Latest Post

Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka 

 

JAKARTA — Gugatan terhadap Gibran Rakabuming Raka di Komisi Pemilihan Umum (KPU) kini semakin jelas. Gugatan tersebut diajukan oleh seorang warga negara bernama Subhan.

 

Ia yakin Gibran tidak memenuhi persyaratan administratif untuk menjadi calon wakil presiden dalam pemilihan umum 2024.

 

Subhan menegaskan alasan utamanya menggugat Gibran, karena sang wakil presiden tidak memiliki ijazah SMA atau sederajat sebagaimana dipersyaratkan dalam Undang-Undang Pemilu.

 

“Alasannya Gibran tidak memiliki ijazah SMA sederajat,” ungkap Subhan kepada JawaPos (grup FAJAR), Kamis (4/9/2025).

 

Ada pun, gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, teregistrasi dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst.

 

Subhan juga menepis anggapan bahwa dirinya ingin menjatuhkan nama baik Gibran di mata masyarakat. Dia menegaskan bahwa ini persoalan hukum yang harus dipatuhi oleh semua pejabat publik.

 

“Bukan membohongi publik, tetapi tidak memenuhi syarat menjadi Wapres,” tegasnya.

 

Melalui gugatan yang diajukan ke pengadilan, Subhan menuntut ganti rugi immateriil sebesar Rp 125 triliun.

 

Kerugian immateriil, kata dia, akibat dilantiknya seseorang yang tidak memenuhi syarat konstitusional sebagai wakil presiden sangat besar dan menyangkut masa depan bangsa.

 

“Kerugian yang bersifat immateriil itu tidak terhingga,” terangnya.

 

Subhan menilai, kasus ini seharusnya menjadi perhatian serius semua pihak, termasuk penyelenggara pemilu dan pemerintah.

 

Ia menyebut gugatan ini bukan hanya soal dirinya, melainkan demi menjaga marwah konstitusi agar tidak diabaikan. "Betul itu pendapat hukum saya," tandasnya. (fajar)

 

Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim usai diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Agustus 2025. (Beritasatu.com/Yustinus Patris Paat)


JAKARTA — Mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim dijadwalkan kembali diperiksa oleh tim penyidik ​​Kejaksaan Agung pada Kamis (4 September 2025).

 

Ia akan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

 

Nadiem disebut akan memenuhi panggilan penyidik tersebut. Hal itu dikonfirmasi oleh kuasa hukumnya, Ricky Saragih.

 

"Betul dan dipastikan hadir," kata Ricky kepada wartawan, Rabu (3/9/2025).

 

Ini bukan kali pertama Nadiem bakal diperiksa oleh tim penyidik Kejagung. Dia sebelumnya telah diperiksa penyidik, Selasa (15/7/2025) dan Senin (23/6/2025). Keterangan tambahan darinya dinilai dapat membuat terang kasus ini, sehingga perlu kembali dipanggil untuk diperiksa.

 

Diketahui, kasus tersebut berawal saat Kemendikbudristek melaksanakan kegiatan pengadaan perangkat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) jenjang PAUD hingga SMA pada 2020-2022 untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) sebanyak 1,2 juta unit laptop chromebook dengan jumlah anggaran mencapai Rp 9,3 triliun yang bersumber dari APBN dan dana alokasi khusus (DAK).

 

Kejagung menyatakan tujuan pengadaan perangkat TIK berupa 1,2 juta laptop chromebook untuk siswa sekolah tidak tercapai karena Chrome OS banyak kelemahan untuk daerah 3T, sehingga perbuatan tersangka dinilai merugikan keuangan negara. Penggunaan chromebook sangat tergantung pada koneksi internet. Padahal, akses internet di banyak wilayah Indonesia belum merata.

