Latest Post

Tom Lembong. (Foto: Youtube Pandji Pragiwaksono) 

 

JAKARTA — Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau yang dikenal dengan Tom Lembong telah meminta izin kepada masyarakat untuk meninggalkan Indonesia di tengah situasi sosial politik yang dinamis saat ini.

 

Dalam pesannya, Tom mengawali dengan mengucapkan selamat hari lahir kepada Nabi Muhammad SAW 1447 H. Ia kemudian menjelaskan alasan keberangkatannya ke luar negeri.

 

“Halo teman-teman ibu bapak pertama selamat Maulid Nabi 12 Rabiul Awal tahun 1447 Hijriyah. Saya sekalian mohon izin keluar negeri sebentar, agak dilema sebetulnya untuk meninggalkan tanah air di saat kondisi seperti ini. Tapi ini untuk berkumpul dengan istri dan anak dan beberapa keluarga lain yang belum saya temui selama hampir setahun,” tutur Tom lewat video yang diunggahnya di akun Instagram, Jumat, 5 September 2025.

 

Meski sedang berada di luar negeri, Tom menegaskan dirinya tetap mengikuti perkembangan di tanah air. Ia juga menyatakan dukungannya terhadap agenda aspirasi publik yang saat ini dikenal dengan sebutan 17+8.

 

“Tentu sepenuhnya saya mendukung agenda aspirasi publik yang sekarang diistilahkan 17+8,” ujarnya.

 

Diketahui, setelah serangkaian demonstrasi sejak 25 Agustus hingga 1 September 2025 yang berujung ricuh di sejumlah kota, lahirlah sebuah daftar aspirasi yang diberi nama 17+8 Tuntutan Rakyat.

 

Tuntutan ini terbagi dalam dua bagian, yakni “17 Tuntutan Rakyat Dalam 1 Minggu” serta “8 Tuntutan Rakyat Dalam 1 Tahun”. Daftar ini kemudian ramai dibicarakan, bukan hanya di kalangan aktivis, tetapi juga di media sosial.

 

Tom memastikan kepergiannya hanya sementara. Ia berjanji akan segera kembali ke Indonesia dalam waktu dekat.

 

“Dan saya akan kembali ke tanah air dalam beberapa hari, paling telat Selasa minggu depan, jadi sementara itu terima kasih yang tak terhingga bagi semua warga yang saling menjaga. Warga jaga warga,” ungkapnya.

 

Menutup pesannya, Tom berharap masyarakat dapat menikmati suasana panjang akhir pekan di peringatan Maulid Nabi dengan penuh kebersamaan.

 

“Semoga semuanya bisa menikmati akhir pekan yang panjang di peringatan maulid nabi ini,” tutupnya. (rmol)

 

Ratusan mahasiswa Aliansi BEM SI saat berdemo di depan gedung DPR untuk menuntut pemerintah memenuhi 17+8 tuntutan rakyat pada Jumat, 5 September 2025. (Beritasatu.com/Joanito De Saojoao) 

 

JAKARTA — Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) membubarkan diri secara damai pada hari Jumat, 5 September 2025, pukul 16.50 WIB di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta Pusat. Aksi ini menandai momen krusial dalam serangkaian demonstrasi mahasiswa di Jakarta.

 

Pantauan Beritasatu.com di lapangan menunjukkan mahasiswa yang melakukan aksi bertajuk “Aksi Piknik Nasional Rakyat: 17+8 Tuntutan Rakyat” berjalan menuju TVRI Senayan setelah membubarkan diri.

 

Pembubaran ini dikarenakan bus yang mengangkut massa parkir di halaman Senayan, sehingga pergerakan mereka terkoordinasi dengan tertib.

 

Aksi damai ini menegaskan tekad mahasiswa dan rakyat untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah terkait sejumlah isu krusial, termasuk kegagalan sistemik dalam tata kelola pemerintahan, pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidakadilan ekonomi.

 

Pembubaran aksi dilakukan dengan tertib, menandai akhir dari tenggat waktu untuk 17 tuntutan jangka pendek dari 17+8 Tuntutan Rakyat.

 

Demonstrasi ini menunjukkan bahwa aspirasi rakyat bisa disampaikan secara damai dan terorganisir. Aliansi BEM SI menegaskan, meskipun aksi berakhir, perjuangan untuk menuntut reformasi dan transparansi pemerintah tetap berlanjut.

