Latest Post

Kabid Humas Polda Jateng Kombes Artanto. FOTO: Wisnu Indra Kusuma/JPNN.com 

 

SEMARANG — Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Jateng) mengimbau semua pihak untuk tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh informasi yang belum jelas sumber dan kebenarannya, menyusul bentrokan antar ormas di Pemalang Rabu malam (23/7) lalu.

 

Permintaan ini muncul karena Kepolisian Daerah Jawa Barat masih menyelidiki insiden tersebut. Namun, polisi memastikan situasi terkendali.

 

"Situasi di lapangan sudah dapat dikendalikan. Kami minta masyarakat tidak menyebarkan kabar simpang siur yang bisa memperkeruh keadaan," kata Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Artanto dilansir jpnn, Jumat (25/7).

 

Polda Jateng sendiri diketahui hingga saat ini masih menelusuri pemicu bentrokan antara dua ormas saat pengajian bulan Muharam di Desa Pegundan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang.

 

Dua ormas yang terlibat dalam insiden tersebut adalah Front Persaudaraan Islam (FPI) dan Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (PWI-LS).

 

Pengajian itu diketahui menghadirkan tokoh FPI Muhammad Rizieq Shihab. "Masih proses pendataan dan penyelidikan. Kami bekerja sama dengan Polres Pemalang untuk menelusuri secara detail peristiwa yang terjadi," ujar Artanto.

 

Kericuhan itu sendiri belakangan diketahui mengakibatkan sebanyak 15 orang dilaporkan mengalami luka-luka. Dari jumlah itu, empat di antaranya merupakan anggota kepolisian yang saat itu bertugas mengamankan acara.

 

"Empat anggota kepolisian terluka, tetapi semuanya hanya luka ringan dan menjalani rawat jalan," kata Kombes Artanto.

 

Pihaknya memastikan seluruh korban luka mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Biaya pengobatan para korban di rumah sakit telah ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pemalang.

 

"Untuk pembiayaan pengobatan para korban sudah ditanggung pemerintah atau Bupati Pemalang," kata perwira menengah Polri tersebut. (fajar)

 

Ilustrasi siswa SD/Ist  


JAKARTA —. Temuan penelitian yang menunjukkan biaya pendidikan dasar di Indonesia meningkat tajam, jauh melampaui peningkatan pendapatan orang tua, telah menuai kritik tajam dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

 

Berdasarkan penelitian harian Kompas, rata-rata biaya pendidikan sekolah dasar (SD) periode 2018–2024 meningkat 12,6 persen per tahun, sementara rata-rata kenaikan gaji orang tua hanya 2,6 persen per tahun.

 

"Ini ugal-ugalan. Biaya sekolah melesat jauh, tapi kesejahteraan guru pun tidak terjamin," ungkap Anggota Komisi X DPR RI Furtasan Ali Yusuf di Jakarta, Kamis (24/7/2025)

 

Ia menilai, selama ini belum ada regulasi yang mengatur secara ketat batas bawah dan batas atas pembiayaan pendidikan, khususnya di sekolah swasta.

 

Maka dari itu, ia mengusulkan agar pemerintah menetapkan standar biaya minimum dan maksimum, agar tidak terjadi pembebanan biaya berlebihan kepada orang tua.

 

“Kalau tidak ada regulasi yang mengatur, ya jadinya seperti sekarang. Komersialisasi pendidikan terjadi karena dibiarkan mengikuti mekanisme pasar,” tegasnya.

 

Ia menjelaskan, perbedaan fasilitas antara sekolah yang hanya memenuhi standar minimal dengan sekolah yang menawarkan layanan maksimal, seperti adanya kolam renang atau lapangan olahraga, turut memicu biaya tinggi.

 

Namun, Furtasan menekankan bahwa fasilitas tambahan ini seharusnya tidak dijadikan justifikasi untuk menarik pungutan di luar kendali.