 

Penyidik kemudian menggelar perkara dan menemukan bukti permulaan yang cukup dalam penetapan empat tersangka. Mereka yakni:

 

1. Mulyatsyah, mantan direktur SMP Kemendikbudristek.

2. Sri Wahyuningsih, mantan direktur sekolah dasar Kemendikbudristek.

3. Ibrahim Arief, konsultan teknologi di Kemendikbudristek.

4. Jurist Tan, mantan staf khusus mendikbudristek (saat ini masih di luar negeri)

 

Keempat tersangka kasus chromebook tersebut dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (beritasatu)


Roy Suryo ketawa ketiwi (Tangkapan layar Twitter @muannas-alaidid)-- 


 JAKARTA — Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo mengungkap hasil analisisnya terkait delapan perwakilan ojek online (ojol) yang bertemu dengan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

 

Menurutnya, mereka yang mewakili hanya dua orang yang benar-benar pengemudi ojol.

 

“Dari 8 itu, dua memang benar ojol. Ada dua bapak-bapak itu, kelihatan memang ojol beneran,” kata Roy Suryo dalam kanal YouTube Refly Harun, Sabtu, (3/9/2025).

 

Sementara itu kata dia ada satu orang yang kelihatannya merupakan orang yang berasal dari keluarga berada.

 

“Ada satu yang kayaknya pemilik modal malah. Terlalu mulus, terlalu sehat. Dia mungkin penerus perusahaan ayahnya,” ungkapnya.

 

Dia juga menilai pertemuan delapan orang itu dengan Gibran terasa janggal. Gibran bertemu pengemudi siang hari. Sedangkan Presiden Prabowo Subianto juga bertemu sore harinya dengan dari perwakilan ojol dengan orang yang berbeda.

 

“Dari sisi waktu sudah tidak tepat. Kalau dia mau, katanya kan tadi pertemuannya cuman satu jam dengan para ojol, nah itu bisa saja sore harinya langsung gabung. Bukankah istana wapres itu tinggal nyebrang saja, sudah sampai istana Negara,” ungkap Roy Suryo.

 

Kedua yang dikritiki adalah pertemuan itu tak menghasilkan apa-apa. Padahal kata dia, harusnya pejabat negara ketika menerima tamu, yang ditunggu adalah kebijakan dari hasil pertemuan itu.

 

“Yang menarik karena tidak ada statement dari wapres. Tapi justru statement dari para driver ojol itu ada,” ujarnya.

 

“Ada diantara mereka itu yang bilang bahwa pertemuan ini akan kami kabarkan kepada Taruna. Dia bilang kepada Taruna, bukan driver,” lanjutnya.

 

Selanjutnya terkait sepatu yang dikenakan, Roy Suryo juga soroti. “Ini pencitraannya kok jelek banget. Maunya pencitraan tapi malah,” tandasnya. (fajar)


Danyon Resimen IV Korbrimob Polri, Kompol Cosmas Kaju Gae. (Foto; YouTube TV Polri) 

 

JAKARTA — Divisi Profesi dan Pengamanan (Div Propam) Mabes Polri telah memberikan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemberhentian sebagai anggota Polri kepada Danyon Resimen IV Korbrimob Polri, Kompol Cosmas Kaju Gae (Kompol C).

 

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua Mahkamah Kode Etik dan Profesi (KKEP), Kombes Heri Setiawan, dalam sidang KKEP di Gedung TNCC Polri, Jakarta Selatan pada Rabu, 3 September 2025.

 

Kompol Cosmas dipecat atas keterlibatannya dalam kasus kematian pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan (21) yang tewas dilindas rantis Brimob di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis malam, 28 Agustus 2025.

 

"(Sanksi administratif berupa) pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH sebagai anggota Polri," kata Kombes Heri.

 

Selain dipecat, Kompol Cosmas juga dihukum penempatan dalam tempat khusus (patsus).

 

Dalam kasus ini, total ada tujuh anggota Brimob yang terlibat yakni Kompol Cosmas Kaju Gae, Bripka Rohmat, Briptu Danang, Bripda Mardin, Bharada Jana Edi, dan Bharaka Yohanes David, dan Aipda M. Rohyani.

 

Sebelum disidang etik, ketujuh anggota Brimob itu menjalani sanksi penempatan khusus (patsus) selama 20 hari sejak 29 Agustus 2025 di Divisi Propam Polri. (rmol)


Konferensi pers di kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa, 2 September 2025. (Beritasatu.com/Hendro Dahlan Situmorang) 


JAKARTA — Sebanyak 11 orang tewas dalam gelombang demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah di Indonesia sejak 25 Agustus hingga 2 September 2025.

