Latest Post

Nadiem saat bertemu Presiden Jokowi sebelum menjabat sebagai Mendikbud 

 

JAKARTA — Direktur Pusat Riset Politik, Hukum, dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI), Saiful Anam menilai sangat mungkin Joko Widodo ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan laptop di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Menurutnya, mantan presiden yang akrab disapa Jokowi itu bisa saja dijerat bersama Nadiem Anwar Makarim, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

 

"Jika Jokowi pada saat itu memberikan perintah kepada Nadiem untuk melakukan pengadaan Chromebook maka mestinya Jokowi dikenakan pasal turut serta dalam dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Nadiem," urai Saiful Anam dikutip dari kantor berita politik RMOL, Minggu, 7 September 2025.

 

Saiful menjelaskan bahwa perkara korupsi seharusnya tidak hanya menjerat menteri sebagai eksekutor tetapi juga menjerat presiden sebagai penanggung jawab kebijakan.

 

Bahkan, lanjut Saiful Anam, secara hukum jika Jokowi mengetahui kebijakan koruptif yang dibuat Nadiem namun tidak melarang maka bisa dijerat karena melakukan pembiaran tindak pidana korupsi.

                                                                    

Viral PT Gudang Garam Disebut Lakukan PHK Massal, Bos Rokok Tetap Berjaya karena Beban Ditanggung Konsumen?

 

"Saya kira mestinya tidak hanya selesai di Nadiem. Jokowi bisa ikut terjerat jika saat menjabat presiden mengetahui dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Nadiem," urai Saiful Anam.

 

Selaku kepala negara, lanjutnya, tidak mungkin tidak mengetahui program-program yang dijalankan oleh para menteri, terlebih berkaitan dengan program prioritas. Karenanya, tegas dia, Jokowi harus diperiksa.

 

"Selain itu apakah niat jahat Nadiem juga diketahui atau bahkan ada mengalir kepada Istana, juga harus dipastikan oleh penyidik Kejagung," sarannya.

 

Sebagaimana diketahui, Nadiem jadi tersangka setelah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 saksi dan 4 orang ahli.

 

Muncul spekulasi bahwa proyek yang berujung korupsi dan menyebabkan kerugian negara Rp1,9 triliun ini sebagai mahar politik Nadiem kepada Jokowi. Sebab berdasarkan penyidikan Kejagung proyek dirancang sebelum Nadiem dilantik menjadi menteri oleh Jokowi. (fajar)

 

Anggota Dewan Pers Abdul Manan (tengah). (Foto: RMOL/Faisal Aristama) 


JAKARTA — Dewan Pers menyambut baik langkah Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) yang mengajukan uji materi Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Hal tersebut disampaikan Anggota Dewan Pers Abdul Manan dalam diskusi publik bertajuk "Judicial Review Undang-Undang Pers: Menjaga Kebebasan Pers dan Kepastian Hukum Jurnalis" di Walking Drums, Jakarta Selatan, Sabtu, 6 September 2025.

 

“Saya melihat bahwa yang dilakukan Pemimpin Iwakum dengan JR Pasal 8 (UU Pers) itu inisiatif yang baik,” ujar Manan.

 

Ia berpandangan bahwa JR UU Pers penting untuk memperjelas tafsir agar jurnalis mendapatkan perlindungan dari potensi kekerasan dalam bentuk apapun.

 

“Menurut saya sih memang sangat memperjelas tafsir karena hanya mengatakan bahwa wartawan dalam cara penduduknya mendapatkan pendidikan itu,” kata Manan.

 

Sebelumnya, Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengajukan judicial review terhadap Pasal 8 UU 40/1999 tentang Pers ke ke Mahkamah Konstitusi (MK).

 

Judicial Review diajukan melalui tim hukum yang terdiri dari Viktor Santoso Tandiasa, Nikita Johanie, Raihan Nugroho, Agustine Pentrantoni Penau, dan Didi Supandi.

 

Judicial Review juga dilakukan terhadap penjelasan pasal 8 di undang-undang yang sama.

 

“Rumusan norma perlindungan hukum dalam Pasal 8 UU Pers masih sangat multitafsir. Tidak dijelaskan perlindungan seperti apa yang diberikan pemerintah dan masyarakat kepada wartawan,” kata Viktor dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi di Jakarta, Minggu malam, 17 Agustus 2025.

