Latest Post

Konferensi pers Ditipidum Bareskrim Polri terkait ijazah sarjana mantan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis, 22 Mei 2025/RMOL 

 

JAKARTA — Langkah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik Indonesia mengumumkan keaslian ijazah mantan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo alias Jokowi, dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) tak menyelesaikan masalah atau memadamkan polemik.

 

Demikian pendapat peneliti media dan politik Buni Yani dalam keterangannya yang dikutip RMOL, Senin, 26 Mei 2025.

 

"Justru sebaliknya, pengumuman Bareskrim tersebut justru menimbulkan kontroversi baru dan memperluas keraguan atas ijazah Jokowi," kata Buni Yani.

 

Menurut Buni Yani, solusinya hanya satu, yakni Presiden Prabowo Subianto turun tangan untuk mencegah semakin terbelahnya masyarakat.

 

"Kalau dibiarkan berlarut-larut pasti membuat konflik dan pro kontra semakin dalam. Ini sama sekali tidak menguntungkan pemerintahan Prabowo," kata Buni Yani.

 

Laporan dugaan pemalsuan ijazah yang ditujukan kepada Jokowi dilayangkan oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang diwakili oleh Eggi Sudjana.

 

Laporan tersebut merujuk pada sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), termasuk Pasal 263, 264, dan 266, serta Pasal 68 dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

Tuduhan yang diajukan berkisar pada dugaan pemalsuan dan penggunaan dokumen akademik yang tidak sah. (*)


Mantan Presiden ketujuh Joko Widodo memberikan keterangan pada awak media di depan Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Selasa (20/5/2025) 

 

JAKARTA — Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan kampanye mengenai keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo mengalami kegagalan komunikasi yang serius.

 

Berdasarkan analisis big data dan jajak pendapat publik yang dilakukan melalui kanal YouTube RH Channel, mayoritas publik disebut tak percaya dengan klarifikasi resmi yang diberikan Bareskrim Mabes Polri.

 

“Jadi saudara sekalian, saya ingin membahas satu soal yang terkait kegagalan komunikasi, ijazah asli ya, kegagalan komunikasi ijazah asli oleh pihak Jokowi dan Bareskrim Mabes Polri,” kata Refly dalam pernyataannya, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube miliknya.

 

Refly mengungkapkan, berdasarkan data yang dikumpulkan sehari setelah pengumuman Bareskrim pada 22 Mei 2025, hanya 11,8 pesen responden yang menyatakan “setuju” dengan klarifikasi yang disampaikan, sementara 88,2 persen menyatakan “tidak setuju”.

 

Angka ini, menurutnya, terus menurun dalam beberapa hari berikutnya.

 

“Pada pukul 18.00 WIB, 23 Mei 2025, yang menyatakan setuju tinggal 6,1 persen, dan tidak setuju meningkat menjadi 93,9 persen. Terakhir, 25 Mei pukul 10 pagi, hanya 5,8 persen yang setuju dan 94,2 persen tidak setuju. Bayangkan betapa mutlaknya penolakan publik terhadap hasil pengumuman tersebut,” jelas Refly Harun.

 

Refly juga menjelaskan bahwa analisis dilakukan dengan bantuan program Python yang digunakan oleh tim data analis bernama Lisa. Ia menyebut, analisis mencakup 2 juta data terakhir dan memperlihatkan kecenderungan kuat terhadap ketidakpercayaan publik.

 

Selain big data, RH Channel juga melakukan polling internal. Dari total sekitar 130 ribu responden, hasilnya tak jauh berbeda. “Yang menyatakan percaya itu 8 persen, tidak percaya 89 persen, dan ragu-ragu 3 persen,” katanya.

 

Menurut Refly, jika kelompok ragu-ragu dibagi rata, maka ketidakpercayaan publik bisa mencapai angka 90 persen.

 

“Jadi dari tiga indikator ini saya bisa simpulkan kampanye ijazah asli itu gagal, baik sebelum maupun setelah pengumuman Bareskrim Mabes Polri. Banyak masyarakat yang tidak percaya,” tegas Refly.

 

Ia juga menyinggung tren kepercayaan terhadap Presiden Jokowi yang terus menurun sejak Desember 2024. “Sentimen negatif terhadap Jokowi mencapai 93,9 persen hingga 17 Mei 2025. Ini menggambarkan kemerosotan drastis dalam kepercayaan publik,” ujar Refly Harun. (poskota)


Forum group discussion Polresta Malang bersama Dewan Pers dan akademisi/Ist 

 

JAKARTA — Polisi harus menjadi problem solver yang tepat bagi masyarakat. Untuk mewujudkannya, adaptasi kinerja polisi diperlukan di era digital seperti sekarang ini.

