Latest Post

Umar Hasibuan/Ist 

 

JAKARTA — Umar Hasibuan, anggota Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), kembali mengkritik soal Tom Lembong. Kali ini, melalui twit di akun media sosial pribadinya, ia mendesak Jaksa Agung untuk mengundurkan diri.

 

Menurutnya, Jaksa Agung harusnya punya malu karena terlalu memaksakan hukum untuk menjerat dan menjadikan Tom Lembong sebagai tersangka dalam kasus impor gula kristal.

 

“Jaksa agung hrsnya mundur,” tulisnya dikutip Minggu (3/8/2025).

 

Dia bahkan memberi pernyataan yang bernada sindiran dan pertanyaan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) atas hal yang baru saja terjadi pada Tom Lembong tersebut.

 

“Gak malu apa, Tom Lembong dipaksain jadi terpidana,” kata Umar Hasibuan.

 

Umar mengatakan Jaksa Agung semakin dibuat malu karena adanya abolisi dari Presiden Prabowo Subianto, terhadap Tom Lembong. “Lalu dikasih abolisi sam apresiden,” tuturnya.

 

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti terhadap Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Pengajuan pengusulan itu mendapat restu cepat dari DPR RI.

 

Usul pemberian abolisi Tom dan amnesti kepada Hasto itu telah diserahkan dan disetujui DPR melalui rapat konsultasi DPR dan pemerintah, Kamis (31/7/2025). (fajar)

 

Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan/RMOL 

 

JAKARTA — Kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong menandai dimulainya surutnya pengaruh mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo atau yang lebih dikenal dengan Jokowi, di bidang politik dan hukum.

 

Demikian pernyataan Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan menanggapi  abolisi untuk Tom Lembong.

 

“Peristiwa ini juga sekaligus menjadi tonggak keruntuhan pengaruh Jokowi di bidang politik dan hukum Indonesia,” kata Anthony kepada RMOL, Minggu 3 Agustus 2025.

 

Menurutnya, Jokowi sudah sama seperti masyarakat sipil saat ini, lantaran sudah tidak ada pengaruhnya lagi ketika Presiden Prabowo memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto.

 

“Hak dan kewajiban hukum Jikowi sudah sama dengan masyarakat lainnya,” kata Anthony.

 

Ia memprediksi Jokowi bakal menghadapi sejumlah kasus besar ke depan. Karena sejumlah kasus korupsi yang terungkap saat ini memiliki latar belakang era kepemimpinannya selama 10 tahun.

 

“Jokowi diperkirakan akan menghadapi banyak kasus hukum ke depan," demikian Anthony. (**)

 

Amien Rais/Ist  

 

JAKARTA — Ketua Majelis Syuro Partai Ummat, Amien Rais kembali angkat bicara soal dugaan ijazah palsu mantan presiden Jokowi yang tak kunjung terungkap meski sudah berlangsung hampir empat tahun.

 

Amien mengatakan lambatnya penyelesaian kasus ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

 

"Kalau kita sedikit renungkan, ijazah palsu Jokowi yang tidak selesai juga setelah empat tahunan, kita bangsa Indonesia harusnya merasa malu," ujar Amien di X @realAmienRais (3/8/2025).

 

Amien juga menyinggung langkah Forum Diaspora Indonesia (FDI) yang belakangan membawa persoalan tersebut ke kancah internasional. Forum ini beranggotakan warga negara Indonesia yang tinggal di 25 negara.

 

"Di hari-hari terakhir bulan Juli yang lampau, ada heboh baru tentang ijazah palsu Jokowi yang diangkat Forum Diaspora Indonesia," tuturnya.

 

FDI, kata Amien, menyuarakan keprihatinan terhadap penanganan kasus ijazah Jokowi yang dinilai bertele-tele dan tak kunjung tuntas.

 

Bahkan, mereka menyurati seorang senator Amerika Serikat bernama Alex Padilla.

 

"Forum ini mengatakan, kami para diaspora yang berdomisili di luar negeri sangat prihatin dan kecewa dengan masalah sepele. Untuk membuktikan keaslian ijazah seorang pejabat publik menjadi polemik besar yang bertele-tele dan berlarut-larut," jelas Amien.

 

Senator Alex Padilla, lanjut Amien, merespons surat tersebut dan menyatakan komitmennya untuk memantau kasus ini.

 

Dia juga mengkritisi praktik kriminalisasi terhadap para aktivis yang memperjuangkan keadilan hukum di Indonesia.

 

"Saya ambil saja yang penting-penting, Alex berterima kasih pada FDI atas permintaan untuk menyoroti dan mengikuti berbagai pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan," sebutnya.

 

"Pemerintah Indonesia melakukan kriminalisasi terhadap aktivis yang menuntut tegaknya keadilan hukum," tambahnya.

 

Dalam pandangan Senator Padilla, kata Amien, kasus ijazah palsu Jokowi adalah persoalan serius yang berpotensi melanggar hukum.

 

Ia juga menyinggung soal ketidaknetralan aparat penegak hukum di tanah air.