 

Menurut dia, ketidakjelasan tafsir membuka celah kriminalisasi. Bahkan bisa menjadi celah gugatan perdata terhadap wartawan atas karya jurnalistiknya.

 

Dalam permohonannya, Iwakum meminta MK menyatakan Pasal 8 UU Pers dan penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan terhadap wartawan dalam melaksanakan profesinya berdasarkan kode etik pers.

 

Atau, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Dewan Pers. (rmol)


Demo buruh 28 Agustus di jakarta. (pram/fajar) 

 

Oleh: Heru Subagia

(Pengamat Politik dan Ekonomi)

 

Patologi politik Indonesia sudah akut dan seram banget. Diagnosis penyakitnya sangat jelas dan fundamental, kerusakan bangsa dan negara ini sudah kronis di segala bidang dan jajarannya hingga memicu terjadinya krisis kepercayaan menyeluruh baik vertikal atau horisontal.

 

Puncak tercabik-cabiknya krisis kepercayaan berawal dari kelalaian pemerintah melaksanakan janji politik dan juga amanat konstitusi. Mereka lalai dengan jabatan dan wewenangnya hingga dengan sengaja melukai, hidup hedonis, tidak ada rasa empati dan bahkan sudah merugikan kepentingan masyarakat.

 

Tidak hanya pemerintah jadi sasaran ketidakpercayaan masyarakat, Secara umum semua anggota DPR saat ini dianggap sebagai musuh bersama, bukan lagi mitra atau bahkan disebutkan sebagai pelayanan atau wakil rakyat. Mereka justru yang mencederai tugas dan fungsinya dan bahkan ketiadaan empati, simpati hingga melukai hati hingga menghancurkan harapan hidup masyarakat.

 

Paradoks Demokrasi Hingga Demo Melanda

 

DPR menjadi institusi negara paling dihormati, tetapi justru sebaliknya menjadi institusi yang fenomenal. Awalnya dari dipilih tidak langsung memilih gambar partai hingga mencoblos foto caleg dan keterpihannya langsung sebagai mandat suara rakyat.

 

Namun pada akhirnya hanya menjadi simbol yang dimanfaatkan maksimal oleh DPR mencari keberuntungan. Ini adalah Paradoks dalam demokrasi Indonesia. Bangunan demokrasi berbayar mahal dan lumpuh total secara fungsi dan esensinya. Fondasi demokrasi yang dibangun paska Reformasi akhirnya harus tenggelam dan dibangunkan kembali oleh suara rakyat.

 

Demo bergerak, bergejolak awal sebuah kemarahan yang dibarengi ketidakpercayaan pada wakil mereka. DPR dianggapnya sudah berkhianat, bukan hanya itu justru melawan rakyatnya sendiri yang telah memberikan mandat kekuasaannya.

 

Pergeseran harapan masyarakat atas kerja-kerja DPR terus berlangsung dan akumulasi frustasi kian menjadi. Ledakan dekonstruksi kepercayaan kian lebat dan merata

 

Titik persoalan sudah jelas dan sudah bulat satu suara dalam demo besar di berbagai daerah. Gerakan demi kian masih digelar tanggal 25-31 Desember 2025 adalah bukti autentik marahnya rakyat secara kolosal.

 

Demo besar tersebut semakin kencang ketika Massa juga menuntut pembubaran DPR diperparah dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI periode 2019-2024, Ahmad Sahroni, yang menyebut bahwa pendemo sebagai 'orang paling bodoh di dunia'.

 

Aktor Pembuat Tuntutan Rakyat

 

Perlu dicermati dan dianalisis kemunculan tuntutan 17+8. Diketahui jika Ungguhan bertuliskan '17+8 Tuntutan Rakyat' ramai diserukan warganet melalui media sosial (medsos).

 

Para peserta demo dan para aktor-aktor pembuatan tuntutan rakyat berbeda. Muncul para aktor utama pembuat tuntutan adalah para penggiat media, diaspora bukan aktivis gerakan mahasiswa atau tokoh masyarakat.

 

Konon, Tuntutan itu muncul dan berseliweran setelah diskusi online yang dilakukan beberapa pemengaruh seperti Jerome Polin, Cheryl Marcella, Salsa Erwina Hutagalung, Andovi Dalopez, Abigail Limuria, Fathia Izzati Malaka, dan Andhyta F Utami. 

