Latest Post

Peringkat negara paling tidak jujur dalam dunia akademik/Ist 

 

JAKARTA — Pengamat akademis dan politik Rocky Gerung, menanggapi serius laporan internasional yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling tidak jujur ​​kedua di dunia akademis, hanya satu peringkat di bawah Kazakhstan.

 

Hasil ini diungkapkan oleh peneliti dari Republik Ceko, Vit Machacek dan Martin Srholec. Keduanya mempelajari artikel akademis yang diterbitkan di berbagai jurnal sepanjang tahun 2015 hingga 2017.

 

Sosok yang akrab disapa RG itu mengatakan, temuan itu merupakan tamparan moral dan integritas bagi dunia pendidikan dan kaum intelektual di Indonesia.

 

"Dunia memeringkatkan kita dalam kondisi yang betul-betul memalukan bahwa ketidakjujuran intelektual nomor dua unggulnya," ujar Rocky lewat kanal YouTube miliknya, Selasa 1 Juli 2025.

 

Ini artinya, berbohong dalam riset, memalsukan ijazah, menyogok untuk lulus skripsi, bahkan membayar agar bisa masuk jurnal internasional, menjadi praktik yang terbaca luas oleh dunia.

 

Menurutnya, indeks semacam ini harus dilihat sebagai peringatan keras bahwa Indonesia perlu mengembalikan fungsi dasar dari riset dan kejujuran ilmiah.

 

Rocky juga menyinggung bahwa Indonesia sejak awal dibangun atas dasar pertukaran pikiran dan tradisi intelektual yang kuat. Namun, menurutnya, saat ini terjadi kemunduran yang ditandai dengan alergi terhadap pemikiran kritis.

 

“Setiap orang yang berpikir kritis dianggap memusuhi pemerintah, yang berpikir radikal dicap menjual bangsa, yang ingin debat argumen malah dituduh memecah belah negara,” ujarnya.

 

Eks dosen ilmu filsafat Universitas Indonesia itu menilai hilangnya kejujuran dalam dunia akademik mencerminkan kerusakan yang lebih luas dalam budaya berpikir dan integritas publik.

 

“Jadi sekali lagi ini tamparan moral sekaligus tamparan integritas karena kejujuran di wilayah intelektual adalah kemestian,” pungkas Rocky Gerung. (rmol)


Mahasiswa di Makassar menggelar aksi unjuk rasa. (Foto: Muhsin/Fajar) 
 

JAKARTA — Mantan relawan Ganjar Pranowo, Palti Hutabarat mengatakan, seruan mahasiswa agar Presiden Prabowo Subianto mencopot Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memang layak.

 

Palti mengatakan, melihat Listyo sudah empat tahun menjabat sebagai orang nomor satu di Mabes Polri, pergantian menjadi hal yang sudah menjadi keharusan.

 

"Pergantian Kapolri itu sebenarnya keniscayaan. Tidak mungkin Kapolri dijabat satu orang seumur hidup atau lebih dari 5 tahun," ujar Palti kepada fajar.co.id, Selasa (1/7/2025).

 

Menurut Palti, regenerasi kepemimpinan perlu untuk membuat Polri lebih relevan dengan zamannya.

 

"Tidak terjebak pada satu sosok kepemimpinan di Kapolri," sebutnya.

 

Mengenai Kapolri yang sering disebut bagian dari geng Solo, Palti justru memandang pada sisi yang lain.

 

"Pergantian Bukan terkait kasus atau geng-geng apapun, tapi memang Polri harus melalui yang namanya Regenerasi Kepemimpinan sebagai Kapolri," Palti menuturkan.

 

Terlebih, saat ini Polri dinilai tidak transparan dalam proses penanganan kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi.

 

"Apapun Alasannya, menurut saya regenerasi Kapolri sangat penting dilakukan," tegasnya.

 

Palti bilang, demi mengembalikan citra Polri, penyegaran serta terobosan baru bisa menjadi salah satu solusi nyata.

 

"Ini untuk penyegaran dan adanya terobosan-terobosan baru Polri untuk meningkatkan kinerja dan citranya di mata publik," kuncinya.

