Latest Post

Ijazah Jokowi yang diunggah kader PSI 


JAKARTA — Laporan dugaan ijazah palsu yang disampaikan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) masih dalam proses penyidikan Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri.

 

Laporan TPUA yang diketuai Eggy Sudjana tersebut merupakan laporan dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro mengungkap kasus tersebut.

 

"Sebagaimana surat nomor Khusus/TPUA/XII/2024 tanggal 9 Desember 2024 perihal pengaduan adanya temuan publik (dan dari berbagai media sosial sebagai bentuk notoire feiten) cacat hukum ijazah S1 Jokowi oleh Tim Pembela Ulama dan Aktivis," kata dia, Rabu (7/5/2025), seperti dilansir ANTARA.

 

Dalam menyelidiki laporan dugaan ijazah palsu Jokowi itu, pihak Dittipidum telah memeriksa 26 saksi, di antaranya:

 

1.Pihak pengadu sebanyak empat orang.

2.Staf Universitas Gadjah Mada (UGM) sebanyak tiga orang.

3.Alumni Fakultas Kehutanan UGM sebanyak delapan orang.

4.Dinas Perpustakaan dan Arsip DI Yogyakarta sebanyak satu orang.

5.Staf percetakan Perdana sebanyak satu orang.

6.Staf SMA Negeri 6 Surakarta sebanyak tiga orang.

7.Alumni SMA Negeri 6 Surakarta sebanyak empat orang.

8.Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Ditjen Pauddikdasmen) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) sebanyak satu orang.

9.Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) sebanyak satu orang.

10.KPU pusat sebanyak satu orang.

11.KPU DKI Jakarta sebanyak satu orang.

 

Selain memeriksa saksi, tim Dittipidum juga telah memeriksa sejumlah dokumen, antara lain terkait awal masuk Jokowi menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM sampai dengan lulus ujian sebanyak 34 lembar.

 

Kemudian, memeriksa dokumen dari Fakultas Kehutanan UGM sebanyak tiga bundel, hingga dokumen dari SMA Negeri 6 Surakarta sebanyak satu bundel.

 

"Telah dilakukan uji laboratorium terhadap dokumen awal masuk menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM sampai dengan lulus ujian skripsi dengan perbandingan dokumen dari teman satu angkatan yang masuk pada tahun 1980 dan lulus pada tahun 1985," tutur Brigjen Djuhandhani.

 

Diketahui, pada 30 April 2025, Jokowi sempat mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan soal tudingan ijazah palsu yang dituduhkan kepada dirinya.

 

"Ya ini, sebetulnya masalah ringan. Urusan tuduhan ijazah palsu. Tetapi perlu dibawa ke ranah hukum, agar semua jelas dan gamblang," kata Jokowi.

 

Langkah hukum ini diambil menyusul munculnya keinginan sejumlah pihak, salah satunya TPUA, yang meminta Jokowi memperlihatkan ijazah aslinya yang diterbitkan UGM. (fajar)


Pernikahan Luna Maya dan Maxime Bouttier. Foto: Tangkapan layar siaran TS Media 

 

BALI — Akto Maxime Bouttier resmi menikahi kekasihnya Luna Maya pada Rabu (7/5) di Pulau Bali. Mahar yang diberikan berupa logam mulia dan uang tunai berupa dolar AS.

 

Pencatat nikah dari KUA Sukawati, Ahmad Adi Wijaya, pun membeberkan mahar yang diberikan Maxime Bouttier kepada Luna Maya dalam pernikahan tersebut.

 

Penyebutan mahar itu terungkap sebelum akad nikah antara Luna Maya dan Maxime Bouttier berlangsung. "Maskawin. Logam mulia 7,5 gram. Uang USD 2.025 (setara Rp33,4 juta) dibayar tunai, begitu ya," kata Adi yang ditanggapi Maxime dengan anggukan.