 

Mereka mengklaim telah merangkum tuntutan dari berbagai organisasi masyarakat dan suara rakyat yang kemudian menghasilkan "17+8 Tuntutan Rakyat".

 

Bagi Mereka, Tuntutan tersebut diadopsi dari berbagai organisasi seperti YLBHI yang menghimpun aspirasi dari 211 organisasi masyarakat sipil, siaran pers Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), pernyataan sikap Ikatan Mahasiswa Magister Kenotariatan UI, dan Center for Environmental Law & Climate Justice Universitas Indonesia.

 

Kemudian mereka juga memasukkan tuntutan demo buruh pada 28 Agustus 2025 dan 12 tuntutan rakyat menuju reformasi Transparansi & Keadilan oleh Reformasi Indonesia .

 

Tuntutan Rakyat 17+8

 

Mencermati Tuntutan 17+8 yang banyak diklaim sebagai rangkuman berbagai aksi dan isi tuntutan masyarakat diambil dari big data media sosial. Sepertinya adanya rekayasa terstruktur yang didanai dan diarahkan untuk maksimalkan kegagahan isu utama bubarkan DPR.

 

Awalnya terdapat 17 Tuntutan Rakyat Dalam 1 Minggu'-'8 Tuntutan Rakyat dalam 1 Tahun. Adapun 17 tuntutan pertama merupakan tuntutan jangka pendek yang harus diselesaikan dalam 1 minggu. Tuntutan ini ditujukan kepada Presiden Prabowo Subianto, DPR, Ketum parpol, kepolisian, TNI, dan kementerian sektor ekonomi dengan batas waktu penyelesaian hingga 5 September 2025.

 

Penulis fokus menyoal isu bubarkan DPR hingga tersisa tuntutan yang sifatnya administratif. Mereka hanya menyoal Tugas Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan tindakan bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).

 

Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR). Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).

 

Kemudian Mereka Menyoal Tugas Ketua Umum Partai Politik dengan merekomendasikan pemecatan atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik. Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis. Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat.

 

Awas Penumpang Gelap

 

Secara pribadi Saya tidak mengenal mereka, namanya unik dan kekinian. Tidak kenal baik secara personal atau kelembagaan.

 

Mereka berhasil mendompleng dan bahkan mendominasi ruang media sosial hingga viral dan isi serta isu menumpang aksi demo hingga menjadi manusia-manusia terkenal dadakan. Mungkin saya yang salah persepsi karena kurang gaul atau koneksi.

 

Tapi, rasa penasaran dan kecurigaan justru kian membara, fenomena unik yang melibatkan banyak aktor-aktor diaspora Indonesia, memberikan kisah dan kiprahnya hingga tersohor seantero Indonesia.

 

Siapakah Mereka? Apakah mereka dalam para pejuang demokrasi organik atau hanya influencer online yang tiba -tiba mengambil manfaat sesaat dari panggung demonstrasi yang betul-betul murni gerakan Masyarakat sipil. Keraguan hingga dugaan keterlibatan mereka sebagai agen spionase atau bahkan aktor lapangan memungkinkan terjadi pula. Hanya dugaan semoga salah.

 

Tuntutan yang Tertukar

 

Penulis fokus menyoal isu bubarkan DPR hingga tersisa tuntutan yang sifatnya administratif. Mereka hanya menyoal Tugas Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakuan tindakan bekukan kenaikan gaji/tunjangan anggota DPR dan batalkan fasilitas baru (termasuk pensiunan).

 

Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR). Dorong Badan Kehormatan DPR periksa anggota yang bermasalah (termasuk selidiki melalui KPK).

 

Kemudian Mereka Menyoal Tugas Ketua Umum Partai Politik dengan merekomendasikan pemecatan atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik. Umumkan komitmen partai untuk berpihak pada rakyat di tengah krisis. Libatkan kader dalam ruang dialog publik bersama mahasiswa serta masyarakat.

 

DPR Gagal Dibubarkan

 

Justru hal yang mendasar tuntutan masyarakat DPR dibubarkan diletakkan dalam rangkuman tuntutan 8 dan diberlakukan sebagai pasal tuntutan jangan panjang, bukan diletakkan skala prioritas utama yang harusnya menjadi sasaran utama dalam waktu sesingkat-singkatnya. Lebih khuauat, tuntutan DPR dibubarkan hilang dan hanya sifatnya upaya revitalisasi DPR dan Parpol beserta Sistem Pemilunya.

