KETIKA hukum dan politik bersalaman di ruang rapat, Yusril
duduk di kepala meja. Amnesti dan abolisi bukan sekadar soal pengampunan, tapi
soal tafsir, simbol, dan manuver kekuasaan.
Ada sebuah adagium lama di kampus-kampus hukum: Fiqh itu
untuk ulama, hukum positif untuk pengacara, dan politik hukum untuk Yusril Ihza
Mahendra. Entah siapa yang pertama kali mengucapkannya -mungkin mahasiswa yang
gagal skripsi karena ngutip Yusril tanpa footnote.
Kini, nama sang profesor kembali mencuat. Bukan karena buku
barunya, bukan pula karena argumen brilian dalam perdebatan akademik. Melainkan
karena dia menjelaskan, bahwa amnesti untuk Hasto dan abolisi untuk Tom Lembong
adalah tindakan presiden yang sah, wajar, dan sesuai aturan.
Apakah ini pertama kalinya Yusril, kini menjabat Menko Hukum
HAM Imigrasi Pemasyarakatan, bicara soal amnesti dan abolisi? Tidak,
saudara-saudara. Ia sudah beberapa kali menyinggung hal ini, selalu dengan gaya
tegas dan penuh kepastian khas beliau.
Yusril memang bukan pendatang baru dalam urusan Pasal 14 UUD
1945. Ia adalah arsitek hukum dalam berbagai momentum besar -dari pemberian
grasi atas nama rekonsiliasi, sampai pembelaan terhadap pemimpin partai
berbasis massa yang dituding makar.
Tercatat, pada tahun 2005, saat menjabat Menkumham era SBY,
Yusril memfasilitasi wacana abolisi untuk para mantan kombatan GAM demi
perdamaian Aceh. Semua pihak mengamininya, sebab konteksnya saat itu adalah
rekonsiliasi nasional pascakonflik.
Tahun 2015, sebagai tokoh publik, Yusril merespons rencana
amnesti Presiden Jokowi untuk Din Minimi dengan pernyataan khas: "Amnesti
itu wewenang Presiden, tetapi harus dengan pertimbangan DPR." Konsisten?
Ya. Kritis? Juga iya.
Kemudian, pada 2019, Yusril membela kebijakan pemberian
remisi terhadap narapidana korupsi dengan alasan konstitusionalitas.
"Hukum tidak mengenal emosi," katanya waktu itu. Agak getir memang,
tapi begitulah Yusril —tajam pada teks, tegas pada tafsir.
Dengan kata lain, amnesti dan abolisi bukan hal baru dalam
khazanah politik-hukum Yusril. Bedanya: dulu dalam konteks konflik horizontal,
kini dianggap publik sebagai bagian dalam arena tarik-menarik elite politik
yang bersiap konsolidasi kekuasaan.
Lantas, dalam pemberian abolisi dan amnesti kali ini, siapa
dapat apa? Mari hitung angka dan teka-teki. Menurut keterangan resmi, total
penerima amnesti tahun ini adalah 1.178 orang. Dua nama yang menonjol: Hasto
Kristiyanto (amnesti) dan Tom Lembong (abolisi).
Yang menarik, usulan awal yang diterima DPR hanya 1.116
orang. Sisanya? 62 nama tambahan yang datang entah dari mana. Barangkali ini
seperti acara perpisahan: selalu ada “tamu tambahan” yang tidak masuk undangan
awal, tapi duduk di barisan depan atau tengah.
Lebih unik lagi, hanya dua dari 1.178 itu yang tersangkut
perkara korupsi, dan justru keduanya yang ramai disorot publik dan media.
Padahal sisanya kemungkinan besar termasuk pengedar kebijakan, bukan pengedar
uang.
Mengapa hanya dua nama tadi yang digoreng? Sebab simbol lebih
penting dari statistik. Anda paham, nama besar selalu punya daya resonansi yang
mengguncang. Dan dalam politik Indonesia, dua nama cukup untuk membentuk opini
berjilid-jilid.
Yusril menyebut semuanya “sesuai aturan.” Betul. Konstitusi
memang memberi presiden hak prerogatif memberi abolisi dan amnesti —dengan
catatan harus minta pertimbangan DPR. Dan DPR sudah setuju, bahkan dengan
jumlah lebih dari yang diusulkan.
Maka, urusan dianggap selesai? Eits, jangan buru-buru menutup
pasal. Kita mesti bertanya ulang: apakah hukum itu semata prosedur, atau juga
tentang etika dan keadilan? Kalau prosedur bisa dipesan seperti nasi kotak,
maka keadilan kadang seperti lauknya -tak selalu cukup, bahkan bisa zonk.
Publik lalu bertanya-tanya: apa di balik semua ini? Kenapa
hanya Hasto dan Tom yang disorot? Apa karena mereka elite? Atau karena mereka
simbol? Dan apakah ini keputusan universal atau selektif strategis?
Beberapa tafsir liar pun beredar, sebagaimana bermunculan di
arena wacana. Ada yang bilang, Presiden Prabowo ingin membangun koalisi
nasional permanen. Maka, batu sandungan hukum terhadap elite partai mesti
dibersihkan lebih dulu.
Yang lain berkomentar, pemberian abolisi dan amnesti tiap 17
Agustus memang biasa. Tapi, mengapa dua nama besar itu dipromosikan ke headline
media?
Atau, tanya yang lain lagi, barangkali Yusril sedang menjaga
reputasinya sebagai ahli hukum negara? Di tengah wacana ini, ia pun tampil
menjelaskan, bukan semata demi rezim, tapi demi logika hukum yang (masih)
bernapas.
Ia tampil dengan selalu konsisten dalam satu hal: membela
konstitusi dari sudut paling strategis. Saat dulu berada di oposisi, ia bicara
soal bahaya kekuasaan absolut. Kini saat ia berada di lingkar dalam
pemerintahan, ia bicara soal kemuliaan hukum sebagai pagar peradaban.
Apakah Yusril berubah-ubah? Tidak juga. Ia hanya berpindah
peran dan menafsir hukum sesuai konteks peran itu. Dalam bahasa Pegon:
"Yusril iku ora owah, mung ganti sandhangan."
Yusril Ihza Mahendra, dengan segala kecerdasan dan
kelenturannya, tetap menjadi tokoh hukum yang “terjemahan”-nya penuh makna.
Hari ini ia menjelaskan konstitusi demi kekuasaan, besok bisa mengkritiknya
demi demokrasi.
Namun satu hal tak berubah: ia selalu tampil di tengah
panggung hukum, dengan suara bulat dan argumen padat. Kalau dia sudah bicara,
hukum jadi seperti teks khutbah Jumat: singkat, padat, dan (sering kali) tidak
terbantahkan.
Walhasil, abolisi dan amnesti itu hak presiden. Tapi rakyat
juga merasa punya hak: hak untuk curiga, bertanya, dan... hak untuk tertawa.
Karena dalam republik ini, humor adalah pertahanan terakhir akal sehat. Dan
ketika Yusril angkat bicara, kita tahu: tafsir pun menjadi bersinar. ***