 

Pasangan Luna Maya dan Maxime Bouttier resmi menjadi suami istri, seusai menjalani akad nikah di Ubud, Bali (Rabu). Proses akad nikah yang berkonsep imtimate tersebut berlangsung lancar dan khidmat hingga usai.

 

Kendati digelar secara tertutup, akad nikah pasangan selebritas tersebut disiarkan secara langsung melalui akun YouTube TS Media.

 

Akad nikah dipimpin oleh penghulu dari KUA Sukawati, Ahmad Adi Wijaya, dengan kakak Luna Maya selaku wali nikah.

 

Sementara itu, dua orang yang dipercaya untuk menjadi saksi nikah tercatat yakni Raffi Ahmad dan suami Maia Estianty, Irwan Musry.

 

"Bismilahirahamanirrahim, saya nikahkan adik kandung saya Luna Maya sugeng binti almarhum Uut Bambang Sugeng dengan maskawin logam mulia 7,5 gram dan uang 2.025 US Dollar dibayar tunai," kata kakak Luna Maya, Tipi Jabrik dengan mantap.

 

Sementara itu, Maxime Bouttier terlihat tenang saat mengucapkan kalimat akad nikah dengan satu kali percobaan. Pria yang kini reski menjadi suami Luna Maya tersebut tampak santai dan semringah seusai akad nikah.

 

"Saya terima nikah dan kawinnya Luna Maya sugeng binti almarhum Uut Bambang Sugeng dengan maskawin logam mulia 7,5 gram dan uang 2.025 US Dollar dibayar tunai," kata Maxime. (fajar)


Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar/Ist 
 

JAKARTA — Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer Kejaksaan Agung (Jampidmil Kejagung) telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek pengadaan slot orbit 123 derajad Bujur Timur di Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021. Salah satu tersangka merupakan purnawirawan perwira tinggi TNI dari Angkatan Laut.

 

"Penyidik pada Jampidmil telah menetapkan tersangka pertama, Laksamana Muda TNI (Purn) L selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Kedua, ATVDH (selalu perantara). Ketiga, GK selaku CRO Navayo International AG," kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar dalam keterangannya, Rabu, 7 Mei 2025.

 

Duduk perkara kasus ini berawal ketika Kementerian Pertahanan Republik Indonesia lewat tersangka L menandatangani kontrak dengan tersangka GK pada Juli 2016 tentang perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait (Agreement For The Provision Of User Terminal And Related Service And Equipment) senilai USD 34.194.300 dan berubah menjadi USD 29.900.000.

 

Rupanya, penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa.

 

"Di mana Navayo International AG juga merupakan rekomendasi dari (tersangka) ATVDH," jelas Harli.

 

Dari sini, Navayo International AG mengakui telah mengirim barang kepada Kemhan. Lalu, setelah pengiriman barang ditandatangilah empat buah surat Certificate of Performance  (CoP)  atau sertifikat  kinerja  terhadap  pekerjaan  yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG.

 

"CoP tersebut yang telah disiapkan oleh ATVDH tanpa dilakukan pengecekan terhadap barang yang dikirim terlebih dahulu. Pihak Navayo International AG melakukan penagihan kepada  Kementerian Pertahanan Republik Indonesia dengan mengirimkan empat invoice (permintaan pembayaran dan CoP)," bebernya.

 

Padahal, hingga 2019, Kemhan tidak memiliki anggaran untuk pengadaan satelit. Berdasarkan dugaan tersebut, pemeriksaan terhadap hasil kerja Navayo International AG dilakukan oleh para ahli satelit Indonesia atas permintaan penyidik koneksitas Jampidmil.

 

"Kesimpulan pekerjaan Navayo International AG tidak dapat membangun sebuah Program User Terminal karena hasil pemeriksaan laboratorium terhadap handphone sebanyak 550 buah tidak ditemukan secure chip inti dari pekerjaan user terminal, hasil pekerjaan Navayo International AG terhadap user terminal tidak pernah diuji terhadap Satelit Artemis yang berada di Slot Orbit 1230 BT, dan barang-barang yang dikirim Navayo International AG tidak pernah dibuka dan diperiksa," papar Harli.

