pihak, termasuk Roy Suryo selaku terlapor

 

Roy Suryo mempertanyakan Jokowi yang tidak hadir memenuhi panggilan polisi namun justru hadir dan berpidato di acara Kongres PSI di Solo, Jawa Tengah

 

Menanggapi kritik tersebut, Rivai Kusumanegara, buka suara soal ketidakhadiran kliennya dalam pemeriksaan kasus tudingan ijazah palsu di Polda Metro Jaya.

 

Rivai mengatakan, Jokowi saat ini masih dalam masa pemulihan dan disarankan tidak melakukan perjalanan ke luar kota.

 

Pernyataan ini disampaikan Rivai dalam program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Selasa (22/7/2025), menyusul kritik dari Roy Suryo dan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) atas ketidakhadiran Jokowi dalam agenda pemeriksaan pada Kamis, 17 Juli 2025 lalu.


"Beliau masih dalam recovery. Sudah sembuh, cuma masih disarankan dokter untuk tidak keluar kota dulu," ujar Rivai.

 

Ketidakhadiran Jokowi di pemeriksaan menjadi sorotan karena ia terlihat menghadiri Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo pada 19 Juli 2025, hanya dua hari setelah agenda pemeriksaan.

 

Roy Suryo pun mempersoalkan hal tersebut.

 

Menurutnya, alasan sakit menjadi tidak relevan jika Jokowi masih bisa berkegiatan di luar rumah.

 

"Katanya sakit, tapi hadir di kongres partai. Bahkan katanya minta penyidik datang ke Solo. Ini luar biasa," ujar Roy kepada wartawan, Senin (21/7/2025).

 

Ia menekankan prinsip kesetaraan di mata hukum atau equality before the law, yang semestinya berlaku bagi semua warga negara, termasuk Jokowi yang sudah bukan pejabat negara.

 

"Kalau memang warga biasa, ya hadir ke Polda Metro Jaya seperti yang lain. Jangan seolah-olah ada perlakuan khusus," tegas Roy.

 

Minta Ditunda

 

Rivai Kusumanegara membenarkan adanya pemanggilan terhadap kliennya oleh Polda Metro Jaya terkait dengan laporan Jokowi soal pencemaran nama baik atas dugaan ijazah palsu.

 

Kendati demikian, Jokowi meminta penundaan pemeriksaan lantaran alasan kesehatan.

 

Pemeriksaan Jokowi dalam kapasitas sebagai pelapor seharusnya dilakukan, Kamis (17/7/2025) oleh Subdirektorat Keamanan Negara (Subdit Kamneg) Ditreskrimum Polda Metro Jaya di tahap penyidikan.

 

"Benar, minggu lalu kami sudah menerima surat panggilan dari Polda Metro Jaya, tetapi karena kondisi kesehatan Pak Jokowi yang tidak memungkinkan untuk keluar kota—karena masih dalam masa observasi dokter—kami memohon penundaan pemeriksaan," ujar Rivai saat dikonfirmasi, Selasa (22/7/2025).

 

Menurut Rivai, permohonan penundaan telah diajukan sejak pekan lalu. Pihaknya juga memberikan dua opsi kepada penyidik.

 

"Opsi pertama, menunggu persetujuan dokter. Opsi kedua, pemeriksaan dilakukan di kediaman sesuai dengan ketentuan Pasal 113 KUHAP," jelasnya.

 

Meski demikian, hingga kini tim kuasa hukum masih belum menerima tanggapan dari penyidik terkait permohonan tersebut.

 

"Sampai saat ini kami masih menunggu jawaban atas permohonan tersebut. Mudah-mudahan dalam minggu ini sudah mendapat jawaban," tambah Rivai.

 

Diberitakan sebelumnya, Polda Metro Jaya menaikkan status kasus tudingan ijazah palsu milik Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) ke tahap penyidikan.

 

Naiknya status kasus itu berdasarkan laporan yang dilayangkan Jokowi terkait dugaan fitnah atau pencemaran nama baik.

 

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan, polisi menemukan adanya unsur pidana dalam laporan tersebut.

 

Hal tersebut berdasarkan gelar perkara yang dilakukan penyelidik Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya Kamis (10/7/2025).

 

"Berdasarkan hasil gelar perkara tadi malam, maka terhadap laporan polisi yang pertama, pelapornya adalah saudara Ir HJW, dalam proses penyelidikan yang sudah dilakukan dalam gelar perkara disimpulkan ditemukan hasil penyelidikan sudah ditemukan dugaan peristiwa pidana sehingga perkaranya ditingkatkan ke tahap penyidikan," ujar Ade Ary, kepada wartawan, di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (11/7/2025).

