Latest Post

ILUSTRASI. Band Dewa 19 salah satu yang paling getol mengedukasi publik soal pembayaran royalti 

 

JAKARTA — Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menegaskan, pemilik restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel yang memutar musik di ruang publik komersial wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait.

 

Agung Damarsasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengatakan bahwa pemilik bisnis telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya.

 

"Langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik," ucap Agung, Selasa silam.

 

Ia menjelaskan layanan streaming bersifat personal, tetapi ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, maka itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah.

 

Dia mengatakan pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

 

LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait. Skema tersebut memastikan transparansi dan keadilan bagi seluruh pelaku industri musik serta memudahkan pelaku usaha karena tidak perlu mengurus lisensi satu per satu dari setiap pencipta lagu.

 

"Hal ini memberikan keseimbangan agar pencipta atau pemilik hak terkait musik/lagu mendapatkan hak ekonominya serta pengguna merasa nyaman dalam berusaha atau menggunakan lagu," tuturnya.

 

Agung juga menanggapi kekhawatiran sebagian pelaku usaha yang menyatakan akan memblokir pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti.

 

Menurut dia, hal itu justru akan melemahkan ekosistem musik lokal dan tidak mengapresiasi pencipta/pemegang hak cipta.

 

Ia berpendapat musik merupakan bagian dari identitas budaya, sehingga saat pelaku usaha enggan mengapresiasi pencipta lagu Indonesia, maka yang dirugikan bukan hanya seniman, melainkan juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan.

 

Sementara itu menanggapi alternatif lain seperti pemutaran musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri, Agung menyampaikan pelaku usaha tetap perlu berhati-hati lantaran tidak semua musik instrumental bebas dari perlindungan hak cipta.

 

"Beberapa lagu yang diklaim no copyright justru bisa menjerat pelaku usaha dalam pelanggaran apabila digunakan tanpa verifikasi sumber, termasuk lagu dari luar negeri jika mereka dilindungi hak cipta, kewajiban royalti tetap berlaku,” kata Agung.

 

Disampaikan bahwa apabila pelaku usaha tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih, yaitu dengan menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free) atau musik dengan lisensi creative commons, yang memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.

 

Mengenai skema pembayaran, kata dia, pelaku usaha dapat mendaftarkan usahanya melalui sistem digital LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik.

 

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan Korea Selatan, kata dia, sistem serupa sudah diberlakukan sejak lama.

 

“Namun tujuan Indonesia bukan untuk menambah pemasukan negara, melainkan memberikan kepastian hukum serta memastikan bahwa pelaku industri kreatif mendapatkan hak ekonominya secara adil,” ungkapnya.

 

Di sisi lain, Agung menekankan pihaknya juga memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak dipukul rata kepada UMKM karena terdapat mekanisme keringanan atau pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan yang diatur oleh LMKN, berdasarkan ukuran ruang usaha, kapasitas pengunjung, serta tingkat pemanfaatan musik dalam operasional harian.

 

Dirinya pun mengimbau pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung ekosistem musik nasional.

 

Ia mengingatkan pelanggaran terhadap kewajiban pembayaran royalti dapat dikenakan sanksi hukum, namun sesuai Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta untuk melakukan mediasi terlebih dahulu.

 

“Pelindungan hak cipta bukan semata soal kewajiban hukum, melainkan bentuk penghargaan nyata terhadap kerja keras para pencipta yang memberi nilai tambah pada pengalaman usaha Anda,” ujar Agung. (era)

 

Tangkap layar Presiden Prabowo Subianto/Net


JAKARTA — Jurnalis senior Lukas Luwarso mengkritik tajam pertemuan antara Presiden Prabowo dan Joko Widodo. Ia memberikan komentar yang meyakinkan di kanal YouTube Abraham Samad Speak Up.

 

Lukas Luwarso menyoroti pengaturan tempat duduk pada pertemuan ini. Ia menduga ada faktor kesengajaan dalam pengaturan tempat duduk tersebut.

