Latest Post

Mantan Mendikbudristek, Nadiem Makarim ditahan Kejagung. (Foto: Istimewa) 


JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan masih mengusut kasus dugaan korupsi terkait pengadaan Google Cloud di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, meski Kejaksaan Agung telah menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim sebagai tersangka.

 

"Sampai saat ini masih berproses," ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di Jakarta, Kamis (4/9/2025).

 

Budi menjelaskan KPK masih menangani dugaan korupsi pengadaan Google Cloud karena kasus tersebut berbeda dengan kasus yang sedang ditangani Kejagung, yakni dugaan korupsi dalam pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek tahun 2019-2022.

 

"Sampai dengan saat ini penyelidikan perkaranya masih berproses karena dua hal yang berbeda. Penanganan di KPK terkait pengadaan Google Cloud-nya. Kita sama-sama tunggu perkembangannya, ya," jelasnya.

 

Kendati demikian, Budi mengatakan KPK belum dapat menyampaikan detail perkara Google Cloud tersebut karena penanganannya masih tahap penyelidikan, bukan penyidikan.

 

Sebelumnya, KPK mengungkapkan sedang menyelidiki dugaan korupsi terkait Google Cloud di Kemendikbudristek. Kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan.

 

Sejumlah pihak yang sudah dimintai keterangan oleh lembaga antirasuah terkait kasus Google Cloud itu adalah mantan Staf Khusus Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim, Fiona Handayani, yakni pada 30 Juli 2025.

 

Kemudian mantan Komisaris GoTo Andre Soelistyo dan mantan Direktur GoTo Melissa Siska Juminto pada 5 Agustus 2025, sedangkan Nadiem dimintai keterangan pada 7 Agustus 2025.

 

KPK menegaskan penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait Google Cloud di Kemendikbudristek itu berbeda dengan kasus Chromebook yang sedang ditangani Kejaksaan Agung.

 

Selain itu, KPK mengaku sedang melakukan penyelidikan terhadap dugaan korupsi dalam pengadaan kuota internet gratis di Kemendikbudristek. Penyelidikan tersebut berkaitan dengan perkara Google Cloud.

 

Sementara itu, Kejaksaan Agung saat ini sedang mengusut kasus dugaan korupsi dalam program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek tahun 2019–2022 terkait pengadaan Chromebook.

 

Kejagung telah menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut, yakni mantan Staf Khusus Mendikbudristek era Nadiem Makarim bernama Jurist Tan, mantan konsultan teknologi di Kemendikbudristek Ibrahim Arief, Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek tahun 2020–2021 Sri Wahyuningsih, serta Direktur Sekolah Menengah Pertama Kemendikbudristek tahun 2020–2021 Mulyatsyah.

 

Pada 4 September 2025, Kejagung menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus tersebut, menyusul empat orang yang sebelumnya sudah ditetapkan tersangka. (rmol)


Anggota Brimob, Bripka Rohmat (R) menjalani sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), Kamis (4/9/2025) 


JAKARTA — Anggota Brimob, Bripka Rohmat (kanan), sedang menjalani persidangan di Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (KKEP) atas keterlibatannya dalam kasus pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan (21), yang tewas dilindas rantis, Kamis (4/9/2025). Rohmat yang merupakan sopir rantis Brimob itu cuma disanksi demosi selama tujuh tahun.

 

Dalam sidang di gedung Komisi Kepolisian Nasional (KPKN) Polri, Jakarta, pada Kamis, 4 September 2025, majelis hakim Komisi Kepolisian Nasional Indonesia (KKEP) menyatakan tindakan Rohmad tercela. Selain penurunan pangkat, ia juga ditempatkan di Rumah Tahanan Khusus (PATSU).

 

Kemudian, Rohmad juga memiliki kewajiban untuk meminta maaf secara lisan di hadapan majelis hakim KKEP dan dengan tertulis kepada pimpinan Polri.

 

Sebelumnya, Danyon Resimen IV Korbrimob Polri, Kompol Cosmas Kaju Gae (Kompol C) menjalani sidang KKEP atas kasus kematian Affan. Majelis hakim pun menjatuhkan sanksi PTDH ke Cosmas.

 

Cosmas kemudian bersumpah tidak pernah ada niat untuk mencelakakan Affan.

 

"Dengan kejadian atau peristiwa, bukan menjadi niat, sungguh-sungguh demi Tuhan, bukan ada niat, untuk membuat orang celaka tapi sebaliknya," kata Cosmas saat sidang KKEP di gedung TNCC Polri, Jakarta, Rabu (3/9).

 

Cosmas menangis. Dia kemudian menyampaikan turut berduka cita atas meninggalnya Affan. Komandan Brimob ini lalu meminta maaf ke pimpinan Polri.

 

"Sungguh-sungguh di luar dugaan, dan saya mengetahui, ketika korban meninggal, ketika video viral, dan kami tidak mengetahui sama sekali pada peristiwa dan waktu kejadian tersebut," tuturnya.

