Jokowi Ngotot Sembunyikan Ijazah Asli, Kenapa?
OLEH: AHMADIE THAHA
DUNIA tengah sibuk menghadapi perang dagang, krisis iklim, dan inflasi global. Namun di negeri tercinta ini, kita punya prioritas yang lebih menggetarkan jiwa: mencari tahu apakah sebuah ijazah S1 benar-benar asli atau hanya tipuan belaka oleh seorang mantan presiden.
Dimulai 24 April 2025, sebuah sidang
penting kembali digelar di Pengadilan Negeri Solo, Jawa Tengah. Joko Widodo
sang tergugat kasus ijazah palsu ini, atau kadang jadi termohon, dapat
dipastikan tak hadir lagi dalam sidang lanjutan, karena masih jalan ke Eropa.
Pada sidang kedua, Rabu kemarin,
mediasi gugatan ijazah itu belum menemui kesepakatan. Pihak penggugat meminta
Jokowi selaku termohon menunjukkan ijazah aslinya ke publik, namun permintaan
itu ditolak tegas kuasa hukum. Jokowi ngotot sembunyikan ijazahnya.
Semua kita tahu, ini sidang sangat
penting, sangat-sangat penting, teramat penting. Jangan anggap remeh, ini bukan
perkara biasa macam utang-piutang atau sengketa warisan kucing Persia. Ini
perkara kredibilitas, kejujuran, dan mungkin juga soal kayu.
Ya, sidang dugaan ijazah palsu Joko
Widodo kembali digelar. Seperti sekuel sinetron, ini kelanjutan dari drama
berkepanjangan yang sebelumnya sudah diputar ulang dengan berbagai versi, dari
"Font Times New Roman" hingga "Wajah Tak Teridentifikasi di Foto
Ijazah."
Lucunya, sebagaimana drama absurd
yang sudah-sudah, Pak Jokowi sendiri tidak hadir, padahal rumahnya tak jauh
dari kantor pengadilan itu. Katanya dia diutus Presiden Prabowo Subianto untuk
takziah Paus di Vatikan. Fotonya beredar, menampakkan dia mengangkat tangan
berdoa (dalam Islam?) di hadapan jenazah almarhum.
Atau barangkali dia jalan ke Eropa,
sekalian mencari kayu jenis tertentu untuk membangun rumah pensiun yang
sustainable di sana. Atau mungkin pula tengah memeriksa kembali apakah jurusan
"Teknologi Kayu" itu benar-benar ada di CV-nya, atau cuma mimpi
semasa KKN. Ini barangkali saja, lho, semacam imajinasi liar berbasis prasangka.
Duduk di bangku tergugat adalah KPU
Solo, SMA Negeri 6 Surakarta, dan tentu saja pihak Universitas Gadjah Mada
(UGM) yang tiap hari hampir disebut netizen gara-gara ijazah mantan
mahasiswanya. Sebagai pihak-pihak yang ikut tergugat, semua hadir dengan kuasa
hukum masing-masing, membela selembar ijazah seolah itu naskah sakral
Proklamasi.
Yang tampil sebagai penggugat adalah
seorang bernama Muhammad Taufiq yang membawa nama gerakan "TIPU UGM"
(singkatan dari Ijazah Palsu Usaha Gakpunya Malu). Ia berjuang bak pahlawan
film dokumenter Netflix yang sedang membongkar rahasia rezim.
Taufiq datang bukan dengan
bersenjatakan keris, melainkan data yang juga sudah banyak diungkap oleh para
pakar dan aktivis. Bukan dengan bom molotov, melainkan fotokopi surat-surat
keputusan, artikel-artikel sejarah, dan literatur-literatur dari Leiden yang
bahkan pustakawan Belanda pun mungkin tak ingat pernah memilikinya.
Salah satu yang disorot oleh banyak
pihak, di antaranya, adalah klaim Jokowi tentang jurusan “Teknologi Kayu” yang
katanya menjadi habitat akademiknya saat kuliah di UGM. Dokter Tifauzia
Tyasumma, lulusan UGM, mengunduh video pengakuan Jokowi soal jurusan ini, di
Twitter, bahkan sejak Oktober 2022.