 

“Yang mengatur posisi duduknya keluarga Jokowi ketimbang Presiden,” kata Lukas, dikutip Rabu, (30/7/2025).

 

Alih-alih pihak Presiden Prabowo Subianto yang mengatur, namun justru keluarga Jokowi yang mengatur. Alasan sampai diaturnya hal ini menurutnya karena masalah angle kamera.

 

“Kan tidak bisa begitu, Presiden yang harus mengatur protokoler begitu. Karena itu menyangkut angle kamera,” tuturnya.

 

“Fotonya itu Presiden Prabowo dari belakang, memang fokusnya ke Jokowi,” tambahnya.

 

Dari pengaturan posisi duduk ini dan angle kamera yang terlihat, memperlihatkan siapa yang berkuasa.

 

“Kalau memang benar yang ngatur itu Jokowi berarti master ceremonynya memang si Jokowi,” paparnya.

 

Mantan Ketua AJI itu menyebut maksud dari pengaturan tempat duduk di gambar tersebut ingin memperlihatkan siapa sebenarnya penguasa.

 

Dimana, Jokowi mendapatkan sorotan lebih dan Presiden Prabowo seolah-olah yang melakukan laporan kepadanya.

 

“Dia ingin menempatkan gambar itu bahwa iniloh saya masih real pemegang kekuasaan Presiden Prabowo menghadap dan melapor ke saya,” terangnya. (fajar)


Ilustrasi permukiman di bantaran kali/Net 

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-ir-sugiyono-msi-5'>DR. IR. SUGIYONO, MSI</a>


OLEH: DR. IR. SUGIYONO, MSI


JUMLAH penduduk Indonesia berdasarkan proyeksi yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 282,45 juta jiwa pada tahun 2025. Data hasil proyeksi tersebut merupakan hasil dari SUPAS tahun 2015.

 

Garis kemiskinan yang dihitung sebesar Rp609.160 per kapita per bulan Maret tahun 2025 setara pengukuran 1,24 Dolar AS per hari dan Rp595.242 per kapita per bulan Maret tahun 2024 setara dengan 1,21 Dolar AS per hari.

 

Lebih lanjut, pada pendekatan perhitungan garis kemiskinan per rumah tangga miskin diperoleh angka Rp2,88 juta per bulan Maret tahun 2025 dan sebesar Rp2,80 juta per bulan September tahun 2024.

 

Sumber data utama garis kemiskinan tersebut berasal dari pendataan Susenas bulan Maret 2025, yang dilakukan pada Februari 2025. Perhitungan kemiskinan dilakukan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, yaitu dari sisi ekonomi adalah pemenuhan kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.

 

Kebutuhan dasar makanan dilakukan survei terhadap 52 jenis komoditas, seperti dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain. Kebutuhan dasar bukan makanan dilakukan pengukuran terhadap perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

 

Berdasarkan pengukuran garis kemiskinan tersebut di atas, yang diukur secara dinamis, diketahui bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 24,05 juta jiwa (8,57 persen) per bulan September tahun 2024 dan sebesar 23,85 juta jiwa (8,47 persen) per Maret 2025.

 

Meskipun pengukuran jumlah penduduk miskin tidak dilakukan pada bulan yang sama, namun diperoleh tafsir bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan pada tahun yang berbeda. Hasil pengukuran kemiskinan ini terkesan menggembirakan pemerintah, karena pemerintah berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin, baik secara absolut dan relatif.

 

Persoalannya kemudian adalah terdapat informasi yang berbeda, yang menjelaskan tentang jumlah penduduk miskin. Data Bank Dunia dengan menggunakan garis kemiskinan sebesar 3 Dolar AS per hari (Rp49.182 rupiah per hari) pada kurs sebesar Rp16.394 per Dolar AS, maka terukur sebanyak 5,4 persen (15,25 juta jiwa) yang merupakan rata-rata proyeksi penduduk miskin di Indonesia selama periode tahun 1992-2024.

 

Berdasarkan data Bank Dunia tersebut, terbantahkan informasi yang mempunyai persepsi bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih besar dibandingkan hasil survei BPS. Yang terjadi adalah justru jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih kecil dibandingkan proyeksi Bank Dunia.