 

Korban berjatuhan akibat demonstrasi yang diwarnai kerusuhan dan tindakan represif aparat kepolisian saat menghadapi massa.

 

"Jumlah korban pun terus bertambah mulai 28 Agustus hingga 2 September 2025 ini," kata kata Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Anis Hidayah saat jumpa pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (2/9/2025).

 

Menurutnya, korban meninggal berasal dari mahasiswa, pengemudi ojek online (ojol), pelajar, tukang becak, hingga pegawai DPRD.

 

Komnas HAM menduga ada unsur tindakan kekerasan aparat dalam penanganan demo sehingga mengakibatkan jatuhnya korban.

 

11 Korban Meninggal Dunia dalam Demo 25 Agustus hingga 2 September 2025:

1. Affan Kurniawan (21 tahun)

Affan, pengemudi ojol asal Jakarta meninggal dunia setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob saat aparat kepolisian membubarkan massa pendemo di Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025) malam.

 

Affan tidak ikut berdemo, ia kebetulan berada di lokasi saat akan mengantar pesanan makanan untuk konsumennya di Jalan Bendungan Hillir.

 

2. Muhammad Akbar Basri (26 tahun)

Pegawai Humas DPRD Makassar tersebut meninggal dunia akibat terjebak di dalam bangunan saat Gedung DPRD Makassar dibakar massa pada Jumat (29/8/2025) malam.

 

3. Sarinawati (26 tahun)

Pegawai DPRD Makassar meninggal terjebak dalam kebakaran Gedung DPRD Makassar.

 

4. Saiful Akbar (43 tahun)

Plt kepala seksi kesra Kecamatan Ujung Tanah ini juga meninggal dalam kebakaran Gedung DPRD Makassar. Saat itu dia hadir ikut rapat paripurna mewakili camat, dan tidak sempat keluar saat massa membakar gedung.

 

5. Rusdamdiansyah (25 tahun)

Rusdamdiansyah, pengemudi ojol di Makassar meninggal setelah dikeroyok massa karena dikira sebagai intel dalam demonstrasi di depan kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

 

6. Sumari (60 tahun)

Tukang becak asal Solo yang meninggal dunia diduga akibat terkena tembakan gas air mata saat terjadi bentrokan massa dengan aparat di Surakarta, Jawa Tengah.

 

7. Rheza Sendy Pratama (21 tahun)

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Yogyakarta meninggal dunia dengan luka memar dan bekas pijakan sepatu di tubuhnya. Rheza ikut berdemo di depan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia kemudian jadi korban diduga akibat tindakan represif aparat.

 

8. Andika Lutfi Falah (16 tahun)

Siswa kelas 11 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 14 Kabupaten Tangerang ikut demo di Jakarta pada 29 Agustus 2025. Dia diduga menjadi korban saat massa bentrok dengan aparat. Andika dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Mintoharjo dengan kondisi luka berat pada bagian kepala belakang akibat benturan benda tumpul, nyawanya tak terselamatkan.

 

9. Iko Juliant Junior (19 tahun)

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang angkatan 2024. Ia pamit ke orang tuanya pergi ke kampus dengan membawa jas almamater. Dia kemudian bergabung dengan massa demo.

 

Iko dikabarkan kritis dan harus menjalani operasi di RSUP dr Kariadi, Semarang. Pengakuan orang tuanya, Iko sempat mengigau meminta untuk tidak dipukuli lagi, namun penyebab sebenarnya dari kematiannya masih belum terungkap.

 

10. Budi Haryadi (30 tahun)

Anggota Satpol PP Kota Makassar meninggal dalam demi rusuh di Makassar.

 

11.  Septinus Sesa

Warga saat aksi blokade di kawasan Wirsi dan Jalan Yosudarso, Manokwari. Kasus kematiannya masih diselidiki yang melibatkan Komnas HAM, Ombudsman, hingga LBH untuk menjamin transparansi. (beritasatu)


SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.