 

"Setelah kejadian video viral, kami ketahui setelah beberapa jam berikutnya melalui medsos (media sosial)," imbuhnya.

 

Diketahui, Propam menangkap tujuh anggota Brimob di dalam rantis yang melindas Affan. Selain Rohmad dan Cosmas, lima anggota Brimob lainnya yaitu Aipda M Rohyani (Aipda R), Briptu Danang (Briptu D), Bripda Mardin (Bripda M), Baraka Jana Edi (Baraka J), dan Baraka Yohanes David (Baraka Y). (era)


Jaga Marwah desak KPK periksa Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution dan Ketua DPRD Provinsi Sumatera Utara Erni Sitorus. (Foto: RMOL/Jamaludin Akmal)


JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak segera memanggil dan memeriksa Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution dan Ketua DPRD Sumut, Erni Sitorus untuk mempertanggungjawabkan penggunaan APBD Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut.

 

Tuntutan itu disampaikan puluhan orang yang tergabung dalam organisasi Jaringan Pergerakan Masyarakat Bawah (Jaga Marwah) saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis, 4 September 2025.

 

Ketua Umum Jaga Marwah, Edison Tamba alias Edoy mengatakan KPK harus memanggil Bobby Nasution dan Erni Sitorus untuk mempertanggungjawabkan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) karena terbukti terjadi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) KPK beberapa waktu lalu.

 

"Dalam kasus OTT mantan Kadis PUPR Sumut Topan Ginting, terdengar informasi pergeseran anggaran signifikan ke Dinas PUPR mencapai Rp1,3 trilun, yang salah satu mata anggaran proyek jalan wilayah Tabagsel yang terbukti KKN. Bobby Nasution sebagai penanggung Jawab serta Erni sebagai pengawas dinilai bobol dengan adanya OTT yang dilakukan KPK," kata Edoy saat berorasi di atas mobil komando.

 

 

Selain terkait pergeseran anggaran, kata Edoy, hubungan mesra legislatif dengan eksekutif memperkuat dugaan praktik KKN yang merugikan rakyat, serta kerap mengabaikan tugas dan fungsi para anggota DPRD Sumut lainnya.

 

Bahkan, kata Edoy, sejumlah anggota DPRD Sumut sudah menyuarakan bahwa pemanggilan terhadap mantan Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) mengenai pergeseran anggaran tersebut tidak pernah terlaksana dikarenakan Topan Ginting merasa di-backup Bobby Nasution dan Erni Sitorus.

 

"Kita juga mendapat informasi, aparat penegak hukum seperti tim Korsupgah KPK mengaku merasa kesulitan untuk mendapatkan data soal penggunaan dan pengelolaan APBD Pemprov Sumut di masa kepemimpinan Bobby Nasution dan Erni Sitorus. Sehingga kuat dugaan kami, faktor kesulitan berkomunikasi itu jadi penguat terjadinya OTT KPK," terang Edoy.

 

Selain itu, Edoy juga mengingatkan kepada KPK terkait track record Erni Sitorus yang diduga menerima gratifikasi satu unit mobil Alphard yang sudah disita KPK pada Oktober 2021 lalu.

 

Penyitaan mobil mewah tersebut terkait kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) di masa kepemimpinan terpidana Khairudinsyah Sitorus alias Buyung, yang juga merupakan ayah kandung Erni Sitorus.

 

"Erni Sitorus merupakan anggota DPRD Sumut dari Partai Golkar saat itu. Meski ayah dan anak, secara jabatan eksekutif membelikan mobil atas nama anggota legislatif, jelas itu gratifikasi. Untuk itu kita minta KPK, ungkap kembali dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Erni Sitorus," tegas Edoy.

 

Mirisnya lagi, kata Edoy, Erni Sitorus terpilih menjadi anggota DPRD Sumut dengan Dapil Kabupaten Labuhanbatu Raya yang salah satu kabupatennya yaitu Labura tempat Buyung berkuasa. Edoy menduga bahwa terpilihnya Erni Sitorus menjadi anggota DPRD Sumut tak lepas dari perananan Buyung.

 

"Saat ini, Bupati Labura turun ke dinasti anaknya bernama Hendrik Sitorus, yang tidak lain adik kandung Erni Sitorus, sehingga aroma KKN dan rekam jejak buruk korupsi seakan tidak tersentuh hukum hingga saat ini," tutur Edoy.

 

Untuk itu, Edoy meminta agar KPK berani mengikuti perintah Presiden Prabowo Subianto untuk berani melawan para koruptor, serta tidak tebang pilih dalam mengusut tuntas kasus korupsi.

 

"Kepada Ketua KPK, kami yakin tudingan dan opini liar di publik mengenai piimpinan KPK dicap sebagai Termul oleh masyarakat dan netizen, karena terkesan tidak berani memanggil Gubernur Sumut Bobby Nasution dan Ketua DPRD Sumut Erni Sitorus tidak benar. Jadi segera lah panggil pimpinan eksekutif dan legislatif dalam hal keseriusan mengusut tuntas kasus korupsi OTT KPK di Sumut," pungkas Edoy. (rmol)


Aktivis '98, Ubedilah Badrun

 

JAKARTA — Para aktivis telah menyatakan kekecewaan mereka atas sikap Presiden Prabowo Subianto yang terus mengabaikan tuntutan terbaru para pengunjuk rasa, termasuk reformasi kepolisian.