 

Dengan langkah damai ini, mahasiswa berhasil menyampaikan pesan kuat kepada pemerintah, sekaligus menjaga ketertiban di kawasan DPR/MPR Jakarta. (beritasatu)

 

Silfester Matutina 

 

JAKARTA — Politikus PDIP Ferdinand Hutahaean meluapkan kekesalannya terhadap Kejaksaan Agung RI terkait eksekusi pendukung setia Jokowi, Silfester Matutina, yang hingga kini belum juga dipenjara meski telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

 

Ferdinand yang murka pun mengecam keras kejaksaan yang dinilainya mempermainkan hukum.

 

"Yuk kita sama-sama sentil kuping Kejaksaan RI yang mempermainkan hukum,” ujar Ferdinand di X @ferdinand_mpu (5/9/2025).

 

Ia menilai sikap Kejaksaan yang belum mengeksekusi putusan hakim terhadap Silfester merupakan bentuk penghinaan terhadap dunia peradilan.

 

“Perilaku Jaksa ini menghina dunia peradilan dan menghina Hakim yang telah memvonis Silfester,” sesalnya.

 

Tak berhenti di situ, Ferdinand bahkan melontarkan kata-kata kasar untuk mengekspresikan kekesalannya. “Dari saya, jancuk kalian Kejaksaan,” Ferdinand mengamuk. 

 

Meski penuh amarah, ia mencoba meredakan ketegangan dengan mengajak publik menanggapi situasi ini dengan tenang.

 

“Silakan dari teman-teman, lampiaskan amarahmu dengan senyum,” tandasnya.

 

Sebelumnya, nama Silfester Matutina kembali mencuat ke permukaan publik, usai pernyataannya yang menuding Partai Demokrat berada di balik isu dugaan ijazah palsu mantan Presiden Jokowi dan wacana pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

 

Namun di balik tudingan panas tersebut, terkuak kembali rekam jejak hukum Silfester.

 

Ia ternyata pernah dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun karena terbukti menyebarkan informasi bohong yang mencemarkan nama baik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan keluarganya.

 

Dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 100/Pid.B/2018/PN.Jkt.Sel, yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Silfester terbukti secara sah dan meyakinkan menyampaikan orasi di depan Gedung Baharkam Mabes Polri pada 15 Mei 2017 lalu.

 

"Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Yusuf Kalla. Mari kita mundurkan Yusuf Kalla JK, karena JK menggunakan isu (red) untuk memenangkan Anies-Sandi. Untuk kepentingan korupsi keluarga Yusuf Kalla," kata Silfister kala itu.

 

Pernyataan itu dianggap mencemarkan nama baik dan tidak terbukti secara hukum. Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya tertanggal 20 Mei 2019 menolak permohonan Silfester dan memerintahkan ia menjalani hukuman satu tahun penjara.

 

Kini, Silfester kembali tampil ke ruang publik dengan pernyataan kontroversial. Ia menuding Partai Demokrat sebagai pihak yang mendanai gerakan pemakzulan Gibran dan isu ijazah palsu Jokowi. Tudingan ini disampaikan tanpa bukti kuat dan menuai kecaman dari berbagai kalangan.

 

Saat menjadi narasumber di Kompas Petang baru-baru ini, Silfister menegaskan bahwa isu yang terus dikembangkan Roy Suryo Cs tersebut tidak benar.

 

"Isu pemakzulan dan ijazah palsu ini kalau kita lihat tidak mempunyai dasar hukum dan fakta konstitusi yang benar," kata Silfister dikutip pada Senin (28/7/2025).

 

Ia kemudian mengutip pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Jimly Asshiddiqie, yange nyebut bahwa itu merupakan upaya untuk menghancurkan lawan politik.

 

"Seperti yang dikatakan Prof. Jimly Asshiddiqie hanya untuk menghancurkan lawan politik dengan tidak beradab. Bohir di belakangnya ini gak bersatu, mereka bermain sendiri-sendiri," ucapnya.

 

Melihat serangan yang begitu intens dan terstruktur, Silfister menegaskan bahwa kemungkinan besar gerakan tersebut didanai pihak tertentu.

 

"Pastinya (didanai), siapa yang mendanai begini-begini gitu loh," tukasnya.

 

Adapun Ketum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan bahwa tudingan yang dialamatkan ke kubunya merupakan fitnah besar.

 

Hal ini ditegaskan AHY ketika kunjungan kerja di Lombok Barat, Minggu (27/7/2025) lalu. (fajar)

 

Nadiem Makarim dan Joko Widodo. (Foto: Instagram Nadiem Makarim) 

 

JAKARTA — Kejaksaan Agung didesak untuk tidak sepenuhnya menutup kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nadiem Makarim dalam kasus pengadaan Chromebook. Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion, yakin kebijakan Nadiem Makarim jelas bermotif politik.