Namun setelah tiga tahunan ditelusuri
dengan penuh cinta dan dedikasi akademik, baik oleh aktivis, dosen yang
pensiun, serta pemburu dokumen, hingga ke perpustakaan Leiden, tak satu pun
literatur resmi yang mencatat keberadaan jurusan tersebut. Teknologi kayu hanya
judul mata kuliah.
Penelusuran Dr. Suyadi, dosen asal
Padang di Universitas Leiden, memastikan tak satu pun dokumen sejarah UGM yang
tersedia di perpustakaan terlengkap dunia di kampusnya yang menyebut adanya
jurusan Teknologi Kayu di Fakultas Kehutanan.
Sebagai pakar filologi dan arsip,
Suyadi tentu tak main-main dengan upaya pencarian dokumen-dokumen terkait
sejarah UGM. Dia paham betul, jurusan kehutanan UGM awalnya merupakan bagian
dari Fakultas Pertanian. Pada 1963, jurusan ini dipecah menjadi Fakultas
Kehutanan sendiri.
UGM sejak 1980 memiliki empat
"bagian" di Fakultas Kehutanan: Silvikultur, Manajemen Hutan,
Konservasi Sumber Daya Hutan, dan Teknologi Kehutanan. “Teknologi Kayu” sebagai
nama salah satu mata kuliah, jangan-jangan itu yang paling diingat dan disukai
Jokowi?
Pengadilan Solo ingin membuktikan
kebenaran, salah satunya soal klaim Jokowi tadi. Jika benar jurusan itu ada,
pihak UGM tinggal menunjukkan buktinya, termasuk skripsi Jokowi. Cuma segitu.
Ya, cuma itu saja, sangat sederhana. Tak perlu dikirim dengan unta atau dijaga
mantan pasukan Paspampres.
Sebaliknya, jika jurusan yang diklaim
Jokowi itu tidak ada, berarti itu satu kebohongan lagi, menambah
kebohongan-kebohongan yang seolah sudah menjadi tabungan Jokowi, yang
memberinya wajah sang pinokio. Jika jurusan itu sendiri tidak ada, berarti
Jokowi lulusan dari jurusan bus Bantal... eh Bantul? Sekali lagi, ini hanya
dugaan.
Lantas gimana jika skripsi Jokowi
juga hilang, sebagaimana diklaim terkait ijazah aslinya? Wah, berarti kita
memang punya masalah nasional: bukan hanya ijazah palsu, tapi juga manajemen
perpustakaan yang sangat buruk. Sulit dipercaya, universitas sekelas UGM bisa
begitu.
Tapi, apa sebetulnya yang membuat
bangsa ini begitu keranjingan membongkar ijazah masa lalu seorang mantan
presiden? Hanya selembar ijazah. Bahkan, itu terjadi setelah dia memimpin dua
periode dan mengucapkan ribuan janji ?"yang sebagian besar lebih layak
diuji dari font ijazahnya?
Apakah mungkin karena bangsa ini
merasa terlalu "putus asa" mencari harapan dari para pemimpinnya,
hingga kebenaran macam "apakah benar dia punya ijazah asli" menjadi
seolah pencarian spiritual nasional? Atau, ini akumulasi dari kekecewaan
bangsa?
Tentu, kita tak lupa, bahwa kejujuran
pemimpin bukan hanya soal ijazah, tapi juga soal keteguhan pada janji politik,
transparansi kebijakan, dan keberpihakan kepada rakyat. Kesadaran ini mendorong
kita begitu peka, hingga bahkan font ijazah pun layak disidangkan.
Persidangan soal ijazah Jokowi babak ini baru saja dimulai, mari kita siapkan popcorn dan minuman hangat. Karena seperti sinetron abadi, sidang ijazah palsu Jokowi masih akan terus berlanjut. Entah sampai kapan. Sabar, semua ini demi kebenaran yang kita cari bersama. (*)
Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al Quran