Latest Post

Ubedilah Badrun/RMOL 

 

JAKARTA — Kegagalan lembaga negara seperti DPR dan MPR dalam menanggapi serius pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dapat memperkuat ketidakpercayaan publik dan mendorong reaksi di luar mekanisme konstitusi.

 

Hal itu dikemukakan pengamat politik Ubedilah Badrun dalam diskusi publik bertema "Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?" yang digelar Formappi, Jalan Matraman Raya, Jakarta Pusat, Rabu, 18 Juni 2025.

 

“Kalau DPR tidak lagi menjadi institusi yang mewakili kepentingan rakyat, dan MPR juga demikian, kita tidak bisa menyalahkan rakyat kalau rakyat melakukan langkah-langkah yang di luar nalar, di luar arena politik yang konstitusional," katanya.

 

Ia mencontohkan potensi gelombang protes dari mahasiswa yang bisa lebih ekstrim dari sebelumnya. Ini karena mereka sudah tidak percaya lagi dengan DPR.

 

Menurut Ubedilah, isu pemakzulan Gibran harus ditanggapi dengan serius demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik.

 

“Kalau pemakzulan Gibran ini tidak direspon secara serius akan mempertajam atau memperkuat publik distrust," tegasnya.

 

Ia juga menyoroti lemahnya etika politik di Indonesia. Dia mencontohkan mantan koruptor saja bisa dengan leluasa kembali mencalonkan dan terpilih kembali menjadi lagi, anggota DPR.

 

"Kita tidak punya etika politik secara membanggakan,” kritiknya.

 

Terkait posisi Gibran, Ubedilah mempertanyakan apakah sang wakil presiden bersedia mundur jika terbukti memiliki masalah hukum atau etik.

 

“Kalau datanya dibuka, apakah Gibran bersedia mundur? Kita harus belajar dari Jepang. Di sana, kalau pejabat buat kesalahan, dia mundur tanpa banyak alasan,” pungkasnya. (rmol)


Beathor Suryadi 

 

JAKARTA — Polemik terkait ijazah mantan Presiden Joko Widodo kembali mencuat. Kali ini nama Pasar Pramuka menjadi sorotan. Pasalnya, ada pernyataan dari politikus senior PDI Perjuangan, Beathor Suryadi, terkait kasus tersebut.

 

Kata dia, Andi Widjajanto—mantan Gubernur Lemhannas sekaligus tokoh PDIP—disebut melihat langsung dokumen ijazah Jokowi yang diduga palsu.

 

Beathor mengatakan, Andi melihat sendiri dokumen tersebut saat Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2014. Namun, menurutnya, ijazah tersebut merupakan cetakan ulang yang dibuat pada 2012 saat Jokowi mendaftar sebagai calon gubernur DKI Jakarta.

 

“Andi belum sadar kalau yang ia lihat itu cetakan 2012. Itu digunakan untuk keperluan Pilgub DKI,” ujar Beathor.

 

Beathor juga menuding proses pencetakan ijazah dilakukan secara diam-diam di kawasan Pasar Pramuka, Jakarta Pusat, oleh tim relawan Jokowi yang berasal dari Solo.

 

Ia menyebut sejumlah nama seperti David, Anggit, dan Widodo, serta kolaborator dari PDIP DKI, termasuk Dani Iskandar dan Indra.

 

“Dokumen itu disusun buru-buru di rumah Jalan Cikini No. 69, Menteng. Semua strategi disiapkan di sana,” katanya, melansir laman msn dari Seputar Cibubur, Rabu (18/6/2025).

 

Widodo disebut-sebut sebagai tokoh kunci dalam proses pencetakan, namun menurut Beathor, ia telah menghilang sejak isu buku kontroversial karya Bambang Tri tentang ijazah Jokowi mengemuka.

 

Yang mengejutkan, kata Beathor, adalah reaksi Andi Widjajanto ketika melihat foto di berbagai ijazah Jokowi yang terlihat identik.

 

“Seharusnya tiap jenjang pendidikan memakai foto berbeda. Ini justru sama semua,” katanya.