 

Seperti yang dinyatakan oleh Kapolresta Malang, Kombes Nanang Haryono dalam forum diskusi kelompok dengan dewan pers dan akademisi membawa tema ingin dipercaya oleh masyarakat, memahami harapannya.

 

“Dengan memahami harapan masyarakat, kita bisa mengambil hati mereka dan mewujudkan Polri yang prediktif, responsif, dan transparan (presisi),” ujar Kombes Nanang dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 25 Mei 2025.

 

Ia juga mendorong personel untuk mengaplikasikan ilmu dari forum ini dalam pelayanan sehari-hari, terutama menyelesaikan masalah masyarakat secara profesional.

 

Sementara itu, Wakil Dewan Pers, Totok Suryanto menyoroti perlunya Polri membangun kedekatan dengan masyarakat.

 

"Polri dan Pers sama-sama bekerja untuk rakyat. Di era digital, setiap warga bisa menjadi 'jurnalis' sehingga kepekaan dan kesantunan dalam melayani publik adalah kunci,” tegasnya.

 

Totok juga mengingatkan agar personel menghindari sikap superior dan lebih mengedepankan interaksi humanis, seperti senyum dan komunikasi yang memukau.

 

Senada, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga Prof Nur Basuki Minarso menekankan pentingnya integritas dan penguasaan teknologi dalam menjaga profesionalisme Polri.

 

“Aparat harus netral, akuntabel, dan menghindari prasangka saat menangani kasus. Penguasaan teknologi informasi juga vital untuk membangun pelayanan prima,” jelas Prof Nur Basuki. (rmol)


Foto kopi Ijazah Jokowi yang ditampilkan Bareskrim. (Foto: akun X @ilhampid) 

 

JAKARTA — Hasil forensik Polri bukan satu-satunya yang bisa diterima dalam pembuktian kasus ijazah mantan Presiden ke-7 Jokowi. Hal itu diungkapkan pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho.

 

“Secara formal, UGM sudah menyampaikan. Sekarang secara materiil seperti apa? Hasil ini yang akan dikeluarkan oleh Bareskrim. Pertanyaanya, apakah hasil dari Bareskrim satu-satunya yang diterima? Oh tidak,” kata Hibnu dikutip dari rekaman video Kompas TV, Jumat (23/5/2025).

 

Jika penggugat ijazah Jokowi tak terima dengan hasil forensik Bareskrim Polri, maka menurutnya bisa dilakukan pembanding.

 

“Nanti, seandainya Bang Roy dan teman-teman tidak sepakat. Ada pembandingan. Ini yang disebut dengan kontra suatu pembuktian,” jelasnya.

 

“Jadi hasil forensik penegak hukum, bisa juga hasil forensik pihak pelapor. Seperti halnya visum dari penegak hukum, visum ulang dari korban dan sebagainya,” tambahnya.

 

Karenanya, ia mengatakan, keputusannya ada pada hakim. Sejauh hakim bisa diyakinkan.

 

“Karena apa? Kenapa forensik hadir apa bila ada keraguan. Nah keraguan inilah yang diperiksa forensik, dan kemudian mungkin ada pembanding yang lain,” terangnya.

 

“Hasil forensik itu menambah keyakinan hakim,” tambahnya.

 

Olehnya, ia mengungkapkan tanggung jawab hakim sangat berat.

 

“Tanggung jawab hakim ini sangat berat untuk melihat di sini,” pungkasnya.

 

Penjelasan itu disampaikan Hibnu sebelum pengumuman hasil forensik oleh Bareskrim Polri.

 

Pengumuman dilakukan oleh Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro dalam konferensi pers, Kamis (22/5/2025).

 

"Pengaman kertas, teknik cetak, tinta tulisan tangan, cap stempel, dan tinta tanda tangan milik dekan dan rektor dari peneliti tersebut maka antara bukti dan pembanding adalah identik atau berasal dari satu produk yang sama," katanya.

 

Di sisi lain, pengacara Roy Suryo, Ahmad Khozinudi megkritik kinerja Bareskrim Polri terkait ijazah Presiden ke-7 Jokowi. Ia menganggapnya tak bernilai.