 

"Karena Kepolisian berperilaku tidak netral, cenderung berpihak pada bekas penguasa. Polisi seolah lupa bahwa tugas pokoknya adalah menegakkan hukum dan memelihara keamanan nasional," imbuhnya.

 

Amien bilang, masuknya perhatian internasional dalam kasus ini harus dijadikan sinyal kuat bahwa persoalan ijazah Jokowi tidak bisa dianggap remeh.

 

"Begitu seorang senator Amerika sudah berkomitmen mengikuti penegakan hukum di Indonesia, maka internasionalisasi penegakan hukum, termasuk polisi harus netral, kita tidak boleh main-main dengan penyelesaian ijazah palsu Jokowi ini," kuncinya. (fajar)


Kebersamaan Geisz Chalifah dan Tom Lembong/Ist  

 

JAKARTA — Penggiat demokrasi Geisz Chalifah menyambut baik keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan pembebasan bersyarat kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.

 

Namun, ia menegaskan langkah tersebut bukanlah pengampunan, melainkan penghapusan kesalahan hukum yang sejak awal dinilai tidak adil.

 

"Yang menarik dari pengacara Pak Tom adalah, kami menerima abolisi. Tapi kalau bentuknya amnesti, kami tidak terima. Karena amnesti berarti pengampunan, dan kami tidak merasa bersalah," kata Geisz seperti dikutip redaksi melalui kanal YouTube Indonesia Lawyer Club, Minggu, 3 Agustus 2025.

 

Ia menyebut proses hukum terhadap Tom Lembong merupakan bentuk kriminalisasi terhadap sosok yang dekat dengan Anies Baswedan. Menurutnya, kasus itu seharusnya tidak pernah ada karena tidak berdasar secara hukum.

 

"Ada yang aneh dalam proses hukum Tom Lembong, kasusnya 2015 Dia menteri, baru diperiksa 2023," ujarnya.

 

Geisz menambahkan bahwa selama proses hukum berjalan, pihak Tom Lembong sama sekali tidak pernah meminta keringanan atau pengampunan kepada penguasa.

 

“Kami tidak pernah minta keringanan hukuman. Yang kami siapkan adalah perlawanan,” tegasnya.

 

Lebih lanjut, Geisz menyebut pemberian abolisi ini merupakan koreksi dari pemerintah terhadap proses hukum yang dinilai cacat sejak awal.

 

"Kalau seperti itu kejadiannya maka semua orang yang terlibat terhdap kejahatan kepada Tom Lembong, harus diusut agar tidak terjadi lagi kasus-kasus semacam ini," katanya.

 

Ia menekankan bahwa reformasi institusi hukum harus menjadi prioritas agar hukum tak lagi menjadi alat kekuasaan yang tebang pilih.

 

“Institusi hukum harus ditegakkan agar yang dijalankan betul-betul adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tutup Geisz. (rmol)


Ilustrasi 


OLEH: AHMADIE THAHA

KETIKA hukum dan politik bersalaman di ruang rapat, Yusril duduk di kepala meja. Amnesti dan abolisi bukan sekadar soal pengampunan, tapi soal tafsir, simbol, dan manuver kekuasaan.

 

Ada sebuah adagium lama di kampus-kampus hukum: Fiqh itu untuk ulama, hukum positif untuk pengacara, dan politik hukum untuk Yusril Ihza Mahendra. Entah siapa yang pertama kali mengucapkannya -mungkin mahasiswa yang gagal skripsi karena ngutip Yusril tanpa footnote. 

 

Kini, nama sang profesor kembali mencuat. Bukan karena buku barunya, bukan pula karena argumen brilian dalam perdebatan akademik. Melainkan karena dia menjelaskan, bahwa amnesti untuk Hasto dan abolisi untuk Tom Lembong adalah tindakan presiden yang sah, wajar, dan sesuai aturan.

 

Apakah ini pertama kalinya Yusril, kini menjabat Menko Hukum HAM Imigrasi Pemasyarakatan, bicara soal amnesti dan abolisi? Tidak, saudara-saudara. Ia sudah beberapa kali menyinggung hal ini, selalu dengan gaya tegas dan penuh kepastian khas beliau. 

 

Yusril memang bukan pendatang baru dalam urusan Pasal 14 UUD 1945. Ia adalah arsitek hukum dalam berbagai momentum besar -dari pemberian grasi atas nama rekonsiliasi, sampai pembelaan terhadap pemimpin partai berbasis massa yang dituding makar.

 

Tercatat, pada tahun 2005, saat menjabat Menkumham era SBY, Yusril memfasilitasi wacana abolisi untuk para mantan kombatan GAM demi perdamaian Aceh. Semua pihak mengamininya, sebab konteksnya saat itu adalah rekonsiliasi nasional pascakonflik.

 

Tahun 2015, sebagai tokoh publik, Yusril merespons rencana amnesti Presiden Jokowi untuk Din Minimi dengan pernyataan khas: "Amnesti itu wewenang Presiden, tetapi harus dengan pertimbangan DPR." Konsisten? Ya. Kritis? Juga iya.