 

Lebih lanjut, Politisi Fraksi Partai NasDem juga menyoroti pengelolaan anggaran pendidikan nasional yang nilainya tidak sepenuhnya fokus. Meski anggaran pendidikan dalam APBN telah mencapai 20 persen atau sekitar Rp714 triliun, namun dana tersebut tersebar ke berbagai sektor.

 

“Dana ini tidak sepenuhnya untuk pendidikan dasar dan menengah, tapi juga terserap ke pendidikan kedinasan, lembaga diklat, hingga belanja pegawai,” jelasnya.

 

Furtasan menilai perlunya penguatan fungsi pengawasan DPR agar penggunaan anggaran pendidikan benar-benar tepat sasaran demi mendukung tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan terjebak dalam birokrasi yang terfragmentasi. (fajar)

 

Mahfud MD 

 

JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD, turut menyaksikan seluruh jalannya persidangan dan kemudian mendengarkan putusan yang dibacakan oleh majelis hakim.

 

"Menurut saya vonis itu salah,” ujar Mahfud dalam keterangannya dikutip Rabu (23/7/2025).

 

Dikatakan Mahfud, sebagaimana yang diperdebatkan belakangan ini, tidak ditemukan adanya niat jahat dalam tindakan yang dilakukan Tom.

 

“Untuk menghukum seseorang, selain actus reus masih harus ada mens rea atau niat jahat," ucapnya.

 

"Dalam konteks vonis Tom Lembong ini, ternyata tidak ditemukan mens rea,” tambah Mahfud.

 

Berkaca pada persidangan yang telah berlalu, mantan Menkopolhukam ini menuturkan bahwa saat itu Tom hanya melaksanakan perintah Jokowi selaku Presiden.

 

“Dia hanya melaksanakan tugas administratif dari atas,” sesalnya dikutip dari kompas.

 

Tidak berhenti di situ, mengenai penunjukan koperasi milik TNI-Polri, Mahfud mengatakan bahwa itu hanya bagian dari instruksi Presiden.

 

Dibeberkan Mahfud, pernyataan itu divalidasi oleh mantan Ketua Induk Koperasi Kartika (Inkopkar) Mayjen (Purn) Felix Hutabarat.

 

Dalam persidangan, Felix bercerita bahwa dirinya mendapat perintah dari Kepala Staf Angkatan Darat saat itu, Jenderal (Purn) Mulyono. Dan, ujungnya merupakan arahan dari Jokowi.

 

“Kelemahan lain, perhitungan kerugian negara yang resmi dibuat oleh BPKP dinilai tidak benar sehingga majelis hakim membuat hitungan dengan matematikanya sendiri,” Mahfud menuturkan.

 

Jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menegaskan bahwa pendekatan yang tidak logis seperti itu membahayakan penegakan hukum.

 

"Lucu bahwa salah satu yang memberatkan Tom Lembong adalah membuat kebijakan yang kapitalistik. Tampaknya hakim tak paham bedanya ide dan norma,” kuncinya. (fajar)


Jokowi-Ijazah 


JAKARTA — Penyidik Polda Metro Jaya menyita Ijazah SMA dan S1 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada milik mantan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi).

 

Penyitaan itu dilakukan saat Jokowi menjalani pemeriksaan di Mapolda Solo, Jawa Tengah, pada Rabu, 23 Juli 2025.

 

"Dilakukan tadi, penyitaan ijazah asli S1 dan SMA, tadi juga bersama-sama dengan saksi-saksi lain yang diperiksa, ada 10 plus saya, berarti 11 saksi," kata Jokowi kepada awak media.

 

Sejauh ini, Jokowi masih berkomitmen untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan hingga ke pengadilan.

 

"Kita hormati seluruh proses hukum yang ada, sampai nanti di pengadilan kita lihat ya," ucap Jokowi.

 

Soal penyitaan ijazah juga diamini oleh kuasa hukum Jokowi, Yakub Hasibuan yang menjelaskan hal ini dilakukan dalam rangka pembuktian dan penyidikan.