 

“Saya kasihan juga dengan bareskrim, karena hasil dari Bareskrim itu tidak punya nilai apapun selain menghentikan penyidikan,” kata Ahmad dalam sebuah wawancara di televisi swasta, dikutip Jumat (23/5/2025).

 

Ia mengatakan, hal tersebut tidak bisa menjadi penguatan bukti laporan ke Polda. Karena proses menguatkan laporan di Polda, ijazah Jokowi harus disita di Polda, dan diproses di Polda meskipun harus balek ke Bareskrim.

 

“Barang itu harus tetap di penyidik, nanti dilimpahkan kepada jaksa baru dibawa ke pengadilan. Di sana nanti bertarung, akan ada gelar perkara, di sana kami ajukan ahli, ajukan saksi, ajukan tes pembanding,” jelasnya.

 

“Kalau hari ini sebenarnya, kita butuh bukti bukan narasi. Mohon maaf sebelumnya, saya itu over optimis, saya harap apa yang dilakukan Bareskrim itu seperti apa yang akan dilakukan Polda Banten,” tambahnya. (fajar)


Potret pihak kepolisian resmi menghentikan penyidikan terkait kasus dugaan ijazah palsu Jokowi. (Sumber: Humas Polri) 


JAKARTA — Penyidik ​​Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri resmi menghentikan penyidikan kasus dugaan ijazah palsu milik mantan Presiden Joko Widodo.

 

Dalam keterangan resminya, Brigjen TNI Johandani Rahardjo Puro menegaskan ijazah yang diberikan Jokowi adalah asli dan berharap pengumuman ini dapat meredakan polemik yang berkembang di publik.

 

Namun, pengamat politik Rocky Gerung menilai pernyataan polisi tersebut belum menyelesaikan substansi permasalahan. Dalam diskusi dengan wartawan senior Hersubeno Arief, Rocky mengatakan bahwa permasalahan utama bukanlah keaslian fisik ijazah, melainkan legalitas kepemilikan dan tata cara perolehannya.

 

“Yang dinyatakan asli itu adalah barang benda yang berupa kertas. Tetapi yang dipersoalkan bukan bendanya, melainkan kepemilikan benda itu. Itu masalahnya,” ujar Rocky, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Rocky Gerung Official pada Sabtu, 24 Mei 2025.

 

Menurutnya, barang yang dinyatakan asli oleh laboratorium forensik tetap harus diuji lebih lanjut di pengadilan, termasuk menyangkut prosedur perolehan dan siapa pemilik sah dari dokumen tersebut.

 

“Saya mencuri barang, lalu dianggap saya mencuri barang yang palsu. Saya bilang, ‘Ini barangnya asli.’ Lalu dibuktikan bahwa barangnya memang asli. Tapi itu bukan hak saya karena saya mencuri. Kan itu soalnya,” kata Rocky, memberikan analogi.

 

Lebih lanjut, ia mempertanyakan alasan mengapa Jokowi baru menunjukkan dokumen tersebut sekarang, setelah masa jabatannya berakhir, padahal isu ijazah ini sudah mencuat sejak dua tahun lalu.

 

“Kenapa Pak Jokowi menunda-nunda benda itu sehingga terjadi keributan dan kehebohan? Dan Pak Jokowi tentu yang boleh disebut sebagai mensponsori kehebohan,” tambah Rocky.

 

Ia juga menyoroti bahwa opini publik telah terlanjur berkembang dan tak serta merta berhenti hanya dengan pernyataan resmi dari pihak kepolisian.

 

Menurutnya, pengadilan tetap menjadi jalur sah untuk menyelesaikan persoalan ini, terutama menyangkut beban pembuktian dan keterangan para saksi.

 

“Laboratorium menentukan itu asli. Tetapi persidangan tidak mungkin menerima kesimpulan itu sebelum diperiksa prosedur hukum acaranya,” tegasnya.

 

Rocky menyebut bahwa publik memiliki hak untuk mengetahui proses yang transparan dan ilmiah, bahkan jika diperlukan, melibatkan analisis forensik lanjutan dari laboratorium yang lebih kredibel.

 

“Ini pengantar untuk memulai kasus ini dibuka di pengadilan,” tutup Rocky.

 

Meski Bareskrim telah menghentikan penyelidikan, pernyataan dan analisis Rocky Gerung menunjukkan bahwa polemik belum sepenuhnya mereda di mata publik. (poskota)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.