 

Di satu sisi, Kemhan tetap harus membayar tagihan senilai USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura.

 

Pembayaran wajib dilakukan karena telah menandatangani CoP. Sementara menurut perhitungan BPKP, kegiatan yang telah dilaksanakan oleh Navayo International AG berdasarkan nilai kepabeanan sebesar IDR 1.92 miliar.

 

"Untuk memenuhi kewajiban pembayaran sejumlah USD 20.862.822 berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura dan permohonan penyitaan Wisma Wakil Kepala Perwakilan Republik Indonesia, rumah dinas Atase Pertahanan dan rumah dinas (apartemen) Koordinator Fungsi Politik KBRI di Paris oleh Juru Sita (Commissaires de justice) Paris terhadap Putusan Pengadilan Paris yang mengesahkan Putusan Tribunal Arbitrase Singapura tanggal 22 April 2021 yang dimohonkan oleh Navayo International AG atas putusan Arbitrase International Commercial Court (ICC) Singapura, Penyidik pada Jampidmil telah menetapkan tersangka berdasarkan Surat Perintah Nomor Sprin 78A/PM/PMpd.1/05/2025 Tanggal 05 Mei 2025," bebernya lagi.


Akibat perbuatannya, ketiga tersangka dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi mulai dari Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat satu kesatu juncto Pasal 64 KUHP, Pasal 3 juncto Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu, juncto Pasal 64 KUHP, Pasal 8 juncto Pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu juncto Pasal 64 KUHP. (rmol)


Danpuspom TNI Mayjen TNI Yusri Nuryanto menyampaikan keterangan kepada awak media pada Rabu (7/5). (Puspom TNI) 

 

JAKARTA — Aksi premanisme berkedok ormas akhir-akhir ini menjadi sorotan. Bahkan, kondisi tersebut turut mengusik perhatian Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Oleh karena itu, Puspom TNI memastikan tidak akan tinggal diam dalam menyikapi aksi premanisme berkedok ormas. Bersama Polri, TNI akan terus bersinergi menangani masalah tersebut.

 

Komandan Puspom TNI Mayjen TNI Yusri Nuryanto menyampaikan hal itu usai menghadiri pembukaan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Puspom TNI di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur (Jaktim) pada Rabu (7/5). Ia menyatakan TNI akan bekerja keras untuk memberikan rasa aman di masyarakat.

 

”Terkait dengan masalah ormas, intinya kami tetap tujuannya adalah menjaga keamanan, kenyamanan masyarakat. Selalu kami bersama-sama dengan Polri untuk menjaga Kamtibmas,” kata dia kepada awak media.

 

Tidak hanya bekerja sama dengan Polri, mereka juga mengandalkan fungsi intelijen untuk memastikan tugas tersebut terlaksana dengan baik. Termasuk yang menyangkut gangguan pada objek-objek vital nasional. Puspom TNI senantiasa bekerja sama dengan intelijen.

 

”Kami memang ada fungsi disini adalah pengamanan objek vital. Itu adalah intelijen, dimana kami selalu berkolaborasi dan bekerjasama dengan intelijen-intelijen yang lain,” bebernya.

 

Kerja sama juga dilakukan bersama intelijen kepolisian, Badan Intelijen Negara (BIN), serta Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI. Semua informasi yang masuk dianalisis untuk ditindaklanjuti dengan langkah serta tindakan pencegahan agar situasi tetap terkendali.

