Latest Post


OLEH: SUGIYANTO*


KEKUATAN rakyat apabila lahir secara alamiah dan murni dari aspirasi kolektif, biasanya membawa dampak positif bagi bangsa. Namun, jika kekuatan ini dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok tertentu, maka bisa berubah menjadi ancaman yang merugikan banyak pihak, termasuk rakyat itu sendiri.

 

Sejarah Indonesia pasca kemerdekaan menunjukkan betapa rapuhnya kekuasaan yang arogan di hadapan gelombang rakyat. Aksi Tritura tahun 1966 -- yang menuntut pembubaran PKI, perombakan kabinet, dan penurunan Harga -- menjadi momentum besar yang mengubah arah perjalanan bangsa.

 

Dari gerakan mahasiswa saat itu lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang membuka jalan bagi lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.

 

Namun, kekuasaan yang tampak kuat sekalipun tidak pernah sepi dari koreksi rakyat. Pada 1974, peristiwa Malari pecah sebagai simbol perlawanan terhadap kesenjangan sosial, praktik korupsi, serta ketidakadilan yang mulai mengakar di tubuh Orde Baru.

 

Reformasi 1998 kemudian menjadi puncak ledakan koreksi rakyat, melengserkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa. Sejarah itu membuktikan bahwa kekuasaan sebesar apa pun tidak kebal terhadap amarah rakyat.

 

Era Reformasi membawa perubahan signifikan, termasuk amandemen UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode alias 10 tahun, serta lahirnya sistem Pemilihan Presiden langsung.

 

Namun, reformasi juga tidak menutup jalan bagi rakyat untuk melakukan demonstrasi besar. Pasca Pemilu 2019, aksi massa kembali menunjukkan bahwa jalanan tetap menjadi arena koreksi ketika institusi formal kehilangan kepercayaan publik.

 

Kini, peristiwa serupa kembali terulang. Pada 25-29 Agustus 2025, bangsa ini diguncang demonstrasi nasional yang dipicu oleh isu tunjangan DPR sebesar Rp50 juta per bulan, ditambah berbagai fasilitas lainnya, sehingga total penghasilan anggota DPR menjadi sangat besar. Jumlah tersebut jelas jauh melampaui upah minimum yang diterima rakyat kecil.

 

Atas masalah tersebut, tuntutan publik berkembang mencakup transparansi gaji pejabat, percepatan pembahasan dan pengesahan UU Perampasan Aset, serta pembatalan sejumlah rancangan undang-undang yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.

 

Aksi ini meluas ke berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kemarahan publik bukan semata persoalan materi, melainkan menyangkut rasa keadilan yang dianggap telah dikhianati.

 

Tragedi kemudian terjadi. Pada 28 Agustus 2025, Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, tewas akibat terlindas kendaraan lapis baja polisi.

 

Affan bukan pejabat, bukan elite politik, melainkan rakyat biasa -- simbol nyata “pemilik daulat”: hak untuk hidup, hak atas keadilan, dan hak untuk bersuara. Peristiwa ini seketika mengubah demonstrasi menjadi gelombang solidaritas nasional.

 

Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan rakyat untuk menyampaikan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E UUD 1945. Jaminan tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 yang memberikan dasar hukum bagi penyampaian pendapat di muka umum, termasuk demonstrasi damai. Lebih jauh, Indonesia juga terikat pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

 

Khusus untuk Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, peraturan ini merupakan Undang-Undang tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Melalui instrumen ini, Indonesia secara resmi mengesahkan sekaligus mengakui isi kovenan tersebut sebagai bagian dari sistem hukum nasional.

 

Dalam undang-undang tersebut, Pasal 1 ayat (1) menyatakan:

 

“Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1.”

 

Sementara itu, Pasal 1 ayat (2) menegaskan:

 

“Salinan naskah asli International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”

 

Beberapa ketentuan penting dalam ICCPR antara lain:

 

Pasal 6 ICCPR-Hak untuk Hidup

Article 6

1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.

 

(Pasal 6 (1). Setiap manusia memiliki hak asasi untuk hidup. Hak ini dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun boleh dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang).

 

Pasal 21 ICCPR-Hak Berkumpul Damai

Article 21

The right of peaceful assembly shall be recognized. No restrictions may be placed on the exercise of this right other than those imposed in conformity with the law and which are necessary in a democratic society in the interests of national security or public safety, public order (ordre public), the protection of public health or morals or the protection of the rights and freedoms of others.

 

(Pasal 21: Hak berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan yang boleh dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini, kecuali yang diberlakukan sesuai hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau moralitas publik, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain).