 

"Dalam rangka pembuktian dan penyidikan itu sudah disita, dan tentu kami sangat welcome, dari awal kami laporkan perkara ini ke Polda Metro Jaya, kami sudah mengatakan kami siap," kata Yakub.

 

Dalam pemeriksaan ini, Jokowi dicecar 45 pertanyaan oleh tim penyidik Polda Metro Jaya. Kurang lebih tiga jam lamanya, Jokowi menjalani pemeriksaan. (rmol)


Benny K Harman 


JAKARTA — Hukuman 4 tahun 6 bulan penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong terus menjadi perbincangan berbagai kalangan, termasuk parlemen.

 

Ketua Komisi III DPR RI Benny K Harman mempertanyakan logika hukum dalam proses persidangan yang menjatuhkan putusan tersebut.

 

“Dalam proses hukum apapun di pengadilan, akal sehat itulah yang utama,” ujar Benny di X @BennyHarmanID, Rabu (23/7/2025).

 

Dikatakan politisi Partai Demokrat itu, jika proses hukum telah mengabaikan akal sehat, maka mustahil bisa melahirkan keadilan yang sejati.

 

“Akal sehat itulah keadilan. Proses hukum yang abaikan akal sehat sudah pasti jauh dari keadilan sebenarnya,” tegasnya.

 

Benny juga melontarkan dua pertanyaan kritis yang dianggap menjadi akar dari kejanggalan dalam kasus Tom Lembong.

 

“Mengapa yang memberi perintah tidak dihukum? Mengapa hakim hitung sendiri kerugian negara?” tukasnya.

 

Seperti diketahui, nama Jokowi sempat disebut-sebut dalam persidangan Tom Lembong. Presiden dua periode itu disebut sebagai sosok yang memberikan perintah dalam proses impor gula yang dilakukan.

 

Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, turut memberikan pandangan kritisnya terhadap keputusan majelis hakim.

 

Dalam diskusi bertajuk Rakyat Bersuara yang dipandu Aiman Wicaksono di I News TV, Feri mengomentari penjelasan hakim bahwa Tom tidak memiliki mens rea atau niat jahat, dan tidak menerima keuntungan pribadi.

 

Namun demikian, Tom tetap divonis bersalah karena dinilai telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp194,72 miliar.

 

"Sekarang bayangkan, hakim sendiri mengatakan tidak ada niat jahat. Mas Aiman tahu nda artinya dalam konsep hukum pidana, tidak ada niat jahat? Tidak ada pidana,” kata Feri dikutip fajar.co.id pada Rabu (23/7/2025).

 

"Actus reus, tindakan atau perbuatan jahat bisa ada, tapi kalau niat jahat tidak ada, nggak ada pidana," lanjutnya.

 

Feri juga mengajak mereka yang tidak sependapat dengannya untuk memperdalam pemahaman mengenai hukum pidana, terutama mengenai unsur mens rea.

 

"Silakan belajar hukum pidana dari Indonesia, Sabang sampai Merauke, dari tanah air sampai ke luar negeri, soal mens rea kalau tidak terbukti, tidak ada niat jahat,” tegasnya.

 

Lebih lanjut, Feri menyebut bahwa jika hukum digunakan untuk mempertontonkan kebohongan kepada publik, maka hal itu sangat berbahaya bagi tatanan hukum dan demokrasi.

 

"Kecuali ibu bapak sekalian sedang menipu peradaban hukum. Ikut terlibat dalam political show ini, political trial ini,” ungkapnya.

 

Ia juga mengingatkan pentingnya Pasal 28D ayat 1 UUD 1945 yang menjamin perlindungan hukum dan keadilan bagi setiap warga negara.

 

“Ingat, di UUD itu eksplisit bunyinya. Saya pikir kita sedang bercanda dengan hukum. Kalau kemudian ini digunakan hanya sekadar untuk menghajar oposan,” tandas Feri. (**)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.