 

Kemudian, pada 2019, Yusril membela kebijakan pemberian remisi terhadap narapidana korupsi dengan alasan konstitusionalitas. "Hukum tidak mengenal emosi," katanya waktu itu. Agak getir memang, tapi begitulah Yusril —tajam pada teks, tegas pada tafsir.

 

Dengan kata lain, amnesti dan abolisi bukan hal baru dalam khazanah politik-hukum Yusril. Bedanya: dulu dalam konteks konflik horizontal, kini dianggap publik sebagai bagian dalam arena tarik-menarik elite politik yang bersiap konsolidasi kekuasaan.

 

Lantas, dalam pemberian abolisi dan amnesti kali ini, siapa dapat apa? Mari hitung angka dan teka-teki. Menurut keterangan resmi, total penerima amnesti tahun ini adalah 1.178 orang. Dua nama yang menonjol: Hasto Kristiyanto (amnesti) dan Tom Lembong (abolisi).

 

Yang menarik, usulan awal yang diterima DPR hanya 1.116 orang. Sisanya? 62 nama tambahan yang datang entah dari mana. Barangkali ini seperti acara perpisahan: selalu ada “tamu tambahan” yang tidak masuk undangan awal, tapi duduk di barisan depan atau tengah.

 

Lebih unik lagi, hanya dua dari 1.178 itu yang tersangkut perkara korupsi, dan justru keduanya yang ramai disorot publik dan media. Padahal sisanya kemungkinan besar termasuk pengedar kebijakan, bukan pengedar uang.

 

Mengapa hanya dua nama tadi yang digoreng? Sebab simbol lebih penting dari statistik. Anda paham, nama besar selalu punya daya resonansi yang mengguncang. Dan dalam politik Indonesia, dua nama cukup untuk membentuk opini berjilid-jilid.

 

Yusril menyebut semuanya “sesuai aturan.” Betul. Konstitusi memang memberi presiden hak prerogatif memberi abolisi dan amnesti —dengan catatan harus minta pertimbangan DPR. Dan DPR sudah setuju, bahkan dengan jumlah lebih dari yang diusulkan.

 

Maka, urusan dianggap selesai? Eits, jangan buru-buru menutup pasal. Kita mesti bertanya ulang: apakah hukum itu semata prosedur, atau juga tentang etika dan keadilan? Kalau prosedur bisa dipesan seperti nasi kotak, maka keadilan kadang seperti lauknya -tak selalu cukup, bahkan bisa zonk.

 

Publik lalu bertanya-tanya: apa di balik semua ini? Kenapa hanya Hasto dan Tom yang disorot? Apa karena mereka elite? Atau karena mereka simbol? Dan apakah ini keputusan universal atau selektif strategis?

 

Beberapa tafsir liar pun beredar, sebagaimana bermunculan di arena wacana. Ada yang bilang, Presiden Prabowo ingin membangun koalisi nasional permanen. Maka, batu sandungan hukum terhadap elite partai mesti dibersihkan lebih dulu.

 

Yang lain berkomentar, pemberian abolisi dan amnesti tiap 17 Agustus memang biasa. Tapi, mengapa dua nama besar itu dipromosikan ke headline media?

 

Atau, tanya yang lain lagi, barangkali Yusril sedang menjaga reputasinya sebagai ahli hukum negara? Di tengah wacana ini, ia pun tampil menjelaskan, bukan semata demi rezim, tapi demi logika hukum yang (masih) bernapas.

 

Ia tampil dengan selalu konsisten dalam satu hal: membela konstitusi dari sudut paling strategis. Saat dulu berada di oposisi, ia bicara soal bahaya kekuasaan absolut. Kini saat ia berada di lingkar dalam pemerintahan, ia bicara soal kemuliaan hukum sebagai pagar peradaban.

 

Apakah Yusril berubah-ubah? Tidak juga. Ia hanya berpindah peran dan menafsir hukum sesuai konteks peran itu. Dalam bahasa Pegon: "Yusril iku ora owah, mung ganti sandhangan."

 

Yusril Ihza Mahendra, dengan segala kecerdasan dan kelenturannya, tetap menjadi tokoh hukum yang “terjemahan”-nya penuh makna. Hari ini ia menjelaskan konstitusi demi kekuasaan, besok bisa mengkritiknya demi demokrasi.

 

Namun satu hal tak berubah: ia selalu tampil di tengah panggung hukum, dengan suara bulat dan argumen padat. Kalau dia sudah bicara, hukum jadi seperti teks khutbah Jumat: singkat, padat, dan (sering kali) tidak terbantahkan.

 

Walhasil, abolisi dan amnesti itu hak presiden. Tapi rakyat juga merasa punya hak: hak untuk curiga, bertanya, dan... hak untuk tertawa. Karena dalam republik ini, humor adalah pertahanan terakhir akal sehat. Dan ketika Yusril angkat bicara, kita tahu: tafsir pun menjadi bersinar. ***


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.