 

Perbedaan proyeksi pertama bukan hanya disebabkan oleh persentase penduduk miskin. Bank Dunia menggunakan angka sebesar 5,4 persen selama periode tahun 1992-2024, sedangkan BPS menggunakan angka pengukuran sebesar 8,57 persen pada tahun 2024.

 

Kedua, sekalipun Bank Dunia menggunakan pengukuran garis kemiskinan sebesar 3 Dolar AS per hari, yang jauh lebih tinggi dibandingkan data BPS yang sebesar 1,24 Dolar AS per hari tahun 2025.

 

Pengukuran garis kemiskinan dengan menggunakan nilai mata uang, tetapi mempunyai konsekuensi perhitungan jumlah penduduk miskin di Indonesia ternyata kalah banyak dibandingkan pengukuran menggunakan angka relatif dalam persentase.

 

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 24,05 juta jiwa berdasarkan perhitungan BPS pada tahun 2024, sedangkan sebanyak 15,25 juta jiwa (5,4 persen dari jumlah penduduk) berdasarkan perhitungan Bank Dunia pada tahun yang sama, yaitu tahun 2024.

 

Sementara itu, tafsir yang terjadi pada media sosial justru menyampaikan informasi yang sebaliknya, yakni dengan menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin berdasarkan proyeksi oleh Bank Dunia jauh lebih banyak dibandingkan perhitungan hasil survei BPS.

 

Dengan tafsir yang berbeda seperti ini, maka terbentuk Kesan bahwa pemerintah kurang berhasil mengentaskan masalah kemiskinan di Indonesia. Tafsir yang sungguh berbeda dibandingkan informasi di atas.

 

Bukan hanya persoalan perhitungan dan tafsir yang berbeda, serta mempunyai implikasi yang jauh berbeda, namun tantangan yang sesungguhnya tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia adalah sebanyak 23,85 juta jiwa pada bulan Maret tahun 2025.

 

Persoalan kemiskinan tersebut perlu segera dientaskan. Bukan hanya kemiskinan biasa, melainkan terutama kemiskinan ekstrem.

 

Juga terutama terhadap apa yang menjadi penyebab dari sesungguh terjadinya keberadaan kemiskinan. Berdasarkan pengukuran garis kemiskinan di atas, sungguh tidak mudah untuk mengatakan bahwa penduduk menjadi miskin, dikarenakan mengonsumsi nasi, rokok, kopi, dan ataukah kecanduan judi online. **

 

Peneliti Institute of Development for Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana

 


Silfester Matutina

 

JAKARTA — Pakar telematika Roy Suryo, yang dituduh ditunggangi Partai Demokrat, memberikan tanggapan dingin dan tajam. Roy menilai kemampuan analisis isu para pendukung Jokowi masih di bawah rata-rata.

 

"Maklum rata-rata IQ (Intelligence Quotient) mereka hanya 58, dari rata-rata masyarakat 110," ujar Roy kepada fajar.co.id, Rabu (30/7/2025).

 

Dikatakan Roy, IQ sangat berperan dalam memecahkan masalah yang melibatkan logika.

 

"Para TerMul (Ternak Mulyono, red) akan langsung berpikir pendek, khas latar belakang pendidikan mereka yang tidak jelas," sebutnya.

 

Ia bahkan menyinggung isu yang pernah heboh, Pasar Pramuka yang diduga menjadi lokasi dicetaknya dokumen penting Jokowi, termasuk ijazah yang dipersoalkan.

 

"Jangan heran, ini memang fakta yang terjadi di negara Konoha, setidaknya yang berlangsung satu dekade di bawah Rezim Raja Jawa Palsu, alias bukan dalam arti Raja Jawa sesungguhnya," sesalnya.

 

Menpora era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini menarik ke belakang, ketika Jokowi menuding adanya agenda besar politik di balik isu ijazahnya.