 

”Kalau memang di ormas itu ada mereka tentunya orang sipil, nanti yang menangani adalah dari kepolisian. Kalau ada oknum TNI-nya baru kami yang menangani,” tegas Yusri. (fajar)


Demonstrasi mahasiswa/Ist 

 OLEH : AHMADIE THAHA

DI tengah suasana politik yang makin mirip sinetron tanpa jeda iklan --dan tanpa penulis skenario profesional -- muncul lagi satu episode menggelitik. Kali ini dari Forum Purnawirawan Prajurit TNI. Bukan hanya sekadar acara reuni akbar sambil karaoke lagu perjuangan, mereka datang dengan delapan tuntutan.

 

Salah satu tuntutan mereka cukup bombastis: mengganti Wakil Presiden dengan memakzulkan Gibran Rakabuming Raka.

 

Ya, Gibran. Anak sulung mantan Presiden Jokowi, mantan Wali Kota Solo yang naik kelas ke panggung nasional lebih cepat dari kecepatan promosi karyawan startup. Kalau Gibran ini karakter fiksi, mungkin sudah menyabet penghargaan “Tokoh Paling Instan” di dunia politik Indonesia. Tapi karena dia nyata, kita semua kena plot twist nasional.

 

Yang bikin heboh, tuntutan penggantian ini tidak datang dari ormas pinggiran atau netizen gabut yang lagi nungguin diskon belanja online. Ini dari 103 purnawirawan jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel. Kalau mereka berbaris rapi di Senayan sambil teriak yel-yel, mungkin warga bakal mengira ada parade kemerdekaan edisi “Alternate Universe”.

 

Tentu saja, ini bukan pertama kalinya Gibran disuruh “undur diri” -- baik dengan sopan santun ala keraton maupun dengan gaya kasar ala netizen 4G. Sudah ada demo mahasiswa, ormas, aktivis, hingga pameran tanda pagar: #BukanWaktunyaGibran, #CaweCaweGate, #NepotismeNaikKelas.

 

Tapi, tuntunan kali ini lebih berbobot dan nendang begitu kerasnya: ditandatangani para mantan KSAD, KSAL, dan KSAU. Ini diperkuat oleh banyak dukungan dari sejumlah mantan petinggi negeri. Kalau zaman Orba, mungkin ini sudah jadi tayangan wajib di TVRI, dengan backsound “Bagimu Negeri” versi dramatis.

 

Namun, mari kita turunkan volume ketawa sebentar dan bertanya: Apakah mereka salah?

 

Tidak sepenuhnya. Para purnawirawan ini menyoroti akar masalah yang sudah lama jadi bisik-bisik tetangga: kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan Gibran menjadi cawapres. Putusan ini, kalau diibaratkan makanan, kayak mi instan yang dimasak pakai air comberan: cepat, tapi bikin mules.

 

Anda ingat, Ketua MK waktu itu -- yang, kebetulan, paman Gibran sendiri --dinyatakan melanggar etika berat, sampai-sampai meja sidang hampir perlu diganti karena terlalu banyak menahan malu. Logika hukum publik langsung jalan: jika tindakan Ketua MK diputus melanggar, mestinya hasil keputusannya juga salah.

 

Namun, apakah ini cukup alasan mengganti Wapres?

 

Secara konstitusional, jawabannya tak semudah membalik lembaran naskah pidato. Gibran sudah terpilih lewat pemilu yang (minimal secara administrasi) sah. Konstitusi cuma bisa memberhentikan Presiden/Wapres kalau ada pelanggaran berat: pengkhianatan negara, korupsi, suap, tindakan tercela, dan tentu saja, tindakan-tindakan selevel “menerbangkan alien untuk curi kotak suara”.

 

Satu-satunya jalur yang sah? Mahkamah Konstitusi. Dan meskipun kita semua ingin mengedit naskah ceritanya, kita tidak bisa sekadar bilang, “Prosesnya aneh, yuk ganti.” Itu seperti mau ganti pemain bola hanya karena rambutnya mirip mantan pacar yang nyakitin.

 

Lalu, apa sebenarnya motivasi di balik usulan ini?