 

Akhirnya DPR gagal dibubarkan, tidak ada klausul pembubaran DPR lagi. Ketika Pimpinan DPR ( 5/09/2025) telah memberikan jawaban apa yang dituntut dalam beberapa pasal 17, sejatinya adalah keputusan receh dan tidak subtansi.

 

Kita bukannya disuguhi oleh keputusan fenomenal tetapi justru hanya hadir kesepakatan administrasi, urusan gaji dan fasilitas dpr yang dikurangi, kunjungan luar negeri ditiadakan dan penghentian sementara DPR yang jadi pelawak saat gelaran resmi MPR.

 

Tetapi, ketika demo mulai landai, adanya upaya Damai kedua pihak baik rakyat dan pemerintah justru terjadi kudeta bergeser subtansi tuntutan rakyat. Manipulasi dan rekayasa yang sangat cerdas dan penuh strategis.

 

Pembauran cipta kondisi yang rapi hingga rakyat tidak paham sesungguhnya apa yang sedang terjadi hingga pada akhir drama tuntutan demo bubarkan DPR dibayarkan oleh secuil keputusan Pimpinan DPR, itu pun masih bisa dan tidak jelas ketepatan dan realisasikan. Lagi-lagi terkesan manipulatif dan tensius melemparkan isi dan isu krusial.

 

Ini adalah mungkin kegagalan parah yang disengaja dan sistematis. Apakah teman -teman yang ngotot untuk pembubaran DPR harus puas dengan jalan Damai sementara yang ditawarkan oleh DPR?

 

Tuntutan bubarkan DPR yang kandas bisa jadi merupakan konspirasi dan elaborasi sebuah kecerdasan politik yang amat dahsyat dan sangat sesat.

 

Penulis curiga ada pihak yang sengaja menjadi aktor dibalik gagalnya tuntutan bubarkan DPR. Bukannya hanya menuduh , Penulis semakin yakin jika ada dalang, aktor perantara dan juga pihak sebagai pion. (*)

 

Sejumlah peserta menyalakan lilin dan meletakkan bunga saat aksi solidaritas meninggalnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Iko Juliant Junior di Unnes, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (2/9/2025) 

 

SEMARANG — Universitas Negeri Semarang (Unnes) menyampaikan belasungkawa atas jatuhnya korban jiwa dalam serangkaian aksi unjuk rasa yang terjadi sepanjang akhir Agustus 2025. Unnes meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menindaklanjuti seluruh aspirasi masyarakat.

 

"Menyampaikan duka cita mendalam atas jatuhnya korban jiwa selama berlangsungnya demonstrasi di berbagai wilayah di Indonesia. Semoga para pejuang demokrasi tersebut diterima segala amal baiknya, diampuni segala dosanya, dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan," kata Unnes dalam pernyataannya yang dirilis pada Jumat (5/9/2025).

 

Unnes mendesak aparat penegak hukum (APH) mengutamakan pendekatan humanis dalam melakukan pengamanan terhadap masyarakat yang menyampaikan aspirasi damai. Unnes juga mendesak APH menegakkan hukum secara profesional, akuntabel, dan transparan. Hal itu agar korban dan keluarganya mendapatkan keadilan.

 

Selain aparat, Unnes juga menyoroti pemerintah dan DPR yang menjadi objek kritik masyarakat. "Mendorong pemerintah dan DPR untuk menerima dan menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan masyarakat secara damai sebagai hak konstitusional warga negara yang harus dihormati dan dilindung," katanya.

 

Unnes mendesak pemerintah dan DPR mengevaluasi kebijakan serta kinerja agar dapat mengatasi persoalan bangsa hingga ke akarnya. Caranya yakni dengan menciptakan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan, menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya, serta mengalokasikan APBN secara bijaksana untuk sektor strategis yang berdampak luas bagi masyarakat, meliputi peningkatan kualitas pendidikan, peningkatan kualitas layanan kesehatan, dan penyediaan infrastruktur dasar.

 

"Mendesak pemerintah dan DPR membatalkan kebijakan yang terbukti atau berpotensi melukai rasa keadilan masyarakat, memperlebar kesenjangan ekonomi, mengancam hak-hak sipil dalam berdemokrasi, dan menyebabkan kerusakan lingkungan," kata Unnes.