 

Selain laporan Jokowi, ia mengatakan bahwa gelar perkara juga dilakukan terhadap lima laporan lainnya terkait dugaan penghasutan. 

 

"Perkara kedua dasar 5 LP, satu dari Polda, yang empat lagi penarikan dari beberapa Polres ada Polres Bekasi Kota, Depok, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat," tutur dia.

 

"Lima LP ini total tentang dugaan tindak pidana menghasut orang lain untuk melakukan perbuatan pidana atau mendistribusikan mentransmisikan informasi elektronik yang sifatnya menghasut mengajak atau mempengaruhi orang lain yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan atau menyebarkan informasi elektronik yang bermuatan bohong sebagaimana diatur di Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 28 ayat 2 UU ITE," sambungnya.

 

Dari lima laporan tersebut, tiga di antaranya naik penyidikan, sedangkan dua akan segera diberi kepastian hukum.

 

Hal tersebut lantaran pihak pelapor tidak hadir memenuhi panggilan pemeriksaan.

 

"Kemudian ada dua laporan polisi yang lain segera diberikan kepastian hukum mengingat pelapornya mencabut laporan dan tidak hadir dalam undangan klarifikasi," tuturnya.

 

"Yang dicabut laporan yang berasal dari 1 yakni Polda Metro Jaya, yang satu dari Depok. Jadi saat ini yang tahap penyidikan adalah 4 laporan polisi" ujar eks Kapolres Metro Jakarta Selatan itu.

 

Kubu Roy Suryo MInta Prabowo Turun Tangan


Kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) yang berlarut-larut disesalkan pihak Roy Suryo.

 

Pasalnya pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto dianggap tidak berusaha menyelesaikan dugaan ijazah palsu Jokowi tersebut.

 

Hingga sekarang kasus ijazah palsu Jokowi ini tak kunjung selesai dan masih berlarut-larut sampai dengan sekarang.

 

Kuasa Hukum Roy Suryo Cs, Ahmad Khozinudin, mempertanyakan sikap pemerintah tersebut yang dianggap membiarkan terjadinya kegaduhan.

 

"Apakah kekuasaan tidak mengambil peran dalam melerai ya kegaduhan antara anak bangsa ini, sehingga membiarkan perseturuan masalah ijazah palsu ini tidak berujung dan akhirnya anak bangsa sampai mencari penyelesaian ke luar negeri," katanya, Senin (21/7/2025), dikutip dari YouTube Kompas TV.

 

Seharusnya Prabowo turun tangan menangani kasus ini agar cepat selesai. Prabowo bisa menyuruh Jokowi menunjukkan ijazah aslinya apabila memang ada.

 

"Kalau saya menjadi penguasa di pemerintahan atau presiden tentu tersinggung, karena harusnya presiden bisa turun tangan dan menyudahi polemik ini dengan memerintahkan kepada Saudara Joko Widodo untuk menunjukkan ijazah aslinya," ucapnya.

 

Menunjukkan ijazah asli itu, kata Ahmad, sebagai bentuk sikap negarawan agar persoalan ijazah palsu ini segera rampung.

 

"Terlepas kubu Jokowi menyatakan tidak ada kewajiban hukum, tidak juga ada pelanggaran hukum kalau mantan Presiden menunjukkan ijazah sebagai bentuk sikap negarawan, sikap kesatria, dan sikap subjektif dengan niatan ingin mengakhiri segera polemik masalah ijazah ini, Kalau memang beliau berkeyakinan ijazahnya itu adalah asli," kata Ahmad.

 

Dengan tidak ditunjukkannya ijazah asli Jokowi itu, menurut Ahmad, justru semakin menimbulkan keraguan publik tentang keaslian ijazah eks Presiden RI tersebut.

 

"Namun, begitu kami nilai ya masalah ini terus berlarut-larut, tidak ingin menunjukkan tanpa putusan pengadilan, justru itu menambah keraguan publik tentang keabsahan ijazah itu."

 

"Sederhananya, masyarakat akan berlogika ya kalau asli kenapa sulit untuk bisa ditunjukkan ke publik," tutur Ahmad.

 

Adapun Bareskrim Polri telah menyerahkan kasus ke Polda Metro Jaya setelah menyatakan ijazah Jokowi asli berdasarkan uji forensik.

 

Kasus tersebut kemudian ditangani oleh Polda Metro Jaya dan kini telah naik tahap penyidikan karena ditemukan unsur pidana dalam perkara yang dilaporkan oleh Jokowi itu.

