
SANCAnews – Wacana amandemen UUD 45 masih
menjadi bahan perbincangan hangat. Pengamat politik Rocky Gerung menilai wacana
ini sebagai bentuk kedunguan MPR RI.
“Ini satu peristiwa yang akan dicatat oleh sejarah tentang
kedunguan MPR, kenapa? Ini kan seperti kita mau renovasi rumah tapi rakyat
nggak bergairah untuk ide itu,” ujar Rocky dalam diskusi Indonesia Leaders Talk
ke-58 ‘Amandemen: Perlu atau Pesanan’, Jumat (10/9/2021).
Rocky menilai tak ada urgensi untuk melakukan amandemen.
Selain itu, perubahan ini dinilai bukan ide yang berasal dari rakyat.
“Nggak ada semacam urgensi apalagi kepentingan yang tiba-tiba
jadi urusan publik soal amandemen ini, memang ini bukan ide yang didorong oleh
rakyat, ini ide yang didorong-dorong oleh dua orang doang, yang satu presiden,
satu ketua MPR dengan kepentingan yang sangat pragmatis, itu yang terbaca oleh
publik.
“Jadi dorong-dorong oleh dua orang itu dengan akibat kita
dibikin harus membahas segala soal sampai fundamental,” kata Rocky.
Rocky menilai MPR diberikan kewenangan untuk memproses
kepentingan rakyat.
Menurutnya, jika terjadi permintaan dari rakyat untuk
dilakukan perubahan, maka MPR baru dapat melakukan hal tersebut.
“MPR dia punya arogansi untuk mengatakan dia berhak mengubah
undang-undang, dari mana kita kasih dia hak mengubah konstitusi? Lalu dia
bacakan pasalnya itu kewenangan MPR, loh MPR saya beri dia kewenangan untuk
memproses kepentingan saya, saya nggak punya kepentingan mengubah konstitusi,
masa dia bilang kewenangan dia,” kata Rocky.
“Dia punya kewenangan ajektif bukan kewenangan substantif,
kewenangan substantif ada di saya, kalau saya yang minta, rakyat bercakap-cakap
setiap hari maka hasil percakapan itu diproses di MPR, itu kewenangan untuk
memproses perubahan konstitusi, bukan dia yang berwenang mengubah konstitusi,
itu dungunya di situ,” tuturnya.
Sehingga menurut Rocky, amandemen baru dapat dilakukan jika
ide tersebut berasal dari rakyat. Bukan usulan atau permintaan dari MPR.
“Jadi idenya dari bawah, maka itu kita katakan hak substantif
rakyat itulah yang menggerakkan hak ajektif MPR untuk mulai memproses perubahan
konstitusi, ini dia sendiri sibuk di atas terus dia suru kita kasak-kusuk,
hasilnya adalah kedunguan,” ujarnya.
Menurutnya jika MPR mengerti tugas dan fungsinya, maka akan
malu untuk mengajukan ide amandemen. Karena, menurutnya, tidak ada urgensinya
bagi rakyat.
“Kalau mereka paham mereka akan malu mengajukan ide amandemen,
karena menganggap nggak ada angin nggak ada hujan kok, rakyat biasa aja nggak
ada urgensinya,” ujar Rocky.
Senada dengan Rocky, pengamat politik Refly Harun menilai
perlu adanya penolakkan terkait amandemen. Terlebih tekait perpanjangan masa
jabatan presiden.
“Kita harus tolak tiga materi itu, PPHN kita tolak, kemudian
perpanjangan masa jabatan kita tolak, tiga periode apalagi,” jelasnya.
“Tapi bagaimana dengan peluang amandemen konstitusi yang
lebih substantif, saya termasuk mendukung,” kata Refly.
Refly juga mempertanyakan hal apa yang akan diubah. Menurut
Refly, pembahasan amandemen tersebut tidak sesuai dengan waktu dan kondisi saat
ini.
“Soal pembahasan konstitusional amandemen, pertama kita
bicara substansinya apa yang mau diubah, kedua timingnya, timingnya saat ini
tidak,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet)
menegaskan isu seputar penambahan periode Presiden menjadi tiga periode atau
pun perpanjangan masa kerja Presiden saat ini tak akan dibahas dalam proses
amandemen mendatang.
Sebab isu tersebut sama sekali tak pernah masuk agenda dan
dibahas oleh Badan Pengkaji MPR selama ini.
“Firm, amandemen tak akan melebar selain soal PPHN (Pokok
Pokok Haluan Negara). Saya jaminannya,” tegas Bamsoet di Gedung MPR RI, Kamis
(9/9).
Karena itu, ia meminta pihak-pihak tertentu untuk tidak
apriori dan mengedepankan rasa curiga terhadap rencana amandemen terbatas ini.
Soal isu pentingnya PPHN, lanjutnya, sudah muncul sejak 12
tahun. Juga menjadi rekomendasi MPR saat dipimpin Hidayat Nur Wahid dan MPR di
bawah Zulkfili Hasan.
Ada kesadaran bahwa perlu cetak biru pembangunan nasional
secara jangka panjang. Hal itu untuk menjamin kelanjutan pembangunan suatu
proyek agar tidak mangkrak atau tidak cuma berdasarkan selera partai dan
presiden terpilih.
“PPHN ini juga untuk menaikkan visi-misi Presiden dan para
kepala daerah menjadi visi-misi negara,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar
ini. (fajar)