 

Sebelumnya diberitakan, di tengah eforia perayaan Hari Ulang Tahun Bhayangkara ke-79, sejumlah mahasiswa di kota Makassar justru melakukan aksi unjuk rasa.

 

Pantauan fajar.co.id, aksi unjuk rasa tersebut berlangsung di Jalan AP Pettarani, Kecamatan Rappocini, kota Makassar (depan gedung kantor DPRD kota Makassar), Selasa (1/7/2025).

 

Tidak tanggung-tanggung, materi unjuk rasa mahasiswa yang mengklaim dirinya dari Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) itu meminta agar Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dievaluasi.

 

Akibat aksi unjuk rasa tersebut, arus lalulintas Jalan AP Pettarani menuju Jalan Sultan Alauddin terpantau mengalami kemacetan meskipun dikawal personel Polsek Rappocini.

 

Selain memblokade jalan, sejumlah mahasiswa tersebut juga membentangkan spanduk panjang bertuliskan tuntutan mereka.

 

"79 Tahun Bhayangkara, Mendesak Presiden Prabowo Copot Kapolri," tertulis pada spanduk yang mereka bentangkan.

 

Bukan tanpa alasan, sosok Listyo diyakini para mahasiswa masih merupakan kaki tangan mantan Presiden Jokowi.

 

Suasana sempat berubah menjadi panas, ketika mahasiswa mencoba menghentikan sebuah mobil tronton untuk dijadikan panggung orasi.

 

Dengan sigap, aparat Kepolisian yang berjaga di lokasi langsung melakukan upaya pencegahan. Adu mulut pun tidak terhindarkan.

 

La Ode Ikram Pratama, Panglima GAM Makassar, mengatakan bahwa aksi yang mereka gelar tersebut merupakan bentuk kekecewaannya terhadap kinerja Kapolri.

 

"Kepemimpinan Jenderal Listyo Sigit Prabowo masih bersifat prematur, sehingga masih banyak kegagalan institusional dalam tubuh kepolisian," kata Ikram.

 

Bukan hanya itu, Ikram juga mengungkap bahwa selama kepemimpinan Listyo, kepercayaan masyarakat terhadap Polri semakin merosot.

 

Sebagai contoh, sejumlah kasus besar ia anggap menurunkan citra Polri, seperti kasus suap Joko Tjandra yang melibatkan petinggi Bareskrim Polri, Ferdy Sambo, hingga kasus narkotika yang melibatkan perwira tinggi Polri.

 

"Apa capaian yang telah dilakukan Kapolri pada saat menjabat?," cetusnya.

 

"Pada dasarnya masyarakat membutuhkan kepolisian yang berintegritas dan bertanggung jawab dalam menjalankan tugas demi membangun kepolisian profesional," kuncinya. ***

 

Nenek Nasikah kembali dirawat kedua anaknya setelah viral diserahkan ke Griya Lansia Malang. Foto: Kanit Binpolmas Satbinmas Polres Lamongan 

 

SURABAYA Media sosial dihebohkan dengan sikap dua orang anak yang menitipkan ibu kandungnya bernama Nasikah, 74 tahun asal Surabaya, ke Panti Jompo Griya Lansia Husnul Khatimah, Malang.

 

Mirisnya, dalam video yang beredar, kedua anak tersebut menandatangani surat pernyataan di panti jompo bahwa ibu kandung mereka diserahkan sepenuhnya, bahkan jika meninggal dunia, pihak keluarga tidak akan diberi tahu.

 

Menanggapi hal tersebut, anak kedua Nasikah, Fitria, membantah narasi dalam video tersebut. Ia dan adiknya, Sri Rahayu, hanya berniat menitipkan ibunya ke Griya Lansia.

 

Kemudian, dia dan saudara-saudaranya akan mengunjungi ibu mereka sebulan sekali sambil meninggalkan perbekalan.

 

"Saya cuma menitipkan. Nanti kan setiap bulannya saya ke sana bisa apa kasih uang buat itu, bisa jenguk. Sakit pun kan bisa dikabari sama pihaknya. Cuma di caption-nya itu loh di tulisannya membuang. Enggak boleh menjenguk, terus kalau mati pun enggak dikabari. Ternyata itu itu enggak benar," kata Fitria saat dihubungi, Senin (30/6).