 

Beathor menantang Andi Widjajanto untuk angkat bicara demi meluruskan sejarah. Jika benar ada manipulasi dokumen, ia menilai UGM sebagai almamater Jokowi harus mengambil sikap moral, dan Bareskrim Polri perlu segera melakukan penyelidikan. (fajar)

 

Mantan Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi bersama Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka/Ist 

 

JAKARTA — Aktivis demokrasi Ray Rangkuti menegaskan pemakzulan presiden dan wakil presiden tidak harus dilakukan sekaligus. Pernyataan itu menanggapi pernyataan mantan Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi yang mengatakan jabatan presiden dan wakil presiden merupakan satu kesatuan.

 

“Jelas tidak satu paket. Pasal 7A UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit presiden dan/atau wakil presiden. Artinya bisa salah satu, tidak harus keduanya,” kata Ray dalam diskusi publik bertema "Menuju Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?" yang digelar Formappi, Jalan Matraman Raya, Jakarta Pusat, Rabu 18 Juni 2025.

 

Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) itu  mencontohkan sejarah politik Indonesia yang membuktikan hal tersebut.

 

“Mohammad Hatta pernah mundur dari jabatan wakil presiden, tapi Soekarno tetap menjabat. Kalau satu paket, maka Soekarno juga harus mundur,” jelasnya.

 

Contoh lain, lanjut Ray, adalah ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri dan Wakil Presiden B.J. Habibie naik menggantikan.

 

Hal yang sama terjadi saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dimakzulkan dan Megawati Soekarnoputri naik sebagai presiden.

 

“Pencalonannya memang satu paket, tapi pemakzulannya bisa sendiri-sendiri. Jadi jelas ini bukan soal satu paket,” tegasnya.

 

Ray juga mempertanyakan motif di balik pernyataan Jokowi yang seolah-olah ingin membidik Presiden Prabowo Subianto jika Wapres Gibran Rakabuming Raka dimakzulkan.

 

"Masa mantan presiden dengan tingkat kepuasan publik 80 persen tidak paham hal begini?” sindir Ray Rangkuti. (rmol)

 

Foto: akun X @hnirankara 

 

JAKARTA — Perdebatan seputar keaslian ijazah mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi), kembali memanas. Kali ini, polemik bergeser ke ranah perdebatan filosofis: sejauh mana dokumen pribadi dapat dituntut untuk terbuka jika menyangkut jabatan publik?

 

Pernyataan kuasa hukum Jokowi, Yakup Hasibuan yang menyebut memperlihatkan ijazah Jokowi ke publik bisa menimbulkan kegaduhan, sejatinya memantik respons keras dari dua tokoh yang dikenal kritis, yakni pakar hukum tata negara Refly Harun dan pengamat politik Rocky Gerung.

 

Refly menilai argumen kuasa hukum Jokowi keliru karena tidak membedakan ranah privat dan publik. Menurutnya, karena ijazah digunakan dalam proses pencalonan pejabat negara, maka ijazah seharusnya terbuka untuk umum.

 

“Dia (Yakup, red) tidak bisa membedakan domain publik dan domain privat. Katanya, ‘nanti ada kepala-kepala daerah. Kalau dia dituduh, kan dia menggunakan ijazah itu untuk mendaftarkan diri sebagai kepala daerah,’” ujar Refly Harun di kanal YouTube miliknya, dikutip Kamis (18/6/2025).

 

Ia menambahkan, “Tapi kalau enggak (daftar), enggak dipersoalkan ya, enggak ada masalah. Nanti itu masyarakat sipil. Nah, itu dia enggak paham.”

 

Menurut Refly, jika ijazah tidak digunakan dalam jabatan publik, maka masyarakat tidak berhak menuntut. Namun dalam kasus Jokowi, justru hal itu yang menjadi landasan tuntutan.

 

“Masyarakat sipil dikecualikan informasinya, Bro. Anda tidak bisa memaksa saya untuk menunjukkan ijazah tersebut kalau itu tidak terkait dengan jabatan publik. Tapi kalau terkait dengan jabatan publik, ah itu harus begitu. Dan tentu jabatan publik yang dipersyaratkan menggunakan ijazah,” tegasnya.

 

Rocky Gerung pun turut mempertanyakan logika kekacauan yang dibangun oleh pihak kuasa hukum. Menurutnya, permintaan publik agar Jokowi menunjukkan ijazah bukan karena fanatisme terhadap dokumen tersebut, melainkan karena ingin melihat kejujuran pejabat publik.