 

Dengan demikian, kematian Affan tidak hanya dapat dipandang sebagai persoalan domestik, tetapi juga berpotensi dinilai sebagai pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang telah disepakati Indonesia

 

Kematian Affan menjadi percikan yang menyulut amarah kolektif. Gelombang protes meluas menjadi aksi besar-besaran: ratusan ribu rakyat turun ke jalan, ada gedung DPRD dibakar, rumah pejabat diserang, ratusan orang terluka, dan banyak yang ditangkap.

 

Pemerintah merespons dengan langkah ganda. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemangkasan tunjangan, menangguhkan perjalanan dinas luar negeri pejabat, serta menjanjikan investigasi transparan.

 

Namun di sisi lain, Prabowo juga menegaskan perlunya ketegasan aparat terhadap mereka yang dianggap perusuh atau provokator. Aparat keamanan dikerahkan secara masif demi menjaga ketertiban umum.

 

Meski demikian, penting dicatat bahwa setiap langkah pengamanan tidak boleh mengorbankan hak asasi rakyat.

 

Tindakan represif justru berisiko menuai kritik keras dari lembaga internasional seperti PBB maupun Human Rights Watch, serta berpotensi membuka tuduhan pelanggaran HAM berat.

 

Bila hal ini terjadi, maka kontradiksi antara janji reformasi dan praktik di lapangan akan semakin nyata di mata publik.

 

Fenomena ini sejatinya bukan anomali, melainkan bagian dari pola global. Arab Spring pada 2011 menggulingkan rezim otoriter di Tunisia, Mesir, dan Libya akibat korupsi, kesenjangan, dan arogansi kekuasaan.

 

Thailand pada 2020 menyaksikan protes mahasiswa melawan militerisme dan privilese monarki. Hong Kong pada 2019 menjadi saksi jutaan rakyat yang turun ke jalan melawan kebijakan otoritarian Beijing.

 

Semua contoh ini mengajarkan satu hal: ketika suara rakyat diabaikan dan jarak antara elite dan rakyat melebar, jalanan menjadi instrumen koreksi terakhir.

 

Bagi Indonesia, peringatan ini jelas. Demokrasi Pancasila menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Jika kemarahan rakyat Agustus 2025 diabaikan, Indonesia berisiko mengalami krisis legitimasi sebagaimana yang terjadi di negara-negara yang gagal merespons aspirasi warganya.

 

Sejarah telah cukup memberi pelajaran: represi mungkin menunda, tetapi tidak pernah memadamkan tuntutan keadilan.

 

Dalam konteks ini, kebijaksanaan pemerintah menjadi kunci. Aspirasi rakyat harus didengar, bukan ditekan. Rakyat juga harus waspada agar tidak terprovokasi kepentingan asing yang ingin menunggangi protes, karena sejatinya tuntutan yang muncul adalah suara murni dari rakyat Indonesia.

 

Etika kepemimpinan menuntut kerendahan hati. Aristoteles menegaskan bahwa tujuan politik adalah kebaikan bersama (bonum commune). Negara hadir untuk memungkinkan warga negaranya hidup dalam kebaikan.

 

Dalam tradisi Nusantara, pepatah “manunggaling kawula lan gusti” dalam konteks kepemimpinan menekankan kesatuan antara pemimpin dengan Tuhannya, yang pada akhirnya terwujud dalam persatuan dengan rakyat guna melahirkan keadilan.

 

Dalam demokrasi modern, prinsip ini sejalan dengan konsep servant leadership, yakni pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa mereka. Prinsip rule of law dan good governance menegaskan bahwa kekuasaan hanya sah bila dijalankan dengan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan keadilan.

 

Ketika pemilik daulat marah, itu bukan sekadar ungkapan kekecewaan, melainkan alarm keras bagi pemimpin dan pejabat arogan untuk bercermin. Peristiwa Agustus 2025 bukan hanya catatan sejarah, tetapi juga cermin batas kesabaran rakyat terhadap kesewenang-wenangan.

 

Bila pesan ini diabaikan, sejarah Indonesia dan dunia telah berulang kali membuktikan: kekuasaan yang arogan hanya tinggal menunggu giliran runtuh.

 

Dalam kerangka itulah, saya meyakini bahwa Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bersama para kepala daerah di seluruh Indonesia akan mendengar dan memperhatikan tuntutan rakyat dengan seksama.