 

Salah satu isu terkait reformasi kepolisian adalah tuntutan pencopotan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari jabatannya. Tuntutan ini telah sering disuarakan oleh publik dan semakin menguat sejak insiden tabrakan kendaraan taktis Brimob dengan pengemudi ojek daring, Affan Kurniawan hingga tewas.

 

Desakan agar Presiden Prabowo mencopot Kapolri juga datang dari aktivis 98. Kelompok aktivis ini mengklaim ada 100 aktivis yang mendesak pencopotan Kapolri dari jabatannya.

 

Perwakilan seratus aktivis '98, Ubedilah Badrun mengatakan, insiden kendaraan Brimob menabrak pengemudi ojek online merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga wajar jika mereka menuntut pencopotan Jenderal Listyo.

 

"Kami telah dengan tegas memberikan semacam warning kepada Prabowo agar memberhentikan Kapolri," kata Kang Ubed sapaan Ubedilah Badrun melalui layanan pesan, Kamis (4/9).

 

Menurut Kang Ubed, peristiwa rantis Brimob melindas ojol pada Kamis (28/8) kemarin merusak citra Indonesia di dunia, sehingga layak seratus aktivis 98 menuntut pencopotan Kapolri.

 

"Makin buruk jika Presiden tidak mengambil langkah tegas terhadap elite institusi yang paling bertanggung jawab dalam pengamanan demonstrasi yaitu Kapolri, apalagi sudah menjadi perhatian PBB," kata Kang Ubed.

 

Namun, dia menyebut aktivis 98 menyayangkan sikap Presiden Prabowo yang tak kunjung mencopot Jenderal Listyo setelah peristiwa pelindasan rantis Brimob.

 

"Menyayangkan sikap Prabowo yang tak kunjung memenuhi tuntutan kami yang juga tuntutan publik untuk mencopot Kapolri sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, etik, dan konstitusional," lanjut Kang Ubed.

 

Dia mengatakan pencopotan Jenderal Listyo dari Kapolri sesungguhnya menjadi agenda reformasi kepolisian.

 

"Reformasi kepolisian berarti reformasi tata kelola dan lain-lain serta reformasi struktural di antaranya memberikan sanksi tegas terhadap lapisan elite kepolisian jika terjadi kesalahan fatal, dalam konteks saat ini memberhentikan Kapolri, Kapolda, dan lain-lain yang bertanggungjawab atas peristiwa tragis pelindasan Affan Kurniawan," katanya.

 

Seratus aktivis 98, kata Kang Ubed, menilai elite politik Indonesia kehilangan moral apabila Prabowo tidak mencopot Jenderal Listyo setelah peristiwa pelindasan rantis Brimob.

 

"Jika tuntutan itu tidak dipenuhi Prabowo maka kami menilai bahwa bangsa ini kehilangan moral obligacy justru dari lapisan elite kekuasaan. Tentu ini menyedihkan dan meremukan jiwa bangsa," ujar dia.

 

Selain mendesak presiden mencopot kapolri, Kang Ubed juga mendesak Jenderal Listyo untuk mundur dari posisinya untuk menunjukkan elite bangsa memiliki moral, etik, dan spirit kemanusiaan yang adil dan beradab.

 

"Kapolri bisa menyatakan mundur dari jabatanya tanpa menunggu dipecat oleh Prabowo, karena itu juga tidak dilakukan, kami menilai bahwa standar etik elite bangsa ini sangat membuat kami sedih," kata dia. (fajar)

 

Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo (menghadap arah berlawanan). (RMOL/Faisal Aristama)  

 

JAKARTA — Rapat kerja Komisi III DPR RI bersama Kapolri, Jaksa Agung, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digelar secara tertutup pada Kamis, 4 September 2025, baru saja selesai.

 

Dalam rapat tertutup itu, hadir Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang digantikan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Dedi Prasetyo beserta jajarannya.

 

Namun sayangnya, Dedi Prasetyo menolak meladeni pertanyaan wartawan perihal rapat tertutup yang digelar di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Gedung Nusantara II, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta tersebut.

 

Wakapolri langsung berjalan meninggalkan kerumunan wartawan yang sudah menunggu lama untuk menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan rapat dan isu-isu aktual lainnya.

 

Belum diketahui pasti apa yang menjadi pembahasan rapat kerja tertutup tersebut.

 

Saat ditemui sebelum rapat, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengaku belum tahu apa pembahasan rapat. Sehingga, ia enggan berkomentar lebih jauh mengenai hal tersebut.

 

“Belum tahu, ini baru mau masuk dulu kita,” kata Nasir kepada redaksi. (rmol)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.