 

"Kejagung tidak boleh hanya berhenti di Nadiem mengingat kebijakan Nadiem tentu memiliki referensi politik," kata Dedi Kurnia Syah kepada RMOL, Jumat, 5 September 2025.

 

Dedi mengatakan tidak menutup kemungkinan ada arahan dari atasan Nadiem yang menyuruhnya untuk melaksanakan kebijakan pengadaan Chromebook tersebut dan juga atas persetujuan atasannya.

 

"Salah satunya arahan dan perintah pejabat yang lebih tinggi, setidaknya atas pengetahuan dan persetujuan pejabat lebih tinggi," demikian Dedi Kurnia Syah. **



OLEH: SUGIYANTO*


KEKUATAN rakyat apabila lahir secara alamiah dan murni dari aspirasi kolektif, biasanya membawa dampak positif bagi bangsa. Namun, jika kekuatan ini dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok tertentu, maka bisa berubah menjadi ancaman yang merugikan banyak pihak, termasuk rakyat itu sendiri.

 

Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan yang arogan di hadapan gelombang rakyat. Aksi Tritura tahun 1966 -- yang menuntut pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan penurunan Harga -- menjadi momentum besar yang mengubah arah perjalanan bangsa.

 

Dari gerakan mahasiswa saat itu lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang membuka jalan bagi lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.

 

Namun, kekuasaan yang tampak kuat sekalipun tidak pernah sepi dari koreksi rakyat. Pada 1974, peristiwa Malari pecah sebagai simbol perlawanan terhadap kesenjangan sosial, praktik korupsi, serta ketidakadilan yang mulai mengakar di tubuh Orde Baru.

 

Reformasi 1998 kemudian menjadi puncak ledakan koreksi rakyat, melengserkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Sejarah itu membuktikan bahwa kekuasaan sebesar apa pun tidak kebal terhadap amarah rakyat.

 

Era Reformasi membawa perubahan signifikan, termasuk amandemen UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode alias 10 tahun, serta lahirnya sistem Pemilihan Presiden langsung.

 

Namun, reformasi juga tidak menutup jalan bagi rakyat untuk melakukan demonstrasi besar. Pasca Pemilu 2019, aksi massa kembali menunjukkan bahwa jalanan tetap menjadi arena koreksi ketika institusi formal kehilangan kepercayaan publik.

 

Kini, peristiwa serupa kembali terulang. Pada 25-29 Agustus 2025, bangsa ini diguncang demonstrasi nasional yang dipicu oleh isu tunjangan DPR sebesar Rp50 juta per bulan, ditambah berbagai fasilitas lainnya, sehingga total penghasilan anggota DPR menjadi sangat besar. Jumlah tersebut jelas jauh melampaui upah minimum yang diterima rakyat kecil.

 

Atas masalah tersebut, tuntutan publik berkembang mencakup transparansi gaji pejabat, percepatan pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset, serta pembatalan sejumlah rancangan undang-undang yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

 

Aksi ini meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kemarahan publik bukan semata persoalan materi, melainkan menyangkut rasa keadilan yang dianggap telah dikhianati.

 

Tragedi kemudian terjadi. Pada 28 Agustus 2025, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas akibat terlindas kendaraan lapis baja polisi.

 

Affan bukan pejabat, bukan elite politik, melainkan rakyat biasa -- simbol nyata “pemilik daulat”: hak untuk hidup, hak atas keadilan, dan hak untuk bersuara. Peristiwa ini seketika mengubah demonstrasi menjadi gelombang solidaritas nasional.

 

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E UUD 1945. Jaminan tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 yang memberikan dasar hukum bagi penyampaian pendapat di muka umum, termasuk demonstrasi damai. Lebih jauh, Indonesia juga terikat pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

 

Khusus untuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, peraturan ini merupakan Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Melalui instrumen ini, Indonesia secara resmi mengesahkan sekaligus mengakui isi kovenan tersebut sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

 

Dalam undang-undang tersebut, Pasal 1 ayat (1) menyatakan:

 

“Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1.”

 

Sementara itu, Pasal 1 ayat (2) menegaskan:

 

“Salinan naskah asli International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”

 

Beberapa ketentuan penting dalam ICCPR antara lain:

 

Pasal 6 ICCPR-Hak untuk Hidup

Article 6

1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.

 

(Pasal 6 (1). Setiap manusia memiliki hak asasi untuk hidup. Hak ini dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang).

 

Pasal 21 ICCPR-Hak Berkumpul Damai

Article 21

The right of peaceful assembly shall be recognized. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those imposed in conformity with the law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others.