 

Polda Metro Jaya Diminta Sita Ijazah Jokowi

 

Ahmad sebelumnya juga mengatakan jika memang status kasus ijazah palsu ini naik penyidikan, seharusnya ijazah Jokowi juga disita oleh Polda Metro Jaya yang kini menangani perkara tersebut.

 

Sebelumnya, ijazah Jokowi telah dikembalikan oleh Bareskrim Polri setelah dinyatakan asli berdasarkan uji forensik.

 

Baca juga: Berpotensi Jadi Tersangka karena Unggah Ijazah Jokowi, Dian Sandi: Niat Saya Baik Bela Pak Jokowi

 

Harusnya, kalau memang mau dinaikkan (penyidikan), ya ijazah Saudara Joko Widodo yang katanya asli tadi disita Polda Metro Jaya, dilakukan tes laboratorium forensik, lalu hasilnya itu baru dijadikan dasar untuk menaikkan tahap ke penyidikan," ungkapnya, Senin (14/7/2025), dikutip dari YouTube Kompas TV.

 

Menurut Ahmad, uji forensik terhadap ijazah Jokowi yang sebelumnya telah dilakukan oleh Bareskrim itu hanya digunakan untuk menghentikan penyelidikan saja.

 

"Benar sudah ada uji laboratorium forensik, tapi itu di Bareskrim dan itu hanya dumas, kepentingan uji itu untuk dumas dan sudah digunakan untuk menghentikan dumas, penyelidikan," katanya.

 

Ahmad pun menegaskan lagi ijazah Jokowi harus disita oleh penyidik.

 

"Harus disita (ijazah Jokowi) oleh penyidiknya berdasarkan LP-nya, LP Saudara Joko Widodoitu," tuturnya. (wartakota)


Mantan Presiden ke-7 RI Jokowi saat mengisi sesi pesan kebangsaan dalam Kongres PSI yang pertama di Gedung Graha Saba Buana, Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu, 19 Juli 2025


JAKARTA — Mantan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah meminta penundaan pemeriksaan terkait laporan dugaan pencemaran nama baik terkait kasus dugaan ijazah palsu. Penundaan tersebut diajukan karena alasan kesehatan.

 

Kuasa hukum Jokowi, Rivai Kusumanegara, menyatakan pemeriksaan seharusnya dilakukan pada Kamis (17 Juli 2025). Namun, kondisi kesehatan Jokowi belum memungkinkannya bepergian ke luar kota karena masih dalam observasi medis.

 

“Minggu lalu kami sudah menerima surat panggilan, tetapi karena kondisi kesehatan Jokowi yang tidak memungkinkan untuk keluar kota, maka kami ajukan penundaan,” ujar Rivai saat dikonfirmasi, Selasa (22/7/2025).

 

Ia menjelaskan, pada hari yang sama, pihaknya langsung mengirimkan permohonan penundaan pemeriksaan kepada penyidik, dengan dua opsi yang diajukan.

 

Opsi pertama adalah menunggu persetujuan dokter untuk keberangkatan Jokowi, dan opsi kedua adalah pemeriksaan dilakukan di kediaman Jokowi, merujuk pada Pasal 113 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

 

“Sampai saat ini kami masih menunggu jawaban atas permohonan tersebut. Mudah-mudahan dalam minggu ini sudah mendapat kejelasan,” kata Rivai.

 

Sebelumnya, Polda Metro Jaya telah meningkatkan status penanganan laporan terkait tuduhan ijazah palsu Jokowi ke tahap penyidikan. Penyelidik dikabarkan segera menetapkan tersangka.

 

“Penyelidik telah melakukan gelar perkara terhadap enam laporan polisi yang sedang ditangani Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam, di kantornya, Jakarta, Jumat (11/7/2025). (beritasatu)


Thomas Lembong (tengah) mengikuti sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (6/3/2025) 

 

JAKARTA — Mantan Menteri Perdagangan (Mendag), Thomas Trikasih Lembong, memastikan akan mengajukan banding setelah dinyatakan bersalah dalam kasus dugaan korupsi impor gula.

 

Sebelumnya, Tom Lembong divonis 4 tahun 6 bulan penjara atas dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan pada 2015–2016. Ia dinyatakan bersalah melakukan korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 194,72 miliar.

 

Majelis hakim menyatakan Tom Lembong menerbitkan surat permohonan atau persetujuan impor gula kristal mentah kepada 10 perusahaan tanpa rapat koordinasi antarkementerian dan tanpa rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

 

Selain pidana penjara, Tom Lembong dijatuhi denda sebesar Rp750 juta. Jika tidak dibayar, denda tersebut diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

 

Perbuatan Tom Lembong dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

 

Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 7 tahun penjara. Namun, pidana denda yang dijatuhkan tetap sama dengan tuntutan, yakni Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan.