 

Tujuan utamanya adalah agar Indonesia maju, rakyat hidup sejahtera, dan negeri ini terbebas dari dominasi segelintir elite yang hidup mewah di atas penderitaan mayoritas rakyat kecil. **


*Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan politik


Mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim ditahan Kejagung. (Foto: Istimewa) 


JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan masih mengusut kasus dugaan korupsi terkait pengadaan Google Cloud di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, meski Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim sebagai tersangka.

 

"Sampai saat ini masih berproses," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, Kamis (4/9/2025).

 

Budi menjelaskan KPK masih menangani dugaan korupsi pengadaan Google Cloud karena kasus tersebut berbeda dengan kasus yang sedang ditangani Kejagung, yakni dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek tahun 2019-2022.

 

"Sampai dengan saat ini penyelidikan perkaranya masih berproses karena dua hal yang berbeda. Penanganan di KPK terkait pengadaan Google Cloud-nya. Kita sama-sama tunggu perkembangannya, ya," jelasnya.

 

Kendati demikian, Budi mengatakan KPK belum dapat menyampaikan detail perkara Google Cloud tersebut karena penanganannya masih tahap penyelidikan, bukan penyidikan.

 

Sebelumnya, KPK mengungkapkan sedang menyelidiki dugaan korupsi terkait Google Cloud di Kemendikbudristek. Kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan.

 

Sejumlah pihak yang sudah dimintai keterangan oleh lembaga antirasuah terkait kasus Google Cloud itu adalah mantan Staf Khusus Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, Fiona Handayani, yakni pada 30 Juli 2025.

 

Kemudian mantan Komisaris GoTo Andre Soelistyo dan mantan Direktur GoTo Melissa Siska Juminto pada 5 Agustus 2025, sedangkan Nadiem dimintai keterangan pada 7 Agustus 2025.

 

KPK menegaskan penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait Google Cloud di Kemendikbudristek itu berbeda dengan kasus Chromebook yang sedang ditangani Kejaksaan Agung.

 

Selain itu, KPK mengaku sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan korupsi dalam pengadaan kuota internet gratis di Kemendikbudristek. Penyelidikan tersebut berkaitan dengan perkara Google Cloud.

 

Sementara itu, Kejaksaan Agung saat ini sedang mengusut kasus dugaan korupsi dalam program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek tahun 2019–2022 terkait pengadaan Chromebook.

 

Kejagung telah menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut, yakni mantan Staf Khusus Mendikbudristek era Nadiem Makarim bernama Jurist Tan, mantan konsultan teknologi di Kemendikbudristek Ibrahim Arief, Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek tahun 2020–2021 Sri Wahyuningsih, serta Direktur Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek tahun 2020–2021 Mulyatsyah.

 

Pada 4 September 2025, Kejagung menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus tersebut, menyusul empat orang yang sebelumnya sudah ditetapkan tersangka. (rmol)


Anggota Brimob, Bripka Rohmat (R) menjalani sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), Kamis (4/9/2025) 


JAKARTA — Anggota Brimob, Bripka Rohmat (kanan), sedang menjalani persidangan di Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (KKEP) atas keterlibatannya dalam kasus pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan (21), yang tewas dilindas rantis, Kamis (4/9/2025). Rohmat yang merupakan sopir rantis Brimob itu cuma disanksi demosi selama tujuh tahun.

 

Dalam sidang di gedung Komisi Kepolisian Nasional (KPKN) Polri, Jakarta, pada Kamis, 4 September 2025, majelis hakim Komisi Kepolisian Nasional Indonesia (KKEP) menyatakan tindakan Rohmad tercela. Selain penurunan pangkat, ia juga ditempatkan di Rumah Tahanan Khusus (PATSU).

 

Kemudian, Rohmad juga memiliki kewajiban untuk meminta maaf secara lisan di hadapan majelis hakim KKEP dan dengan tertulis kepada pimpinan Polri.

 

Sebelumnya, Danyon Resimen IV Korbrimob Polri, Kompol Cosmas Kaju Gae (Kompol C) menjalani sidang KKEP atas kasus kematian Affan. Majelis hakim pun menjatuhkan sanksi PTDH ke Cosmas.

 

Cosmas kemudian bersumpah tidak pernah ada niat untuk mencelakakan Affan.

 

"Dengan kejadian atau peristiwa, bukan menjadi niat, sungguh-sungguh demi Tuhan, bukan ada niat, untuk membuat orang celaka tapi sebaliknya," kata Cosmas saat sidang KKEP di gedung TNCC Polri, Jakarta, Rabu (3/9).

 

Cosmas menangis. Dia kemudian menyampaikan turut berduka cita atas meninggalnya Affan. Komandan Brimob ini lalu meminta maaf ke pimpinan Polri.