 

Fitri mengungkapkan alasan dirinya menitipkan ibunya karena tidak ada tempat tinggal.

 

Sebab, saat ini baik dirinya dan kakanya tinggal bersama mertuanya sehingga dipustukan untuk menitipkan ke Griya Lansia.

 

"Saya pribadi kan enggak punya keluarga. Dari pihak ibu kan juga enggak punya rumah gitu loh. Saya sudah berkeluarga tapi numpang rumah mertua, sedangkan kakak saya juga menikah juga menumpang sama rumah mertua," ucapnya.

 

Saat ini, kata Fitria, keluarganya sepakat untuk merawat Nasikah bersama dan menyewakan kos untuk ibunya itu.

 

"Saya kos kan lagi di Babatan (Surabaya). Nanti seluruh biaya kebutuhan Ibu itu ditanggung sama semua keluarga besar di sini. Kan, keluarga besarnya saya di sini semua. (Dijaga) saudara saya," ujarnya. (jpnn)


Fariz RM (tengah)/Ist 

 

OLEH: YUDI SYAMHUDI SUYUTI


SEBAGAI aktivis kemanusiaan, saya jadi tertarik mengamati sekaligus menganalisis dan mengomentari kasus penggunaan narkoba di Indonesia. Dan ini membuat saya tertarik untuk menguji secara sederhana melalui kasus Fariz RM yang telah ditangkap dan diadili selama 4 kali di pengadilan.

 

Meskipun, sangat banyak kasus menyangkut korban, penyalahgunaan hingga kecanduan narkoba di Indonesia. 

 

Kasus didakwa dan diadilinya Fariz RM sebagai pecandu yang telah 4 kali diadili, sebenarnya sangat sederhana. Di mana dalam Negara Indonesia yang didasari sila ke-2 Pancasila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, (Hak Asasi Manusia termasuk di dalamnya), maka aturan perundangan yang seharusnya digunakan adalah UU tentang Narkotika.

 

Tentu dengan adanya UU tentang Narkotika sejak tahun 1976 hingga tahun 2009 sebagai aturan yang terakhir, lengkapnya UU 35/2009 tentang Narkotika, maka kasus tentang pengguna penyalahgunaan narkotika hingga pecandu, bukan merupakan tindakan pidana. 

 

Sehingga penerapan penindakan hukum pidana bagi para pengguna penyalahgunaan narkotika hingga pecandu sangat tidak layak dihukum pidana. Berbeda dengan pengedar gelap narkoba yang patut dikenakan hukum pidana dengan ancaman hukuman badan dan perampasan aset.

 

Hal ini juga dinyatakan oleh mantan Kepala BNN, Komjen (Pol), Dr. Anang Iskandar yang juga mantan Kabareskrim Polri, menyatakan bahwa penggunaan proses hukum pidana atas Fariz RM atau para pengguna dan pecandu narkoba sangatlah tidak tepat dan cenderung salah tindakan.

 

Meskipun KUHP mengatur tentang masalah penyalahgunaan narkotika.

 

Menurut kami sendiri, setiap kasus hukum, tentu tidak serta merta harus diatasi melalui penindakan hukum pidana meskipun ada aturan hukum di KUHP. Karena kasus tersebut tentu mesti dipastikan, apakah kasus tersebut merupakan benar-benar suatu kejahatan atau tidak.

 

Dan tentu perlu ada pembanding dalam aturan hukumnya. Karena keadilan adalah bagian atau unsur kemanusiaan dalam kehidupan ini, termasuk kehidupan bernegara.

 

Jika melihat pembanding yang ada di luar KUHP dan pelaksananya yang dijalankan Badan-Badan Peradilan Criminal Justice System, Undang-Undang tentang Narkotika di Indonesia yang merupakan ratifikasi dari hukum internasional, yaitu Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988 dengan perangkat pelaksananya dan fasilitas-fasilitasnya.