 

Unnes mengajak elemen masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi secara damai. Hal itu sebagai bukti terdapat keluhuran budi pekerti dan kedewasaan dalam berdemokrasi.

 

"Unnes menyatakan sikap bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki potensi besar. Peristiwa yang terjadi pada beberapa hari terakhir hendaknya dijadikan pelajaran agar bangsa Indonesia kembali bangkit dan dapat mewujudkan tujuan nasionalnya," kata Unnes. (Kamran Dikarma)

 

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan 


JAKARTA — Aktivis Kolaborasi Rakyat Jakarta Andi Sinulingga pun mengkritisi pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Panjaitan terkait OTT KPK.

 

Seperti diketahui, dalam beberapa kesempatan, Luhut selalu menyampaikan keberatannya jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap melakukan operasi tangkap
tangan (OTT) terhadap pejabat.

 

Bahkan, dalam pernyataan lamanya, ia meminta kepada pihak yang ingin terus hidup bersih dari korupsi agar tidak hidup di bumi, melainkan ke surga langsung.

 

"Tak terbayangkan ada seorang pejabat tinggi negara ngomong seperti ini," kata Sinulingga di X @AndiSinulingga (5/9/2025).

 

Sinulingga merasa tidak heran dengan sikap arogan yang acapkali diperlihatkan Luhut di depan publik.

 

"Ngomong tampak arogan sekali seperti biasanya. Watak seperti itulah yang buat hukum tak pernah bisa tegak," cetusnya.

 

Ia bilang, hukum di Indonesia hanya akan tajam jika menghadapi rakyat menengah ke bawah.

 

"Dia tajam jika hanya ke bawah, atau jadi alat politik utk menyandera dan memukul lawan-lawan politik," tandasnya.

 

Sebelumnya, Politikus PDIP, Ferdinand Hutahaean, kembali menyemprot pernyataan Kepala Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Panjaitan.

 

Seperti diketahui, Luhut meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak terlalu sering melakukan operasi tangkap tangan (OTT).

 

Dikatakan Ferdinand, ucapan Luhut justru mengindikasikan adanya masalah serius.

 

Ia menilai pernyataan itu seolah mengakui ada praktik yang tidak bersih dalam pemerintahan.

 

"Dari pernyataan beliau kan menyatakan bahwa kita nggak sempurna, nggak bersih-bersih amat. Artinya kan ada kotoran, kotoran hukum yang layak ditindak secara hukum,” ujar Ferdinand kepada fajar.co.id, Jumat (5/9/2025).

 

Ferdinand menegaskan, jika memang demikian, KPK harus menelusuri lebih jauh.

 

"Tinggal KPK menelisik sejauh mana, apakah memang Pak Luhut pernah melakukan pelanggaran pidana dalam pemerintahan yang disebut korupsi atau tidak,” tegasnya.

 

Kata Ferdinand, pernyataan Luhut yang terkesan tidak senang dengan OTT dapat diartikan sebagai sikap anti pemberantasan korupsi.

 

“Saya pikir ini hanya sebuah respons terhadap sikap Luhut selalu tidak senang dengan OTT. Bahwa seolah-olah OTT itu mengganggu jalannya pemerintahan,” Ferdinand menuturkan.

 

Ferdinand juga menekankan bahwa apa yang disampaikan Luhut bisa dianggap sebagai upaya menghalangi proses pemberantasan korupsi.

 

“Jadi yang disampaikan Luhut itu bagi saya adalah sikap anti pemberantasan korupsi. Jadi kalau bahkan menghalang-halangi pemberantasan korupsi, kan boleh dong dipanggil KPK,” terangnya.

 

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa tindakan menghalang-halangi pemberantasan korupsi bisa masuk kategori pidana.

 

“Itu lama-lama kan bisa dikategorikan sebagai obstruction of justice,” tandasnya.

 

Ia juga menyinggung soal intensitas OTT yang dilakukan KPK, yang menurutnya tidak berlebihan.

 

“Karena KPK kan baru melakukan OTT juga ya,” imbuhnya.

 

Ferdinand bahkan menduga Luhut ingin mempengaruhi jalannya penyelidikan.

 

"Jadi jangan-jangan Luhut dengan pernyataannya sedang ingin menghalangi penyelidikan,” kuncinya. (fajar)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.