 

“Kelihatannya pihak Jokowi makin panik, sehingga mulai mengancam kembali, seolah-olah kalau ijazah itu dipertontonkan akan ada chaos,” kata Rocky dalam video yang diunggah di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Senin (16/6/2025).

 

Ia menambahkan, “Yang ingin diketahui publik adalah kejujuran Jokowi, bukan ijazahnya tuh.”

 

Rocky menyebut akar keraguan publik muncul dari jejak panjang pernyataan Jokowi yang dianggap tidak konsisten sejak awal menjabat. Sejumlah janji seperti pertumbuhan ekonomi 8 persen, keberadaan mobil Esemka, hingga soal dana rakyat Indonesia di luar negeri, menjadi alasan publik kian kritis.

 

“Jadi kalau Jokowi berulang kali tidak jujur, maka orang menganggap bahwa, bahkan terhadap ijazahnya, dia tidak jujur,” ujarnya.

 

Dalam pandangannya, polemik ini seharusnya tak dilihat dari aspek pidana, melainkan dari kewajiban moral dan administratif seorang pejabat negara terhadap rakyat.

 

“Jokowi itu tidak dituntut untuk memperlihatkan ijazahnya sebagai individu yang bernama Joko Widodo. Bukan. Tetapi sebagai kepala negara yang harus mengikuti prosedur administrasi negara,” jelas Rocky.

 

Lebih lanjut, Rocky menyebut alasan kuasa hukum Jokowi tidak rasional.

 

“Seolah-olah Indonesia ini akan chaos kalau Jokowi tunjukin ijazah, di mana reasoning-nya itu? Kan itu argumen bodoh, eh sorry, sorry, argumen enggak masuk akal itu, maksud saya argumennya ya,” pungkasnya. (fajar)

 

Pakar hukum tata Negara Zainal Arifin Mochtar/Net 

 

JAKARTA — Pakar hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar mengatakan syarat hukum pemberhentian Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka sebetulnya sudah terpenuhi jika merujuk pada ketentuan konstitusi.

 

Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber dalam diskusi publik bertema "Menjelang Pemakzulan Gibran: Sampai Kemana DPR Melangkah?" yang digelar Formappi.

 

“Ada tiga alasan pemakzulan berdasarkan pasal 7 khususnya dari pasal 7A-7B UUD 1945, yaitu pelanggaran pidana, pelanggaran administratif, dan perbuatan tercela," katanya seperti dikutip redaksi, Rabu 18 Juni 2025.

 

Ia menjelaskan, pelanggaran pidana dapat dilihat dari laporan Ubedilah Badrun terkait dugaan keterlibatan Gibran dalam kasus korupsi.

 

Sementara pelanggaran administratif, lanjutnya, bisa muncul dari persoalan keabsahan ijazah atau proses verifikasi administratif lainnya.

 

“Perbuatan tercela? Banyak sekali. Ada Fufufafa, nepotisme," tegas sosok yang akrab disapa Uceng tersebut.

 

Uceng menilai bahwa secara konstruksi hukum, pemakzulan terhadap Gibran bisa dilakukan. Namun hambatan utama justru berada di ranah politik.

 

Ia menjelaskan bahwa untuk memulai pemakzulan, DPR harus melewati sejumlah tahapan, termasuk hak menyatakan pendapat yang memerlukan kuorum dan dukungan mayoritas.

 

“Kalau pendukung Prabowo-Gibran masih bersatu padu kuat maka hitungannya tidak akan mencapai menuju kepada hak menyampaikan pendapat, itu kalau kita melihat secara koalisi pemerintahan," jelasnya.

 

Uceng menambahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) dianggapnya juga sebagai salah satu hambatan besar dalam proses pemakzulan putra sulung Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi itu.

 

"Mohon maaf saya tidak bisa menganggap MK ini makhluk hukum. Menurut saya MK ini adalah makhluk politik," sindirnya.

 

Jikapun MK menyetujui pemakzulan, DPR kemudian harus mengundang DPD untuk menggelar Sidang MPR.

 

“MPR itu lebih dari 700 orang dengan konstelasi politik yang berbeda-beda,” pungkasnya. (rmol)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.