 

Di mana perangkat pelaksananya adalah Lembaga BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Kementerian Kesehatan yang memiliki fasilitas Pusat Rehabilitasi Anti Narkotika yang pusatnya berada di RSKO (Rumah Sakit Ketergantungan Obat) dan cabangnya 1400-an tempat rehabilitasi di seluruh Indonesia, termasuk Puskesmas.

 

Namun ironisnya tempat-tempat rehabilitasi yang jumlahnya 1400-an kosong, karena tidak ada pasien. Pasiennya di dalam penjara yang proses hukumnya menghabiskan anggaran triliunan mulai dari penyelidikan, penyediaan sarana hingga pemenjaraannya. Negara rugi uang sosial. Lapas menjadi over capacity.

 

Bagi para pengedar gelap, mafia narkoba, tentu Negara wajib memberantas dengan pendekatan pidana yang hukumannya adalah hukuman badan atau pembatasan kebebasannya hingga perampasan aset, sesuai UU tentang Narkoba.

 

Namun bagi pengguna yang terdiri dari korban, pengguna, penyalahguna, dan pecandu, tindakan Negara adalah melalui tindakan medis, yaitu rehabilitasi.

 

Di negara-negara maju, atau negara-negara yang penyelenggara negaranya berpikiran maju dan manusiawi, korban, pengguna narkoba hingga pecandu tidak dihukum pidana. Di Indonesia, UU tentang Narkotika beserta lembaga dan sarana prasarananya telah ada, dan ini harus diterapkan juga di sosialisasi seluas-luasnya.

 

Kembali ke masalah Fariz RM, selayaknya Majelis Hakim memutuskan bahwa kasus Fariz RM dengan mengacu pada UU Narkotika adalah bukan pidana dan penyelesaiannya melalui keputusan rehabilitasi.

 

Masalah ini adalah masalah medis. Sehingga merupakan putusan berdasarkan keadilan, bukan putusan pidana yurisprudensi.

 

Dan jika ahli medis meneliti tingkat kecanduannya tinggi, rehabilitasi itu tidak terbatas waktu. Di Eropa, bagi pecandu yang tingkatnya tinggi, pemerintah justru memberikan obat seumur hidup dengan dosis yang rasional. Karena ada banyak pecandu narkoba yang jika langsung dihentikan malah mati.

 

Di Indonesia, tinggal menyesuaikan kondisinya. Akan tetapi yang patut digarisbawahi, bahwa masalah aturan pengguna atau pecandu narkoba itu adalah merupakan masalah medis. ***


*Koordinator Eksekutif JAKI Kemanusiaan Inisiatif

 

Kondisi kesehatan mantan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) menjadi perhatian publik, dituding alami Sindrom Stevens-Johnson (SJS). (Istimewa) 

 

JAKARTA Mantan Juru Bicara Presiden keempat Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid, Adhie M. Massardi memberikan kritik tajam kepada mantan Presiden Jokowi Widodo.

 

Sorotan ini diberikan setelah hampir seminggu tak muncul di hadapan publik, mantan Presiden Joko Widodo akhirnya muncul kembali.

 

Namun, kemunculannya justru menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Jokowi disebut-sebut tengah berlibur, tetapi juga disebut tengah menjalani perawatan.

 

Karena itu, Adhie M. Massardi sebut Jokowi penipu. Bachrum Achmadi kritik pengacara Jokowi: Tuduhan Beathor Berat, tapi Tak Dilaporkan?

 

“KANG TIPU always punya momen tuk nipu,” tulisnya dikutip Senin (30/6/2025).

 

“Bahkan Si Kancil dalam kurungan bisa pura2 mati tuk nipu Pak Tani,” tuturnya.

 

Adhie menyindir dengan menyebut Jokowi hanya pura-pura sakit dan membatalkan pembatalan pembacaan surat.

 

“Dia dunia nyata pura2 sakit, tapi gerpol batalkan pembacaan surat. Sukses,” ujarnta.

 

“Lalu pelesiran sama anak-cucu.

"Mau pemulihan," katanya.

Kejarlah daku, kau kutipu…!,” terangnya. (fajar)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.