 

Atas hukuman tersebut, penasihat hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, menyatakan bahwa kliennya tidak ingin namanya tercatat sebagai koruptor di Indonesia.

 

Karena itu, tim hukum mengajukan banding atas vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

 

Zaid Mushafi mengungkap, dalam petitum memori banding, tim hukum meminta Tom Lembong dibebaskan dari putusan pengadilan tingkat pertama.

 

"Sebagaimana sudah disampaikan oleh Pak Ari Yusuf Amir kemarin, satu hari saja Pak Tom itu ditahan, dia akan mengajukan banding," kata Zaid saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (22/7).

 

Ia meyakini Pengadilan Tinggi DKI Jakarta akan memberikan putusan yang adil atas upaya hukum tersebut, yaitu membebaskan Tom Lembong dari segala tuduhan.

 

Menurutnya, tidak ada tindak pidana yang dilakukan oleh mantan Menteri Perdagangan itu, khususnya dalam hal niat atau tindakan memperkaya diri sendiri maupun orang lain.

 

"Di dalam memori banding tentu semua pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar oleh majelis hakim sebagai perbuatan melawan hukum, salah satunya tidak melaksanakan rapat atau tidak mendapatkan persetujuan dari Kementerian Perindustrian, itu akan kami bahas," ujarnya. (fajar)


Jokowi-Ijazah 


JAKARTA — Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie menyarankan agar kontroversi kasus ijazah mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo alias Jokowi, segera diselesaikan melalui mediasi penal oleh Kejaksaan Agung setelah proses di Badan Reserse Kriminal Polri selesai.

 

Menurut Jimly, pendekatan ini dapat menjadi bentuk keadilan restoratif, di mana Kejaksaan Agung dapat berperan sebagai mediator untuk menyelesaikan kasus tanpa harus melalui proses persidangan yang panjang dan melelahkan.

 

“Ini saatnya Kejaksaan kreatif berinovasi untuk implementasi restorative justice yang sudah diatur bersama Polri," saran Jimly lewat akun X miliknya, Selasa, 22 Juli 2025.

 

Ia menilai penyelesaian secara mediasi penal akan lebih produktif dan menghindari eskalasi polemik yang tidak perlu di ruang publik, sekaligus menjaga stabilitas sosial dan politik di tengah masa transisi pemerintahan.

 

"Ini agar soal ijazah tidak berlarut-larut," pungkasnya.

 

Isu mengenai keabsahan ijazah Jokowi kembali mencuat setelah beredar tudingan bahwa dokumen tersebut merupakan hasil cetak ulang yang dilakukan di kawasan Pasar Pramuka, Jakarta.

 

Meski belum ada bukti kuat yang mendukung klaim tersebut, isu ini telah menimbulkan perdebatan dan spekulasi luas di ruang publik.

 

Jimly menekankan pentingnya penanganan yang proporsional dan tidak berlarut, agar persoalan ini tidak terus menjadi polemik yang mengganggu stabilitas sosial dan politik nasional. (rmol)


Yusuf Blegur dan Eggi Sudjana/Ist 


JAKARTA — Terminal keberangkatan internasional tampak seperti biasa—kerumunan penumpang, gema pengumuman boarding, dan gerakan ritmis staf bandara.

 

Namun, ada satu pemandangan yang menarik perhatian beberapa penumpang dan awak media yang bertugas: seorang pria lanjut usia di kursi roda, mengenakan jaket hitam dan topi berpuncak, sedang didorong pelan oleh seorang pria yang teguh pendirian.

 

Dua nama yang pernah terukir dalam sejarah aktivisme Indonesia kini bersatu dalam satu tujuan: mengangkat isu ijazah mantan presiden ke kancah internasional. Mereka adalah Eggi Sudjana dan Yusuf Blegur.

 

Bagi mereka yang akrab dengan organisasi mahasiswa Indonesia, hubungan antara Eggi Sudjana dan Yusuf Blegur mungkin terasa asing.

 

Eggi adalah mantan ketua HMI MPO, sebuah organisasi mahasiswa Islam dengan sejarah panjang dalam politik Indonesia.

 

Sementara itu, Yusuf Blegur adalah mantan aktivis GMNI, sebuah organisasi mahasiswa nasionalis yang berakar pada pemikiran Sukarno.

 

Dalam sejarah gerakan mahasiswa, HMI dan GMNI dikenal sebagai dua kutub ideologi yang kerap berbenturan, baik di kampus maupun dalam perpolitikan nasional.