 

(Pasal 21: Hak berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang boleh dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang diberlakukan sesuai hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau moralitas publik, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain).

 

Dengan demikian, kematian Affan tidak hanya dapat dipandang sebagai persoalan domestik, tetapi juga berpotensi dinilai sebagai pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang telah disepakati Indonesia

 

Kematian Affan menjadi percikan yang menyulut amarah kolektif. Gelombang protes meluas menjadi aksi besar-besaran: ratusan ribu rakyat turun ke jalan, ada gedung DPRD dibakar, rumah pejabat diserang, ratusan orang terluka, dan banyak yang ditangkap.

 

Pemerintah merespons dengan langkah ganda. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemangkasan tunjangan, menangguhkan perjalanan dinas luar negeri pejabat, serta menjanjikan investigasi transparan.

 

Namun di sisi lain, Prabowo juga menegaskan perlunya ketegasan aparat terhadap mereka yang dianggap perusuh atau provokator. Aparat keamanan dikerahkan secara masif demi menjaga ketertiban umum.

 

Meski demikian, penting dicatat bahwa setiap langkah pengamanan tidak boleh mengorbankan hak asasi rakyat.

 

Tindakan represif justru berisiko menuai kritik keras dari lembaga internasional seperti PBB maupun Human Rights Watch, serta berpotensi membuka tuduhan pelanggaran HAM berat.

 

Bila hal ini terjadi, maka kontradiksi antara janji reformasi dan praktik di lapangan akan semakin nyata di mata publik.

 

Fenomena ini sejatinya bukan anomali, melainkan bagian dari pola global. Arab Spring pada 2011 menggulingkan rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan Libya akibat korupsi, kesenjangan, dan arogansi kekuasaan.

 

Thailand pada 2020 menyaksikan protes mahasiswa melawan militerisme dan privilese monarki. Hong Kong pada 2019 menjadi saksi jutaan rakyat yang turun ke jalan melawan kebijakan otoritarian Beijing.

 

Semua contoh ini mengajarkan satu hal: ketika suara rakyat diabaikan dan jarak antara elite dan rakyat melebar, jalanan menjadi instrumen koreksi terakhir.

 

Bagi Indonesia, peringatan ini jelas. Demokrasi Pancasila menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika kemarahan rakyat Agustus 2025 diabaikan, Indonesia berisiko mengalami krisis legitimasi sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang gagal merespons aspirasi warganya.

 

Sejarah telah cukup memberi pelajaran: represi mungkin menunda, tetapi tidak pernah memadamkan tuntutan keadilan.

 

Dalam konteks ini, kebijaksanaan pemerintah menjadi kunci. Aspirasi rakyat harus didengar, bukan ditekan. Rakyat juga harus waspada agar tidak terprovokasi kepentingan asing yang ingin menunggangi protes, karena sejatinya tuntutan yang muncul adalah suara murni dari rakyat Indonesia.

 

Etika kepemimpinan menuntut kerendahan hati. Aristoteles menegaskan bahwa tujuan politik adalah kebaikan bersama (bonum commune). Negara hadir untuk memungkinkan warga negaranya hidup dalam kebaikan.

 

Dalam tradisi Nusantara, pepatah “manunggaling kawula lan gusti” dalam konteks kepemimpinan menekankan kesatuan antara pemimpin dengan Tuhannya, yang pada akhirnya terwujud dalam persatuan dengan rakyat guna melahirkan keadilan.

 

Dalam demokrasi modern, prinsip ini sejalan dengan konsep servant leadership, yakni pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa mereka. Prinsip rule of law dan good governance menegaskan bahwa kekuasaan hanya sah bila dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan.

 

Ketika pemilik daulat marah, itu bukan sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan alarm keras bagi pemimpin dan pejabat arogan untuk bercermin. Peristiwa Agustus 2025 bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga cermin batas kesabaran rakyat terhadap kesewenang-wenangan.

 

Bila pesan ini diabaikan, sejarah Indonesia dan dunia telah berulang kali membuktikan: kekuasaan yang arogan hanya tinggal menunggu giliran runtuh.

 

Dalam kerangka itulah, saya meyakini bahwa Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bersama para kepala daerah di seluruh Indonesia akan mendengar dan memperhatikan tuntutan rakyat dengan seksama.

 

Tujuan utamanya adalah agar Indonesia maju, rakyat hidup sejahtera, dan negeri ini terbebas dari dominasi segelintir elite yang hidup mewah di atas penderitaan mayoritas rakyat kecil. **


*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.