 

"Artinya memang ada orang besar, ada yang membackup, ya itu saja, semua sudah tahu lah, sebuah kalimat ngaco, tanpa dasar dan analisis yang jelas alias sembrono, khas dirinya yang dikenal dengan istilah sein kiri belok kanan," ucap Roy.

 

Hanya saja, kata Roy, para pendukung Jokowi belum menyebutkan nama atau kelompok apapun. Hanya identitas warna.

 

"Penyebutan identitas warna biru sebagai background politik menambahkan suara asal gorong-gorong sebelumnya. Sebuah penggiringan ke ranah politik yang sangat kampungan alias kasar dari perkara Ijazah Palsu yang sebenarnya sangat simpel namun dibuat rumit," tandasnya.

 

Sebelumnya diberitakan, nama Silfester Matutina kembali mencuat ke publik, usai pernyataannya yang menuding Partai Demokrat berada di balik isu dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi dan wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

 

Namun di balik tudingan panas tersebut, terkuak kembali rekam jejak hukum Silfester. Ia ternyata pernah dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun karena terbukti menyebarkan informasi bohong yang mencemarkan nama baik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan keluarganya.

 

Dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 100/Pid.B/2018/PN.Jkt.Sel, yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Silfester terbukti secara sah dan meyakinkan menyampaikan orasi di depan Gedung Baharkam Mabes Polri pada 15 Mei 2017 lalu.

 

"Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Yusuf Kalla. Mari kita mundurkan Yusuf Kalla JK, karena JK menggunakan isu (red) untuk memenangkan Anies-Sandi. Untuk kepentingan korupsi keluarga Yusuf Kalla," kata Silfister kala itu.

 

Pernyataan itu dianggap mencemarkan nama baik dan tidak terbukti secara hukum. Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya tertanggal 20 Mei 2019 menolak permohonan Silfester dan memerintahkan ia menjalani hukuman satu tahun penjara.

 

Kini, Silfester kembali tampil ke ruang publik dengan pernyataan kontroversial. Ia menuding Partai Demokrat sebagai pihak yang mendanai gerakan pemakzulan Gibran dan isu ijazah palsu Jokowi. Tudingan ini disampaikan tanpa bukti kuat dan menuai kecaman dari berbagai kalangan.

 

Saat menjadi narasumber di Kompas Petang baru-baru ini, Silfester menegaskan bahwa isu yang terus dikembangkan Roy Suryo Cs tersebut tidak benar.

 

"Isu pemakzulan dan ijazah palsu ini kalau kita lihat tidak mempunyai dasar hukum dan fakta konstitusi yang benar," kata Silfester dikutip pada Senin (28/7/2025).

 

Ia kemudian mengutip pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Prof Jimly Asshiddiqie, yang menyebut bahwa itu merupakan upaya untuk menghancurkan lawan politik.

 

"Seperti yang dikatakan Prof Jimly Asshiddiqie hanya untuk menghancurkan lawan politik dengan tidak beradab. Bohir di belakangnya ini gak bersatu, mereka bermain sendiri-sendiri," ucapnya.

 

Melihat serangan yang begitu intens dan terstruktur, Silfester menegaskan bahwa kemungkinan besar gerakan tersebut didanai pihak tertentu.

 

"Pastinya (didanai), siapa yang mendanai begini-begini gitu loh," tukasnya.

 

Adapun Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan bahwa tudingan yang dialamatkan ke kubunya merupakan fitnah besar. Hal ini ditegaskan AHY ketika kunjungan kerja di Lombok Barat, Minggu, 27 Juli 2025. (**)


Kwik Kian Gie/Net 


OLEH: EEP SAEPULLOH FATAH


LAMA sekali komunikasi saya terputus dengan Pak Kwik Kian Gie. Tiba-tiba saja, pada 1 November 2023, melalui pesan WA, Pak Kwik meneruskan video berisi percakapan saya dengan Abraham Samad dalam program YouTube Speak Up.

 

Menyertai video itu Pak Kwik mengirim emoji jempol berlatar merah putih, dengan lambang Garuda dan tulisan NKRI di dalamnya. 