 

"Sungguh-sungguh di luar dugaan, dan saya mengetahui, ketika korban meninggal, ketika video viral, dan kami tidak mengetahui sama sekali pada peristiwa dan waktu kejadian tersebut," tuturnya.

 

"Setelah kejadian video viral, kami ketahui setelah beberapa jam berikutnya melalui medsos (media sosial)," imbuhnya.

 

Diketahui, Propam menangkap tujuh anggota Brimob di dalam rantis yang melindas Affan. Selain Rohmad dan Cosmas, lima anggota Brimob lainnya yaitu Aipda M Rohyani (Aipda R), Briptu Danang (Briptu D), Bripda Mardin (Bripda M), Baraka Jana Edi (Baraka J), dan Baraka Yohanes David (Baraka Y). (era)


Jaga Marwah desak KPK periksa Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution dan Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara Erni Sitorus. (Foto: RMOL/Jamaludin Akmal)


JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak segera memanggil dan memeriksa Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution dan Ketua DPRD Sumut, Erni Sitorus untuk mempertanggungjawabkan penggunaan APBD Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut.

 

Tuntutan itu disampaikan puluhan orang yang tergabung dalam organisasi Jaringan Pergerakan Masyarakat Bawah (Jaga Marwah) saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis, 4 September 2025.

 

Ketua Umum Jaga Marwah, Edison Tamba alias Edoy mengatakan KPK harus memanggil Bobby Nasution dan Erni Sitorus untuk mempertanggungjawabkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena terbukti terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) KPK beberapa waktu lalu.

 

"Dalam kasus OTT mantan Kadis PUPR Sumut Topan Ginting, terdengar informasi pergeseran anggaran signifikan ke Dinas PUPR mencapai Rp1,3 trilun, yang salah satu mata anggaran proyek jalan wilayah Tabagsel yang terbukti KKN. Bobby Nasution sebagai penanggung Jawab serta Erni sebagai pengawas dinilai bobol dengan adanya OTT yang dilakukan KPK," kata Edoy saat berorasi di atas mobil komando.

 

 

Selain terkait pergeseran anggaran, kata Edoy, hubungan mesra legislatif dengan eksekutif memperkuat dugaan praktik KKN yang merugikan rakyat, serta kerap mengabaikan tugas dan fungsi para anggota DPRD Sumut lainnya.

 

Bahkan, kata Edoy, sejumlah anggota DPRD Sumut sudah menyuarakan bahwa pemanggilan terhadap mantan Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) mengenai pergeseran anggaran tersebut tidak pernah terlaksana dikarenakan Topan Ginting merasa di-backup Bobby Nasution dan Erni Sitorus.

 

"Kita juga mendapat informasi, aparat penegak hukum seperti tim Korsupgah KPK mengaku merasa kesulitan untuk mendapatkan data soal penggunaan dan pengelolaan APBD Pemprov Sumut di masa kepemimpinan Bobby Nasution dan Erni Sitorus. Sehingga kuat dugaan kami, faktor kesulitan berkomunikasi itu jadi penguat terjadinya OTT KPK," terang Edoy.

 

Selain itu, Edoy juga mengingatkan kepada KPK terkait track record Erni Sitorus yang diduga menerima gratifikasi satu unit mobil Alphard yang sudah disita KPK pada Oktober 2021 lalu.

 

Penyitaan mobil mewah tersebut terkait kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) di masa kepemimpinan terpidana Khairudinsyah Sitorus alias Buyung, yang juga merupakan ayah kandung Erni Sitorus.

 

"Erni Sitorus merupakan anggota DPRD Sumut dari Partai Golkar saat itu. Meski ayah dan anak, secara jabatan eksekutif membelikan mobil atas nama anggota legislatif, jelas itu gratifikasi. Untuk itu kita minta KPK, ungkap kembali dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Erni Sitorus," tegas Edoy.

 

Mirisnya lagi, kata Edoy, Erni Sitorus terpilih menjadi anggota DPRD Sumut dengan Dapil Kabupaten Labuhanbatu Raya yang salah satu kabupatennya yaitu Labura tempat Buyung berkuasa. Edoy menduga bahwa terpilihnya Erni Sitorus menjadi anggota DPRD Sumut tak lepas dari perananan Buyung.

 

"Saat ini, Bupati Labura turun ke dinasti anaknya bernama Hendrik Sitorus, yang tidak lain adik kandung Erni Sitorus, sehingga aroma KKN dan rekam jejak buruk korupsi seakan tidak tersentuh hukum hingga saat ini," tutur Edoy.