 

Bisa jadi ini suara kekecewaan terhadap nepotisme politik. Bisa jadi ini alarm bahwa reformasi kita ternyata masih nginep di pos satpam kekuasaan. Bisa juga karena Gibran dinilai tidak qualified. Atau alasan lainnya, silahkan sebut. Tapi sekali lagi: niat baik tanpa prosedur yang sah itu kayak proposal cinta yang disampaikan lewat penggeledahan KTP -- bisa dianggap kriminal.

 

Ironisnya, dalam delapan tuntutan para purnawirawan itu, mereka tetap mendukung Presiden Prabowo. Jadi logikanya kira-kira: “Pak Prabowo kami dukung penuh, asal tolong usir bocah itu.” Ini seperti memesan sate kambing, lalu ngamuk karena ada tusukannya.

 

Tentu, kita menghormati hak bersuara. Bahkan kritik keras seperti ini adalah tanda vitalitas demokrasi. Tapi, solusi harus realistis. Konstitusi kita bukan warung kopi yang bisa mengubah menu sesuka hati pelanggan.

 

Dan kini, masuklah pendapat menarik dari ranah akademisi. Dalam dialog di Kompas TV, Zainal Arifin Mochtar, Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM, membeberkan tiga opsi pintu hukum untuk impeachment Gibran. Tidak gampang, tapi bukan mustahil—tentu dengan syarat berat:

 

1. Ijazah Gibran: Kalau memang ada bukti kuat terkait keabsahan ijazahnya, ini bisa jadi batu sandungan. Tapi perlu bukti konkret, bukan sekadar rumor WhatsApp grup keluarga.

 

2. Perbuatan Tercela: Seperti dugaan kepemilikan akun fufufafa -- akun misterius yang isinya diduga menghina Prabowo dan keluarganya. Kalau terbukti, bisa masuk kategori moral hazard, bukan sekadar iseng.

 

3. Dugaan Korupsi: Kalau laporan pidana lama, misalnya dari Mas Ubaidilah ke KPK, bisa dibuktikan, ini jalur hukum keras untuk membuka pintu pemakzulan.

 

Namun, seperti ditekankan Zainal -- yang akrab disapa Uceng -- semua harus lewat jalur konstitusional. Tidak boleh mengulangi dosa konstitusi hanya karena ingin memperbaiki dosa politik. Atau, dalam istilah kampung saya: jangan memperbaiki genteng bocor dengan menendang seluruh atap rumah.

 

Muncul juga ide ekstrem: bisakah MK membatalkan putusannya sendiri? Secara teori hukum, ada mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Tapi syaratnya berat: harus ada novum -- fakta baru -- seperti bukti pelanggaran etika berat yang belum dipertimbangkan. Dan… dengan Ketua MK waktu itu sudah terbukti melanggar etika berat plus konflik kepentingan, sebagian ahli hukum menilai PK layak diajukan.

 

Apakah Mahkamah Konstitusi mau membongkar rumah yang sudah separuh dibangun? Nah, itu persoalan keberanian sejarah -- dan mungkin juga soal siapa yang keburu kehabisan kursi duluan.

 

Kesimpulannya? Kursi Gibran memang masih punya pegangan hukum, tapi goyah secara moral. Ia menang suara, tapi kehilangan kepercayaan sebagian rakyat. Dalam politik, itu ibarat menang duel tapi pulang dengan reputasi berdarah-darah.

 

Jika Gibran ingin kursinya tidak hanya bertahan, tapi benar-benar berwibawa, ia perlu lebih dari sekadar senyum-senyum menyong dan jargon “menghormati proses hukum.” Ia perlu kerja nyata, integritas kuat, dan kemauan keras untuk membuktikan dirinya layak --bukan karena garis keturunan, tapi karena kualitas kepemimpinan.

 

Karena sejarah bangsa ini terlalu mahal untuk diserahkan kepada mereka yang hanya menang lomba genetik. (*)


*Penulis adalah Wartawan Senior


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.