 

Kamipun bertukar sapa singkat. “Baik, karena usia tidak begitu mobile lagi,” tulis Pak Kwik, menjawab pertanyaan saya soal kabarnya.

 

Selepas itu, kami jadi lanjut berkomunikasi. Tidak terlalu intens. Hanya sesekali.

 

Pada 13 Desember 2023 misalnya, Pak Kwik mempertanyakan posisi saya dalam Pilpres 2024. Terlihat benar bahwa ia khawatir saya salah posisi dengan mendukung Prabowo Subianto. Pak Kwik menunjukkan kelegaannya setelah saya pastikan saya tidak dalam posisi itu.

 

Sejak awal November 2023 itu Pak Kwik lumayan rajin mengirimi saya video yang ia teruskan dari beberapa kanal YouTube.

 

Tema-tema yang dipilihnya adalah: gugatan terhadap kualitas Pemilu, perlawanan terhadap Jokowi dan dinasti yang dibangunnya, kekhawatirannya soal re-militerisasi, dan kegalauannya akan masa depan demokrasi Indonesia.

 

Kesan yang saya tangkap dari obrolan-obrolan sangat terbatas lewat WA itu: Kwik Kian Gie adalah seorang nasionalis yang tak lelah berjuang untuk bangsa yang dicintainya hingga usia lanjut sudah membatasi mobilitasnya.

 

Juli 2006, saya dan (Almarhum) Arifin Panigoro berikhtiar membangun Sekolah Demokrasi Indonesia. Niatnya, kami ingin menyelenggarakan pendidikan politik yang luas untuk menyiapkan setiap orang menjadi Warga Negara.

 

Yang melatari niat itu adalah kekhawatiran kami bahwa demokrasi Indonesia terus berjalan maju tapi sambil terancam oleh satu bahaya serius: Defisit para demokrat. Demokrasi pun kelak akan keropos tanpa ketersediaan para demokrat.

 

Pak Kwik adalah satu penyokong serius niat itu. Dalam sejumlah perbincangan pribadi, Pak Kwik menegaskan sikapnya soal pendidikan politik atau pendidikan kewarganegaraan.

 

“Celakalah kita jika tak ada yang peduli pada urusan mendidik rakyat untuk siap berdemokrasi,” begitu kurang lebih katanya.

 

Seperti halnya Mohammad Hatta, Pak Kwik bukan hanya peduli dan mumpuni dalam hal ihwal ekonomi, tetapi sangat yakin akan pentingnya sokongan rakyat terdidik bagi kemajuan bangsa.

 

Mungkin dipengaruhi oleh tokoh semacam Hatta pula, ia cenderung “berorientasi ke dalam” dalam arah kebijakan ekonomi yang diperjuangkannya ?" baik saat menduduki jabatan publik maupun ketika berada di luar jabatan publik.

 

Tapi tak cukup di situ, Pak Kwik mencemaskan demokrasi Indonesia bernasib sama dengan banyak demokrasi di Amerika Latin pada dekade 1960-an dan 1970-an.

 

Sebab musabab kemunduran demokrasi di Amerika Latin beragam. Namun ada satu hal yang menjadi sebab pokok yang umum: Gagalnya demokrasi mengatasi kemiskinan dan kesenjangan sosial yang kemudian menurunkan daya terima warga terhadap demokrasi. Pak Kwik mengkhawatirkan skenario serupa ini bisa menimpa demokrasi Indonesia.

 

Pak Kwik juga mengaku galau pada tak terkelola dengan layak dan efektifnya pemberantasan korupsi. Di luar banyak faktor lain, menurut Pak Kwik, korupsi dalam berbagai bentuknya termasuk kebocoran anggaran negara adalah kontributor besar bagi kegagalan ekonomi dan pengeroposan demokrasi Indonesia.

 

Berbasis disiplin ilmu ekonomi yang dikuasainya, Pak Kwik menghubungkan kegagalan-kegagalan kebijakan ekonomi dengan turunnya daya terima warga terhadap demokrasi serta percepatan degradasi demokrasi yang disebabkan oleh maraknya korupsi.