 

Namun, sejarah tak selalu berjalan mulus. Terkadang, jalannya berliku-liku, mempertemukan dua tokoh yang dulunya berseberangan, kini berada di kubu yang sama dalam perjuangan.

 

“Hubungan kami tidak dibentuk oleh ideologi. Kami dipertemukan oleh kesadaran moral bahwa ada yang harus diperjuangkan bersama,” ujar Yusuf Blegur kepada Suara Nasional.

 

Eggi tidak lagi sekuat dulu. Tubuhnya sudah tidak setangguh ketika memimpin aksi-aksi mahasiswa pada era 1990-an. Namun semangatnya tetap menyala. Duduk di kursi roda, Eggi tampak penuh keyakinan.

 

Dia tak membawa banyak barang. Hanya satu koper kecil dan sebuah map coklat berisi dokumen-dokumen. Di dalam map itu, tersimpan laporan yang akan ia sampaikan langsung ke kantor pusat Amnesty International di London—sebuah laporan yang ditujukan untuk mengadukan dugaan pemalsuan ijazah oleh Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo.

 

“Ini bukan sekadar soal ijazah. Ini soal integritas kepemimpinan. Ini soal masa depan demokrasi Indonesia,” ujar Eggi singkat namun tajam.

 

Bagi Yusuf Blegur, mendampingi Eggi bukan sekadar solidaritas. Ini adalah bagian dari tanggung jawab sejarah. Sebagai mantan aktivis yang pernah terlibat dalam gerakan reformasi dan pembela HAM, Yusuf merasa bahwa perjuangan tidak pernah selesai. Bahkan ketika usia dan situasi tidak lagi memihak.

 

“Saya sadar langkah ini kontroversial. Tapi lebih gila lagi kalau kita diam melihat negara seperti kehilangan akal sehatnya. Kita dipaksa mengakui kebenaran tanpa boleh bertanya. Bang Eggi berani melawan itu. Dan saya berdiri bersamanya,” ujarnya.

 

Yusuf menceritakan bahwa pertemanannya dengan Eggi sudah berjalan lebih dari satu dekade. Keduanya kerap bertemu dalam forum-forum diskusi, debat publik, bahkan menjadi sesama narasumber dalam berbagai acara televisi. Ketegangan kadang muncul karena latar ideologi yang berbeda, namun selalu selesai dalam gelak tawa dan penghargaan satu sama lain.

 

“Kami belajar dari sejarah. Bung Karno dan M. Natsir bisa duduk bareng. Masa kami tidak?” 

 

Langkah Eggi dan Yusuf ini bukan tanpa risiko. Mereka tahu, menyoal ijazah presiden bukanlah perkara ringan. Banyak pihak menganggap ini sebagai langkah sia-sia, bahkan disebut sebagai aksi politik oportunistik. Tapi bagi mereka, diam justru jauh lebih memalukan.

 

“Ada ketakutan besar di negeri ini. Ketakutan untuk bertanya. Untuk menuntut transparansi. Saya ingin memecah ketakutan itu,” kata Eggi.

 

Amnesty International mungkin tidak serta-merta menyelesaikan perkara hukum di Indonesia. Namun membawa isu ini ke ranah internasional adalah bentuk perlawanan terhadap apatisme dan pembungkaman. Setidaknya, dunia tahu bahwa masih ada suara yang bersuara, di tengah kebisingan propaganda dan pencitraan.

 

Beberapa menit sebelum keberangkatan, Eggi meminta Yusuf untuk mendoakannya. “Kalau saya tidak pulang, tolong teruskan perjuangan ini,” ujarnya sambil menggenggam tangan sahabatnya. Yusuf hanya mengangguk, matanya memerah menahan haru.

 

Pesawat menuju London lepas landas. Di balik kaca jendela bandara, Yusuf Blegur menatap langit yang perlahan cerah. Ia tahu, ini bukan akhir. Justru baru awal dari babak baru—perlawanan yang dibawa sampai ke luar batas republik.

 

Ketika dua tokoh dari dua organisasi yang dulu tak pernah akur kini bersatu, mungkin itu pertanda bahwa negeri ini sedang mengalami guncangan nilai. Ketika pertanyaan tentang keabsahan sebuah ijazah harus dibawa ke benua lain, itu juga pertanda bahwa kepercayaan publik pada sistem keadilan sedang digugat.

 

Dan ketika dua pria tua, dengan tubuh yang tidak lagi muda, masih mau berkorban untuk membongkar kebenaran, kita yang muda justru patut bertanya: sudah sejauh mana kita peduli pada negeri ini? (suaranasional)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.