 

Untuk itu, Edoy meminta agar KPK berani mengikuti perintah Presiden Prabowo Subianto untuk berani melawan para koruptor, serta tidak tebang pilih dalam mengusut tuntas kasus korupsi.

 

"Kepada Ketua KPK, kami yakin tudingan dan opini liar di publik mengenai piimpinan KPK dicap sebagai Termul oleh masyarakat dan netizen, karena terkesan tidak berani memanggil Gubernur Sumut Bobby Nasution dan Ketua DPRD Sumut Erni Sitorus tidak benar. Jadi segera lah panggil pimpinan eksekutif dan legislatif dalam hal keseriusan mengusut tuntas kasus korupsi OTT KPK di Sumut," pungkas Edoy. (rmol)


Aktivis '98, Ubedilah Badrun

 

JAKARTA — Para aktivis telah menyatakan kekecewaan mereka atas sikap Presiden Prabowo Subianto yang terus mengabaikan tuntutan terbaru para pengunjuk rasa, termasuk reformasi kepolisian.

 

Salah satu isu terkait reformasi kepolisian adalah tuntutan pencopotan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari jabatannya. Tuntutan ini telah sering disuarakan oleh publik dan semakin menguat sejak insiden tabrakan kendaraan taktis Brimob dengan pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan hingga tewas.

 

Desakan agar Presiden Prabowo mencopot Kapolri juga datang dari aktivis 98. Kelompok aktivis ini mengklaim ada 100 aktivis yang mendesak pencopotan Kapolri dari jabatannya.

 

Perwakilan seratus aktivis '98, Ubedilah Badrun mengatakan, insiden kendaraan Brimob menabrak pengemudi ojek online merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga wajar jika mereka menuntut pencopotan Jenderal Listyo.

 

"Kami telah dengan tegas memberikan semacam warning kepada Prabowo agar memberhentikan Kapolri," kata Kang Ubed sapaan Ubedilah Badrun melalui layanan pesan, Kamis (4/9).

 

Menurut Kang Ubed, peristiwa rantis Brimob melindas ojol pada Kamis (28/8) kemarin merusak citra Indonesia di dunia, sehingga layak seratus aktivis 98 menuntut pencopotan Kapolri.

 

"Makin buruk jika Presiden tidak mengambil langkah tegas terhadap elite institusi yang paling bertanggung jawab dalam pengamanan demonstrasi yaitu Kapolri, apalagi sudah menjadi perhatian PBB," kata Kang Ubed.

 

Namun, dia menyebut aktivis 98 menyayangkan sikap Presiden Prabowo yang tak kunjung mencopot Jenderal Listyo setelah peristiwa pelindasan rantis Brimob.

 

"Menyayangkan sikap Prabowo yang tak kunjung memenuhi tuntutan kami yang juga tuntutan publik untuk mencopot Kapolri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, etik, dan konstitusional," lanjut Kang Ubed.

 

Dia mengatakan pencopotan Jenderal Listyo dari Kapolri sesungguhnya menjadi agenda reformasi kepolisian.

 

"Reformasi kepolisian berarti reformasi tata kelola dan lain-lain serta reformasi struktural di antaranya memberikan sanksi tegas terhadap lapisan elite kepolisian jika terjadi kesalahan fatal, dalam konteks saat ini memberhentikan Kapolri, Kapolda, dan lain-lain yang bertanggungjawab atas peristiwa tragis pelindasan Affan Kurniawan," katanya.

 

Seratus aktivis 98, kata Kang Ubed, menilai elite politik Indonesia kehilangan moral apabila Prabowo tidak mencopot Jenderal Listyo setelah peristiwa pelindasan rantis Brimob.

 

"Jika tuntutan itu tidak dipenuhi Prabowo maka kami menilai bahwa bangsa ini kehilangan moral obligacy justru dari lapisan elite kekuasaan. Tentu ini menyedihkan dan meremukan jiwa bangsa," ujar dia.

 

Selain mendesak presiden mencopot kapolri, Kang Ubed juga mendesak Jenderal Listyo untuk mundur dari posisinya untuk menunjukkan elite bangsa memiliki moral, etik, dan spirit kemanusiaan yang adil dan beradab.

 

"Kapolri bisa menyatakan mundur dari jabatanya tanpa menunggu dipecat oleh Prabowo, karena itu juga tidak dilakukan, kami menilai bahwa standar etik elite bangsa ini sangat membuat kami sedih," kata dia. (fajar)

 

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.