 

Berbasis perbincangan-perbincangan pribadi kala itu, seperti itulah konstruksi pikiran Pak Kwik yang saya tangkap. Tentu saja, ini tak mewakili seluruh spektrum isu yang dijangkau Pak Kwik dalam penjelajahan intelektualnya yang luas dan panjang.

 

Yang jelas, berbasis pikiran itulah Pak Kwik menyatakan dukungannya pada ikhtiar-ikhtiar pendidikan politik dan kewarganegaraan. Menurutnya, demokrasi Indonesia hanya akan matang manakala disokong oleh ketersediaan warga, publik atau rakyat yang memahami dan mendukung demokrasi.

 

Pak Kwik di atas segalanya adalah pendidik. Maka beruntunglah kita karena tiga tahun lalu sekitar 870 tulisannya berhasil dihimpun ke dalam trilogi “Kwik Kian Gie: Bunga Rampai Pemikiran” (Gramedia Pustaka Utama, 2022).

 

Berisi sekitar 2.500 halaman trilogi yang penting ini adalah artefak penting yang menegaskan sejumlah karakter Kwik Kian Gie.

 

Pertama, ia adalah manusia langka karena penjelajahannya yang relatif lengkap. Pak Kwik adalah pengusaha yang sempat aktif menjadi politisi dengan menjadi Wakil Rakyat.

 

Ia juga sempat menjadi pejabat publik dan bergumul di tengah birokrasi. Tapi Pak Kwik tak pernah menanggalkan identitasnya sebagai “pendidik publik”, terutama melalui tulisan-tulisannya. Sungguh tak banyak orang yang melakukan penjelajahan selengkap Pak Kwik.

 

Kedua, ia sungguh serius menjaga sikapnya. Kita tak menemukan jalan zig zag dalam pikiran Pak Kwik selagi menjalani peran sebagai penulis-pengusaha, wakil rakyat dan pejabat tinggi negara. Padahal di Indonesia ada semacam anggapan umum bahwa sikap jernih seseorang bakal berakhir ketika memegang kekuasaan.

 

Tapi pada Pak Kwik, kekuasaan ternyata tak membuntukan pikiran atau membelokkan sikapnya. Dalam konteks inilah orang akan mengenang perdebatan serius antara Kwik Kian Gie versus Sri Mulyani soal arah dan model pengelolaan kebijakan ekonomi Indonesia.

 

Ketiga, analisisnya tajam, masuk ke detail persoalan tanpa kehilangan desain besar. Tulisan-tulisan dalam trilogi “Bunga Rampai Pemikiran” ini membuktikan dengan telak kualitas itu.

 

Biasanya kita bersua dengan pola umum “mumpuni soal detail tapi miskin desain besar” atau “lancar bicara desain besar tapi luput pada soal-soal detail yang elementer”.

 

Almarhum WS Rendra pernah mengingatkan, “Jangan pernah silau oleh pikiran-pikiran besar sambil lupa pada remeh-temeh”. Pak Kwik termasuk sedikit orang yang memamah biak pikiran-pikiran besar sambil secara sungguh-sungguh mendalami soal-soal rincian.

 

Di atas segalanya, saya menemukan sosok Pak Kwik sebagai pendidik. Lewat trilogi “Bunga Rampai Pemikiran” Pak Kwik membuka mata kita pada soal-soal mendasar, bukan cuma pada isu-isu permukaan yang artifisial.

 

Sudah selayaknya namanya kemudian dipakai untuk menggantikan nama Institut Bisnis Indonesia (IBI) menjadi Kwik Kian Gie School of Business atau Institut Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie.

 

Selasa, 29 Juli 2025 pagi ini, saya  membuka Instagram (IG). Lewat akun Sandiaga Uno, bersualah saya dengan berita duka itu. Pak Kwik berpulang.

 

“Indonesia berduka,” tulis Sandi antara lain. Ya, Indonesia berduka, kehilangan seorang Pejuang Nasionalis yang terus memperjuangkan sikapnya hingga akhir. (*)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.